yang legitimate walaupun hal itu bertentangan dengan hukum tertulis yang ada. Misalnya
lahirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang sempat dinyatakan oleh beberapa pakar
hukum sebagai lembaga yang inkonstitusional. Namun melalui keputusan MK, status KPK
dinyatakan sah (konstitusional) sampai legislasi yang mendasari keberadaannya dibuat sesuai
dengan tuntutan konstitusi. Ini berbeda dengan kasus pelaksanaan pemilu 2014. Karena
pelaksanaan pemilu 2014 sudah ada undang-undangnya tetapi undang-undang itu dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi. Blunder seperti ini seharusnya tidak akan terjadi bila MK
membacakan keputusannya jauh-jauh hari sehingga alasan tidak dapat diberlakukannya pemilu
serentak pada 2014 ini gugur. Menurut mantan Ketua MK Machfud MD, keputusan PUU itu
sudah selesai diputuskan pada 26 Maret 2013. Sehingga, jika keputusan itu dibacakan dalam
waktu yang relatif cepat maka rakyat Indonesia dapat menikmati pemilu 2014 ini tanpa hambatan
pelanggaran konstitusi. Selain MK sendiri yang mengetahui mengapa keputusan itu tertunda
dibacakan sampai 9 bulan, tak ada penjelasan dari pihak-pihak lain. Machfud MD yang waktu
keputusan itu dibuat masih menjadi hakim konstitusi sekaligus Ketua MK hanya mengatakan,
karena ia pensiun pada 1 April 2013, ia tidak nyaman kalau dalam waktu beberapa hari MK
membacakan keputusan tersebut di saat dalam beberapa hari ia mengakhiri tugasnya dari MK.
Dengan kejadian itu, layak kiranya orang memiliki persepsi bahwa ada permainan politik dalam
pembuatan kepastian hukum menyangkut hajat bangsa yaitu pemilihan umum. Aroma politiknya
begitu kental, namun wujudnya sangat abstrak. Mirip gas beracun, yang sewaktu-waktu
mendekati dan membunuh orang tanpa diketahui kedatangannya. <<>>
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/jepfruit/pemilu-2014-melanggarkonstitusi_552874ff6ea834d5428b45ef
http://www.kompasiana.com/jepfruit/pemilu-2014-melanggarkonstitusi_552874ff6ea834d5428b45ef
negara besar seperti Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 pernah
mengalami krisis konstitusi ini. Krisis politik di Australia berimbas pada kestabilan
konstitusinya, atau kasus terbaru yang dialami oleh negara Russia pada tahun 1993
antara Presiden dan Perdana Menteri yang tidak harmonis berakibat pada chaosnya
pemerintahan.
Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau
aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan
konstitusi. Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution
mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur
pemerintahan negara. Lebih luas lagi Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi
memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara
sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun
tidak) dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang
memiliki kedudukan hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan
pendekatan dari teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat
detil
sehingga
meminimalisir
potensi
terjadinya
krisis
konstitusi.
Dalam tulisannya, Prof Yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja
menimbulkan krisis konstitusi seperti dalam kasus impeachment (pemakzulan). Di
dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan
bahwa Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
masa jabatannya. Sedangkan jika berhalangan tetap secara bersamaan maka
jalannya pemerintahn akan dilaksanakan secara bersama oleh triumvirat (Menteri
dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) UndangUndang
Dasar
Republik
Indonesia
tahun
1945.
Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara
bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (termasuk triumvirat)
mengingat presiden mempunyai hak prerogratif, maka dapat dipastikan tidak ada
yang menjalankan pemerintahan (vacum of power). Kasus yang seperti ini kemudian
dipandang oleh Prof. Yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena
memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan
ini.
Secara yuridis normatif, harus diakui bahwa konstitusi Indonesia tidak mengatur
permasalahan ini. Tetapi di satu sisi, jika kasus ini ditelaah dengan teliti maka
permasalahan ini bisa dipecahkan melalui Mahkamah Konstitusi, mengingat salah
satu tugas MK adalah memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil
presiden telah melakukan pelanggaran hukum (Pasal 10 (2) UU MK NO 24 Tahun
2003). Jika kasus ini terjadi maka MK melalui putusannya (amar putusan) dapat saja
membuat putusan bahwa presiden tidak dapat mendemisionerkan kabinet. Secara
de jure, otomatis jika ketentuan ini dilaksanakan maka krisis konstitusi tidak akan
terjadi sebab hak prerogratif presiden pasca dinyatakan bersalah telah dicabut.
Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui pula bahwa tugas Mahkamah
seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi, maka pemilu dapat dipastikan
gagal karena tidak dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya
adalah, siapa atau lembaga mana yang kemudian dapat menjalankan pemerintahan
mengingat di dalam negara tidak dibenarkan terjadinya kekosongan jabatan (vacum
of power), apalagi tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara teori dalam negara
dengan sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki peranan yang sangat
penting
untuk
menentukan
jalannya
pemerintahan.
Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan konstitusi dan undang-undang,
maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang berwenang menjalankan
pemerintahan sebab pemilu tidak menghasilkan apapun. Apakah kemudian benar
pendapat Prof. Yusril dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi
negara menjadi solusi untuk mengatasi kegagalan Pemilu 2014 ini? Apakah mungkin
dalam waktu yang relatif singkat MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi
untuk kemudian mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara?
Permasalahan-permasalahan ini seyogyanya tidak dipandang sederhana, mengingat
dampak yang akan timbul sangatlah kompleks. Apa yang terjadi pada Australia pada
tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 yang mengakibatkan negara besar ini
chaos, setidaknya dapat dijadikan pembelajaran bahwa krisis konstitusi merupakan
permasalahan yang serius dan harus segera diantisipasi segala kemungkinan yang
akan muncul.
Dalam hemat penulis, permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui perubahan
konstitusi yang kemudian mengatur secara detail permasalahan-permasalahan
konstitusi ini. Sebab perubahan konstitusi merupakan hal yang wajar dan lumrah
dilakukan dalam sebuah negara. Apapun hasil Pemilu 2014 nanti dan berbagai
permasalahan yang muncul di dalamnya, dapat dipastikan negara ini harus berjalan
sebagaimana mestinya. (***)
http://www.rakyatpos.com/pemilu-dan-potensi-krisis-konstitusi-di-indonesia.html
Konstitusi
mempunyai
karakter
khusus.
Kekhususan
tersebut juga terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang
bersifat final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus
dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas
putusan tersebut.
Sifat
final
tersebut
juga
berarti
bahwa
putusan
Mahkamah
nilainilai
keadilan.
Sehingga
putusan
Mahkamah
Konstitusi
selalu
final
dan
DPR,
mengikat,
dalam
yang
amarnya
menyatakan
dipatuhi
membenarkan
oleh
Majelis
yang
menyatakan
putusan Mahkamah
Konstitusi atas
Pasal
24
Undang Mahkamah
ayat
(1)
UUD
1945 jo Pasal
Konstitusi menyatakan
yang
10
ayat
memuat
(1)
Undang-
sifat
final
hal
ini
hanya
untuk
menyelenggarakan
sidang
paripurna
untuk
Akan tetapi, masih terdapat sisi lain akibat kekuatan hukum mengikat
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Apakah seorang Presiden dan atau Wakil
Presiden tersebut masih bisa diajukan lagi dalam proses peradilan pidana yang
akan memeriksa dan mengadilinya dengan dakwaan atas perbuatan yang telah
diperiksa dan diputus Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan ini dapat ditemukan
dalam Pasal 20 PMK No. 21 Tahun 2009, yang berbunyi:
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan DPR tidak
menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan atau Wakil Presiden dalam
persidangan pidana, perdata, dan atau tata usaha negara sesuai dengan asas
dan hukum acara masing-masing
demikianseorang
Presiden
dan
atau
Wakil
Presiden
yang
masing-masing
negara
yang
secara
mengadopsi
berbeda-beda
ketentuan
mengenai
hal-hal
Konstitusi-lah
yang
terlibat
dalam
proses
Korea Selatan,
Assembly)
usulan
dengan
pemakzulan
persetujuan
dilakukan
mayoritas
oleh
parlemen
anggota National
keluar
putusan
Mahkamah
Konstitusi.[10] Mahkamah
Konstitusi
Setelah para anggota parlemen dari kelompok oposisi menyetujui dengan suara
mutlak dalam pemungutan suara, dimana terdapat 193 suara dibanding 2 suara menolak
untuk mengusir Roh. Berbeda dengan parlemen, rakyat justru mendukung Presiden Roh
untuk tidak dimakzulkan. Hal ini menimbulkan kekacauan politik di Korea. Berbagai reaksi
timbul akibat pendukung Roh tidak terima atas persetujuan parlemen sebagai lawan-lawan
politiknya yang mencoba untuk memecatnya melalui impeachment. Ekspresi kemarahan
dilampiaskan dalam demonstrasi besar. Sehari setelah parlemen mengadakan pemungutan
suara, lebih dari 50.000 orang turun ke jalan-jalan Seoul, ibu kota negara,
memprotesimpeachment terhadap Roh. Pawai damai serupa pula dilakukan untuk
menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan parlemen. Hasil jajak pendapat umum
memperlihatkan, 75 persen responden menilai impeachment sebagai sesuatu yang salah.[12]
Mahkamah Konstitusional Korea Selatan juga berbeda dengan parlemen dimana
Mahkamah menolak impeachment atas Presiden Roh Moo-Hyun. Demikian putusan akhir
yang diumumkan Mahkamah Konstitusi. Dengan putusan ini, berarti Presiden Roh kembali
memimpin negeri Ginseng itu. "Tidak ada alasan yang cukup berat untuk menggeser Presiden
keluar sehingga Pengadilan menolak permintaan untuk impeachment ," tukas Yun YoungChul, ketua mahkamah yang mengumumkan putusan ini. Mahkamah memiliki otoritas final
atas impeachment dengan tanpa hak untuk banding. Roh dihentikan sementara dari tugastugasnya
dan
dicabut
dari
kekuasaan
eksekutifnya
dengan
dikeluarkannya
putusanimpeachment Majelis Nasional pada 12 Maret 2004. Namun dengan adanya putusan
baru ini, Roh akan kembali menduduki kursi Kepresidenan.[13]
Selain itu, di Jerman, menurut konstitusi Jerman, ketentuan mengenai
prosedurimpeachment diatur dalam Bab V Pasal 61 mengenai Presiden. Pasal 61 ayat (1)
menentukan
Presiden
dapat
diajukan
oleh
anggota bundestag ( house of representatives) atau jumlah suara dalam bundesrat (senat).
Sidang impeachmentdilakukan oleh bundestag atau bundesrat di depan Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa dan memutuskan apakah Presiden benar-benar melanggar konstitusi atau
Undang-Undang Federal lainnya. Keputusan untuk meng-Impeach Presiden ditetapkan
sedikitnya 2/3 anggotaBundestag atau 2/3 jumlah
suara
di bundesrat. Pengumuman Impeachment dilakukan oleh seseorang yang ditunjuk oleh badan
yang meng-Impeach.[14]
Selanjutnya, dalam Pasal 61 ayat (2) ditentukan pula bahwa, bila Mahkamah
Konstitusi memutuskan Presiden bersalah telah melanggar konstitusi atau Undang-Undang
Federal lainnya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan Presiden telah dicopot dari
jabatannya. Setelah Impeachment, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan perintah
pengadilan interim untuk mencegah Presiden menjalankan fungsi Kepresidenannya.
Dalam ketentuan konstitusi tersebut, prosedur Impeachment yang diberlakukan
kepada Presiden diberikan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan
bersalah atau tidaknya Presiden. Meskipun perkara Impeachment diajukan dan diputuskan
oleh parlemen, namun hal itu lebih hanya sebagai keputusan politis saja sementara keputusan
hukum berada di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal ayat 61 ayat (2) lebih mempertegas
status hukum dari keputusan Mahkamah Konstitusi, karena kalaupun parlemen memutuskan
yang berbeda dengan hasil temuan Mahkamah Konstitus, maka Mahkamah Konstitusi diberi
instrument hukum untuk secara administratif memberhentikan Presiden dari jabatannya dan
secara efektif membekukan fungsi Kepresidenan
Dalam
hal
kewenangan
yang
berkaitan
Konstitusi Jerman belum pernah meng-Impeach Presiden atau hakim agung, yang
dimasukkan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman, sedangkan kewenangan yang
berkaitan dengan Impeachment pegawai negeri tidak dimasukkan dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, tetap merupakan kewenangan pengadilan umum.
Selain itu, terdapat pula tata cara pemakzulan yang diatur dalam Konstitusi
Republik Lithuania yang menganut sistem parlementer dimana perdana menteri sebagai
kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan parlemen
(Seimas) dan bertanggung jawab kepada parlemen. Namun Presiden Republik Lithuania
dapat dimakzulkan dari jabatannya berdasarkan keputusan parlemen dengan persetujuan
minimal 3/5 anggota Seimas.
dapat
dibawa
kepada
Mahkamah
putusan perkara pidana yang dijatuhkan setelah putusan pemakzulan tidak dapat
menggugurkan putusan pemakzulan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Abdul Rasyid Thalib[18] dalam bukunya, menyatakan bahwa perbuatan
hukum yang terumus dalam Pasal 7A UUD 1945 yang merupakan alasan dari pemberhentian
Presiden dan atau Wakil Presiden, terutama mengenai tidak memenuhi syarat lagi sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden, MPR harus terikat dan mengikatkan diri pada putusan
Mahkamah Konstitusi. Karena persyaratan tersebut merupakan persyaratan utama yang
termuat dalam UUD 1945 yang harus dipenuhi oleh seorang Presiden dan atau Wakil
Presiden dalam menjalankan tugas kepresidenannya, maka putusan Mahkamah Konstitusi
seharusnya bersifat final dan MPR sebagai pelaksana putusan atau sebagai eksekutor
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Dipaparkannya hal-hal tersebut oleh penulis adalah bertujuan untuk memperkuat argumentasi
penulis yang menyatakan bahwa perlunya penegasan secara konstitusional atas putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Dengan demikian proses hukum yang dilaksanakan benar-benar berperan secara tegas, tidak hanya
berupa pertimbangan sebagaimana yang dianut dalam konstitusi negara Indonesia.
Korea Selatan merupakan negara Asia dari kawasan Asia Timur. Negara ini merupakan
bagian dari Korea yang terpecah menjadi Korea Selatan dan Korea Utara sebagai dampak
perang saudara yang terjadi pada tahun 1950an. Korea Selatan mampu bangkit dari salah satu
negara yang paling miskin pada dekade 1950-an di dunia, menjadi salah satu dari sedikit negara
yang berkembang dan terkaya pada dekade 1990-an dan berhasil memasuki jenjang elite negara
industri dunia.[1] Politik ekonomi bebas yang dianutnya menyebabkan keadaan ekonominya
berkembang dengan cepat.
Disamping peningkatan positif di sektor ekonomi, negara yang beribukota di Seoul ini juga
menjadi salah satu negara di Asia yang kinerja parlemennya menjadi sorotan. Kinerja parlemen
Korea Selatan ini bukan dalam arti negatif melainkan arti positif. Baik buruknya parlemen dalam
suatu negara dapat dilihat dari Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan menjadi
Undang-Undang. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana Parlemen Korea Selatan dapat secara
efektif menghasilkan Undang-Undang dalam satu periode.
dapat segera diproses, difollow-up, dan diserahkan kepada komisi/anggota yang melakukan
permintaan. Dokumentasi dan data yang terintegrasi dalam sistem parlemen elektronik ini
mendukung kinerja anggota Dewan sehingga dapat mempercepat pekerjaan mereka.
Di Korea Selatan terdapat Legislative Counseling Office (LCO) sebagai sistem analisis dan
pengumpulan informasi mengenai fungsi legislasi dan Parlemen Korea Selatan. LCO ini
mencakup berbagai praktik di bidang perundang-undangan untuk mendukung aktifitas legislasi
dan anggota Parlemen Korsel, seperti permintaan Draft RUU (Rancangan Undang-Undang) dari
Anggota Parlemen, perancangan/penyusunan Draft RUU, penyerahan Draft RUU ke Komisi,
pembahasan internal Komisi, pembahasan di Komisi Legislasi dan Hukum, pengambilan
keputusan dalam rapat paripurna, serta pengambilan keputusan dari Presiden (pengesahan
atau veto).[3] Secara struktur organisasi, LCO setingkat dengan Direktorat Jenderal dipimpin oleh
seorang Director General dalam lingkungan Sekretariat Jenderal Parlemen Korea, lebih tepatnya
dibawah Deputi bidang perundang-undangan, jika dibandingkan dengan DPR di Indonesia sama
dengan Setjen DPR dan Deputinya. Beberapa fungsi dan tugas dari LCO, seperti merancang
pembuatan RUU serta memberikan support terkait aktifitas legislasi dari member parlemen
Korsel termasuk menguji suatu RUU yang diminta oleh anggota komisi.
Terdapat beberapa macam tahapan sebelum akhirnya RUU dapat disahkan menjadi UU. Tahap
pertama yaitu dengan penyusunan undang-undang, di mana lembaga administrasi pusat
menyusun draft RUU sesuai dengan ranah yurisdiksinya, kemudian dikonsultasikan dengan
kementerian yang relevan. RUU pada tahap awal dipublikasikan ke legislatif dan tidak kurang
dari 20 hari.
KNA juga melakukan pemeriksaan peraturan bagi setiap UU dan pemeriksaan departemen
pemerintah legislasi, termasuk hal-hal yang membatasi hak-hak rakyat, termasuk dalam aspek
praktis, seperti apakah mereka realistis, apakah mereka sesuai dengan tujuan negara, apakah
mereka bertentangan dengan UU sebelumnya, atau pun ketetapan dibawahnya. Setelah
pemeriksaan tersebut, dilakukan musyawarah oleh wakil Menteri serta musyawarah di Dewan
Negara, untuk membahas RUU yang dianggap memuat hal-hal penting dan dibahas dalam
agenda Dewan Negara. Kemudian, hasil musyawarah tersebut ditandatangani oleh Presiden
yang sudah disertai dengan pertimbangan dari komite atau komisi.
Ketika RUU diusulkan ke Majelis Nasional, ketua melaporkan ke sidang pleno. Setelah
menyelesaikan pemeriksaan komite, kemudian diagendakan sesi pleno. Jika perlu, setiap komite
juga dapat memeriksa RUU tertentu dengan sub-komite. Kemudian dilakukan pemeriksaan
legislasi dan hukum komite oleh komite Legislasi dan Kehakiman yang harus dibahas dan
diselesaikan dalam sidang paripurna oleh Majelis Nasional hingga RUU tersebut diajukan kepada
Dewan Negara. Jika keberatan, Presiden dapat meminta Majelis Nasional untuk membicarakan
lagi RUU tersebut dengan melampirkan pernyataan keberatan dalam waktu 15 hari dari hari
ketika RUU tersebut diberikan ke pemerintah. Akhirnya, RUU diselesaikan di Dewan Negara dan
ditandatangani Presiden. Kemudian UU tersebut diumumkan dan dipublikasikan dalam berita
resmi di Korea Selatan.
Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye, menjalankan hak vetonya untuk menghentikan proses
revisi RUU parlemen yang sudah lolos di lembaga legislatif. Penolakan tersebut dilakukan karena
dianggap mempunyai unsur pelanggaran konstitusi. Presiden meminta parlemen kembali
mempertimbangkan
revisi
yang
memberikan
parlemen
hak
mengubah
tata
aturan
pemerintahan. Revisi UU parlemen yang ditolak Presiden Park Geun-hye tersebut, berbenturan
dengan otoritas kabinet pada pembuatan UU administrasi, memperkuat kontrol pihak yuridis,
dan juga merusak tatanan pemisahan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi. Selama ini
sudah ada sekitar 73 kasus penolakan presiden atas revisi UU parlemen, akan tetapi penolakan
ini merupakan yang pertama kali dalam pemerintahan Park Geun-hye. Permintaan presiden
agar revisi itu ditinjau ulang, berdasarkan konstitusi, harus dibawa ke meja persidangan
parlemen dan harus mendapatkan mayoritas suara sebanyak dua pertiga.
Proses pembuatan kebijakan KNA tidak terlepas dari dukungan layanan informasi dan riset. Di
Korea Selatan itu sendiri; baik legislator secara individu maupun komisi-komisi yang ada,
meminta pendapat kepada akademisi maupun lembaga penelitian adalah hal yang lumrah
untuk dilakukan. Tentu saja mereka yang dimintai pendapatnya adalah lembaga atau individu
yang kredibel.
Ada dua kategori lembaga penyedia informasi yang bekerja sama dengan KNA, yakni internal
dan eksternal parlemen. Untuk lembaga internal, KNA memiliki tiga lembaga yang berperan
memberikan informasi untuk mendukung kinerja mereka. Keberadaan mereka diatur
dalam National Assembly Act bab ketiga tentang alat kelengkapan dan fungsinya. Tiga lembaga
tersebut adalah: National Assembly Budget Office, National Assembly Library, dan National Assembly
Research Services(NARS).
Ketiga lembaga diatas masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Dengan jumlah tenaga kerja
sebanyak 304 orang, National Assembly Library siap untuk menyediakan layanan informasi dan
data kepustakaan secara up to date dan akurat kepada anggota legislatif atau organisasi
pendukungnya. Semenjak tahun 1998, layanan National Assembly Library diperluas untuk publik
dan tidak lagi hanya anggota KNA saja.[4] National Assembly Budget Office yang didirikan pada
Oktober 2003 memiliki tugas untuk memperkuat fungsi penganggaran KNA menjadi semakin
efisien dan juga mengawasi keuangan negara.[5] National Assembly Research Services(NARS)
memiliki tugas membantu proses legislasi dengan membuat riset dan analisis. NARS menurut
data tahun 2013 memiliki 119 staff pendukung.
NARS dan NAL sekilas memiliki tugas yang hampir mirip, namun terdapat perbedaan tentang
bagaimana kedua lembaga ini memberikan informasi kepada KNA. NAL memberikan dukungan
proses legislasi sebatas fakta dan informasi saja, sedangkan NARS membedah isu lebih dalam
melalui bingkai riset dan analisis. NARS sendiri jika dibandingkan dengan NABO ataupun NAL
merupakan lembaga yang umurnya jauh lebih muda, yakni didirikan pada tahun 2007.
Salah satu bentuk kerjasama eksternal adalah seperti apa yang dilakukan oleh pihak partai
politik dengan universitas terkemuka. Profesor dari universitas terkemuka seringkali diundang
untuk presentasi makalah atau juga sebagai komentator yang diselenggarakan oleh partai
politik. Konsultasi ilmiah yang dilakukan oleh partai politik yang didanai dengan dana publik juga
didasari oleh peraturan yang menyebutkan bahwa 30% dana yang mereka miliki harus dipakai
untuk riset dalam rangka mendukung kinerja anggota legislatif mereka.[6]
Melalui cara perumusan suatu peraturan berdasarkan data dan analisis, para anggota legislatif
setidaknya memiliki cukup informasi yang akan memudahkan kerja mereka dalam penyusunan
UU sehingga kerja para anggota dewan ini bisa lebih cepat. Selama periode Mei 2008 hingga Mei
2012, NAL berhasil meloloskan sekitar 2.931 UU. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan
NAL periode sebelumnya yang hanya berhasil meloloskan 2.546 UU. [7] Perubahan RUU di
Korea Selatan hanya terkait dengan norma-norma atau pasal-pasal perubahannya saja dan yang
paling penting mereka menggunakan sistem online (e-parlemen) dalam proses perancangan
RUU tersebut. Hal itu yang membedakan sistem perundang-undangan di Korea Selatan dengan
di Indonesia, sehingga Korea Selatan dapat menghasilkan/mengesahkan hingga ribuan RUU
dalam satu periode.
Undang-Undang yang mendapat perhatian luas akhir-akhir ini adalah Penghapusan UU
Perzinahan dan juga. Pengadilan Korea Selatan telah melegalkan perselingkuhan dan
menganggap
hal
tersebut
bukanlah
urusan
konstitusional
lagi.
Meski
sebelumnya
perselingkuhan dianggap kejahatan yang akan mendapat ganjaran hukuman penjara selama 2
tahun, namun hukum yang telah berjalan selama 62 tahun tersebut kini resmi dihapuskan.
Argumen yang diberikan adalah hukum tersebut melanggar privasi seksual masyarakat. Dalam
hal ini KNA melakukan evaluasi terhadap suatu undang-undang yang telah berlaku dan
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Korea Selatan.
http://cepp.fisip.ui.ac.id/2015/11/16/parlemen-korea-selatan-dan-legislasi-nasional/
http://lisdhani-siregar.blogspot.co.id/2012/03/bentuk-kekuatan-mengikat-putusan.html