Anda di halaman 1dari 14

Leukemia Granulositik Kronik dan Penatalaksanannya

Esterlina Ratuanak
102009217
ety.ratu@yahoo.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemiayang pertama ditemukan
serta diketahui patogenesisnya. Tahun 1960 Nowel dan Hungerford menemukan kelainan
kromosam yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q atau hilangnya sebagian lengan
panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Philadelphia ini terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang
kromosam 9 dan 22, lazimnya ditulis t (9;22) (q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi
molekuler, diketahui bahwa pada kromosom 22 mengalami pemendekan, ternyata didapatkan
adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL
(Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom
22 (22q11). Gabungan dari kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat
sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada LGK. 1
Skenario
Seorang laki-laki 60 tahun datang ke poliklinik RS UKRIDA dengan keluhan utama lemas
sejak 2 bulan SMRS. Pasien juga mengeluh sering demam dan berkeringat terutama pada malam hari,
adanya batuk dan nyeri berkemih disangkal. Selain itu, pasien juga merasa cepat kenyang dan begah.
Pasien mengaku hanya mengkonsumsi makanan alami tanpa adanya pengawet. Adanya riwayat
paparan radioaktif disangkal, Di keluarga pasien tak ada yang sakit seperti ini. PF: Konjungtiva
anemis, sclera non ikterik, limpa teraba S-III. PP: Hb=9 g/dl, Ht=35%, Leu=100.000/ml,
Trombo=25.000/ml, sel blas 10%

Identifikasi istilah
Tidak ada
1

Rumusan masalah
Seorang laki-laki 60 tahun dengan keluhan utama lemas sejak 2 bulan.

Analisis Masalah (Mind Map)


Pencegahan

anamnesis

etiologi
epidemiologi

prognosis
Rumusan Masalah

Patogenesis

Pemeriksaan Fisik & Penunjang

Gejala Klinik

Penanganan Terapi

Diagnosis Banding & Diagnosis kerja


Komplikasi

Hipotesis
Pasien dengan keluhan lemas tersebut menderita Leukimia Granulositik Kronik.

Anamnesis
Secara umum anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter
dengan cara melakukan serangkaian wawancara yang dapat langsung dilakukan terhadap
pasien

(auto-anamnesis)

atau

terhadap

keluarganya

atau

pengantarnya

(alo-

anamnesis).Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya


atau keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat
pelayanan kesehatan. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis
susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan,
obat-obatan dan lingkungan.2
Identitas meliputi nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang
tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa
dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien
pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan
penyakit adalah cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu untuk
2

mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah


diderita dengan penyakitnya sekarang. Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan
data-data positif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien
berdasarkan alat tubuh yang sakit. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk mencari
kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi.2,3
Didalam skenario, anamnesis dapat dilakukan secara auto-anamnesis karena keadaan
pasien memungkinkan untuk memberikan keterangan. Beberapa pertanyaan yang dapat
diajukan kepada pendamping pasien:5

Keluhan utama : Seorang laki laki ,60 tahun dengan keluhan lemas 2 bulan.
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Adakah rasa tidak enak pada perut atau pembengkakan pada perut?
- Adakah Nyeri perut?
- Adahkah rasa lelah dan lemah badan?
- Adakah tanda-tanda seperti berkeringat terutama di malam hari atau demam?
- Adakah perubahan kulit ?
- Adakah penurunan berat badan yang signifikan?
- Adakah tanda- tanda perdarahan?
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Adakah riwayat gangguan hematologis seperti limfoma, leukemia?
- Adakah riwayat penyaki hati seperti sirosis hati?
Riwayat Penyakit Keluarga:
- Adakah riwayat keluarga yang mengalami suatu kelainan darah atau penyakit
keganasan darah?
Riwayat Obat-obatan:
- Adakah mengonsumsi obat-obatan tertentu untuk mengurangi gejala?
Riwayat Personal dan Sosial:
- Bagaimana napsu makan sehari-hari?

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi tingkat kesadaran pasien (tampak sakit ringan atau berat,
compos mentis/apati/somnolen/sopor/koma) dan Tanda tanda vital.Selanjutnya inspeksi
bagian kulit pasien apakah ada memar atau tanda-tanda pendarahan (ptekiae, ekimosis,
purpura). Pasien dengan keluhan lelah kronis wajib dilakukan pemeriksaan mata (khususnya
konjungtiva dan sclera) sebab kuat dugaan pasien mengalami anemia, sekaligus untuk
menyingkirkan differensial diagnosis kearah infeksi hepatobilier (sclera ikterik). Mungkin
juga terdapat pendarahan retina pada pemeriksaan funduskopi. Setiap pasien dengan keluhan
hipermetabolisme atau gangguan pada saluran pencernaan baik hanya perasaan tidak enak di
perut, nyeri, dan demam dilakukan palpasi hati dan limpa untuk mengetahui apakah ada
pembesaran atau tidak.3
3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan hematologi rutin,
Pemeriksaan hematologi rutin pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau
sedikit menurun yang menunjukkan adanya anemia ringan (Hb<11g/dl ), leukositosis antara
20-60.000/L. Persentasi eosinofil dan basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat
antara 500-600.000/L, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopeni walaupun
jarang. Sering juga ditemukan hiperurikemia akibat peningkatan pertukaran sel dan dapat
dicetuskan oleh terapi ototoksik. 1
Apus Darah Tepi
Pada LGK, eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga
persentasi eosinofil dan atau basofil.1
Apus sumsum tulang
Pada apus sumsum tulang terlihat adanya peningkatan kedapatan tulang (hiperseluler)
akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio myeloid terhadap eritroid pun juga
meningkat. Megakaryosit tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa
stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.1
Karyotipik
Karyotipik dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini
digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa
aberasi gen fusi BCR-ABL kromosom Philadelphia (Ph) ditemukan pada LGK adalah +8,
+9, +19, +21, i(17).1
Hasil pemeriksaan penunjang yang didapat adalah: Hb 9 g/dl, Hematokrit 27 %,
Leukosit 100.000/ul, Trombosit 250.000/ul, gambaran darah tepi ; mikrositik hipokrom,
ditemukan gambaran blas pada darah tepi 10%. Hasil hitung jenis leukosit: 1/0/68/3/25/3
Diagnosis banding
Leukemia limfositik kronik

Leukemia limfoid kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologic yang ditandai
oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang,
limfonodi, limpa hati dan organ lain. Lebih dari 17.000 kasus LLK baru di laporkan di
Amerika Serikat setiap tahunnya. Insidensi LLK lebih tinggi diantara kulit putih dari pada
kulit hitam. Kebanyakan pasien mamiliki ras kaukasia dan berpendapatan menengah. Insiden
LLK lebih tinggi pada laki-laki dari pada wanita dengan rasio laki-laki ; wanita adalah 1,7 : 1.
Risiko terjadinya LLK meningkat seiring bertambahnya usia, antara umur 50-72 tahun.
Pada

pemeriksaan

fisik

20-30%

pasien

tidak

menunjukan

kelainan

fisik.Limfadenopati adalah gejala yang paling sering ditemukan, didapatkan 87% pasien yang
simtomatik pada saat diagnosis. Sekitar 50% pasien mengalami limfadenopati atau
hepatoslenomegali. Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi
ukurannya. Splenomegali atau hepatomegali ditemukan 25-50% kasus. Infiltrasi pada kulit,
kelopak mata, jantung, paru dan saluran cerna umumnya jarang dan timbul pada akhir
perjalanan penyakit.
Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menunjukan gejala (asimtomatik).
Pada pasien dengan gejal, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan
berat badan, dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan
kemampuan berolahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang terjadi pada awal
penyakit tetapi semakin nyata sejalan perjalanan penyakit. Akibat penumpukan sel B
neoplastik, pasien yang asimtomatik pada saat diagnosis pada akhirnya akan mengalami
limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali. Cepat kenyang atau rasa tidak enak pada
abdomen dapat berhubungan dengan pembesaran limpa. Perdarahan atau petekie dapat
disebabkan oleh trombositopenia. Kelelahan dan keletihan dapat disebabkan karena anemia,
pada 10% pasien LLK didapatkan anemia hemolitik autoimun.
Penyebab masih belum diketahui, kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas
kromosom, onkogen dan retrovirus (RNA tumor viru). Protoonkogen Icr dan c- fgr yang
mengkode protein kinase tirosin diekpresikan pada limfosit yang terkenan LLK tetapi tidak
pada sel B murni yang normal. Saat ini pasien LLK didapatkan delesi homozigot dari region
genom telomerik gen retinoblastoma tipe-1 dl3s25. Hal ini menunjukan bahwa gen supresor
tumor baru terlihat dalam LLK. Sekitar 50% pasien LLK mempunyai abnormalitas sitogenik,
khususnya trisomi 12, kelainan kromosom 13 pada jalur q14 (lokasi gen supresor RB-1),
14q+, delesi kromosom 6 da 11.
Sebagian besar kasus terdiagnosis saat check-up medis rutin. Terdapat peningkatan
leukosit akibat adanya infeksi bakteri di awal, yang pada stadium lanjut justru menurun
5

akibat infeksi virus dan jamur. Leukositosis dengan jumlah absolute limfosit B klonal adalah
>5.000/L, 70-99% apusan darah tepi leukosit adalah limfosit kecil dan terdapat smudge
atau smear cell. Pemeriksaan imunofenotipe limfosit memperlihatkan bahwa sel-sel tumor
tampak seperti sel B (CD19+ di permukaan sel) yang relative matang dengan ekspresi IgM
atau IgD yang lemah. Sel ini terakumulasi di darah, SST, hati, limpa, dan kelenjar limfe
akibat meningkatnya pembentukan dan memanjangnya usia yang berkaitan dengan gangguan
apoptosis. Terjadi penurunan Ig serum yang semakin nyata pada tahap lanjut. meskipun
jarang, dapat ditemukan paraprotein.Mungkin terdapat gambaran anemia normositik
normokrom pada tahap lanjut akibat sel tumor yang menginfiltrasi SST atau hipersplenisme.
Sering terjadi autoimunitas terhadap system hematopoietic sehingga timbul anemia hemolitik
autoimun, trombositopeni imun, neutropeni dan aplasia SDM. Pada aspirasi SST
memperlihatkan elemen normal sumsum tulang digantikan oleh 25-95% limfosit.1
Mielofibrosis
Mielofibrosis idiopatik kronis juga disebut Myeloid Metaplasia Agnogenic (MMM),
merupakan salah satu dari kelainan mieloproliferatif. Kelainan mieloproliferatif saling terkait
secara klonal karena berasal dari sel batang hematopoietik dalam sumsum tulang yang
masing-masing dapat berubah menjadi yang lain. Mielofibrosis jarang dijumpai pada orang
berusia 65 tahun. Penyakit ini menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau
pembesaran mencolok limpa. Tanda utama mielofibrosis adalah fibrosis obliseratif sumsum
tulang yang berlangsung cepat. Mielofibrosis menekan hematopoesis sumsum tulang,
memnyebabkan sitopenia darah tepi dan hematologi ekstramedula neoplastik ekstensif di
limpa, hati dan kelenjar limfe.
Mielofibrosis timbul dengan gejala splenomegali yang semakin membesar, dan tandatanda kegagalan sumsum tulang yaitu anemia, infeksi, pendarahan. Terdapat fibrosis sumsum
tulang dan gambaran apus darah tepi leukoeritroblastik ditemukan adanya mielosit serta
eritrosit berinti. Pada awal perjalanan penyakit, sumsum tulang sering hiperselular. Seiring
dengan perkembangan penyakit, sumsum tulang menjadi hiposelular dan mengalami fibrosis
difus. Pada tahap lanjut penyakit, rongga sumsum tulang fibrotik dapat berubah seluruhnya
menjadi tulang osteoslerosi.
Secara histologis terjadi hematopoesis ketiga jalur, biasanya disertai oleh predominasi
megakariosit besar yang berkelompok-kelompok. Darah tepi memperlihatkan sejumlah
temuan khas pada mielofibrosis yang telah berkembang sempurna. Adanya prekursor
6

granulositik dan eritroid di darah tepi disebut leukoeritroblastosis. Sumsum tulang yang
fibrotik menyebabkan distorsi dan merusak membran progenitor eritroid di sumsum tulang
yang menyebabkan munculnya eritrosit.
Penyakit ini menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau pembesaran
mencolok limpa, menimbulkan perasaan penuh di kuadran kiri atas. Gejala nonspesifik,
seperti lelah, penurunan berat, dan keringat malam terjadi karena meningkatnya metabolisme
akibat peningkatan masa hematopoietik.1,4
Reaksi leukemoid
Reaksi leukemoid adalah leukositosis reaktif yang berlebihan yang biasanya ditandai
dengan adanya sel-sel imatur (misal mieloblas, promielosit, mielosit) dalam darah tepi.
Kadang-kadang terjadi reaksi limfositik juga. Penyebabnya antara lain adanya infeksi berat
atau kronik, hemolisis berat, atau kanker metastatic dan seringkali bermakna pada anak.
Proses eritropoiesis dan trombopoiesis normal. Perubahan granulosit seperti granulosit toksik
dan badan dohle ditambah aktivitas alkali fosfatase yang meningkat membantu membedakan
reaksi leukemoid dengan LGK.

Diagnosi kerja
Leukemia granulositik kronik
Manifestasi klinis yang dijumpai dari hasil anamnesis adalah rasa lemas, demam dan
keringat malam, juga sering merasa cepat kenyang dan begah membuat kita memikirkan
adanya infeksi atau keganasan. Namun riwayat batuk, nyeri berkemih, dan paparan radioaktif
disangkal semakin mengarahkan diagnosis kearah adanya keganasan darah. Belum lagi
ditambah dengan adanya anemia, splenomegali, leukositosis, dan sel blas mengarahkan
diagnosis kearah Leukimia Granulositik Kronik (LGK) dengan diagnosis banding
terdekatnya adalah reaksi leukemoid akibat suatu infeksi.
Diagnosis LGK bergantung pada hubungan mielopoiesis yang meningkat mencolok,
splenomegali dan adanya kromosom Philadelphia. Pemeriksaan apus darah tepi dan sumsum
tulang dapat menegakkan diagnosis dalam fase yang sesuai. Terkadang diperlukan juga
pemeriksaan konfirmasi seperti kajian sitogenik dengan adanya kromosom Philadelphia
t(9,22) pada 98% kasus, translokasi sebagian lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang
kromosom 9, dan gen gabungan BCR-ABL 1 pada pemeriksaan PCR (50% kasus).1
7

Epidemiologi
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada
dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia
40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di
Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima,
demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chernobil meledak.1
Etiologi
Tidak diketahui secara jelas penyebab terjadinya leukemia granulositik kronik.
Namun, diduga kuat ada kaitannya dengan gen BCR-ABL pada kromosom Ph yang
menyebabkan proliferasi berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis, dimana
klon-klon ini selain proliferasinya berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama
dibandingkan dengan sel nomral, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis, sehingga
dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya
mendesak sistem hematopoiesis lainnya. Adanya riwayat merokok meningkatkan
progresifitas fase LGK ke fase krisis blas dan juga pajanan radiasi dalam dosis besar dan
jangka waktu yang lama juga dapat menginduksi terjadinya LGK. 1
Gejala klinik
Perjalanan penyakit LGK umumnya kronik dengan lama penyakitnya bervariasi.
Berdasarkan hal tersebut, LGK dibagi menjadi 3 fase, yaitu: fase kronik, fase akselerasi, dan
fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien dalam keadaan
kronis, bahkan seringkali diagnosis LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat
persiapan pra operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi. Gejala awal
LGK pada fase kronik hampir sama seperti penyakit kronik lainnya yang memiliki
manifestasi yang tidak khas, seperti: rasa lemah, lelah badan (80%), penurunan berat badan
(60%), demam subfebril (10%), dan keringat malam (45%), dan cepat kenyang (40%) .
Semua keluhan tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel
leukemia. Pasien mungkin saja datang tanpa gejala dan ditemukan leukositosis berat
(100.000/L) tanpa gejala infeksi secara tidak sengaja (50% kasus) pada saat pemeriksaan
darah rutin, screening kesehatan untuk persiapan pra-operasi, atau mengeluhkan rasa tidak
enak di kuadran kiri atas, cepat kenyang akibat splenomegali yang mendesak lambung(40%).
Kadang juga timbul rasa nyeri seperti diremas di perut kanan atas (30%),perdarahan/ purpura
8

(35%), hepatomegali (60%) Splenomegali merupakan temuan fisik yang paling konsisten
(>95% kasus) pada pasien LGK.
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien memasuki fase akselerasi dengan ciri khas
leukositosis yang sulit dikontrol dengan obat-obatan mielosupresif, mieloblas di perifer
mencapai 15-30%, promielosit >30% dan trombosit <100.000/L. Pada fase ini diduga limpa
yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar (organomegali progresif),
keluhan anemia bertambah berat, dan mungkin terjadi pendarahan (ptekiae, ekimosis,
purpura) sehingga hasil laboratorium dapat terjadi trombositopenia atau trombositosis.1,6
Fase krisis blas (de novo blastic) berkaitan dengan gejala dan tanda leukemia akut
yang sering disertai penyakit ekstrameduler meliputi adanya lesi tulang dan pansitopenia.
Fase ini biasanya merupakan fase dengan gejala terburuk. Adanya sel blas pada darah tepi
dan sumsum tulang (SST) 20%, meliputi myeloid (terbanyak), erytroid, megakarioblastik
tergantung penampakan morfologi, sitokimia, dan immunologicnya.1,4
Patofiologi
Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan
proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-lon ini,
selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal,
karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah
terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.
Pemahaman mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan
gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi terapeutiknya. Oleh
akrena itu perlu diketahui sitogenetikd an kejadian di tingakt molekular.1,7

Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih
belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph
terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak tahun

1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada
kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.1
Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis
protein 210 kD yang berperan dalam lekemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABLBCR tidak diketahui.1
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian-varian ini dapat
terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya.
Varian lain juga daoat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11,
akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13 (Heim dan Mitelman, 1987), dengan sendirinya
protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.1
Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua
pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom
tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas
ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromi lengan panjang kromosom 17i(17)q.
Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam
patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16
dan gen Rb.1
Biologi Molekular pada Patogenesis LGK
Pada kebanyakan pasien LGK, patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di
daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr),
kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 201 kD,
selanjutnya ditulis p210BCR-ABL. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e1 yang
dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa p190. Saligo
dkk pada tahun 1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3 gen BCR antara e19e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai
micro bcr (-bcr). Melo (1997) menemukan bahwa 3 variasi letah patahan pada gen BCR ini
yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro (-bcr) ternyata berhubungan dengan
gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen BCR-nya di M-bcr
berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis
yang prominen, sedang patahan di -bcr berhubungan dengan netrofilia dan/atau
10

trombositosis. Pada dasarnya gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan
untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel
melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dan proliferasi sel-sel,
berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon
apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di
dalam sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik; sinyal ini
tentunya akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA,
sehingga terjadi proses kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.1,5

Penatalaksanaan
Farmakologi
Tujuan terapi adalah untuk mecapai remisi lengkap, baik hematologi, sitogenik,
maupun reaksi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologi digunakan obat-obatan yang
bersifat mielosupresif. Begitu tercapai, dilanjutkan dengan terapi interferon atau cangkok
sum-sum tulang dengan indikasi usia <60 tahun, ada donor yang cocok, dan termasuk
gologan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.Obat-obat yang digunakan pada LGK
adalah:1,6
Hydroxyurea (Hydrea)
Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK.
Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil.
Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah
pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia
aplastik dan fibrosis paru.
Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit >300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2.5
gram/hari.
Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit <8.000/ mm 3 atau trombosit
<100.000/mm3
Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan
neurotoksisitas.
Selama menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, leukosit, trombosit, fungsi
ginjal, fungsi hati.1,6

11

Busulfan (Myleran)
Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.
Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sampai 12mg/hari. Harus dihentikan bila
lekosit antara 10-20.000/mm3, dan baru dimulai kembali setelah lekosit >50.000/mm3.
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek
busuifan, sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya.
Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan disertai dengan alopurinol
dan hidrasi yang baik.
Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang berkepanjangan1,6
Imatinib Mesylate (Gleevec = Glyvec)
Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas
tirosin kinase dari fusi gen BCR-ABL.
Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral.
Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai
600mg/ hari bila tidak mencapai respons hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau
pernah mencapai respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik,
yakni Hb menjadi rendah dan/atau lekosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah
trombosit.
Dosis harus

diturunkan

apabila

terjadi

netropeni

berat

(<500/mm3)

atau

trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin.


Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 800mg/hari
(400mg b.i.d).
Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun sangat jarang.
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
Interaksi obat: ketokonazol, simvastatin dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib
mesilat.
Selain remisi hematologik, obat ini dapat menghasilkan remisi sitogenetik yang
ditandai dengan hilangnya/berkurangnya kromosom Ph dan juga remisi biologis yang
ditandai dengan berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein yang
dihasilkannya.1,6
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis
walaupun dapat mencapai remisi sitogenetik.
Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah
12

12 bulan terapi. Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi
adalah 3 juta IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon, sehingga
penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari.
Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian
interferon untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flue-like

syndrome.
Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan zidovudin dapat meningkatkan efek

toksik interferon.
Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan faal hati dan ginjal yang berat,
pasien epilepsi.1,6
Cangkok sumsum tulang
Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa cangkok sumsum
tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST
alogenik.
Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif.1

Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dari leukemia granulositik kronik bisa dikatakan tidak ada.
Kebanyakan komplikasi ditemukan akibat penatalaksanaan, yakni neurotoksisitas akibat
penggunaan hydroxyurea yang bersamaan dengan 5-FU; fibrosis paru, supresi sumsum
tulang, yang berkepanjangan, akibat penggunaan busulfan; reaksi hipersensitivitas akibat
penggunaan imanitib mesylate; flue like symptom akibat penggunaan interferon alfa 2a,
ataupun alfa 2b.1
Prognosis
Dahulu kelangsungan hidup pasien sekitar 3-5 tahun sejak diagnosis ditegakkan.
Sekarang dengan adanya uji klinis kombinasi hydrea dan IFN median kelangsungan hidup
menjadi 6-9 tahun. Meskipun Imatinib lebih memberikan hasil yang menjajikan, tetapi
median kelangsungan hidup masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih
berlangsung. Faktor yang dapat memperburuk prognosis pasien LGK adalah usia lanjut,
keadaan umum yang buruk, disertai gejala sistemik ditambah dengan hasil laboratorium yang
menunjukan adanya anemia, basofilia, eosinofilia, Ph-, BCR-ABL-. Terapinya lebih lama (>3
bulan) untuk mencapai remisi serta memerlukan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.2

13

Sebagian besar pasien LGK akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang
disebut krisis blastik. Gambarannya mirip dengan leukemia akut, yaitu produksi berlebihan
sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas dan promielosit, disertai produksi neutrofil,
trombosit, dan sel darah merah yang amat kurang.1,4
Kesimpulan
Leukemia Granulositik kronik merupakan salah satu penyakit yang disebabkan karena
gangguan sel sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang
(neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit
myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,
laki- laki 60 tahun ini menderita penyakit leukemia granulositik kronik.

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat peneribitan Departemen IPD-FKUI; 2014.h.267882,2693-98,2715-27.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006.h.70-1.
3. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaaan fisik dan riwayat kesehatan.Edisi ke 8. Jakarta:
EGC; 2009. h. 339-50
4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC;
2010.h.640-3.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2012.h.167-81.
6. Gan sulistia, Nafrialdi. Buku Farmakologi dan Terapi. Edisi 9.Jakarta : FK UI: 2009. Hal
743- 45
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.277-9.

14

Anda mungkin juga menyukai