Anda di halaman 1dari 14

Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013, pp. 100 111.

An exploration of metacognition and its effect on mathematical


performance in differential equations
Mary Jarratt Smith
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah tingkat kesadaran metakognitif memberikan
pengaruh terhadap kemampuan akademik (Shraw & Dennison, 1994;. Md Yunus & Ali,
2008). Penelitian ini membahas tingkat metakognitif untuk dua kelas yang telah mempelajari
persamaan diferensial. Siswa menyelesaikan survei yang diadaptasi dari Metacognitive
Awareness Inventory (MAI) (Shraw & Dennison, 1994) pada awal pembelajaran. Dari hasil
pertanyaan yang dipilih dari MAI menunjukkan terdapat tiga komponen pengetahuan siswa
tentang kognisi mereka yaitu: pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan kondisional. Analisis menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam
pembelajaran yang diukur dengan tingkat kelas, tidak dapat diprediksi oleh tingkat kesadaran
metakognitif.
Kata Kunci : Metakognisi, MAI, Persamaan Diferensial
I. Pendahuluan
Metakognisi adalah kemampuan seseorang untuk memahami bagaimana proses
berpikir, merefleksikan pemikiran, dan mengendalikan belajar berdasarkan pemahaman
dan refleksi pemikirannya (Shraw & Dennison, 1994). Flavell (1976) menganggap
metakognisi adalah remembering to remember, dan juga monitoring and updating
knowledge. Cross dan Steadman (1996) menyatakan bahwa, jika seseorang mengetahui
tentang kekuatan dan kelemahannya, ia dapat mengambil langkah-langkah berikutnya
berupa langkah metakognitif yaitu perencanaan bagaimana memahami masalah,
memeriksa pemahaman, dan bagaiamana cara belajar. Langkah-langkah ini telah
dijelaskan oleh Nelson dan Narens (1990, 1994) sebagai sistem metakognitif dengan dua
tingkat dasar yaitu the meta-level and the object-level. Arus informasi antara tingkat
untuk memantau proses belajar seseorang (object-level untuk meta-level) dan mengontrol
apa yang dilakukan seseorang untuk meningkatkan pembelajaran (meta-level untuk
object-level) mereka. Proses arus informasi dalam sistem metakognitif juga bisa
dianggap sebagai pengetahuan tentang kognisi (monitor) dan regulasi kognisi (kontrol)
(Shraw & Dennison, 1994).
Dalam konsep self-regulated, seseorang memantau proses belajarnya dengan
menggunakan berbagai penilaian metakognitif (misalnya, Ease of Learning (EOL),
Judgments of Learning (JOL), Feeling of Knowing (FOK)) (Dunlosky, Serra, & Baker,
2007). Kemudian siswa memutuskan (atau menggunakan kontrol) untuk terus belajar

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

berdasarkan pada penilaian yang dibuatnya. Dalam model hirarkis yang diusulkan oleh
Theide dan Dunlocky (1999) siswa mengatur pembelajaran mereka melalui perencanaan
dan penetapan tujuan. Dalam model ini, siswa menetapkan tujuan yang tinggi atau
rendah didasarkan pada berapa banyak mereka merasa perlu menguasai dan
merencanakan waktu belajar untuk mencapai tujuan yang diabuatnya. Dalam model lain,
Region of Proximal Learning, oleh Metcalfe dan Kornell (2004) siswa mengatur
pembelajaran mereka melalui memilih apa yang akan mereka pelajari, kemudian berhenti
mempelajarinya ketika mereka merasa bahwa mereka tidak lagi perlu belajar tentang hal
tersebut. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa tidak semua siswa menggunakan
pengetahuan metakognitif untuk mengontrol proses belajaranya (Son & Metcalfe, 2000)
atau mungkin siswa tidak sadar telah menggunakan pengetahuan metakognitif untuk
meningkatkan pembelajarannya (Reder & Schunn, 1996; Siegler & Shipley, 1995).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa siswa yang Menyadari Metakognitif
memiliki kemampuan akademik yang lebih baik. Schraw and Dennison (1994)
menciptakan Metacognitive Awareness Inventory (MAI) yang dapat digunakan untuk
meneliti kesadaran metakognitif dan dianggap cocok digunakan untuk anak-anak dan
orang dewasa. Schraw and Dennison menguji instrumen mereka pada beberapa
mahasiswa pengantar psikologi pendidikan di Midwestern University. Schraw dan
Dennison menyimpulkan, bahwa siswa dengan nilai yang tinggi pada inventory juga
mendapat nilai tinggi pada ujian reading comprehension. Peneliti lain, Md.Yunus dan Ali
(2008), menggunakan MAI untuk meneliti mahasiswa Pendidikan Matematika tingkat
akhir di sebuah Universitas di Malaysia. Penelitian mereka mempelajari hubungan antara
metakognisi, jenis kelamin dan IPK kumulatif mahasiswa. Temuan mereka menunjukkan
bahwa pengetahuan prosedural, deklaratif, dan pengetahuan kondisional (yaitu,
komponen pengetahuan tentang kognisi (Shraw & Dennison, 1994)) memiliki "hubungan
yang signifikan terhadap kinerja dalam matematika dan kinerja secara keseluruhan
akademis dan bahwa "tingkat metakognitif dapat memprediksi prestasi siswa sampai
batas tertentu.
Penelitian lain menunjukan bahwa ketika seseorang memiliki tingkat kesadaran
metakognitif yang tinggi tidak menyebakan perolehan nilai yang tinggi pula secara
akademis. Pressley dan Ghatala (1990) meneliti mahasiswa di tingkat universitas
dan di tingkat sekolah dasar sehubungan dengan reading comprehension. Siswa di kedua
tingkat ini diminta untuk membaca sesuatu dan menilai kemampuan mereka pada
pertanyaan tentang bacaan tersebut. Dalam berbagai percobaan di tingkat SD dan
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

universitas mereka menemukan bahwa "banyak dari kognisi tidak efisien dan meskipun
siswa mungkin memantau apa yang mereka pelajari, pemantauan yang rendah
memberikan

kontribusi

terhadap

pemahaman

yang

buruk. Penelitian

mereka

menunjukkan bahwa siswa harus baik dalam menyadari metakognitif dan mahir dalam
menerapkan kesadaran ini di mereka belajar.
Penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa siswa terlibat dalam proses-proses
metakognisi yang akan membantu mereka menjadi sukses di pemecahan masalah.
Schoenfeld (1992) meneliti bagaimana siswa bekerja melalui masalah yang tidak akrab
dengan mereka dan menemukan bahwa banyak yang sangat sedikit atau tidak ada waktu
perencanaan

selama

pemecahan

masalah.

Siswa

akan

memahami

masalah,

mempertimbangkan beberapa metode penyelesaian masalah dan menggunakannya tanpa


memperhatikan apakah itu mengarahkan mereka pada solusi. Stillman dan Galbraith
(1998) mengidentifikasi bahwa siswa juga kurang perencanaan dalam penelitiannya.
Schoenfeld (1985) juga menemukan bahwa siswa, ketika mereka mengetahui bahwa
strategi yang digunakan tidak bekerja, siswa langsung berhenti dan tidak menggunakan
strategi tersebut sebagai pelajaran untuk pindah ke strategi lain.
Berbagai peneliti lain juga telah menyatakan bahwa pentingnya perencanaan dalam
pemecahan masalah. Lester (1982) menyatakan bahwa untuk menjadi masalah sukses
dalam pemecahan masalah seseorang perlu tahu dan memahami kognisi dirinya sendiri
dan dapat memantau proses berpikirnya selama pemecahan masalah. Perak (1982, 1987)
menunjukkan

bahwa

strategi

yang

digunakan

untuk

memecahkan

masalah

adalah metakognitif dan membimbing bagaimana prosesnya berlangsung. Khususnya


keyakinan seseorang tentang belajar matematika dapat sangat mempengaruhi bagaimana
seseorang memecahkan masalah matematika. Veenmen (2006) menyatakan bahwa
awalnya dalam proses pemecahan masalah matematika, keterampilan metakognitif lebih
penting

daripada

kemampuan

intelektual

dan

ketika

siswa

membutuhkan

"adequate repertoire" dari keterampilan metakognitif untuk memastikan keberhasilan


dalam pemecahan masalah.
II. Rumusan Masalah
Selama bertahun-tahun penulis telah mengamati beberapa siswa yang mengatur
proses belajarnya secara sadar, sistematis menggunakan waktu dan pengalamannya.
Sebagian dari para siswa ini memiliki kemampuan sangat baik, sedangkan siswa lainnya
tidak. Sebaliknya, beberapa siswa yang tidak mengatur belajarnya memiliki kemampuan
yang baik. Pengamatan yang bertolak belakang ini menyebabkan penulis ingin
menyelidiki bagaimana pengetahuan siswa tentang kognisnya terkait dengan
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

kemampuannya, jika diukur dengan tingkat kelas, dalam meteri persamaan diferensial.
Secara khusus, penulis tertarik mengetahui pengetahuan deklaratif (mengetahui apa yang
penting untuk belajar), pengetahuan prosedural (pemahaman bagaimana menggunakan
strategi dari pengalaman masa lalu), dan pengetahuan kondisional (mengetahui kapan
strategi digunakan dan strategi apa yang paling efektif). Penulis merasa bahwa
keberhasilan siswa diperoleh jika mereka menyadari apa yang dipelajarinya,
menggunakan

kemampuan

metakognitif

sementara

yang

tidak

menggunakan

kemampuan metakognif tidak berhasil.


Penelitian ini difokuskan pada mahasiswa yang telah mempelajari persamaan
diferensial, materi yang mensyaratkan mahasiswa telah menyelesaikan dua semester
prasyarat kalkulus. Penulis telah mengajarkan persamaan diferensial selama 25 tahun,
yang sebagian besar telah melibatkan sekitar 35 mahasiswa untuk setiap tahun. Pada
musim semi tahun 2010 dan musim semi 2011, percobaan versi "large sections"
(masing-masing 89 mahasiswa dan 120 mahasiswa) pada persamaan diferensial untuk
jurusan teknik. Materi ini menjadi fokus penelitian ini. Penelitian ini difokuskan pada
masalah penelitian sebagai berikut:
Apakah mahasiswa dengan

tingkat

kesadaran

metakognitif

dapat

memprediksi kemampuan mereka pada pembelajaran jika dilihat dari


tingkat kelas pada meteri persamaan diferensial?
III.Metode
Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa dari dua Universitas dengan tingkat
pemula dalam mempelajari persamaan diferensial dari semester yang berbeda, yang
sebagian besar adalah mahasiswa teknik. Nelson dan Narens (1990) menyarankan, alat
utama

untuk

menghasilkan

data

tentang

metakognisi

seseorang

adalah dari laporan mereka sendiri tentang pemikiran mereka. Oleh karena itu, tingkat
metakognitif siswa dinilai dengan menggunakan survei. Survei ini diadaptasi dari
Metacognitive Awareness Inventory atau MAI, (Shraw & Dennison, 1994) yang dianggap
sebagai ukuran yang dapat diandalkan untuk mengetahui pengetahuan kognisi seseorang
(Sanchez-Alonso & Vovides, 2007). Survei ini menggunakan bagian dari 17 pertanyaan
yang lebih khusus untuk tiga bidang pengetahuan yang penulis maksudkan untuk belajar.
Setiap pertanyaan yang diajukan, siswa diminta untuk menunjukkan persepsi mereka
tentang

kebenaran

pernyataan

dengan

skala

kontinu

dari

100, skala nol sesuai dengan benar-benar palsu dan 100 sesuai dengan sepenuhnya benar.
Nilai pada survei diterjemahkan ke skala 0 sampai 10 untuk analisis. Hasil survei (lihat
Lampiran) dipasangkan dengan notasi yang ditambahkan untuk menunjukkan bagaimana
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

pertanyaan dihubungkan dengan bidang pengetahuan yang diuji (seperti yang


ditunjukkan dalam MAI). Survei ini diberikan pertama dalam dua minggu dalam satu
semester dan dihitung sebagai salah satu tugas pekerjaan rumah.
Dalam analisis di bawah ini, hanya data dari siswa yang selesai kursus yang
dimasukkan (70 mahasiswa dari musim semi 2010 (Kelas 1) dan 105 mahasiswa dari
musim semi 2011 (Kelas 2)). Siswa menyetujui dijadikan subjek dalam penelitian ini dan
metodologi penelitian telah disetujui oleh universitys Institutional Review Boardn.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis membandingkan nilai sumatif pada
revisi instrument MAI menggunakan pembagian selang yang sama untuk menunjukkan
tingkatan rendah, sedang, dan tinggi dari kemampuan metakognisi. Data dibandingkan
menggunakan statistik deskriptif. T-tes berpasangan digunakan untuk menghitung
perbedaan rata-rata dari data. Perhitungan Cohens D digunakan untuk menentukan
berapa besar pengaruh perbedaaan rata-rata. Tes Mann-Whitney digunakan untuk
menentukan signifikansi antar median dari data. F-test dua sampel digunakan untuk
menentukan perbedaan antar varians dari data.
IV. Hasil
Untuk mendapatkan tingkatan dari kemampuan metakognisi mahasiswa ketika
mereka mempelajarai persamaan diferensial, data survei dari tiap kelas digabungkan dan
selanjutnya nilai metakognisi ditentukan. Nilai metakognisi sumatif yang dibagi menjadi
tiga kategori yang menunjukkan tingkatan rendah, sedang, dan tinggi dari kemampuan
metakognisi untuk tiga kategori metakognisi yang diperiksa. Tabel 1 memberikan
persentase siswa untuk kelas yang telah dikombinasikan dengan nilai di setiap kategoris.

Table 1. Kategori Rendah, Sedang, dan Tinggi dari Nilai Metakognisi Sumatif dengan
Persentase Mahasiswa di Setiap Kategori (175 Mahasiswa)

Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

Pertanyaan Penelitian: Apakah siswa dengan kesadaran tingkat metakognitif dapat


memprediksi kemampuan mereka dalam pembelajaran, yang diukur dengan tingkat
kelas, pada materi persamaan diferensial?
Penelitian ini dipelajari untuk memperhitungkan perbedaan tingkatan dari dua
kelas. Mahasiswa yang mendapat nilai F adalah mahasiswa yang tidak selesai dalam
mata kuliah persamaan diferensial dan tidak dimasukan dalam penelitian karena jumlah
kecil (4 mahasiswa di Kelas 1 dan 2 mahasiswa di Kelas 2).
Gambar 1 sampai 3 menunjukkan persentase siswa, dengan tingkatan yang
diterima di kelas yaitu tingkat rendah, sedang, dan tinggi untuk setiap kategori
metakognisi yang diteliti untuk kedua kelas. (Kisaran nilai untuk kategori seperti yang
tercantum dalam Tabel 1.)
Untuk masing-masing kelas, t-tes digunakan untuk membandingkan rata-rata dari
nilai metakognitif antara siswa dengan nilai yang berbeda. Hasil menunjukan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan di Kelas 1. Dalam Kelas 2 perbedaan
signifikan yang ditemukan antara mahasiswa yang memperoleh nilai B dalam mata
kuliah dan mahasiswa yang memperoleh nilai C dalam mata kuliah di kategori
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan kondisional metakognisi. Kelas 2 juga
menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk rata-rata di semua kategori metakognitif
ketika membandingkan mahasiswa yang memperoleh nilai C dan mahasiswa yang
memperoleh nilai D. Tabel 2 dan 3 menunjukan hasil tersebut.

Gambar 1. Persentase Tingkat Rendah, Sedang dan Tinggi dalam Pengetahuan


Deklaratif Metakognisi Berdasarkan Tingkat Kelas.

Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

Gambar 2. Persentase Tingkat Rendah, Sedang dan Tinggi dalam Pengetahuan


Prosedural Metakognisi Berdasarkan Tingkat Kelas.

Gambar 3. Persentase Tingkat Rendah, Sedang dan Tinggi dalam Pengetahuan


Kondisional Metakognisi Berdasarkan Tingkat Kelas.

Tabel 2. Hasil dari T-Test dan Cohens D untuk rata-rata nilai metakognitif dari siswa
yang memperoleh nilai B dan C di Kelas 2

Tabel 3. Hasil dari T-Test dan Cohens D untuk rata-rata nilai metakognitif dari siswa
yang memperoleh nilai C dan D di Kelas 2 ( 34 mahasiswa memperoleh nilai
C dan 15 mahasiswa memperoleh nilai D)

Test Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan median dari nilai


metakognisi untuk setiap kelas antara siswa dengan nilai yang berbeda dalam mata
kuliah dan hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara Kelas 1.
Sedangkan untuk kelas 2 memiliki perbedaan yang signifikan di semua kategori
metakognisi antara mahasiswa yang memperoleh nilai C dan D. Tabel 4 menunjukan
hasil tersebut.
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

Tabel 4. Hasil dari Mann-Whtney untuk median nilai metakognitif dari siswa yang
memperoleh nilai C dan D di Kelas 2 ( 34 mahasiswa memperoleh nilai C
dan 15 mahasiswa memperoleh nilai D)

Karena mahasiswa dengan nilai D memiliki tingkat metakognitif lebih tinggi dari
pada mahasiswa dengan nilai C di Kelas 2, maka nilai untuk kalkulus I dan kalkulus II
mahasiswa dengan nilai C dan D dibandingkan untuk menentukan apakah mahasiswa
dengan nilai C yang mengikuti kuliah persamaan diferensial memiliki pengetahuan yang
lebih tinggi dari mahasiswa dengan nilai D, yang mengindikasikan bahwa pengetahuan
sebelum mungkin memberikan efek lebih besar pada kemampuan metakognitif. Hasilnya
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam nilai rata-rata
mahasiswa yang memperoleh nilai C dan mahasiswa yang memperoleh nilai D. Namun,
mahasiswa yang memperoleh nilai D memiliki rata-rata lebih tinggi dalam kalkulus I,
sedangkan mahasiswa dengan nilai C memiliki rata-rata statistik yang lebih tinggi di
kalkulus II. Tabel 5 menunjukkan hasil tersebut. Dalam perhitungan nilai rata-rata untuk
mahasiswa dengan nilai C di kalkulus I, tiga mahasiswa tidak dimasukkan karena mereka
mengikuti mata kuliah kalkulus I menggunakan hasil ujian AP atau sesuatu yang serupa.
Kelas rata-rata didasarkan pada skala kelas 4 titik.
Tabel 5. Hasil dari T-Test dan Cohens D untuk rata-rata nilai metakognitif dari siswa
yang memperoleh nilai C dan D di Kelas 2 pada Mata Kuliah Kalkulus I ( 31
mahasiswa memperoleh nilai C dan 15 mahasiswa memperoleh nilai D),
Mata Kuliah Kalkulus II( 34 mahasiswa memperoleh nilai C dan 15
mahasiswa memperoleh nilai D)

Karena Kelas 1 tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam skor metakognitif
baik dalam nilai rata-rata maupun median antara siswa dengan nilai yang berbeda dalam
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

kuliah dan Kelas 2 juga, maka kedua kelas dibandingkan untuk melihat apakah ada
pengetahuan tentang dirinya akan timbul. Ketika membandingkan kelas dengan tingkatan
nilai di kelas dengan nilai pada mata kuliah kalkulus, tidak ada perbedaan signifikan
yang ditemukan. Ketika kelas dibandingkan dengan tingkatan nilai di kelas dan skor
metakognitif mereka, satu-satunya perbedaan yang signifikan terjadi antara mahasiswa C
pada kemampuan deklarif metakognisi mereka, dengan kelas 2 memiliki skor
metakognitif lebih tinggi ( =0,0147 , d=0,659 , Effect 0,2669 ) .

V. Diskusi
Penelitian ini melihat tingkat metakognitif untuk dua kelas pada mata kuliah
persamaan diferensial. Kelas digabungkan untuk mendapatkan tingkatan dari
kemampuan metakognitif mahasiswa saat mereka mempelajari persamaan diferensial.
Kelas-kelas yang digunakan dianggap bahwa mahasiswanya dengan tingat kemampuan
metakognitif dapat memprediksi kemampuannya dalam pembelajaran.
Skor metakognisi untuk semua siswa dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga
kategori yaitu tingkat rendah, sedang, dan tinggi untuk kemampuan metakognisi dalam
tiga kategori metakognisi yang ingin diperiksa. Meskipun mayoritas mahasiswa berada
di sub interval sedang untuk semua kategori, lebih dari 40% dari mahasiswa di kategori
tinggi untuk kemampuan prosedural metakognisi (memahami bagaimana menggunakan
strategi

masa

lalu)

dan

hampir

40%

dari

siswa

di

kategori

tinggi

untuk pengetahuan kondisional metakognisi (mengetahui strategi mana yang paling


efektif).
Pengetahuan itu akan muncul jika mahasiswa yang mengikuti kuliah persamaan
diferensial telah memiliki kesadaran metakognisi.
Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam rata-rata dan median nilai
metakognitif untuk siswa kelas 1 dengan nilai yang berbeda. Namun, analisis statistik
menunjukkan bahwa mahasiswa dengan nilai B dan C di Kelas 2 memiliki perbedaan
secara signifikan dalam nilai metakognitif, ini berarti mereka mengetahui apa yang
penting untuk belajar (pengetahuan deklaratif), dan mengetahui strategi apa yang paling
efektif (pengetahuan kondisional), dengan siswa B memiliki nilai r ata-ratayang lebih
tinggi.
Untuk mahasiswa dengan nilai C dan D siswa dari kelas 2 juga memiliki rata-rata
dan median nilai metakognitif yang berbeda secara signifikan di semua kategori
metakognisi, dengan mahasiswa dengan nilai D memiliki rata-rata dan median yang lebih
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

tinggi. Ketika mencoba untuk menjelaskan ketidakkonsistenan yang terjadi, maka


pengetahuan dari kalkulus I dan kalkulus II dilihat, berdasarkan nilai yang diterima di
setiap mata kuliah, ditemukan bahwa mahasiswa dengan nilai D pada mata kuliah
persamaan diferensial memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dalam nilai kalkulus I
dan mahasiswa dengan nilai C pada mata kuliah persamaan diferensial memiliki nilai
signifikan yang lebih tinggi dalam kalkulus II.
Ketika membandingkan mahasiswa yang memperoleh nilai C untuk kelas 1 dan
kelas 2 diperoleh perbedaan secara signifikan untuk nilai pengetahuan deklaratif
metakognisi. Sedangkan untuk semua perbandingan lain, antara nilai yang diperoleh
dalam kuliah dengan nilai metakognisi atau dengan nilai yang diperoleh dalam mata
kuliah kalkulus secara signifikan tidak memiliki perbedaan. Dengan analisis yang
dilakukan, tidak ada alasan yang menunjukkan mengapa tingkatan kelas memiliki tingkat
metakognitif berbeda.
Hal ini terlihat dari hasil di atas bahwa akan sulit untuk memprediksi kemampuan
siswa dalam pembelajaran, yang diukur dengan tingkat kelas dalam kuliah, dengan
mempertimbangkan pengetahuandeklaratif, prosedural, dan kondisional metakognisi
mereka. Meskipun tampaknya masuk akal bahwa mahasiswa dengan nilai B akan
memiliki tingkat metakognitif lebih tinggi dari mahasiswa yang memperoleh nilai C
(seperti yang terlihat di Kelas 2), tetapi tidak selalu seperti itu untuk mahasiswa yang
memperoleh nilai lain di kelas 2. Bahkan, mahasiswa yang memperoleh nilai D (Kelas 2)
memiliki metakognitif lebih tinggi dari mahasiswa yang memperoleh nilai C. Hasil
penelitian ini bertentangan dengan hasil dari penelitian lain yang menggunakan
MAI instrumen pada mahasiswa pengantar psikologi pendidikan (Shraw & Dennison,
1994) dan matematika (Md. Yunus & Ali, 2008) yang menunjukkan bahwa mahasiswa
dengan kesadaran metakognitif tinggi memiliki kemampuan akademik yang lebih tinggi.
Analisis ini menunjukkan bahwa tingkat "kesadaran metakognitif " seseorang yang
tinggi tidak dapat meningkatkan prestasi akademik.
VI. Saran
Pressley dan Ghatala (1990) menyimpulkan bahwa pengetahuan metakognitif lebih
tinggi tidak selalu mengakibatkan prestasi akademik tinggi berdasarkan hasil penelitian
ini. Karena mahasiswa yang memperoleh nilai D pada mata kuliah persamaan diferensial
tidak selalu memiliki pengetahuan sebelumnya yang lebih rendah dari mahasiswa yang
memperoleh nilai C, jelas bahwa harus diadakan analisis lebih banyak tentang proses
berpikir siswa dalam penelitian ini. Pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini
membuat penulis bertanya-tanya bagaimana mahasiswa dengan nilai D menggunakan
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

aspek pengendalian metakognisi dalam pembelajaran mereka. Apakah mahasiswa


menetapkan tujuan pembelajaran yang rendah untuk diri mereka sendiri, dan tidak
menguasai materi dengan serius (Thiede & Dunlosky, 1999)? Apakah mereka
mempelajari meteri lebih mudah dan tidak sampai ke materi yang susah (Metcalfe &
Kornell, 2004)? Apakah mahasiswa ini menghabiskan sedikit atau tidak ada
waktu perencanaan strategi pemecahan masalah (Schoenfeld, 1992; Stillman &
Galbraith, 1998)? Ketika mereka telah memecahkan masalah dengan tidak benar apakah
mereka memeriksa di mana hal-hal yang salah dan belajar dari itu (Schoenfeld, 1985)?
Ini akan sangat menarik untuk diidentifikasi bagaimana mahasiswa yang belajar
tentang persamaan diferensial mengontrol dirinya dalam belajar, dan mungkin dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang di atas. Jika pertanyaan ini bisa
dijawab, setidaknya itu akan membantu dalam membangun pemahaman tentang
persamaan diferensial dan memperkenalkan kemampuan metakognitif yang akan
membantu mahasiswa untuk menjadi lebih sukses.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini didukung oleh Designing for Learning Success grant from the Office of the
Provost, Boise State University, and by the Boise State Teaching Scholars Program. Ucapan
terima kasih kepada Dr. Margaret Kinzel and Dr. Susan Shadle atas kesediaanya membaca
dan mengoreksi paper ini dan reviewers untuk komentar yang membantu.
Penulis
Lampiran
Lampiran 1 Instrumen Metakognitif
Petunjuk: Silahkan memberi tanda pada bilangan yang sesuai dengan bagaimana Anda
merasa pernyataan ini benar atau salah untuk Anda dalam menyelesaiakan masalah
matematika. Nol berarti benar-benar tidak benar dan 100 menyiratkan sepenuhnya benar.
1. Saya telah mencoba menggunakan strategi yang saya pernah pelajari sebelumnya
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
2. Saya memahami kelebihan dan kelemahan pegetahuan saya
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
3. Saya tahu jenis informasi apa yang paling penting untuk belajar. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
4. Saya pandai mengatur informasi. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
5. Saya memiliki tujuan spesifik untuk setiap strategi yang saya gunakan. (PK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

6. Saya belajar dengan baik ketika saya tahu sesuatu tentang materi. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
7. Saya tahu apa yang dosen harapkan dari saya dalam belajar. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
8. Saya dapat dengan baik mengingat informasi.
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
9. Saya menggunakan strategi belajar yang berbeda tergantung pada situasi. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
10. Saya memiliki kontrol yang baik ketika saya belajar. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
11. Saya bisa memotivasi diri untuk belajar ketika saya perlu. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
12. Saya sadar strategi apa yang saya gunakan ketika saya belajar. (PK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
13. Saya menggunakan kekuatan intelektual saya untuk mengimbangi kelemahan saya.
(CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
14. Saya dapat mengambil keputusan dengan baik dari seberapa baik saya memahami
sesuatu. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
15. Saya menemukan penggunaan strategi belajar yang bermanfaat otomatis. (PK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
16. Saya tahu kapan setiap strategi yang saya gunakan paling efektif. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
17. Saya belajar lebih banyak ketika saya tertarik pada suatu materi. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
Daftar Pustaka
Cross, K.P., & Steadman, M.H. (1996). Classroom Research: Implementing the Scholarship
of Teaching. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
Veenman, M.V.J. (2006). The role of intellectual and metacognitive skills in math problem
solving. In A. Desoete & M. Veenman (Eds.), Metacognition in Mathematics Education. New
York, NY: Nova Science.
Dunlosky, J., Serra, M., & Baker, J. (2007). Metamemory. In F.T. Durso (Ed.), Handbook of
Applied Cognition: Second Edition. Chicester: John Wiley & Sons, Ltd.
Flavell, J.H. (1976). Metacognitive aspects of problem solving. In L.B. Resnick (Ed.), The
Nature of Intelligence. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates
Lester, F.K. (1982). Building bridges between psychological and mathematics education
research on problem solving. In F. K. Lester & J. Garofalo (Eds.), Mathematical Problem
Solving: Issues in Research. Philadelphia, PA: The Franklin Press Institute.
Md. Yunus, A.S., & Ali, W.Z.W. (2008). Metacognition and motivation in mathematical
problem solving. The International Journal of Learning, 15(3), 121-131.

Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

Metcalfe, J., & Kornell, N. (2004). A region of proximal learning mode of study time
allocation. Journal of Memory and Language, 52, 463-477.
Nelson, T.O., & Narens, L. (1990). Metamemory: A theoretical framework and new findings.
In G.H. Bower (Ed.), The Psychology of Learning and Motivation. New York: Academic
Press.
Nelson, T.O., & Narens, L. (1994). Why investigate metacognition. In J. Metcalfe & A.P.
Shimamura (Eds.), Metacognition: Knowing about Knowing. Cambridge, MA: MIT Press.
Pressley, M., & Ghatala, E.S. (1990). Self-regulating learning: Monitoring learning from text.
Educational Psychologist, 25, 19-33.
Reder, L.M., & Schunn, C.D. (1996). Metacognition does not imply awareness: Strategy
choice is governed by implicit learning and memory. In L.M. Reder (Ed.), Implicit Memory
and Metacognition. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Sanchez-Alonso, S., & Vovides, Y. (2007). Integration of metacognitive skills in the design of
learning objects. Computer in Human Behavior, 23, 2585-2595.
Schoenfeld, A.H. (1985). Mathematical Problem Solving. Orlando, FL: Academic Press.
Schoenfeld, A.H. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition,
and sense making in mathematics. In D. A. Grouws (Ed.), Handbook of Research on
Mathematics Teaching and Learning. New York, NY: Macmillan Publishing.
Schneider, W., & Artelt, C. (2010). Metacognition and mathematics education. ZDM
Mathematics Education, 42, 149-161.
Schraw, G., & Dennison, R.S. (1994). Assessing metacognitive awareness. Contemporary
Educational Psychology, 19, 460-475.
Siegler, R.S., & Shipley, C. (1995). Variation, selection, and cognitive change. In T. Simon, &
G. Halford (Eds.), Developing Cognitive Competence: New Approaches to Process Modeling.
Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Silver, E.A. (1982). Knowledge organization and mathematical problem solving. In F. K.
Lester & J. Garofalo (Eds.), Mathematical Problem Solving: Issues in Research. Philadelphia,
PA: The Franklin Press Institute.
Silver, E.A. (1987). Foundations of cognitive theory and research for mathematics
problemsolving instruction. In A. H. Schoenfeld (Ed.), Cognitive Science and Mathematics
Education. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Journal of Experimental
Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 26(1), 204-221.
Stillman, G.A., & Galbraith, P.L. (1998). Applying mathematics with real world connections:
Metacognitive characteristics of secondary students. Educational Studies in Mathematics, 36,
157-195.

Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Smith, M.J.

Translated by Yessi Hasri (F04112014)

Thiede, K.W., & Dunlosky, J. (1999). Toward a general model of self-regulated study: An
analysis of selection of items for study and self-paced study time. Journal of Experimental
Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 25(4), 1024-1037.

Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu

Anda mungkin juga menyukai