Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AL-ISLAM KEMUHAMADIYAHAN

DASAR DASAR AKIDAH ISLAM

Di susun oleh :
1.
2.
3.
4.

Afriska Rinzani (212015219)


Muhammad Syahrul Ramadhon (2120152280)
Muhammad Sidik (212015235)
Dedek Suhendar (212015236)
Dosen : Febrianti, S.pd

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2015
PEMBAHASAN
1.Pengertian dan Landasan Aqidah

1.1 Pengertian Aqidah


Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata aqada - yaqidu aqdan yang berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk
menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah
adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan
mengandung perjanjian.
Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (tarif) antara lain:
1.Menurut Hasan al-Banna:
Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh
hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak
bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.1
2. Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum
(axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu
dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya
secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. 2
Untuk lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu dikemukakan beberapa
catatan tambahan:
1. Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang
dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri. Misalnya
anda melihat meja di hadapan mata, anda tidak lagi memerlukan dalil atau bukti
bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian itu
disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu dalil untuk orang yang belum
tahu teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat
umum dan terkenal maka tidak memerlukan lagi adanya dalil, misalnya sepeda
bannya ada dua sedangkan mobil bannya ada empat, tanpa dalil siapapun pasti
1Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 12Al-Banna,
Majmuatu ar-Rasail,(Muassasah ar-Risalah Beirut: tanpa tahun), h. 465

mengetahui hal tersebut. Hal inilah yang disebut badihiyah. Badihiyah adalah
segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah
sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak perlu pembuktian
lagi.
2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk
mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk
menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang
Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan
akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya wahyulah yang menunjukkan
kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum
seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu Syak (50%50% antara membenarkan dan menolak), kemudian Zhan (salah satu lebih kuat
sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkan), kemudian
Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena dalilnya lebih kuat,
tapi masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh), kemudian Ilmu/Yakin
(menerima salah satu dengan sepenuh hati karena sudah meyakini dalil
kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai ke ringkat ilmu inilah yang disebut
aqidah.
4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah seseorang
bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan
ketenangan jiwa karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan
keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah dengan orang yang tidak
pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka telah sukses karena berakhir
dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala yang
bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini
sekaligus dua hal yang bertentangan. Misalnya ada meyakini gula itu rasanya
manis, tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula itu rasanya asin,
tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis dan asin.

6.

Tingkat

keyakinan

(aqidah)

seseorang

tergantung

kepada

tingkat

pemahamannya terhadap dalil. Misalnya:


Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan informasi tentang
beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal tidak pernah berbohong.
Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan informasi yang sama
dari beberapa orang lain, namun tidak menutup kemungkinan bahwa anda akan
meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubuhat (dalil dalil yang
menolak informasi tersebut).
Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka bertambahlah
keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil
Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka keyakinan anda semakin
bertambah dan segala keraguan akan hilang bahkan anda tidak mungkin ragu
lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian anda sekalipun semua orang
menolaknya
Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan beasiswa maka
bertambahlah pengetahuan dan pengalaman anda tentang beasiswa yang diyakini
tadi.
1.2. Landasan Filosofis Aqidah Islam
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada AlQuran dan Sunnah.Allah mengutus (Rasul) yang membawa pesan dari-Nya untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia. Pesan Allah itu ditulis dalam Al-Kitab
(Al-Quran). Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada
manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti
hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur,
cermat dan berhati-hati. Yang menerima hikmah-hikmai inilah yang disebut
Hukuman atau Filosof.3
Berikut beberapa pendapat para filosof barat tentang Tuhan:

Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa
dan manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.
3 Drs. Edu Suresman, Aqidah Islam, (Malang: 1993), h. 1

Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan ia
mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar semua dan memikirkan
seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan kakuatan fikirNya.
Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk
memikirkan dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia. Jika
tidak begitu cobalah sebutkan padaku, hewan manakah yang dapat mengetahui
adanya Tuhan yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai sifat-sifat tinggi
seperti ini! Coba katakana hewan mana selain manusia yang dapat dibawa
akalnya menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?
Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab
kalau saya menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala sifat
kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu saya dijadikan oleh Dzat
yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu menjadikan saya mempunyai sifatsifat kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya dengan diri saya.
Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga diri
saya merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna. Dan Dzat
yang sempurna itu ialah Allah4
Mari kita kaji Al-Quran lalu kita perhatikan kandungannya, bahwa apa
yang dinyatakan oleh para filosof di atas, semakna dengan apa yang dinyatakan
oleh Allah di dalam Al-Quran:
Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari
setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!
Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia
berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh?"
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. [QS.36:77-79].

4 Ibid, h. 21

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan?


Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup
sesudah mati). [QS.86:5-8]
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa pada hakikatnya landasan aqidah Islam
adalah Al-Quran dan Sunnah.
1.3. Landasan Religius Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Artinya apa saja yang
disampaikan oleh Allah dalam Al-Quran dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya
wajib diimani (diyakini dan diamalkan).5
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi
memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba
(kalau diperlukan) membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan AlQuran dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa
kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu
menggapai sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan, saat ditanya, kekal [sesuatu
yang tidak terbatas] itu sampai kapan?, maka akal tidak akan mampu
menjawabnya karena akal itu terbatas.
Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak
mungkin ada peluang bagi seseorang untuk meragukannya. Dan untuk mencapai
tingkat keyakinan ini, aqidah Islam wajiblah bersumber pada dua warisan tersebut
[Al-Quran Hadits] yang tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Dan akal
bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada keraguan padanya.
Dengan kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan indikasinya
haruslah pasti dan meyakinkan, tidak mengandung sedikut pun keraguan. Jika kita
memandang Al-Quran dari segi wurud, maka ia adalah pasti lagi meyakinkan
karena telah ditulis selagi Rasulullah masih hidup dan juga dihafal serta sejumlah
besar sehabat yang mustahil mereka sepakat berdusta untuk memalsukannya. Dan
5 Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 6

juga karena itu, tidak pernah timbul perselisihan tentang kesahihan Al-Quran di
kalangan umat Islam sejak dahulu hingga sekarang.6Tidak pernah ada yang
berbeda pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan itu
mahakuasa.
Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia
mendorong manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan meninggalkan
perbuatan keji dan mungkar. Ia mengawal dan membimbing manusia ke jalan
yang lurus dan benar serta menjaganya untuk tidak tergelincir ke dalam lembah
kesesatan; dan juga menanamkan dalam dirinya kecintaan kepada kebenaran dan
kebaikan. Sesungguhnya hidayah Allah hanya diberikan kepada manusia yang
hatinya telah dimasuki iman.7
Allah berfirman dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi
hidayah kepada hatinya.
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur atau
cahaya yang menerangi hati dan sangat diperlukan oleh manusia dalam
kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati sangat gelap, sehingga akan sangat
mudah orang tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang yang berjalan pada
waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah terperosok ke dalam
lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang merupakan bangunan
bawah/fondasi utama dari kepribadian yang kukuh dan selalu mengawal serta
membuat hati agar selalu baik dan bersih, sehingga dapat memberi bimbingan
bagi manusia ke arah kehidupan yang tenteram dan bahagia.
2. RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT AQIDAH
ISLAM
1. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan
aqidah adalah:
6 Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta: 1997), h. 23
7

Ibid, h. 25

1.Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan


Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, afal
Allah dan lainnya.
2.Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mujizat, karamat dan lain
sebagainya.
3.Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4. Samiyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui
lewat Sami (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh,
akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.8
Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistimatika arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1.Iman Kepada Allah SWT.
2.Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain seperti Jin, Iblis dan
Syetan).
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4.Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5.Iman Kepada Hari Akhir.
6.Iman Kepada Takdir Allah.
2. Delapan Kaidah Aqidah
1.Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakin adanya, kecuali bila akal
saya mengatakan tidak berdasarkan pengalaman masa lalu.
Misalnya, bila saya untuk pertama kali melihat sepotong kayu di dalam
gelas berisi air putih kelihatan bengkok, atau melihat genangan air di tengah jalan
[fatamorgana], tentu saja saya akan membenarkan hal itu. Tapi bila terbukti
kemudian bahwa hasil penglihatan indera saya salah maka untuk kedua kalinya
bila saya melihat hal yang sama, akal saya langsung mengatakan bahwa yang saya
lihat tidak demikian adanya.
8 Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 5

2.Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga bias


melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita.
Banyak hal yang memang tidak atau belum kita saksikan sendiri tapi kita
meyakini adanya. Misalnya anda belum pernah ke Thailand, Afrika atau Yaman,
tapi anda meyakini bahwa negeri-negeri tersebut ada. Atau tentang fakta sejarah,
tentang Daulah Abbasiyah, Umayyah atau tentang kerajaan Majapahit, dan lainlain, anda meyakini kenyataan sejarah itu berdasarkan berita yang anda terima
dari sumber yang anda percaya.
3. Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa
menjangkaunya dengan indera anda.
Kemampuan alat indera memang sangat terbatas. Telinga tidak bisa
mendengar suara semut dari jarak dekat sekalipun, mata tidak bisa menyaksikan
semut dari jarak jauh. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memungkiri wujudnya
sesuatu hanya karena inderanya tidak bisa menyaksikannya.
4.Seseorang hanya bisa menghayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh
inderanya.
Khayal manusiapun terbatas. Anda tidak akan bisa menghayalkan sesuatu
yang baru sama sekali. Waktu anda menghayalkan kecantikan seseorang secara
fisik, anda akan menggabungkan unsur-unsur kecantikan dari banyak orang yang
sudah pernah anda saksikan.
5.Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan waktu.
Tatkala mata mengatakan bahwa tiang-tiang listrik berjalan waktu kita
menyaksikannya lewat jendela kereta api akal dengan cepat mengoreksinya. Tapi
apakah akal bisa memahami dan menjangkau segala sesuatu? Tidak. Karena
kemampuan akalpun terbatas. Akal tidak bisa menjangkau sesuatu yang tidak
terikat dengan ruang dan waktu.
6.Iman adalah fithrah setiap manusia.
Setiap manusia memiliki fithrah mengimani adanya Tuhan. Pada saat
seseorang kehilangan harapan untuk hidup, padahal dia masih ingin hidup,
fithrahnya akan menuntun dia untuk meminta kepada Tuhan. Misalnya bila anda

masuk hutan, dan terperosok ke dalam lubang, pada saat anda kehilangan harapan
untuk bisa keluar dari lubang tiu, anda akan berbisik Oh Tuhan!
7.Kepuasan materil di dunia sangat terbatas.
Manusia tidak akan pernah puas secara materil. Seorang yang belum punya
sepeda ingin punya sepeda. Setelah punya sepeda ingin punya motor dan
seterusnya sampai mobil, pesawat, dan lain lain. Bila keinginan tercapai maka
akan berubah menjadi sesuatu yang biasa, tidak ada rasa kepuasan pada
keinginan itu. Selalu saja keinginan manusia itu ingin lebih dari apa yang sudah di
dapatnya secara materil. Dan keinginan manusia akan dipuaskan secara hakiki di
alam sesudah dunia ini.
8.Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang
adanya Allah.
Jika anda beriman kepada Allah, tentu anda beriman dengan segala sifatsifat Allah, termasuk sifat Allah Maha Adil. Kalau tidak ada kehidupan lain di
akhirat, bisakah keadilan Allah itu terlaksana? Bukankah tidak semua penjahat
menanggung akibat kejahatannya di dunia ini? Bukankah tidak semua orang yang
berbuat baik merasakan hasil kebaikannya?. Bila anda menonton film, ceritanya
belum selesai tiba-tiba saja dilayar tertulis kalimat Tamat, bagaimana komentar
anda? Oleh sebab itu, iman anda dengan Allah menyebabkan anda beriman
dengan adanya alam lain sesudah alam dunia ini yaitu Hari Akhir.
3. Fungsi AqidahAqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan.
Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi
yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada
bangunan tanpa fondasi.9
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan
Muamalat, atau Aqidah Syariah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka
ketiga/keempat aspek tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain
saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan
melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan
9 Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 9

bermuamalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt
kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim memberi beras
kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu nilainya NOL di hadapan
Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu tidak punya landasan
aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal,
misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah
mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah, orang yang
menuhankan Allah dan sesuatu yang lain [uang misalnya] maka akan kelihatan
nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah dari bicaranya yang
seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa hidup,
atau dari perilakunya yang satu minggu sekali datang ke pohon besar dan berdoa
disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah
memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh.
Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah. Dalam
dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah bangunan itu lebih
besar tertanam di fondasi.10
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syariat/jasad kita tidak ada guna apa-apa.

KESIMPULAN

10 Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 9

Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai


fondasi. Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah
merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang
termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya
keyakinan maka materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan
oleh Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada AlQuran dan Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir
kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam
sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu
serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah
menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang
terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba (kalau diperlukan)
membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Quran dan Sunnah.
Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat
terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang
tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syariat/jasad kita tidak ada guna apa-apa.

DAFTAR PUSTAKA
Daudy ,Ahmad, Kuliah.Aqidah Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Hasan ,Al-Banna.Majmuatu ar-Rasail, Muassasah ar-Risalah Beirut, tanpa
tahun.3
Ilyas ,Yunahar, Lc,.Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta, LPPI, 1992.
Jabir ,Abu Bakar.Aqidah al-Mukmin, Cairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah,
1978.
Suresman,Edi Suresman.Aqidah Islam, Malang, IKIP, 1993.

Anda mungkin juga menyukai