Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus
terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Eurasia
bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia bergerak relatif ke arah
timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis
jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Semangko. Di sebelah utara Aceh, terdapat proses
pemekaran lantai samudra (garis merah). Hal tersebut terjadi sebagai bagian dari
proses Escape Tectonics akibat tumbukan Lempeng Anak Benua India terhadap Lempeng
Eurasia. Di sebelah utara Papua juga terbentuk zona penunjaman akibat tumbukan Lempeng
Samudra Pasifik terhadap Lempeng India-Australia. Pada bagian Kepala Burung, Papua, ini
juga terbentuk sesar mendatar (garis warna jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Sorong.
Zona penunjaman (warna hijau) yang terbentuk di Samudra Pasifik umumnya sebagai akibat
benturan Lempeng Samudra Pasifik dengan Lempeng Eurasia. Sedangkan zona pemekaran
(warna merah) sebagai akibat ikutan proses Escape Tectonics setelah terjadinya tumbukan.
Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng
telah lama dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di
Indonesia dilakukan oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975,
1978, 1980). Secara setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk
menjelaskan gejala geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak
(1986)
menerapkannya
untuk
memahami
keruwetan
Sulawesi.
Sartono
(1990)
mengemukakan bahwa tatanan tektonik Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh
tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur geosiklin ini merupakan zona akibat proses
tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua yang bekerja pada waktu itu terdiri dari
kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak samudra
Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur
geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat
dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Tatanan tektonik Indonesia bagian
barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur.
Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang
relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta
peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi Indonesia Barat
(Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara keberadaan benua
mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram
dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia
bagian timur.