Anda di halaman 1dari 19

Pemilu 2014 Melanggar Konstitusi 24 Januari 2014 09:47:07 Diperbarui: 24 Juni 2015 02:31:19

Dibaca : 1,466 Komentar : 10 Nilai : 2 Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Pengujian


Undang Undang (judicial review) terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Gazali, dkk. sore tadi (23 Januari 2014). MK
mengabulkan PUU tersebut dan dengan demikian berarti MK membenarkan bahwa pemilu
legislatif dan pemilu presiden yang dilakukan terpisah adalah melanggar konstitusi (Undang
Undang Dasar 1945). Namun demikian, dalam keputusan yang sama MK menyatakan pemilu
yang dilakukan serentak baru akan diberlakukan untuk pemilu 2019 karena bila diberlakukan
pemilu 2014 ini akan menyebabkan persiapan pemilu akan dapat mengacaukan proses
penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Selain itu, dalam keputusan yang sama MK menyatakan
bahwa pemilu 2009 dan 2014 yang diselanggarakan berdasarkan UU No. 42 Tahun 2008 adalah
sah. Seperti itulah inti dari keputusan MK terhadap PUU oleh Effendi Gazali, dkk. Selang
beberapa menit setelah keputusan itu dibacakan, segera disambut hangat dan suka-cita oleh
Partai Nasdem melalui Metro TV dengan mengatakan bahwa keputusan MK tersebut TAB (tepat,
arif, dan bijak). Pemilu 2014 sah tetapi melanggar konstitusi Disadari atau tidak keputusan MK
tersebut telah menciptakan blunder yang menyebabkan penyelenggaraan pemilu 2014 ini tidak
memiliki kepastian hukum. Pasal-pasal yang berkenaan dengan pengaturan pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang terpisah dengan pemilu legislatif dalam UU No. 42 Tahun 2008 telah
dinyatakan gugur/tidak berlaku. Padahal KPU telah menetapkan bahwa pemilu Presiden
dilakukan terpisah dari pemilu legislatif. Dengan fakta seperti itu berarti pemilu 2014 ini
dilaksanakan dengan melanggar konstitusi. Pemilu yang bertentangan/melanggar/tidak sesuai
dengan konstitusi menyebabkan legitimasinya dipertanyakan. Namun dalam acara debat di
televisi semalam, anggota DPR Lukman Hakim berpendapat lain. Ia menegaskan, meskipun
suatu hal tidak diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, keputusan MK itu sendiri berlaku
sebagai konstitusi karena konstitusi bukan semata-mata Undang Undang Dasar. Pemikiran
Lukman ini secara akademik dekat dengan aliran konstitusionalisme dalam disiplin ilmu hukum
tata negara. Aliran konstitusionalisme memang beranggapan bahwa yang disebut konstitusi
adalah hukum dasar yang menjadi sumber hukum penyelenggaraan negara yang tidak terbatas
pada hukum-hukum tertulis, melainkan juga kebiasaan-kebiasaan, praktik yang diakui, dan
bahkan dapat berupa keputusan-keputusan hukum yang terserak dalam berbagai undangundang. Katakanlah, seandainya pendapat Lukman itu dapat diterapkan, maka pemilu 2014
yang sebentar lagi dihelat tetap saja berstatus melanggar konstitusi. Mengapa? Karena
keputusan MK yang disebut Lukman sebagai konstitusi juga telah dengan tegas bahwa
pelaksanaan pemilu 2014 ini tidak sesuai dengan konstitusi. Dalam keputusan MK juga
disebutkan bahwa pemilu yang sudah dilaksanakan yakni pemilu 2009 dan pemilu yang akan
dilaksanakan yakni pemilu 2014 dinyatakan sah secara hukum. Artinya, MK menyatakan pemilu
2014 sah tetapi tidak sesuai dengan konstitusi! Menjadi blunder Bagaimana mungkin sebuah
ketetapan hukum menyatakan bahwa sebuah aturan hukum menyatakan dilaksanakannya
sesuatu (cq. Pemilu 2014) dianggap sah tetapi melanggar konstitusi? Dalam beberapa kasus
memang ada praktik hukum di mana pengaturan sesuatu ditetapkan secara sah oleh lembaga

yang legitimate walaupun hal itu bertentangan dengan hukum tertulis yang ada. Misalnya
lahirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang sempat dinyatakan oleh beberapa pakar
hukum sebagai lembaga yang inkonstitusional. Namun melalui keputusan MK, status KPK
dinyatakan sah (konstitusional) sampai legislasi yang mendasari keberadaannya dibuat sesuai
dengan tuntutan konstitusi. Ini berbeda dengan kasus pelaksanaan pemilu 2014. Karena
pelaksanaan pemilu 2014 sudah ada undang-undangnya tetapi undang-undang itu dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi. Blunder seperti ini seharusnya tidak akan terjadi bila MK
membacakan keputusannya jauh-jauh hari sehingga alasan tidak dapat diberlakukannya pemilu
serentak pada 2014 ini gugur. Menurut mantan Ketua MK Machfud MD, keputusan PUU itu
sudah selesai diputuskan pada 26 Maret 2013. Sehingga, jika keputusan itu dibacakan dalam
waktu yang relatif cepat maka rakyat Indonesia dapat menikmati pemilu 2014 ini tanpa hambatan
pelanggaran konstitusi. Selain MK sendiri yang mengetahui mengapa keputusan itu tertunda
dibacakan sampai 9 bulan, tak ada penjelasan dari pihak-pihak lain. Machfud MD yang waktu
keputusan itu dibuat masih menjadi hakim konstitusi sekaligus Ketua MK hanya mengatakan,
karena ia pensiun pada 1 April 2013, ia tidak nyaman kalau dalam waktu beberapa hari MK
membacakan keputusan tersebut di saat dalam beberapa hari ia mengakhiri tugasnya dari MK.
Dengan kejadian itu, layak kiranya orang memiliki persepsi bahwa ada permainan politik dalam
pembuatan kepastian hukum menyangkut hajat bangsa yaitu pemilihan umum. Aroma politiknya
begitu kental, namun wujudnya sangat abstrak. Mirip gas beracun, yang sewaktu-waktu
mendekati dan membunuh orang tanpa diketahui kedatangannya. <<>>
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/jepfruit/pemilu-2014-melanggarkonstitusi_552874ff6ea834d5428b45ef

http://www.kompasiana.com/jepfruit/pemilu-2014-melanggarkonstitusi_552874ff6ea834d5428b45ef

Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia


raposJanuary 21st, 2014, 11:20 pmNo comment 2962 views

Oleh: Syafri Hariansah


(Akademisi, Alumni Postgraduated program faculty of law Constitutional and
Comparative of law Universtiy of Indonesia)

Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih


studi di program pasca sarjana, judul yang hendak saya pilih dalam rencana tesis
saya adalah potensi krisis konstitusi. Ide ini muncul setelah saya membaca tulisan
dari Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa konstitusi kita saat ini
sangat
rentan
dan
memungkinkan
terjadinya
krisis
konstitusi.
Dalam pemahaman negara-negara eropa, krisis konstitusi (constitutional crisis)
didefinisikan is a situation that the legal systems constitution or other basic
principles of operation appear unable to resolve; it often results in a breakdown in
the orderly operation ofgovernment. Often, generally speaking, a constitutional crisis
is a situation in which separate factions within a government disagree about the
extent to which each of these factions holdsovereignty. Most commonly,
constitutional crises involve some degree of conflict between different branches of
government.
Krisis konstitusi dapat terjadi pada hampir seluruh negara di dunia ini. Faktanya

negara besar seperti Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 pernah
mengalami krisis konstitusi ini. Krisis politik di Australia berimbas pada kestabilan
konstitusinya, atau kasus terbaru yang dialami oleh negara Russia pada tahun 1993
antara Presiden dan Perdana Menteri yang tidak harmonis berakibat pada chaosnya
pemerintahan.
Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau
aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan
konstitusi. Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution
mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur
pemerintahan negara. Lebih luas lagi Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi
memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara
sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun
tidak) dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang
memiliki kedudukan hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan
pendekatan dari teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat
detil
sehingga
meminimalisir
potensi
terjadinya
krisis
konstitusi.
Dalam tulisannya, Prof Yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja
menimbulkan krisis konstitusi seperti dalam kasus impeachment (pemakzulan). Di
dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan
bahwa Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
masa jabatannya. Sedangkan jika berhalangan tetap secara bersamaan maka
jalannya pemerintahn akan dilaksanakan secara bersama oleh triumvirat (Menteri
dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) UndangUndang
Dasar
Republik
Indonesia
tahun
1945.
Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara
bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (termasuk triumvirat)
mengingat presiden mempunyai hak prerogratif, maka dapat dipastikan tidak ada
yang menjalankan pemerintahan (vacum of power). Kasus yang seperti ini kemudian
dipandang oleh Prof. Yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena
memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan
ini.
Secara yuridis normatif, harus diakui bahwa konstitusi Indonesia tidak mengatur
permasalahan ini. Tetapi di satu sisi, jika kasus ini ditelaah dengan teliti maka
permasalahan ini bisa dipecahkan melalui Mahkamah Konstitusi, mengingat salah
satu tugas MK adalah memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil
presiden telah melakukan pelanggaran hukum (Pasal 10 (2) UU MK NO 24 Tahun
2003). Jika kasus ini terjadi maka MK melalui putusannya (amar putusan) dapat saja
membuat putusan bahwa presiden tidak dapat mendemisionerkan kabinet. Secara
de jure, otomatis jika ketentuan ini dilaksanakan maka krisis konstitusi tidak akan
terjadi sebab hak prerogratif presiden pasca dinyatakan bersalah telah dicabut.
Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui pula bahwa tugas Mahkamah

Konstitusi hanya menyatakan Presiden bersalah dan selanjutnya mekanisme


pemberhentian diserahkan ke MPR. Tetapi, dalam kasus seperti ini MK dapat saja
melakukan trobosan hukum dengan menambahkan putusannya untuk mengugurkan
hak prerogratif presiden. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim MK ini
kemudian dapat dipahami sebagai rechtsvinding, mengingat proses penemuan
hukum merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Artinya di satu sisi
rechtsvindingini dipandang perlu dilakukan mengingat potensi krisis konstitusi yang
dapat saja terjadi pasca diberhentikannya presiden dan wakil presiden secara
bersamaan.

Pemilu dan Potensi Krisis


Lalu bagaimana dengan potensi potensi krisis konstitusi lainnya yang bisa saja
muncul. Jika konstitusi hasil perubahan kita saat ini dianalisis lebih lanjut, maka
banyak sekali ditemukan titik krisis lainnya. Misalnya pada pengaturan tentang
pemilu. Baik konstitusi maupun undang-undang kepemiluan, baik presiden maupun
pemilu legislatif tidak mengatur apabila ternyata penyelenggaran pemilu gagal dan
tidak menghasilkan perwakilan di parlemen atau bahkan tidak menghasilkan
presiden.
Jika mengacu pada aturan konstitusi saat ini, maka dalam Pasal 6A (3) UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa
presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih, apabila memperoleh lebih dari lima
puluh persen suara nasional (suara mayoritas mutlak) dan 20 persen disetiap
wilayah provinsi. Jika dianalisis konstruksi pasal ini maka dapat dipahami bahwa
pertama, presiden terpilih apabila berhasil memperoleh suara mayoritas mutlak dari
total suara yang masuk. Kedua, angka atau persentase suara ini merupakan
ketentuan yang mutlak dan rigid. Artinya, presentasi angka ini tidak dapat diubah
apabila tidak ada satupun pasangan calon yang memperoleh suara mutlak
mayoritas. Walaupun pada ketentuan pasal lainnya dalam konstitusi khususnya
dalam Pasal 6A (4) yang mengidentifikasikan bahwa pemilu presiden di Indonesia
dengan prinsip two round system memungkinkan pasangan calon presiden dan
wakil presiden dipilih kembali pada putaran selanjutnya, Tetapi permasalahannya
angka presentasi yang diamanahkan dalam konstitusi merupakan ketentuan yang
bersifat mutlak dan berlaku sama pada ketentual pasal sebelumnya. Jika kasus
seperti ini timbul maka dapat dipastikan pemilu dalam keadaan deadlock.
Kondisi seperti ini bisa saja muncul mengingat Pemilu 2014, konstituen terbesarnya
diisi oleh segmentasi pemilu pemula. Disamping itu meningkatnnya angka golput
(berkaca pada pemilu kada) di hampir seluruh wilayah Indonesia menambah beban
berat
suksesi
penyelenggaran
Pemilu
2014.
Bertitik tolak dari hasil analisis ini, maka timbul pertanyaan apabila tidak ada satu
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhasil memperoleh suara

seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi, maka pemilu dapat dipastikan
gagal karena tidak dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya
adalah, siapa atau lembaga mana yang kemudian dapat menjalankan pemerintahan
mengingat di dalam negara tidak dibenarkan terjadinya kekosongan jabatan (vacum
of power), apalagi tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara teori dalam negara
dengan sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki peranan yang sangat
penting
untuk
menentukan
jalannya
pemerintahan.
Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan konstitusi dan undang-undang,
maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang berwenang menjalankan
pemerintahan sebab pemilu tidak menghasilkan apapun. Apakah kemudian benar
pendapat Prof. Yusril dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi
negara menjadi solusi untuk mengatasi kegagalan Pemilu 2014 ini? Apakah mungkin
dalam waktu yang relatif singkat MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi
untuk kemudian mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara?
Permasalahan-permasalahan ini seyogyanya tidak dipandang sederhana, mengingat
dampak yang akan timbul sangatlah kompleks. Apa yang terjadi pada Australia pada
tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 yang mengakibatkan negara besar ini
chaos, setidaknya dapat dijadikan pembelajaran bahwa krisis konstitusi merupakan
permasalahan yang serius dan harus segera diantisipasi segala kemungkinan yang
akan muncul.
Dalam hemat penulis, permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui perubahan
konstitusi yang kemudian mengatur secara detail permasalahan-permasalahan
konstitusi ini. Sebab perubahan konstitusi merupakan hal yang wajar dan lumrah
dilakukan dalam sebuah negara. Apapun hasil Pemilu 2014 nanti dan berbagai
permasalahan yang muncul di dalamnya, dapat dipastikan negara ini harus berjalan
sebagaimana mestinya. (***)

http://www.rakyatpos.com/pemilu-dan-potensi-krisis-konstitusi-di-indonesia.html

Bentuk Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah


Konstitusi terkait Pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui
konstitusi,Mahkamah

Konstitusi

mempunyai

karakter

khusus.

Kekhususan

tersebut juga terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang
bersifat final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus
dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas
putusan tersebut.
Sifat

final

tersebut

juga

berarti

bahwa

putusan

Mahkamah

Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam


persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van
gewijsde). Sifat mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan
putusan peradilan pada umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya
mengikat bagi para pihak berperkara (interparties) maka putusan Mahkamah
Konstitusi juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di
Indonesia.Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif
legislator yang bersifat erga omnes.
Makna mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang
berperkara harus menanggung akibat putusan tersebut. Terkait dengan prinsip
negara hukum dimana tujuan utama dari suatu negara adalah terwujudnya
supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk mewujudkannya salah
satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim sebagai tolak ukur moral
dan yuridis. Dengan demikian, dalam perkara penyelesaianimpeachment, Majelis
Permusyawaratan Rakyat harus mengikuti alur ini.
Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang
mengikat dan final maka putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai
filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger
pada

nilainilai

keadilan.

Sehingga

putusan

Mahkamah

Konstitusi

selalu

menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta bermuara pada keadilan dan

kepastian hukum. Keadilan menjadi substansi utama yang idealnya menentukan


putusan Mahkamah Konstitusi.[1]
Mengacu pada pendapat Van Apeldoorn[2] sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas yang menyatakan bahwa wujud hukum tidak hanya sebatas
peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat namun juga menjelma
dalam putusan-putusan hakim yang juga bersifat mengatur dan memaksa
maka tepat pula jika dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat
pendapat

final

dan

DPR,

mengikat,
dalam

yang

amarnya

menyatakan

perkara impeachment ini

dipatuhi

membenarkan
oleh

Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang berwenang memberhentikan Presiden dan atau


Wakil Presiden dari jabatannya.
Namun hal tersebut sepertinya tidak sejalan dengan apa yang
dinyatakan pada pasal 7B ayat (6), yaitu:
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

Melalui bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa putusan Mahkamah


Konstitusi terletak pada sifatnya yang relatif atau tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengikuti putusan
Mahkamah Konstitusi, kecuali dalam hal penyelenggaraan rapat paripurna
sebagaimana usulan Dewan Perwakilan Rakyat.[3]
Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan memandang tidak tepat suatu
pendapat

yang

menyatakan

putusan Mahkamah

Konstitusi atas

perkara impeachment tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sebab harus


dibedakan antara proses politik dan proses hukum.[4] Sebagai suatu proses
hukum,

Pasal

24

Undang Mahkamah

ayat

(1)

UUD

1945 jo Pasal

Konstitusi menyatakan

yang

10

ayat

memuat

(1)

Undang-

sifat

final

putusan Mahkamah Konstitusi hanya empat kewenangan, sedangkan terhadap


proses impeachment yang diatur dalam ayat (2) tidak disebutkan secara tegas
maka ukuran untuk menentukan apakah putusan suatu peradilan bersifat final
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat ialah ada atau tidaknya badan yang
berwenang secara hukum meninjau ulang (review) terhadap putusan tersebut
serta ada atau tidak mekanisme dalam hukum acara mengenai siapa dan
bagaimana cara melakukan review tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR ini wajib


disampaikan kepada DPR dan Presiden dan atau Wakil Presiden. Sementara bagi
anggota DPR sendiri, putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi terkait
perkara impeachment tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5)
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 adalah bersifat final secara
yuridis dan mengikat selaku pihak yang mengajukan permohonan. Mengikat
dalam

hal

ini

hanya

untuk

menyelenggarakan

sidang

paripurna

untuk

melanjutkan usul tersebut. Karena yang berwenang untuk memberhentikan


Presiden dan atau Wakil Presiden tersebut adalah hanya melalui proses politik di
MPR. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7B ayat (5), yaitu:
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
kepada
Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

Akan tetapi, masih terdapat sisi lain akibat kekuatan hukum mengikat
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Apakah seorang Presiden dan atau Wakil
Presiden tersebut masih bisa diajukan lagi dalam proses peradilan pidana yang
akan memeriksa dan mengadilinya dengan dakwaan atas perbuatan yang telah
diperiksa dan diputus Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan ini dapat ditemukan
dalam Pasal 20 PMK No. 21 Tahun 2009, yang berbunyi:
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan DPR tidak
menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan atau Wakil Presiden dalam
persidangan pidana, perdata, dan atau tata usaha negara sesuai dengan asas
dan hukum acara masing-masing

Selain itu, standar due process of law yang diterapkan Mahkamah


Konstitusi akan merujuk pada standar pembuktian yang dikenal dalam hukum
acara pidana. Keputusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang diajukan yang
melahirkan keyakinan pada hakim konstitusi, sehingga tidak ada alasan untuk
menyangsikan proses hukum yang berlangsung. Kalau dengan standar due
process yang

demikianseorang

Presiden

dan

atau

Wakil

Presiden

yang

dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum masih akan dapat diadili di


depan peradilan umum, kemungkinan asas nebis in idem yang berlaku universal
tidak dipatuhi atau dilanggar.[5]

Peradilan Tata Negara di Mahkamah Konstitusi memiliki tujuan pokok


untuk memecat seorang Presiden atau Wakil Presiden yang menurut pendapat
DPR harus diberhentikan dari jabatannya. Impeachment sesungguhnya adalah
satu proses politik yang diinginkan memenuhi syarat proses yuridis dalam
rangka mewujudkan prinsip konstitusionalisme dan rule of law dalam kehidupan
bernegara.[6]
Peradilan Pidana adalah suatu proses memeriksa, mengadili, dan
memutus kesalahan seorang terdakwa atas satu dakwaan yang didakwakan
kepadanya, dan atas kesalahan terdakwa tersebut hakim menjatuhkan hukuman
kepadanya baik yang bersifat perampasan kemerdekaan maupun sanksi lainnya.
Hal demikian tidak dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga Presiden dan
atau Wakil Presiden yang dinyatakan bersalah tersebut dapat diajukan kembali
pada peradilan umum.[7]
Asas nebis in idem tidak mencakup hasil putusan pengadilan tata
negara karena peradilan yang dilakukan tidak memberikan hukuman atau sanksi
pidana atas putusanimpeachment. Pengadilan pidana yang mengadili seorang
mantan Presiden/Wakil Presiden yang telah dinyatakan melakukan pelanggaran
hukum oleh Mahkamah Konstitusi sebagai satu bukti yang mengikat atas
dakwaan yang menyangkut perbuatan pidana yang sama. Dengan demikian
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan diberlakukan sebagai alat bukti
yang mengikat pengadilan biasa secara umum, yaitu sebagai bukti otentik
dengan kekuatan materil yang mengikat dan dijadikan sebagai dasar untuk
menyatakan yang bersangkutan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan perbuatan yang telah
didakwakan.[8]
Perbuatan demikian cukup adil karena tidak mengurangi hak asasi
seorang Presiden/Wakil Presiden yang melakukan perbuatan melanggar hukum,
secara relevan tidak melanggar asas persamaan di depan hukum (equality
before the law) dan tidak juga melanggar prinsip hukum nebis in idem. Akan
tetapi jika dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
seorang Presiden dan atau Wakil Presiden bersalah melakukan pelanggaran
hukum hanya memiliki akibat hukum pemecatan/pemberhentian tanpa harus
memikul tanggung jawab pidana melekat pada kesalahan tersebut maka sikap
demikian akan dirasa melanggar rasa keadilan masyarakat yang menjadi asas
konstitusi.[9]

Tata cara pemakzulan juga diadopsi oleh beberapa negara di dunia


dimana

masing-masing

negara

mengenai impeachment mengatur

yang

secara

mengadopsi

berbeda-beda

ketentuan

mengenai

hal-hal

tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi. Namun secara umum,


mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses peradilan tata negara,
yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah Mahkamah Agung
(Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Bagi negaranegara yang memiliki dua lembaga pemegang kekuasaan yudikatif yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka besar kecenderungan bahwa
Mahkamah

Konstitusi-lah

yang

terlibat

dalam

proses

mekanisme impeachment tersebut.


Beberapa negara yang memiliki sistem yang memiliki kemiripan
dengan Indonesia adalah Korea Selatan dan Jerman. Pada konstitusi kedua
negara tersebut, terdapat kepastian mengenai putusan yang dikeluarkan
masing-masing lembaga negara terkait dengan perkara pemakzulan tersebut.
Di
(National

Korea Selatan,
Assembly)

usulan

dengan

pemakzulan

persetujuan

dilakukan

mayoritas

oleh

parlemen

anggota National

Assembly dan disetujui minimal /3 anggota National Assembly. Setelah mosi


dakwaan disetujui oleh parlemen, Presiden harus nonaktif dari jabatannya
sampai

keluar

putusan

Mahkamah

Konstitusi.[10] Mahkamah

Konstitusi

mempunyai yuridiksi atas Impeachment proceeding dan memiliki otoritas final


atas impeachment dengan tanpa hak untuk banding.
Berbeda dengan Indonesia, posisi Mahkamah Konstitusi tidak berada di
tengah, tetapi berada posisi di akhir proses impeachment, sehingga kedudukan
dan fungsi Mahkamah Konstitusi menguji apakah keputusan politik untuk
memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden sudah tepat atau tidak secara
yuridis.

Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008) adalah Presiden Korea Selatan yang


pertama kali didakwa melalui mosi parlemen karena didakwa melanggar prinsip netralitas
dalam undang-undang pemilihan umum, yaitu dengan terang-terangan mendukung Partai Uri
yang didirikannya dalam pemilihan anggota parlemen serta dakwaan yang menyatakan
bahwa sanak keluarga dan para pembantu politiknya mengumpulkan dana illegal sebesar 10
juta dolar dari kalangan pengusaha untuk kemenangan kampanyenya.[11]

Setelah para anggota parlemen dari kelompok oposisi menyetujui dengan suara
mutlak dalam pemungutan suara, dimana terdapat 193 suara dibanding 2 suara menolak
untuk mengusir Roh. Berbeda dengan parlemen, rakyat justru mendukung Presiden Roh
untuk tidak dimakzulkan. Hal ini menimbulkan kekacauan politik di Korea. Berbagai reaksi
timbul akibat pendukung Roh tidak terima atas persetujuan parlemen sebagai lawan-lawan
politiknya yang mencoba untuk memecatnya melalui impeachment. Ekspresi kemarahan
dilampiaskan dalam demonstrasi besar. Sehari setelah parlemen mengadakan pemungutan
suara, lebih dari 50.000 orang turun ke jalan-jalan Seoul, ibu kota negara,
memprotesimpeachment terhadap Roh. Pawai damai serupa pula dilakukan untuk
menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan parlemen. Hasil jajak pendapat umum
memperlihatkan, 75 persen responden menilai impeachment sebagai sesuatu yang salah.[12]
Mahkamah Konstitusional Korea Selatan juga berbeda dengan parlemen dimana
Mahkamah menolak impeachment atas Presiden Roh Moo-Hyun. Demikian putusan akhir
yang diumumkan Mahkamah Konstitusi. Dengan putusan ini, berarti Presiden Roh kembali
memimpin negeri Ginseng itu. "Tidak ada alasan yang cukup berat untuk menggeser Presiden
keluar sehingga Pengadilan menolak permintaan untuk impeachment ," tukas Yun YoungChul, ketua mahkamah yang mengumumkan putusan ini. Mahkamah memiliki otoritas final
atas impeachment dengan tanpa hak untuk banding. Roh dihentikan sementara dari tugastugasnya

dan

dicabut

dari

kekuasaan

eksekutifnya

dengan

dikeluarkannya

putusanimpeachment Majelis Nasional pada 12 Maret 2004. Namun dengan adanya putusan
baru ini, Roh akan kembali menduduki kursi Kepresidenan.[13]
Selain itu, di Jerman, menurut konstitusi Jerman, ketentuan mengenai
prosedurimpeachment diatur dalam Bab V Pasal 61 mengenai Presiden. Pasal 61 ayat (1)
menentukan

bahwa impeachment terhadap

Presiden

dapat

diajukan

oleh

anggota bundestag ( house of representatives) atau jumlah suara dalam bundesrat (senat).
Sidang impeachmentdilakukan oleh bundestag atau bundesrat di depan Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa dan memutuskan apakah Presiden benar-benar melanggar konstitusi atau
Undang-Undang Federal lainnya. Keputusan untuk meng-Impeach Presiden ditetapkan
sedikitnya 2/3 anggotaBundestag atau 2/3 jumlah

suara

di bundesrat. Pengumuman Impeachment dilakukan oleh seseorang yang ditunjuk oleh badan
yang meng-Impeach.[14]
Selanjutnya, dalam Pasal 61 ayat (2) ditentukan pula bahwa, bila Mahkamah
Konstitusi memutuskan Presiden bersalah telah melanggar konstitusi atau Undang-Undang
Federal lainnya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan Presiden telah dicopot dari
jabatannya. Setelah Impeachment, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan perintah
pengadilan interim untuk mencegah Presiden menjalankan fungsi Kepresidenannya.
Dalam ketentuan konstitusi tersebut, prosedur Impeachment yang diberlakukan
kepada Presiden diberikan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan

bersalah atau tidaknya Presiden. Meskipun perkara Impeachment diajukan dan diputuskan
oleh parlemen, namun hal itu lebih hanya sebagai keputusan politis saja sementara keputusan
hukum berada di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal ayat 61 ayat (2) lebih mempertegas
status hukum dari keputusan Mahkamah Konstitusi, karena kalaupun parlemen memutuskan
yang berbeda dengan hasil temuan Mahkamah Konstitus, maka Mahkamah Konstitusi diberi
instrument hukum untuk secara administratif memberhentikan Presiden dari jabatannya dan
secara efektif membekukan fungsi Kepresidenan
Dalam

hal

kewenangan

yang

berkaitan

dengan impeachment Mahkamah

Konstitusi Jerman belum pernah meng-Impeach Presiden atau hakim agung, yang
dimasukkan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman, sedangkan kewenangan yang
berkaitan dengan Impeachment pegawai negeri tidak dimasukkan dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, tetap merupakan kewenangan pengadilan umum.
Selain itu, terdapat pula tata cara pemakzulan yang diatur dalam Konstitusi
Republik Lithuania yang menganut sistem parlementer dimana perdana menteri sebagai
kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan parlemen
(Seimas) dan bertanggung jawab kepada parlemen. Namun Presiden Republik Lithuania
dapat dimakzulkan dari jabatannya berdasarkan keputusan parlemen dengan persetujuan
minimal 3/5 anggota Seimas.

Keputusan Seimas ini

dapat

dibawa

kepada

Mahkamah

Konstitusi karena menurut konstitusinya MK Lithuania dapat membatalkan segala tindakan


parlemen atau pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.[15]
Rolandas Paksas merupakan Presiden Republik Lithuania (Februari 2003-April
2004) yang dimakzulkan dalam jabatannya. Paksas dimakzulkan oleh Seimas karena
dianggap telah melakukan sumpah palsu (perjury) yang dalam Konstitusi Republik Lithuania
merupakan salah satu alasan dapat dilakukannya pemakzulan. Semasa menjabat, Presiden
Paksas, menurut Seimas telah melakukan hubungan dengan mafia Rusia yang mengancam
beberapa perusahaan privat dengan menekan para pemiliknya. Paksas juga memberikan
kewarganegaraan Lithuania kepada Jurij Barisov, seorang kebangsaan Rusia yang dikenal
sebagai pedagang senjata di negara-negara dunia ketiga dan melanggar sumpahnya dengan
memberikan rahasia negara kepada Barisov. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Paksas telah melakukan pelanggaran konstitusi, yaitu membuka rahasia
yang dipercayakan negara kepadnya, memberikan kewarganegaraan secara illegal kepada
pendukung finansial , Barisov, dengan kewarganegaraan Lithuania, dan secara illegal
mempengaruhi beberapa perusahaan swasta.[16]
Namun, kasus ini menimbulkan persoalan konstitusional ketika Mahkamah agung
Lithuaniia dalam kasus pidana dengan perkara yang sama memutuskan Paksas, setelah ia
dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak terbukti melakukan perbuatan yang telah
dituduhkan kepadanya. Hingga saat ini, tidak ada penyelesaian yang memuaskan Paksas
untuk mengembalikan kehormatan dalam jabatannya. Namun, menurut Hamdan Zoelva[17],

putusan perkara pidana yang dijatuhkan setelah putusan pemakzulan tidak dapat
menggugurkan putusan pemakzulan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Abdul Rasyid Thalib[18] dalam bukunya, menyatakan bahwa perbuatan
hukum yang terumus dalam Pasal 7A UUD 1945 yang merupakan alasan dari pemberhentian
Presiden dan atau Wakil Presiden, terutama mengenai tidak memenuhi syarat lagi sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden, MPR harus terikat dan mengikatkan diri pada putusan
Mahkamah Konstitusi. Karena persyaratan tersebut merupakan persyaratan utama yang
termuat dalam UUD 1945 yang harus dipenuhi oleh seorang Presiden dan atau Wakil
Presiden dalam menjalankan tugas kepresidenannya, maka putusan Mahkamah Konstitusi
seharusnya bersifat final dan MPR sebagai pelaksana putusan atau sebagai eksekutor
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Dipaparkannya hal-hal tersebut oleh penulis adalah bertujuan untuk memperkuat argumentasi
penulis yang menyatakan bahwa perlunya penegasan secara konstitusional atas putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Dengan demikian proses hukum yang dilaksanakan benar-benar berperan secara tegas, tidak hanya
berupa pertimbangan sebagaimana yang dianut dalam konstitusi negara Indonesia.

Korea Selatan merupakan negara Asia dari kawasan Asia Timur. Negara ini merupakan
bagian dari Korea yang terpecah menjadi Korea Selatan dan Korea Utara sebagai dampak
perang saudara yang terjadi pada tahun 1950an. Korea Selatan mampu bangkit dari salah satu
negara yang paling miskin pada dekade 1950-an di dunia, menjadi salah satu dari sedikit negara
yang berkembang dan terkaya pada dekade 1990-an dan berhasil memasuki jenjang elite negara
industri dunia.[1] Politik ekonomi bebas yang dianutnya menyebabkan keadaan ekonominya
berkembang dengan cepat.
Disamping peningkatan positif di sektor ekonomi, negara yang beribukota di Seoul ini juga
menjadi salah satu negara di Asia yang kinerja parlemennya menjadi sorotan. Kinerja parlemen
Korea Selatan ini bukan dalam arti negatif melainkan arti positif. Baik buruknya parlemen dalam
suatu negara dapat dilihat dari Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan menjadi
Undang-Undang. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana Parlemen Korea Selatan dapat secara
efektif menghasilkan Undang-Undang dalam satu periode.

Parlemen Korea dan Perumusan UU


Korea Selatan menggunakan sistem unikameral atau sistem satu kamar dalam parlemen Korea
yang biasa disebut dengan Kukhoe atau Korean National Assembly (KNA). Sistem ini berarti KNA
merupakan badan pemegang kekuasaan legislatif satu-satunya di Korea Selatan. KNA yang
sedang berjalan saat ini terdiri dari 300 kursi dan diadakan setiap empat (4) tahun sekali di
seluruh 246 daerah pemilihan, ditambah dengan 54 kursi tambahan yang dibagikan kepada
partai politik dengan proporsi suara yang diperoleh. Korea selatan juga menganut sistem multipartai. Ada 9 partai di Korea Selatan, diantaranya adalah Grand National Party, Democratic Party,
The Liberty Forward Party, Future Hope Alliance, Democratic Labor Party, dan lain sebagainya.
Namun secara tidak langsung sistem kepartaian di Korea Selatan adalah 2 partai besar, yaitu
Partai Besar Nasional (57,3) dan partai Demokrasi Baru Bersatu (29.10%). Dua partai inilah yang
berkuasa di parlemen.
Sistem satu kamar ini seringkali diterapkan oleh negara republik yang homogen, kecil, dan
menganggap sebuah majelis tinggi tidak perlu. Argumen lainnya adalah terkait pemikiran
apabila majelis tingginya demokratis, maka sejalan dengan majelis rendah yang juga demokratis.
Kelemahan sistem unikameral adalah wilayah-wilayah urban yang memiliki penduduk yang lebih
besar akan mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada wilayah-wilayah pedesaan yang
penduduknya lebih sedikit.
Layaknya semua negara hukum yang diatur dan dijalankan menurut hukum, kekuatan yang
paling penting dari KNA adalah untuk memberlakukan , mengubah , dan menghapus undangundang.[2] Salah satu fungsi dari lembaga legislatif adalah fungsi legislasi disamping fungsi
pengawasan dan anggaran. Legislasi disini dapat dilihat dari UU yang dihasilkan oleh parlemen.
Pencapaian
Peran parlemen adalah untuk membuat undang-undang dan mengubah atau memperbaiki
sistem hukum. Parlemen adalah tempat di mana keputusan berlangsung atas dasar preferensi
masyarakat dan diubah ke dalam bentuk kebijakan dan program. Konstitusi di Korea Selatan
sebagai hukum yang terpenting, mengatur hal-hal mendasar yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban masyarakat, struktur fundamental Pemerintah, tatanan ekonomi, manajemen pemilu,
dan lain sebagainya. Konstitusi merupakan sebuah standar untuk undang-undang. Korean
National Assembly(KNA) menggunakan metode e-parlemen (parlemen elektronik/online),
sehingga para anggota Dewan dapat melakukan permintaan pembuatan RUU secara online dan

dapat segera diproses, difollow-up, dan diserahkan kepada komisi/anggota yang melakukan
permintaan. Dokumentasi dan data yang terintegrasi dalam sistem parlemen elektronik ini
mendukung kinerja anggota Dewan sehingga dapat mempercepat pekerjaan mereka.
Di Korea Selatan terdapat Legislative Counseling Office (LCO) sebagai sistem analisis dan
pengumpulan informasi mengenai fungsi legislasi dan Parlemen Korea Selatan. LCO ini
mencakup berbagai praktik di bidang perundang-undangan untuk mendukung aktifitas legislasi
dan anggota Parlemen Korsel, seperti permintaan Draft RUU (Rancangan Undang-Undang) dari
Anggota Parlemen, perancangan/penyusunan Draft RUU, penyerahan Draft RUU ke Komisi,
pembahasan internal Komisi, pembahasan di Komisi Legislasi dan Hukum, pengambilan
keputusan dalam rapat paripurna, serta pengambilan keputusan dari Presiden (pengesahan
atau veto).[3] Secara struktur organisasi, LCO setingkat dengan Direktorat Jenderal dipimpin oleh
seorang Director General dalam lingkungan Sekretariat Jenderal Parlemen Korea, lebih tepatnya
dibawah Deputi bidang perundang-undangan, jika dibandingkan dengan DPR di Indonesia sama
dengan Setjen DPR dan Deputinya. Beberapa fungsi dan tugas dari LCO, seperti merancang
pembuatan RUU serta memberikan support terkait aktifitas legislasi dari member parlemen
Korsel termasuk menguji suatu RUU yang diminta oleh anggota komisi.
Terdapat beberapa macam tahapan sebelum akhirnya RUU dapat disahkan menjadi UU. Tahap
pertama yaitu dengan penyusunan undang-undang, di mana lembaga administrasi pusat
menyusun draft RUU sesuai dengan ranah yurisdiksinya, kemudian dikonsultasikan dengan
kementerian yang relevan. RUU pada tahap awal dipublikasikan ke legislatif dan tidak kurang
dari 20 hari.
KNA juga melakukan pemeriksaan peraturan bagi setiap UU dan pemeriksaan departemen
pemerintah legislasi, termasuk hal-hal yang membatasi hak-hak rakyat, termasuk dalam aspek
praktis, seperti apakah mereka realistis, apakah mereka sesuai dengan tujuan negara, apakah
mereka bertentangan dengan UU sebelumnya, atau pun ketetapan dibawahnya. Setelah
pemeriksaan tersebut, dilakukan musyawarah oleh wakil Menteri serta musyawarah di Dewan
Negara, untuk membahas RUU yang dianggap memuat hal-hal penting dan dibahas dalam
agenda Dewan Negara. Kemudian, hasil musyawarah tersebut ditandatangani oleh Presiden
yang sudah disertai dengan pertimbangan dari komite atau komisi.
Ketika RUU diusulkan ke Majelis Nasional, ketua melaporkan ke sidang pleno. Setelah
menyelesaikan pemeriksaan komite, kemudian diagendakan sesi pleno. Jika perlu, setiap komite
juga dapat memeriksa RUU tertentu dengan sub-komite. Kemudian dilakukan pemeriksaan

legislasi dan hukum komite oleh komite Legislasi dan Kehakiman yang harus dibahas dan
diselesaikan dalam sidang paripurna oleh Majelis Nasional hingga RUU tersebut diajukan kepada
Dewan Negara. Jika keberatan, Presiden dapat meminta Majelis Nasional untuk membicarakan
lagi RUU tersebut dengan melampirkan pernyataan keberatan dalam waktu 15 hari dari hari
ketika RUU tersebut diberikan ke pemerintah. Akhirnya, RUU diselesaikan di Dewan Negara dan
ditandatangani Presiden. Kemudian UU tersebut diumumkan dan dipublikasikan dalam berita
resmi di Korea Selatan.
Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye, menjalankan hak vetonya untuk menghentikan proses
revisi RUU parlemen yang sudah lolos di lembaga legislatif. Penolakan tersebut dilakukan karena
dianggap mempunyai unsur pelanggaran konstitusi. Presiden meminta parlemen kembali
mempertimbangkan

revisi

yang

memberikan

parlemen

hak

mengubah

tata

aturan

pemerintahan. Revisi UU parlemen yang ditolak Presiden Park Geun-hye tersebut, berbenturan
dengan otoritas kabinet pada pembuatan UU administrasi, memperkuat kontrol pihak yuridis,
dan juga merusak tatanan pemisahan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi. Selama ini
sudah ada sekitar 73 kasus penolakan presiden atas revisi UU parlemen, akan tetapi penolakan
ini merupakan yang pertama kali dalam pemerintahan Park Geun-hye. Permintaan presiden
agar revisi itu ditinjau ulang, berdasarkan konstitusi, harus dibawa ke meja persidangan
parlemen dan harus mendapatkan mayoritas suara sebanyak dua pertiga.
Proses pembuatan kebijakan KNA tidak terlepas dari dukungan layanan informasi dan riset. Di
Korea Selatan itu sendiri; baik legislator secara individu maupun komisi-komisi yang ada,
meminta pendapat kepada akademisi maupun lembaga penelitian adalah hal yang lumrah
untuk dilakukan. Tentu saja mereka yang dimintai pendapatnya adalah lembaga atau individu
yang kredibel.
Ada dua kategori lembaga penyedia informasi yang bekerja sama dengan KNA, yakni internal
dan eksternal parlemen. Untuk lembaga internal, KNA memiliki tiga lembaga yang berperan
memberikan informasi untuk mendukung kinerja mereka. Keberadaan mereka diatur
dalam National Assembly Act bab ketiga tentang alat kelengkapan dan fungsinya. Tiga lembaga
tersebut adalah: National Assembly Budget Office, National Assembly Library, dan National Assembly
Research Services(NARS).
Ketiga lembaga diatas masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Dengan jumlah tenaga kerja
sebanyak 304 orang, National Assembly Library siap untuk menyediakan layanan informasi dan
data kepustakaan secara up to date dan akurat kepada anggota legislatif atau organisasi

pendukungnya. Semenjak tahun 1998, layanan National Assembly Library diperluas untuk publik
dan tidak lagi hanya anggota KNA saja.[4] National Assembly Budget Office yang didirikan pada
Oktober 2003 memiliki tugas untuk memperkuat fungsi penganggaran KNA menjadi semakin
efisien dan juga mengawasi keuangan negara.[5] National Assembly Research Services(NARS)
memiliki tugas membantu proses legislasi dengan membuat riset dan analisis. NARS menurut
data tahun 2013 memiliki 119 staff pendukung.
NARS dan NAL sekilas memiliki tugas yang hampir mirip, namun terdapat perbedaan tentang
bagaimana kedua lembaga ini memberikan informasi kepada KNA. NAL memberikan dukungan
proses legislasi sebatas fakta dan informasi saja, sedangkan NARS membedah isu lebih dalam
melalui bingkai riset dan analisis. NARS sendiri jika dibandingkan dengan NABO ataupun NAL
merupakan lembaga yang umurnya jauh lebih muda, yakni didirikan pada tahun 2007.
Salah satu bentuk kerjasama eksternal adalah seperti apa yang dilakukan oleh pihak partai
politik dengan universitas terkemuka. Profesor dari universitas terkemuka seringkali diundang
untuk presentasi makalah atau juga sebagai komentator yang diselenggarakan oleh partai
politik. Konsultasi ilmiah yang dilakukan oleh partai politik yang didanai dengan dana publik juga
didasari oleh peraturan yang menyebutkan bahwa 30% dana yang mereka miliki harus dipakai
untuk riset dalam rangka mendukung kinerja anggota legislatif mereka.[6]
Melalui cara perumusan suatu peraturan berdasarkan data dan analisis, para anggota legislatif
setidaknya memiliki cukup informasi yang akan memudahkan kerja mereka dalam penyusunan
UU sehingga kerja para anggota dewan ini bisa lebih cepat. Selama periode Mei 2008 hingga Mei
2012, NAL berhasil meloloskan sekitar 2.931 UU. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan
NAL periode sebelumnya yang hanya berhasil meloloskan 2.546 UU. [7] Perubahan RUU di
Korea Selatan hanya terkait dengan norma-norma atau pasal-pasal perubahannya saja dan yang
paling penting mereka menggunakan sistem online (e-parlemen) dalam proses perancangan
RUU tersebut. Hal itu yang membedakan sistem perundang-undangan di Korea Selatan dengan
di Indonesia, sehingga Korea Selatan dapat menghasilkan/mengesahkan hingga ribuan RUU
dalam satu periode.
Undang-Undang yang mendapat perhatian luas akhir-akhir ini adalah Penghapusan UU
Perzinahan dan juga. Pengadilan Korea Selatan telah melegalkan perselingkuhan dan
menganggap

hal

tersebut

bukanlah

urusan

konstitusional

lagi.

Meski

sebelumnya

perselingkuhan dianggap kejahatan yang akan mendapat ganjaran hukuman penjara selama 2
tahun, namun hukum yang telah berjalan selama 62 tahun tersebut kini resmi dihapuskan.

Argumen yang diberikan adalah hukum tersebut melanggar privasi seksual masyarakat. Dalam
hal ini KNA melakukan evaluasi terhadap suatu undang-undang yang telah berlaku dan
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Korea Selatan.
http://cepp.fisip.ui.ac.id/2015/11/16/parlemen-korea-selatan-dan-legislasi-nasional/
http://lisdhani-siregar.blogspot.co.id/2012/03/bentuk-kekuatan-mengikat-putusan.html

Anda mungkin juga menyukai