Anda di halaman 1dari 9

1

Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme


Oleh Abdurrahman Wahid
Selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada
dalam hubungan diametral dengan Islam. Banyak faktor pendorong kepada tumbuhnya anggapan
seperti itu. Secara politis, umpamanya dalam sejarah yang belum sampai satu abad. <>MarxismeLeninisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan negara-negara (dalam artian
pemerintahan negara bangsa atau nation state), bangsa-bangsa, dan kelompok-kelompok muslim di
seluruh dunia.
Dalam Peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso
berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak pemuka agama Islam dan ulama yang terbunuh,
seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota
Madiun sendiri. Kiai Mursyid dan sesama kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di
mana dikuburkan.
Percaturan geo-politik saat ini pun menghadapkan Uni Soviet, kubu pertama paham MarxismeLeninisme kepada Dunia Islam, karena pendudukannya atas bangsa muslim Afghanistan semenjak
beberapa tahun lalu. Selain itu, secvara ideologis, Marxisme-Leninisme juga tidak mungkin
dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme adalah doktrin politik yang dilandaskan pada
filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah sebuah agama yang betapa praktisnya,
sekalipun dalam urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan
kepercayaan akan sesuatu yang secara empiris sudah tentu tidak dapat dibuktikan.
Apalagi Marxisme-Leninisme adalah pengembangan ekstrem dari filsafat Karl Marx yang justru
menganggap agama sebagai opium (candu) yang akan melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya
untuk merebut alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian pula dari skema penataan
Marxisme-Leninisme atas masyarakat, Islam sebagai agama harus diperlakukan sebagai super struktur
yang dibasmi, karena merupakan bagian dari jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang
kapitalisme, walaupun dalam dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme.
Atau dengan kata lain, yang menjadi bagian inti dari doktrin Marxisme-Leninisme, Islam adalah
bagian dari kontradiksi internal kapitalisme. Dialektika paham tersebut memandang pertentangan
antara Islam dan kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola umum pertentangan
antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang didirikan oleh kaum feodal.
Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologis antara Islam dan Marxisme-Leninisme dapat dilihat
pada fungsi kemasyarakatan masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-Leninisme berusaha
mengatur kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka,
sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu.

Menurut ajaran formal Islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus diselaraskan dengan semua
ketentuan-ketentuan wahyu yang datang dari Allah. Pengaturan hidup secara revelational (walaupun
memiliki wawasan pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk dapat menampung aspirasi kehidupan
nyata), bagaimanapun juga tidak mungkin akan berdamai sepenuhnya dengan gagasan pengaturan
masyarakat secara rasional sepenuhnya.
Tidak heranlah jika pengelompokan politik dan sosial budaya yang memunculkan apa yang dinamai
golongan Islam juga menggunakan pola penghadapan dalam meletakkan Marxisme-Leninisme
dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya.
Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam
hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya.
Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam
kategori ideologi lawan. Atau dalam jargon Rabithah al-Alam al-Islami/Islamic Word Association)
yang berkedudukan di Makkah, ideologi yang menentang Islam (al-fahm al-mudhadli al-islami).
Dalam forum-forum resmi internasional di kalangan kaum muslimin, Marxisme-Leninisme dalam
baju komunisme secara rutin dimasukkan ke dalam paham-paham yang harus ditolak secara tuntas.
Sikap demikian dapat juga dilihat pada karya-karya tulis para pemikir, ideolog, dan budayawan yang
menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dasar untuk menata kehidupan (dalam arti tidak harus
dalam bentuk negara theokratis atau secara ideologis formal dalam kehidupan negara, tetapi sebagai
semangat pengatur kehidupan). Para penulis pandangan Islam itu memberikan porsi panjang lebar
kepada penolakan atas ideolgi dan paham Marxisme-Leninisme dalam karya-karya mereka.
Penolakan ini antara lain berupa sikap mengambil bentuk peletakan pandangan Islam sebagai jalan
tengah antara kapitalisme dan komunisme atau menurut istilah Mustofa al-SibaI, antara kapitalisem
dan sosialisme.menurut pandangan mereka, kapitaisme akan membawa bencana karena terlalu
mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat, karena sandarannya kepada inividualisme.
Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme, diserap oleh Marxisme-Leninisme, justru
akan menghilangkan hak-hak sah dari individu yang menjadi warga masyarakat. Islam menurut
mereka memberikan pemecahan dengan jalan menyeimbangkan antara hak-hak masyarakat dan
hak-hak individu.
Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja ada
kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam masing-masing lingkungan bangsa muslim mana pun di
seluruh dunia. Bahkan di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama
bukan Islam, seperti Sri-Lanka, Filipina. Bukan karena adanya orang-orang yang berpaham MarxisLeninis. Karena memang mereka ada di mana-mana.
Tambahan pula, keadaan masyarakat bangsa-bangsa yang memiliki penduduk beragama Islam dalam
jumlah besar memang membuat subur pertumbuhan paham itu. Secara teoritis, karena besarnya
kesenjangan antara teori kemasyarakatan yang terlalu meuluk-muluk yang ditawarkan dan kenyataan
menyedihkan akan meluaskan kemiskinan dan kebodohan. Yang menarik justru kenyataan bahwa oleh
pemerintah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, (kecuali sudah tentu di Indonesia.

Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu sendiri tidak dibarkan secara hukum neagara,
melainkan karena di lingkunagn bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat
sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini.
Yang lebih menarik lagi justru adalah terus-menerus adanya upaya untuk meramu ajaran Islam kepada
atau dengan paham-paham lain, termasuk Marxisem. Seperti yang saat ini dilakukan dengan giatnya
oleh Muammar Khadafi, pemimpin Lybia yang berperilaku eksentrik itu. Ternyata upaya tersebut tidak
terbatas pada penggalian konsep konsep Marx yang nonkomunistis saja, tetapi juga mencapai
pengambilan dari Marxisme-leninisme.
Secara formal, paham tersebut di larang di Lybia. Tetapi secara faktual banyak unsur-unsur MarxismeLeninisme ke dalam doktrin politik Khadafi. Umpanya saja, pengertian kelompok yang memelopori
revolusi, yang jelas berasal dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari kekuasaan
kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri, tetapi cukup yang masih berwatak agraris
belaka). Demikian juga konsep pimpinan revolusi, yang dicanangkan sebagai dewan-dewan
rakyat (al-jamariyah) sebagai satu-satunya kekuatan pengawan revolusi dari kemunkginan direbut
kembali oleh kapitalisme internasional.
Fenomena upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke dalam teori politik yang ditawarkan sebagai
ideolgoi Islam sangat menarik untuk dikaji, karena bagaimanapun ia mengandung dua aspek.
Pertama, ia tidak terbatas pada kalangan eksentrik seperti Khadafi, tetapi juga di kalangan sujumlah
pemikir muslim serius, semisal Abdel Malek dan Ali Syariati. Saat ini pun, gerakan Mojaheddin
eKhalq yang bergerak di bawah tanah di Iran dan dipimpin oleh Masoud Rajavi dari Paris,
menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme. Kedua,
kenyataan bahwa upaya meramu tersebut sampai hari ini masih mampu mempertahankan warna
agamanya yang kuat. Bukan proses akulturasi yang muncul, di mana Islam dilemahkan, melainkan
sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui penyerapan sebagai alat analisis.
Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan
Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan
pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebnagai
ajaran kemasyarakat dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.
Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya
titik sambung keduanya dinegeri ini. Antisipasi mana dapat saja digunakan, baik untuk
mencegahnya maupun mendorong kehadirannya.
Salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan antara Islam dan Marxisme Leninisme, keduanya
sebagai semacam ajarab kemasyarakatan (untuk meminjam istilah yang populer saat ini di kalangan
sejumlah theolog Katolik yang menghendaki perubahan struktural secara mendasar) adalah
menggunakan pendekatan yang disebut sebagai vocabularies of motive (keragaman motif) oleh Bryan
Turner dalam bukunya yang terkenal, Weber and Islam (hlm. 142).
Menurut pendekatan in, tidak ada satu pun motif tunggal dapat diaplikasikan secara memuaskan bagi
keseluruhan perilaku kaum muslimin sepanjang sejarah mereka. Kecenderungan agama seperti

tasawuf (mistisisme), syariat (legal-formalisme), dan akhlak (etika sosial), dalam hubungannya dengan
kecenderungan ekonomis, seperti semangat dengan etos kerja agraris, pola kemiliteran dan
asketisme politis, ternyata menampilkan banyak kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin
itu. Walaupun pendekatan itu oleh Turner dipakai justru untuk mencoba melakukan pembuktian atas
kaitan antara Islam dan kapitalisme, bagimanapun juga penggunaannya sebagai alat untuk meneliti
kaitan antara Islam Marxisme-Leninisme akan membuahkan hasil kajian yang diharapkan.
Umpamanya saja, pendekatan ini dapat mengungkapkan adanya kesamaan orientasi antara pandangan
kemasyarakatan Marxisme-Leninisme yang bersumber pada kolektivisme dan tradisi kesederhanaan
hierarki dalam masyarakat suku yang membentuk masyarakat Islam yang pertama di Madinah di
zaman Nabi Muhammad.
Kesamaan orientasi tersebut dapat dilihat pada besarnya semangat egalitarianisme dan populisme
dalam kedua sistem kehidupan itu. Orientasi kehidupan seperti itu mau tidak mau akan membawa
sikap untuk cenderung menyusun pola kehidupan serba senang kepada tindakan (action-oriented), dan
menjauhi kecenderungan kontemplatif dan meditatif.
Orientasi kepada tindakan ini demikian kuat terlihat dalam kehidupan masyarakat Islam, sehingga
keimanan dan tuntasnya keterlibatan kepada ajaran agama (dikenal dengan nama Rukun Islam)
sepenuhnya diidentifisir dengan tindakan. Dari syahadat (pengakuan akan keesaan Allah dan
kerasulan Muhammad), salat, zakat, puasa, hingga kewajiban menjalankan peribadatan haji.
Walaupun Marxisme bersandar pada ajaran determinisme-materialistik (dalam jargon sosialisme
dikenal dengan nama historis-materialisme), dan dengan demikian Marxisme-Leninisme mendasarkan
idiologinya sampai titik tertentu pada acuan tersebut, tetapi orientasinya kepada sikap aksional tetap
tampak sangat nyata. Justru acuan deterministik yang mendorong kaum Marxis termasuk MarxisLeninis, untuk mempersoalkan struktur kekuasaan dan tindakan terprogram dalam memperjuangkan
dan kemudian melestarikan struktur masyarakat yang mereka anggap sebagai bangunan kehidupan
yang adil.
Orientasi inilah yang menhubungkan antara Islam dan Marxisme-Leninisme, menurut versi pikiran
orang-orang seperti Khadafi dan Masoud Rajavi. Walaupun secara prinsipil mereka menentang
komunisme sebgai ideologi dan memenjarakan pemimpin-pemimpin komunis serta melawan mereka
dalam bentrokan-bentrokan fisik.
Berbeda dengan mendiang Gamal Abdul Nasser dari Mesir, yang berideologi sosialistik dan sedikit
banyak dapat mentolerir kehadiran pemimpin-pemimpin komunis, seperti Mustafa Agha di negerinya,
walupun sering juga ditahan kalau ternyata masih melakukan aktivitas yang dinilainya subversif. Sikap
Nasser ini juga diikuti oleh kedua rezim sosialis Baath (kebangunan) yang berkuasa di Irak dan Syiria
sekarang ini.
Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis yang ada dapat dijembatani
oleh kesamaan orientasi di atas adalah kasus Parta Tudeh di Iran. Pertai yang nyata-nyata berideologi
Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibirakan hidup oleh rezim revolusi Islam di Iran,

walaupun gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga Marxis-Leninis justru ditumpas dan dikejarkejar.
Ternyata kesamaan orientasi populistik dan egalitarian anatara ideologi Islam dan Marxis-Leninisme
dihadapan lawan bersama imperialisme Amerika Serikat menurut jargon mereka, mengandung juga
benih-benih kontradiksi interen antara kaum mula dan kaum Marxis-Leninis Iran, selama yang terakhir
ini tidak mengusik-usik kekuasaan Partai Republik Islam, selam itu pula mereka ditolerir.
Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran MarxismeLeninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari
kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965.
Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.
Hal ini menjadi lebih jelas, jika diingat bahwa kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki
aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi umum bangsa,
Pancasila.
Kenyataan seperi ini memang jarang dimengerti, karena tinjauan yang dilakukan selama ini atas
hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering sekali bersifat dangkal, melihat persoalannya dari
satu sisi pandangan saja, itu pn yang bersifat sangat formal. Wajar sekali kalau kaitan dengan
Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, tetapi diterima
dalam praktek. Seperti wajarnya garis partai yang menolak kehadiran agama di negara-negara
komunis, tetapi dalam praktek diberikan hak melakukan kegiatan serba terbatas.
Melihat kenyataan di atas, menjadi nyata bagi mereka yang ingin melakukan tinjauan mendalam atas
Maexisme-Leninisme dari sudut pandangan Islam. Bahwa harus dilakukan pemisahan antara sikap
Islam yang dirumuskan dalam ajaran resmi keagamaannya dan sikap Islam yang tampil dalam
kenyataan yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara umum.
Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan Marxisme-Leninisme
dalam praktek, sehingga tidak dapat begitu saja digeneralisasi tanpa mengakibatkan penarikan
kesimpulan yang salah. Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktek kehidupan pemerintahan,
tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu yang sumir dan berdasarkan
kebutuhan taktis belaka, seperi yang disangkakan pihak Amerika Serikat atas hubungan Khadafy dan
Uni Soviet. Karena sebenarnya yang terjadi adalah proses saling mengambil antara dua ideologi besar,
tanpa salah satu harus mengalah terhadap yang lain. Betapa tidak permanennya hubungan itu sekalian,
karena keharusan tidak boleh mangalah kepada ideologi lain, kaitan antara Islam dan MarxismeLeninisme memiliki dimensi ideologinya sendiri. Yaitu kesamaan sangat besar dalam orientasi
perjuangan masing-masing.
Kalau diproyeksikan terlebih jauh ke masa depan, bahkan akan muncul varian lain dari pola hubungan
yang telah ada itu. Yaitu dalam hasil akhir ideologis dari upaya yang sedang dilakukan sejumlah
intelektual muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui analisis pertentangan kelas
yang menjadi merek dagang Maxisme-Leninisme.

Ayat-ayat Al-Quran, ucapan nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka
diperiksa kembali wawasan kelas-nya, digunakan sudut pandangan sosial-historis untuk melakukan
penfsiran kembali atas pemahaman salah akan sumber-sumber ajaran agama itu.
Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya, dilihat secara kritis sebagai alat populistik untuk
menata orientasi kemasyarakat kaum muslimin dalam pengertian struktural. Lembaga tersebut
diwahyukan dengan beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat pada pundak lapangan
pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu (karena membutuhkan masukan modal sangat
besar, tidak seperti usaha dagang kecil-kecilan di pasar yang menjadi kerja utama kebanyakan
penduduk Madinah). Pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu
bagaiamanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk
menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.
Di pihak lain, semakin berkembangnya pemahaman humanis atas Marxisme-Leninisme, seperti
dilakukan Partai Komunis Itali dewasa ini akan membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang
pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Marxis-Leninis untuk
menumbangkan struktur kapitalis secara global.
Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh sejumlah teoritisi Marxis-Leninis sejak dasawarsa tigapuluhan
dari abad ini, semisal Gramsci. Sudah tentu akan muncul aspek kesamaan orientasi kemasyarakatan
antara Islam dan Marxisme-Leninisme dengan dilakukan kajian-kajian di atas yang antara lain sedang
dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali Merad, yang dua-duanya kini tinggal di Perancis.

* Tulisan ini pernah dimuat di Persepsi, No.1, 1982


http://www.nu.or.id/post/read/58136/pandangan-islam-tentang-marxisme-leninisme

Wawancara DN Aidit: "PKI menentang pemretelan


terhadap Pancasila"
Wawancara Aidit dengan Solichin Salam ini koleksi Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang
tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Arsip ini telah terbuka untuk publik.
SIKAP PKI mengenai Pancasila, terutama sila pertama, kerap dituding mendua menurut lawan-lawan
politiknya. Banyak kejadian yang jadi dalih, dari penolakan ide negara Islam hingga tuduhan dalam
pidato tahun 1964 Aidit mengatakan bila sosialisme Indonesia tercapai, Pancasila tidak lagi
dibutuhkan sebagai filsafat pemersatu. Pada akhirnya Aidit lebih sering menekankan pernyataan
Sukarno bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu. Pada 1964, PKI juga menerbitkan buku berjudul
Aidit Membela Pantja Sila.
Wartawan Solichin Salam memanfaatkan kesempatan mewawancarai DN Aidit, ketua CC PKI, untuk
menanyakan banyak hal. Tapi tampak jelas bahwa dia mencoba mengorek pandangan Aidit mengenai
agama dan Pancasila. Hasil wawancara itu dimuat di majalah Pembina pada 12 Agustus 1964.

Berikut petikan wawancaranya.


Benarkah PKI menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia? Bagaimana
pendapat Saudara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa?
PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai
keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap
Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan
kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan
satu). Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, pada garis
besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada
Tuhan di samping Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan... Sebagaimana juga Bung
Karno, kaum komunis Indonesia juga sependapat bahwa ada golongan agama yang tidak percaya
kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Presiden Sukarno dalam buku tersebut di atas sebagai berikut:
Agama Budha tidak mengenal begrip Tuhan... Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau mohonmohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu...
dengan sendirinya engkau masuk di dalam surga....
Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi
juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan
Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Orang
Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus
diperlakukan secara adil dalam masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno
bahwa ada perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai negara dan urusan agama.
Apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa
agama adalah candu bagi rakyat?
Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis yang menjelaskan hukumhukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari agama. Materialisme Historis
menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama
yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan
karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI
menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama. Marxisme sebagai ilmu, sama seperti ilmu-ilmu
lainnya, tidak menyoalkan apakah individu atau seseorang beragama atau tidak.
Dalam sejarah manusia, ada bukti bahwa agama memainkan peranan revolusioner. Misalnya agama
Nasrani. Di zaman perbudakan, golongan budak yang beragama Nasrani melakukan perlawanan
terhadap kaum pemillik budak, dan agama Nasrani bisa membangkitkan massa budak. Juga dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia, partai-partai politik yang beraliran agama aktif dalam perjuangan
melawan kolonialisme Belanda. Misalnya Sarikat Islam. Dan bagi PKI yang mendasarkan diri pada
Marxisme, adalah sepenuhnya sesuai dengan Marxisme untuk bekerjasama dengan partai-partai agama
yang revolusioner, baik dulu maupun sekarang.

Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit. Jika agama
digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme
Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Malaysia, maka agama betul
sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa
agama adalah candu bagi rakyat.
Apakah PKI cukup sadar terhadap kenyataan bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia
memeluk agama Islam?
Kami cukup sadar. Karena itulah diperlukan Pancasila dan faktor A (Agama) dalam Nasakom. Kami
bukan hanya menyetujui gagasan Nasakom melainkan juga sebagai unsur Kom mengadakan
kerjasama dengan partai-partai, organisasi, serta perseorangan yang mewakili unsur A demi
persatuan nasional dan perkembangan revolusi Indonesia.
Apakah PKI pro agama ataukah terang-terangan anti-agama?
PKI adalah partai politik. Benar apa yang Saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk
agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam
daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil. Tetapi, hubungan anggota PKI yang beragama dengan
Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana halnya Dewan Partai dari partai-partai politik
yang berdasarkan agama tidak bisa mewakili anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan.
Menurut Anggaran Dasar PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja
anggota-anggota PKI itu menjalankan program dan politik PKI yang melawan imperialisme dan
feodalisme dan bertujuan membentuk masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de lhomme par
lhomme.
Berbedakah pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan
ajaran-ajaran Marxisme?
Kita sekarang berada dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap nasional-demokratis, belum dalam
tahap kedua, yaitu tahap sosialis. Apakah berbeda atau tidak pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia berdasarkan Pancasila dengan yang berdasarkan Marxisme-Leninisme, hal ini akan kita
ketahui kalau kita sudah sampai pada tahap kedua nanti. Tetapi karena pembangunan masyarakat
sosialis berdasarkan Pancasila adalah pembangunan masyarakat tanpa exploitation de lhomme par
lhomme, masyarakat adil dan makmur, maka sejak sekarang bisa saya katakan bahwa pembangunan
masyarakat demikian sesuai dengan tujuan Marxisme.
Bagaimana pendapat Saudara mengenai agama Islam, apakah ajaran-ajarannya progresif
revolusioner ataukah sudah out of date? Organisasi-organisasi Islam manakah yang progresif
revolusioner?
Out of date atau tidak, hal ini tergantung pada revolusionerkah atau tidak. Jika tidak revolusioner,
maka ia adalah out of date. Juga partai komunis, seandainya ia tidak revolusioner, maka ia juga out of
date, yang berarti pada hakekatnya ia bukan partai komunis sekalipun namanya partai komunis.

Mengenai organisasi Islam mana yang progresif revolusioner, saya tidak bisa menjadi hakim dan
memutuskannya. Hal ini tergantung pada tindak-tanduk organisasi-organisasi Islam itu sendiri.
http://historia.id/modern/wawancara-dn-aidit-pki-menentang-pemretelan-terhadappancasila

Anda mungkin juga menyukai