Smith, M.J.
berdasarkan pada penilaian yang dibuatnya. Dalam model hirarkis yang diusulkan oleh
Theide dan Dunlocky (1999) siswa mengatur pembelajaran mereka melalui perencanaan
dan penetapan tujuan. Dalam model ini, siswa menetapkan tujuan yang tinggi atau
rendah didasarkan pada berapa banyak mereka merasa perlu menguasai dan
merencanakan waktu belajar untuk mencapai tujuan yang diabuatnya. Dalam model lain,
Region of Proximal Learning, oleh Metcalfe dan Kornell (2004) siswa mengatur
pembelajaran mereka melalui memilih apa yang akan mereka pelajari, kemudian berhenti
mempelajarinya ketika mereka merasa bahwa mereka tidak lagi perlu belajar tentang hal
tersebut. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa tidak semua siswa menggunakan
pengetahuan metakognitif untuk mengontrol proses belajaranya (Son & Metcalfe, 2000)
atau mungkin siswa tidak sadar telah menggunakan pengetahuan metakognitif untuk
meningkatkan pembelajarannya (Reder & Schunn, 1996; Siegler & Shipley, 1995).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa siswa yang Menyadari Metakognitif
memiliki kemampuan akademik yang lebih baik. Schraw and Dennison (1994)
menciptakan Metacognitive Awareness Inventory (MAI) yang dapat digunakan untuk
meneliti kesadaran metakognitif dan dianggap cocok digunakan untuk anak-anak dan
orang dewasa. Schraw and Dennison menguji instrumen mereka pada beberapa
mahasiswa pengantar psikologi pendidikan di Midwestern University. Schraw dan
Dennison menyimpulkan, bahwa siswa dengan nilai yang tinggi pada inventory juga
mendapat nilai tinggi pada ujian reading comprehension. Peneliti lain, Md.Yunus dan Ali
(2008), menggunakan MAI untuk meneliti mahasiswa Pendidikan Matematika tingkat
akhir di sebuah Universitas di Malaysia. Penelitian mereka mempelajari hubungan antara
metakognisi, jenis kelamin dan IPK kumulatif mahasiswa. Temuan mereka menunjukkan
bahwa pengetahuan prosedural, deklaratif, dan pengetahuan kondisional (yaitu,
komponen pengetahuan tentang kognisi (Shraw & Dennison, 1994)) memiliki "hubungan
yang signifikan terhadap kinerja dalam matematika dan kinerja secara keseluruhan
akademis dan bahwa "tingkat metakognitif dapat memprediksi prestasi siswa sampai
batas tertentu.
Penelitian lain menunjukan bahwa ketika seseorang memiliki tingkat kesadaran
metakognitif yang tinggi tidak menyebakan perolehan nilai yang tinggi pula secara
akademis. Pressley dan Ghatala (1990) meneliti mahasiswa di tingkat universitas
dan di tingkat sekolah dasar sehubungan dengan reading comprehension. Siswa di kedua
tingkat ini diminta untuk membaca sesuatu dan menilai kemampuan mereka pada
pertanyaan tentang bacaan tersebut. Dalam berbagai percobaan di tingkat SD dan
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu
Smith, M.J.
universitas mereka menemukan bahwa "banyak dari kognisi tidak efisien dan meskipun
siswa mungkin memantau apa yang mereka pelajari, pemantauan yang rendah
memberikan
kontribusi
terhadap
pemahaman
yang
buruk. Penelitian
mereka
menunjukkan bahwa siswa harus baik dalam menyadari metakognitif dan mahir dalam
menerapkan kesadaran ini di mereka belajar.
Penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa siswa terlibat dalam proses-proses
metakognisi yang akan membantu mereka menjadi sukses di pemecahan masalah.
Schoenfeld (1992) meneliti bagaimana siswa bekerja melalui masalah yang tidak akrab
dengan mereka dan menemukan bahwa banyak yang sangat sedikit atau tidak ada waktu
perencanaan
selama
pemecahan
masalah.
Siswa
akan
memahami
masalah,
bahwa
strategi
yang
digunakan
untuk
memecahkan
masalah
daripada
kemampuan
intelektual
dan
ketika
siswa
membutuhkan
Smith, M.J.
kemampuannya, jika diukur dengan tingkat kelas, dalam meteri persamaan diferensial.
Secara khusus, penulis tertarik mengetahui pengetahuan deklaratif (mengetahui apa yang
penting untuk belajar), pengetahuan prosedural (pemahaman bagaimana menggunakan
strategi dari pengalaman masa lalu), dan pengetahuan kondisional (mengetahui kapan
strategi digunakan dan strategi apa yang paling efektif). Penulis merasa bahwa
keberhasilan siswa diperoleh jika mereka menyadari apa yang dipelajarinya,
menggunakan
kemampuan
metakognitif
sementara
yang
tidak
menggunakan
tingkat
kesadaran
metakognitif
dapat
untuk
menghasilkan
data
tentang
metakognisi
seseorang
adalah dari laporan mereka sendiri tentang pemikiran mereka. Oleh karena itu, tingkat
metakognitif siswa dinilai dengan menggunakan survei. Survei ini diadaptasi dari
Metacognitive Awareness Inventory atau MAI, (Shraw & Dennison, 1994) yang dianggap
sebagai ukuran yang dapat diandalkan untuk mengetahui pengetahuan kognisi seseorang
(Sanchez-Alonso & Vovides, 2007). Survei ini menggunakan bagian dari 17 pertanyaan
yang lebih khusus untuk tiga bidang pengetahuan yang penulis maksudkan untuk belajar.
Setiap pertanyaan yang diajukan, siswa diminta untuk menunjukkan persepsi mereka
tentang
kebenaran
pernyataan
dengan
skala
kontinu
dari
100, skala nol sesuai dengan benar-benar palsu dan 100 sesuai dengan sepenuhnya benar.
Nilai pada survei diterjemahkan ke skala 0 sampai 10 untuk analisis. Hasil survei (lihat
Lampiran) dipasangkan dengan notasi yang ditambahkan untuk menunjukkan bagaimana
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu
Smith, M.J.
Table 1. Kategori Rendah, Sedang, dan Tinggi dari Nilai Metakognisi Sumatif dengan
Persentase Mahasiswa di Setiap Kategori (175 Mahasiswa)
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu
Smith, M.J.
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu
Smith, M.J.
Tabel 2. Hasil dari T-Test dan Cohens D untuk rata-rata nilai metakognitif dari siswa
yang memperoleh nilai B dan C di Kelas 2
Tabel 3. Hasil dari T-Test dan Cohens D untuk rata-rata nilai metakognitif dari siswa
yang memperoleh nilai C dan D di Kelas 2 ( 34 mahasiswa memperoleh nilai
C dan 15 mahasiswa memperoleh nilai D)
Smith, M.J.
Tabel 4. Hasil dari Mann-Whtney untuk median nilai metakognitif dari siswa yang
memperoleh nilai C dan D di Kelas 2 ( 34 mahasiswa memperoleh nilai C
dan 15 mahasiswa memperoleh nilai D)
Karena mahasiswa dengan nilai D memiliki tingkat metakognitif lebih tinggi dari
pada mahasiswa dengan nilai C di Kelas 2, maka nilai untuk kalkulus I dan kalkulus II
mahasiswa dengan nilai C dan D dibandingkan untuk menentukan apakah mahasiswa
dengan nilai C yang mengikuti kuliah persamaan diferensial memiliki pengetahuan yang
lebih tinggi dari mahasiswa dengan nilai D, yang mengindikasikan bahwa pengetahuan
sebelum mungkin memberikan efek lebih besar pada kemampuan metakognitif. Hasilnya
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam nilai rata-rata
mahasiswa yang memperoleh nilai C dan mahasiswa yang memperoleh nilai D. Namun,
mahasiswa yang memperoleh nilai D memiliki rata-rata lebih tinggi dalam kalkulus I,
sedangkan mahasiswa dengan nilai C memiliki rata-rata statistik yang lebih tinggi di
kalkulus II. Tabel 5 menunjukkan hasil tersebut. Dalam perhitungan nilai rata-rata untuk
mahasiswa dengan nilai C di kalkulus I, tiga mahasiswa tidak dimasukkan karena mereka
mengikuti mata kuliah kalkulus I menggunakan hasil ujian AP atau sesuatu yang serupa.
Kelas rata-rata didasarkan pada skala kelas 4 titik.
Tabel 5. Hasil dari T-Test dan Cohens D untuk rata-rata nilai metakognitif dari siswa
yang memperoleh nilai C dan D di Kelas 2 pada Mata Kuliah Kalkulus I ( 31
mahasiswa memperoleh nilai C dan 15 mahasiswa memperoleh nilai D),
Mata Kuliah Kalkulus II( 34 mahasiswa memperoleh nilai C dan 15
mahasiswa memperoleh nilai D)
Karena Kelas 1 tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam skor metakognitif
baik dalam nilai rata-rata maupun median antara siswa dengan nilai yang berbeda dalam
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu
Smith, M.J.
kuliah dan Kelas 2 juga, maka kedua kelas dibandingkan untuk melihat apakah ada
pengetahuan tentang dirinya akan timbul. Ketika membandingkan kelas dengan tingkatan
nilai di kelas dengan nilai pada mata kuliah kalkulus, tidak ada perbedaan signifikan
yang ditemukan. Ketika kelas dibandingkan dengan tingkatan nilai di kelas dan skor
metakognitif mereka, satu-satunya perbedaan yang signifikan terjadi antara mahasiswa C
pada kemampuan deklarif metakognisi mereka, dengan kelas 2 memiliki skor
metakognitif lebih tinggi ( =0,0147 , d=0,659 , Effect 0,2669 ) .
V. Diskusi
Penelitian ini melihat tingkat metakognitif untuk dua kelas pada mata kuliah
persamaan diferensial. Kelas digabungkan untuk mendapatkan tingkatan dari
kemampuan metakognitif mahasiswa saat mereka mempelajari persamaan diferensial.
Kelas-kelas yang digunakan dianggap bahwa mahasiswanya dengan tingat kemampuan
metakognitif dapat memprediksi kemampuannya dalam pembelajaran.
Skor metakognisi untuk semua siswa dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga
kategori yaitu tingkat rendah, sedang, dan tinggi untuk kemampuan metakognisi dalam
tiga kategori metakognisi yang ingin diperiksa. Meskipun mayoritas mahasiswa berada
di sub interval sedang untuk semua kategori, lebih dari 40% dari mahasiswa di kategori
tinggi untuk kemampuan prosedural metakognisi (memahami bagaimana menggunakan
strategi
masa
lalu)
dan
hampir
40%
dari
siswa
di
kategori
tinggi
Smith, M.J.
Smith, M.J.
Smith, M.J.
6. Saya belajar dengan baik ketika saya tahu sesuatu tentang materi. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
7. Saya tahu apa yang dosen harapkan dari saya dalam belajar. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
8. Saya dapat dengan baik mengingat informasi.
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
9. Saya menggunakan strategi belajar yang berbeda tergantung pada situasi. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
10. Saya memiliki kontrol yang baik ketika saya belajar. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
11. Saya bisa memotivasi diri untuk belajar ketika saya perlu. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
12. Saya sadar strategi apa yang saya gunakan ketika saya belajar. (PK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
13. Saya menggunakan kekuatan intelektual saya untuk mengimbangi kelemahan saya.
(CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
14. Saya dapat mengambil keputusan dengan baik dari seberapa baik saya memahami
sesuatu. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
15. Saya menemukan penggunaan strategi belajar yang bermanfaat otomatis. (PK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
16. Saya tahu kapan setiap strategi yang saya gunakan paling efektif. (CK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
17. Saya belajar lebih banyak ketika saya tertarik pada suatu materi. (DK)
0-------10------20------30-----40------50------60-------70-------80-------90-------100
Daftar Pustaka
Cross, K.P., & Steadman, M.H. (1996). Classroom Research: Implementing the Scholarship
of Teaching. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
Veenman, M.V.J. (2006). The role of intellectual and metacognitive skills in math problem
solving. In A. Desoete & M. Veenman (Eds.), Metacognition in Mathematics Education. New
York, NY: Nova Science.
Dunlosky, J., Serra, M., & Baker, J. (2007). Metamemory. In F.T. Durso (Ed.), Handbook of
Applied Cognition: Second Edition. Chicester: John Wiley & Sons, Ltd.
Flavell, J.H. (1976). Metacognitive aspects of problem solving. In L.B. Resnick (Ed.), The
Nature of Intelligence. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates
Lester, F.K. (1982). Building bridges between psychological and mathematics education
research on problem solving. In F. K. Lester & J. Garofalo (Eds.), Mathematical Problem
Solving: Issues in Research. Philadelphia, PA: The Franklin Press Institute.
Md. Yunus, A.S., & Ali, W.Z.W. (2008). Metacognition and motivation in mathematical
problem solving. The International Journal of Learning, 15(3), 121-131.
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu
Smith, M.J.
Metcalfe, J., & Kornell, N. (2004). A region of proximal learning mode of study time
allocation. Journal of Memory and Language, 52, 463-477.
Nelson, T.O., & Narens, L. (1990). Metamemory: A theoretical framework and new findings.
In G.H. Bower (Ed.), The Psychology of Learning and Motivation. New York: Academic
Press.
Nelson, T.O., & Narens, L. (1994). Why investigate metacognition. In J. Metcalfe & A.P.
Shimamura (Eds.), Metacognition: Knowing about Knowing. Cambridge, MA: MIT Press.
Pressley, M., & Ghatala, E.S. (1990). Self-regulating learning: Monitoring learning from text.
Educational Psychologist, 25, 19-33.
Reder, L.M., & Schunn, C.D. (1996). Metacognition does not imply awareness: Strategy
choice is governed by implicit learning and memory. In L.M. Reder (Ed.), Implicit Memory
and Metacognition. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Sanchez-Alonso, S., & Vovides, Y. (2007). Integration of metacognitive skills in the design of
learning objects. Computer in Human Behavior, 23, 2585-2595.
Schoenfeld, A.H. (1985). Mathematical Problem Solving. Orlando, FL: Academic Press.
Schoenfeld, A.H. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition,
and sense making in mathematics. In D. A. Grouws (Ed.), Handbook of Research on
Mathematics Teaching and Learning. New York, NY: Macmillan Publishing.
Schneider, W., & Artelt, C. (2010). Metacognition and mathematics education. ZDM
Mathematics Education, 42, 149-161.
Schraw, G., & Dennison, R.S. (1994). Assessing metacognitive awareness. Contemporary
Educational Psychology, 19, 460-475.
Siegler, R.S., & Shipley, C. (1995). Variation, selection, and cognitive change. In T. Simon, &
G. Halford (Eds.), Developing Cognitive Competence: New Approaches to Process Modeling.
Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Silver, E.A. (1982). Knowledge organization and mathematical problem solving. In F. K.
Lester & J. Garofalo (Eds.), Mathematical Problem Solving: Issues in Research. Philadelphia,
PA: The Franklin Press Institute.
Silver, E.A. (1987). Foundations of cognitive theory and research for mathematics
problemsolving instruction. In A. H. Schoenfeld (Ed.), Cognitive Science and Mathematics
Education. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Journal of Experimental
Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 26(1), 204-221.
Stillman, G.A., & Galbraith, P.L. (1998). Applying mathematics with real world connections:
Metacognitive characteristics of secondary students. Educational Studies in Mathematics, 36,
157-195.
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu
Smith, M.J.
Thiede, K.W., & Dunlosky, J. (1999). Toward a general model of self-regulated study: An
analysis of selection of items for study and self-paced study time. Journal of Experimental
Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 25(4), 1024-1037.
Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 1, February 2013.
josotl.indiana.edu