PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Teori
Istilah konstitusi sebenarnya dialih bahasakan dari Constitution (bhs.
Inggris), atau Verfassung (bhs. Belanda) yakni hukum dasar yang dibedakan
dengan Undang-undang Dasar atau Groundgesetz (bhs. Belanda). Secara
substansi, sebetulnya konstitusi berbeda dengan undang-undang dasar.
Undang-undang dasar hanyalah sebagian dari hukum dasarnya negara, yakni
hukum dasar yang tertulis. Disamping itu masih ada hukum dasar yang tidak
tertulis yakni
adalah
hukum
dasar
yang
dijadikan
pegangan
dalam
penyelenggaraan suatu negara. Lebih lanjut dikatakan: hukum dasar ada yang
tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis disebut dengan
Undang Undang Dasar (UUD) sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis
disebut konvensi.
Sementara Herman Heller mengatakan bahwa suatu rechtverfassung
(konstitusi) harus memenuhi dua syarat yakni: mengenai bentuknya dan
mengenai isinya. Dari bentuknya: suatu konstitusi itu harus tertulis;
sedangkan dari isinya: bahwa konstitusi haruslah berisikan tentang hal-hal
pokok/fundamen. Nampaknya Herman Heller terpengaruh oleh faham
kodifikasi, dimana paham ini mengehndaki setiap peraturan hukum harus
tertulis demi adanya kesatuan hukum, kesederhanaan hukun dan adanya
kepastian hukum, sehingga menghendaki supaya konstitusi harus berbentuk
tertulis. Sebagai hukum dasar sudah seyogyanya konstitusi dalam pasal-pasal
dan ayatnya dirumuskan sedemikian ruma yang hanya berisikan tentang halhal yang pokok atau yang paling mendasar, karena pengaturan secara rinci
diatur lebih lanjut dalam peraturan yang ada dibawahnya. Semakin pokok dan
fundamen hal yang diatur dalam konstitusi maka semakin abstrak dan
sederhana konstitusi yang bersangkutan, akan mengakibatkan semakin elastis
dan
semakin
terbuka
kemungkinan
untuk
menampung
dinamika
1. Makamah Konstitusi: Bahwa pilpres dan pemilu DPR, DPD, dan DPRD
tidak serentak berdasarkan pasal 3 ayat (5) uu no. 42/2008 di simpulkan
sebagai kebiasaan dan menjadi sumber hukum. Pilpres dan pemilu DPR,
DPD, dan DPRD tidak serentak tahun 2009 bukan permasalahan
konstitusional.
2. Teori Kebiasaan
Hukum kebiasaan dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam arti
formal yang tidak tertulis. Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang
tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Kebiasaan
merupakan sumber hukum yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat
dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif.
Sehingga segala sesuatu yang sudah menjadi peraturan tertulis tidak
merupakan sumber hukum kebiasaan. Sanga tidak relevan apabila pasal 3
ayat (5) uu no. 42/2008 dijadikan sumber hukum kebiasaan. Dan sangat tidak
Relevan perkara tersebut disebut bukan Perkara Konstitusi, yang mana
gugatan atau yang diperkarakan tersebut adalah uu yang bertentangan dengan
UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara.
3. Makamah Konstitusi: Persiapan dan Waktu penyelenggaraan tidak
mencukupi dapat menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum.
UUD 1945
-
menetapkan UUD
Pasal 20 ayat 1 UUD 1945 : DPR memegang kekuasaan membentuk
UU
Pasal 20A ayat 1 UUD 1945 : DPR memiliki fungsi Legilasi, fungsi
Anggaran dan fungsi Pengawasan.
UUD 1945
-
Makamah
Konstitusi
telah
bertindak
melampaui
kewenangannya
sebagaimana yang telah diatur oleh UUD 1945 pasal 24c serta
Keputusan Makamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945.
khususnya : Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 ayat
(1), Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5), Pasal 20A ayat (1), Pasal 22E ayat (1),
ayat (2) dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (1) dan ayat (5),
pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3). Dan Pasal II aturan
Jerman,
ketentuan
mengenai
depan
Konstitusi
yang
KONSTITUSI
Kelompok :
Maya Dany Puspitasari (15030234014/KB 15)
Defitiana Wanita (15030234018/KB 15)
JURUSAN KIMIA
BAB III
PENUTUP
Dari beberapa pendapat para ahli, dapat ditarik tentang pengertian
konstitusi sebagai berikut:
Konstitusi meliputi konstitusi tertulis yang kemudian disebut Undang
Undang Dasar (UUD) dan konstitusi tidak tertulis yang disebut dengan
konvensi ketatanegaraan.
Dalam pelaksanaan konstitusi yang paling penting adalah semangat serta
kemampuan politik (political will) para penyelenggara negara. Karena,
meskipun sudah dirumuskan dengan jelas dan rinci konstitusi yang ada, jika
para penyelenggara tidak punya semangat dan tidak punya tekad dan
komitmen untuk melaksanakan konstitusi tersebut secara murni dan
konsekuen dalam hidup berbangsa dan bernegara, bunyi pasal maupun ayat
yang ada dalam konstitusi tersebut tidak lebih hanya merupakan retorika
belaka. Namun sebaliknya, meskipun perumusan konstitusi tidak sempurna,
tetapi semangat para penyelenggara bersih dan tulus dalam menjalankan
konstitusi tersebut, maka kekurangan yang ada tidak akan merintangi
penyelenggara negara untuk menjalankan tugas dan wewenangnya dalam
mewujudkan cita-cita maupun tujuan nasional.