Anda di halaman 1dari 4

INSTRUMEN POKOK HAK ASASI MANUSIA

Sekilas sejarah instrumen hak asasi manusia


Oleh : Bagya Agung Prabowo, SH, MHum
Latar Belakang
Ketentuan internasional tentang hak asasi manusia terdiri atas Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Kovenan Internasional Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenan on Economic, Social and Cultural
Rights), serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on
Civil and Political Rights) berikut dua opsional protokolnya. Namun sebelum kehadiran
instrumen-instrumen tersebut, sebenarnya gagasan mengenai hak asasi manusia telah
disebut-sebut dalam Kovenan Liga Bangsa-bangsa yang diantaranya menuju menuju
pada pembentukan Organisasi Buruh Internasional. Selain itu, pada Konferensi San
Fransisco 1945, yang diselenggarakan untuk merancang Piagam Perserikatan BangsaBangsa sebuah usulan "Deklarasi tentang Hak Esensial Manusia" juga telah diajukan,
namun tidak dibahas karena memerlukan pertimbangan yang lebih matang dari yang
mungkin dilakukan pada saat itu. Piagam tersebut secara jelas menyebutkan bahwa "
memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa dan agama (pasal 1
ayat 3). Ide untuk membuat "ketentuan internasional tentang hak asasi manusia" juga
dianggap oleh banyak pihak telah tersirat dalam piagam tersebut.
Komisi persiapan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang segera setelah mengadakan
pertemuan sidang Konferensi san Fransisco, merekomendasikan agar Dewan Ekonomi
Sosial dalam sidang pertamanya membentuk sebuah komisi untuk memajukan hak asasi
manusia, sebagaimana telah digambarkan dalam dalam pasal 68 Piagam PBB.
Berdasarkan inilah maka Dewan membentuk Komisi Hak Asasi Manusia di awal 1946.
Pada sidang pertamanya di 1946, Majelis Umum membahas sebuah rancangan Deklarasi
Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar dan menyampaikannya ke Dewan Ekonomi
Sosial "sebagai rujukan Komisi Hak Asasi Manusia agar dipertimbangkandalam
persiapannya membuat ketentuan inetrnasional tentang hak asasi manusia (resolusi
43(1)). Pada sidang pertamanya di awal 1947, Komisi meminta pejabat-pejabatnya untuk
merumuskan apa yang disebut sebagai "rancangan awal ketentuan internasional tentang
hak asasi manusia". Kemudian pekerjaan tersebut diambil alih oleh sebuah komite
perancang formal yang terdiri dari anggota Komisi dari delapan negara yang dipilih
dengan memperhatikan letak geografisnya.
Menuju Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Pada mulanya terdapat perbedaan pendapat tentang bentuk ketentuan instrumen hak asasi
manusia. Komite perancang memutuskan untuk menyiapkan dua dokumen yaitu: yang
pertama dibuat dalam bentuk deklarasi yang akan memuat prinsip-prinsip atau standarstandar umum hak asasi manusia; yang lainnya dalam bentuk konvensi yang akan
merumuskan secara khusus hak dan batasan-batasannya. Sehubungan dengan uitu,
Komisi menyampaikan rancangan pasal-pasal deklarasi internasional dan konvensi

internasional tentang hak asasi manusia kepada Komisi Hak Asasi Manusia. Pada
sidangnya yang kedua pada Desember 1947 Komisi memutuskan untuk menggunakan
istilah "Ketentuan internasional tentang hak asasi manusia" untuk rangkaian dokumen
yang tengah dipersiapkan dan membentuk tiga kelompok kerja yaitu: satu untuk
deklarasi, satu untuk konvensi (yang kemudian diganti menjadi kovenan) dan satu lagi
untuk penerapan. Komisi merevisi rancangan deklarasi pada sidangnya yang ketiga pada
Mei/Juni 1948 dengan memperhatikan komentar-komentar yang diterima dari berbagai
pemerintah. Akan tetapi komisi tidak memiliki waktu untuk membahas kovenan atau
masalah penerapannya. Oleh karena itu Deklarasi tersebut disampaikan melalui Dewan
Ekonomi Sosial kepada Majels Umum dalam pertemuannya di Paris.
Dengan resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948 majelis Umum menetapkan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai instrumen pertama hak asasi manusia.
Deklarasi ini oleh Majelis Umum PBB ditetapkan dan dicanangkan sebagai bentuk
standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara. Melalui Deklarasi ini
diharapkan adanya upaya-upaya pengajaran dan pendidikan untuk memajukan
penghormatan terhadap hak dan kebebasan inil; dan melalui upaya-upaya yang progresif,
baik di lingkungan nasional maupun internasional untuk menjamin pengakuan dan
pematuhannya secara universal dan efektif, baik di antara rakyat negara anggota sendiri,
maupun di antara rakyat yang berada di wilayah yang berada di wilayah hukumnya. Pada
awal ditetapkannya, 48 mendukung Deklarasi, tidak ada yang menentang dan 8 negara
tidak memberikan suara.
Dalam pernyataan setelah pemungutan suara, Ketua Majelis Umum PBB mengemukakan
bahwa penetapan Deklarasi ini merupakan "suatu pencapaian yang luar biasa, sebuah
langkah maju dalam proses evolusi yang besar". Peristiwa ini merupakan kesempatan
pertama dimana komunitas bangsa-bangsa yang terorganisir telah membuat Deklarasi
Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar. Instrumen tersebut didukung oleh otoritas
pendapat PBB secara menyeluruh. Dengan demkian, jutaan manusia akan merujuk
padanya untuk bantuan, pedoman maupun inspirasi.
Deklarasi ini terdiri dari Mukaddimah dan 30 pasal yang mengatur hak asasi manusia dan
kebebasan dasar, dimana semua laki-laki dan perempuan dimana saja di didunia
mempunyai hak atasnya tanpa diskriminasi. Pasal 1 yang meletakkan dasar filosofis
deklarasi ini menyebutkan bahwa: "semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama
dalam hak dan martabat. Mereka yang dikaruniai akal budi dan hati nurani dan harus
bersikap terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan". Dengan demikian
pasal tersebut telah mendefinisikan asumsi dasar Deklarasi: bahwa hak untuk kebebasan
dan persamaan merupakan hak yang diperoleh manusia sejak lahir dan tidak dapat
dicabut darinya; dan karena manusia merupakan makhluk rasional dan bermoral, ia
berbeda dengan makhluk lainnya di bumi dan karenanya berhak untuk mendapatkan hak
dan kebebasan tertentu yang tidak dinikmati makhluk lain.
Pasal 2 yang mengatur prinsip dasar dari persamaan dan non-diskriminasi sehubungan
dnegan hak asasi manusia dan kebebasan dasar melarang adanya "pembedaan dalam
bentuk apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat
yang berbedd, asal-usul bangsa atau sosial, harta, kelahiran dan status lainnya".
Pasal 3 yang merupakan tonggak pertama Deklarasi ini menyatakan bahwa hak untuk
hidup, kebebasan dan keamanan seseorang -- suatu yang esensial untuk pemenuhan hak
lainnya. Pasal ini memperkenalkan pasal 4 sampai 21 dimana hak sipil dan politik lainnya

diatur termasuk kebebasan dari perbudakan dan perhambaan; kebebasan dari hukuman
yang keji, tidak manusiawi dan atau merendahkan martabat; hak untuk diakui sebagai
pribadi di depan hukum dimanapun; hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang
efektif melalui peradilan; kebebasan dari penangkapan, penahanan atau pengasingan
sewenang-wenang; hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan dan peradilan
yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak.; hak untuk dianggap
tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya; kebebasan dari intervensi yang
sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat;
kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal; hak atas suaka; hak atas
kewarganegaraan; hak untuk menikah dan membangun keluarga; hak untuk memiliki
harta benda; kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama; kebebasan
berpendapat dan menyatakan pendapat; hak untuk berkumpul dan berserikat secara
damai; dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan mendapatkan akses
yang sama ke pelayanan publik di negaranya.
Pasal 22 sebagai tonggak kedua Deklarasi ini memperkenalkan pasal 23 hingga 27.
Dalam pasal-pasal ini dikemukakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yakni hak yang
berhak diperoleh setiap orang "sebagai anggota masyarakat". Pasal ini menandai hak
tersebut sebagai hak yang tidak dapat dikesampingkan bagi martabat manusia dan
kebebasan untuk mengembangkan kepribadian dan menunjukkan bahwa hak tersebut
diwujudkan "melalui upaya-upaya nasional dan kerjasama internasional". Pada saat yang
sama pasal ini juga mengungkapkan keterbatasan dalam perwujudannya yang tergantung
pada sumber-sumber yang dimiliki oleh masing-masing negara. Hak ekonomi, sosial dan
budaya yang diakui dalam pasal 22 hingga 27 mencakup hak atas jaminan sosial; hak
untuk bekerja; hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama dalam pekerjaan yang
sama; hak untuk beristirahat dan bertamasya; hak atas standar kehidupan yang memadai
untuk kesehatan dan kehidupan; hak atas pendidikan; hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan budaya suatu masyarakat.
Pasal-pasal penutup yaitu pasal 28 hingga 30 mengakui bahwa setiap orang berhak atas
ketertiban sosial dan internasional dimana hak asasi manusia manusia dan kebebasan
dasar yang dinyatakan dalam Deklarasi dapat diwujudkan sepenuhnya, dan menekankan
kewajiban dan tanggung jawab setiap individu terhadap masyarakatnya. Pasal 29
menyatakan bahwa "dalam melaksanakan hak dan kebebasan-kebebasannya setiap
manusia hanya tunduk pada pembatasan-pembatan yang ditetapkan oleh hukum yang
semata-mata bertujuan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi
hak dan kebebasn orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan moralitas, ketertiban
umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis". Pasal
tersebut menambahkan bahwa hak sasi manusia dan kebebsan dasar tidak dapat
dilaksanakan apabila bertentangan dengan tujuan dan prinsip dari PBB. Sementara itu,
pasal 30 menekankan bahwa tidak ada satu negara, kelompok atau orang manapun yang
dapat menggunakan hak apapun dalam Deklarasi "untuk melakukan kegiatan atau
melaksanakan tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebsana yang
dikemukakan dalam deklarasi".
Kovenan Internasional

Pada hari yang sama dengan ditetapkannya Deklarasi Universal, Majelis Umum meminta
kepada komisi Hak Asasi manusia untuk menyiapkan prioritas, sebuah rancangan
kovenan hak asasi manusia dan rancangan upaya-upaya penerapannya. Komisi
memeriksa teks rancangan kovenan pada 1949 dan pada tahun berikutnya Komisi
merevisi 18 pasal pertama, berdasarkan komentar-komentar yang diterima dari berbagai
pemerintah. Pada tahun 1950, majelis umum menyatakan bahwa "penikmatan kebebasan
sipil politik serta hak ekonomi sosial dan budaya adalah saling berhubungan dan saling
tergantung" (resolusi 421 (V) ayat E). Oleh karena itu Majelis memutuskan untuk
memasukkan hak ekonomi \, sosial dan budaya dan pengakuan yang tegas antara laki-laki
dan perempuan dalam hak yang berkaitan, sebagaimana yang tercantum dalam Piagam,
ke dalam Kovenan hak asasi manusia. Pada tahun 1951, Komisi merancang 14 pasal
tentang hak ekonomi sosial dan budaya berdasarkan usulan yang dibuat oleh berbagai
pemerintah dan saran yang diberikan oleh badan khusus. Komisi juga merumuskan 10
pasal tentang langkah-langkah penerapan hak tersebut yang menjadi dasar negara peserta
kovenan untuk menyampaikan laporan berkalanya.
Setelah perdebatan yang panjang dalam sidangnya yang ke-6 pada tahun 1951/1952
Majelis umum meminta kepada Komisi untuk "merancang dua Kovenan tentang hak
asasi manusia, satu memuat hak sipil dan politik dan yang lain memuat hak ekonomi
sosial dan budaya" (resolusi 543 (VI) paragraf 1). Mejelis menghendaki agar kedua
kovenan tersebut sebanyak mungkin memuat ketentuan yang serupa. Majelis juga
memutuskan untuk memasukkan sebuah pasal yang menyatakan bahwa "semua bangsa
harus memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri" (resolusi 545 (VI)).
Komisi menyelesaikan persiapan kedua rancangan paa sidangnya yang ke-9 dan ke-10
pada 1953 dan 1954. Majelis Umum menelaah kedua teks tersebut pada sidangnya yang
ke-9 tahun 1954, dan memutuskan agar rancangan tersebut disebarluaskan, sehingga
pemerintah-pemerintah dapat mempelajarinya secara seksama dan masyarakat umum
dapat menyatakan pendapatnya dengan bebas. Majelis merekomendasikan agar komite
ketiga mulai mendiskusikan teks tersebut pasal perlindungan hukum pasal dalam
sidangnya yang ke-10 pada 1955. Walaupun diskusi setiap pasal dimulai sesuai jadwal
baru pada tahun 1966 persiapan kedua kovenan dapat diselesaikan.
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum UII dan Pengampu Mata Kuliah Civic
Education pada Fakultas Kedokteran UII

Anda mungkin juga menyukai