Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia Defisiensi Besi


2.1.1 Patogenesis Anemia Defisiensi Besi
ADB adalah Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoesis karena cadangan besi kosong. Keadaan tersebut pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin (Hb) yang berkurang (Bakta et al., 2006).
ADB merupakan suatu keadaan kekurangan besi yang parah, yang ditandai oleh
penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, saturasi transferin yang rendah, dan
konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).
Penilaian berkurangnya besi pada manusia bergantung pada jenis kelaminnya (Tabel
2.1).
Tabel 2.1. Distribusi Normal Komponen Besi pada Pria dan Wanita (mg/kg)
Komponen
Laki-laki
Perempuan
Simpanan kompleks
Ferritin
9
4
Hemosiderin
4
1
Protein
transport
Transferin
<1
<1
Komponen Fungsional
Hemoglobin
31
31
Myoglobin
4
2
Enzim
pernafasan
2
2
Total
50
42
Diadaptasi dari Centers for Disease Control and Prevention, 1998.
Menurut Bakta et al. (2006) ADB dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan
besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
5

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:

a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang kurang) atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat : pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi : pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama
kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan
kalsium (susu dan produk susu).
Keadaan menurunnya besi hingga tahap deplesi besi ditandai oleh penurunan kadar
feritin serum dan peningkatan absorbsi besi dalam usus. Apabila cadangan besi sudah
tidak ada atau kosong, maka akan terjadi gangguan pada proses eritropoiesis. Gangguan
tersebut menyebabkan pembentukan eritrosit terganggu sehingga dapat menyebabkan
Anemia. Keadaan dimana pembentukan eritrosit ini terganggu disebut sebagai iron
deficient erythropoiesis. Kelainan pertama yang dijumpai pada fase ini adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit,
saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity =
TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Penurunan jumlah
besi ysng terus terjadi tersebut akan menyebabkan eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun (Tabel 2.2). Keadaan hemoglobin yang
menurun tersebut akan berpengaruh terhadap bentuk eritrosit sehingga eritrosit akan
terlihat lebih pucat dan lebih kecil. Akibatnya timbul

Anemia hipokromik mikrositik. Keadaan tersebut disebut sebagai Anemia Defisiensi


Besi (Iron Deficiency Anemia).
Tabel 2.2. Perbandingan Tahap Keseimbangan Zat Besi yang Negatif
Status besi
Simpanan
Besi
Besi
besi
transport
fungsional
Anemia defisiensi besi Rendah
Rendah
Rendah
Eritropoiesis defisiensi Rendah
Rendah
Normal
besi
Rendah
Normal
Normal
Deplesi besi
Normal
Normal
Normal
Normal
Tinggi
Tinggi
Normal
Kelebihan besi
Diadaptasi dari Centers for Disease Control and Prevention, 1998

2.1.2 Etiologi
Deplesi zat besi dapat dipilah menjadi tiga tahap dengan derajat keparahan yang berbeda
dan berkisar dari ringan hingga berat.

Sumber : (vijayaraghavan, 2004)


1. Tahap pertama, meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai berdasarkan
penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai konsekuensi fisiologis yang buruk,

namun keadaan ini menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dari keseimbangan besi
yang marjinal untuk jangka waktu lama. Sehingga dapat terjadi defisiensi besi yang berat.
2. Tahap kedua, ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan kurangnya zat besi
bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan ini terjadi penurunan kejenuhan
transferin atau peningkatan protoporfirin eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor
transferin serum.
3. Tahap ketiga, defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena defisiensi yang berat,
kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl (vijayaraghavan, 2004).

2.1.3. Manifestasi Klinis Anemia


1. Gejala umum Anemia
Gejala umum Anemia berupa

badan lemah, lesu, cepat lelah, mata

berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai


pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta et
al., 2006). Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl
maka gejala-gejala dan tanda-tanda Anemia akan jelas.
2. Gejala khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada Defisiensi Besi, tetapi tidak dijumpai pada Anemia
jenis lain adalah (Bakta et al., 2006):
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring

2.1.4. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi


Diagnosis Anemia Defisiensi Besi diperlukan metode pemeriksaan yang akurat dan
kriteria diagnosis yang tepat. Para peneliti telah menyetujui bahwa diagnosis Anemia
Defisiensi Besi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
yaitu pemeriksaan darah dan sumsum tulang. Menurut Clark (2009) terdapat beberapa
indikator untuk diagnosis Anemia Defisiensi Besi seperti, reseptor transferin terlarut
(sTfRs), sTfR-Ferritin index (sTfR-F), rasio Zink protoporphyrin/heme (ZPP/H),
Besi
sumsum
tulang
TIBC
( g/dl)
Feritin
( g/l)
Absorbsi
besi (%)
Besi

2-3
330 3
0
100 6
0
5-10
115 5
0
35 15

1
330-360
<25
10-15
<120
30

0-1
360
20
10-15
115
30

0
390
10
10-20
<60
<15

30
Normal

30
Norm
al

100
Normal

0
410
<10
10-20
<40
<15
200
Hipokromi
k

hemoglobin (Hb) retikulosit dan endoskopi selektif. Indikator tersebut untuk


memudahkan dan keseragaman diagnosis Anemia Defisiensi Besi (Tabel 2.3). Tabel
2.3. Uji Diagnosis Perubahan Status Besi
Uji/Ukuran

Norma
Keseimbang
si besi is negatif
besi

Plasma 30
Normal(g/dl) Norma
tinggi
Tinggi
Saturasi
l
tinggi
transferin
(%) Norma
Protoporpir l
in eritrosit (g/dl)
Eritrosit
Reseptor transferin
serum

Deple Eritropoies
defisiensi

Sangat
tinggi

ADB l an besi awal

mikrositik
Sangat

(Diadaptasi dari Clark, 2009).


2.1.5. Metabolisme Besi
Besi merupakan elemen penting dalam fungsi seluruh sel, meskipun jumlah besi
yang dibutuhkan tiap individu bervariasi. Pada saat yang bersamaan, tubuh juga harus
melindungi dirinya dari besi bebas, yang memiliki toksin tinggi dan berpartisipasi dalam
reaksi kimia yang menghasilkan radikal bebas seperti O2 atau OH- tunggal (Edward dan

Benz., 2008). Besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi
fungsional, besi cadangan dan besi transport. Besi fungsional yaitu besi yang
membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, mioglobin dan
berbagai jenis enzim. Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang
berikatan dengan protein tertentu untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian
lainya. Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi
ini dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang (Gambar 2.1). Untuk dapat berfungsi
bagi tubuh manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin
yang berperan sebagai penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron Regulatory
Proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi. Transferin merupakan protein pembawa
yang mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh
(Hoffman, 2000).

Gambar 2.1.Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa. Diadaptasi dari


Andrews, N. C., 1999.

Zat besi dalam tubuh didapatkan dalam dua golongan yaitu besi heme dan non
heme. Zat besi heme didapatkan dari makanan hewani dan non heme dari makanan
nabati. Sebagian besar zat besi terikat dalam hemoglobin yang mempunyai fungsi
menghantar oksigen ke jaringan. Sedangkan zat besi yang terikat dalam jaringan
termasuk enzim mempunyai tugas vital yang akan berubah dengan menurunnya jumlah
zat besi dalam tubuh (Almatsier, 2004). Konsentrasi besi tubuh normal adalah 40-50 mg

Fe/Kg BB dimana laki-laki lebih besar dari perempuan. Kebanyakan besi yang ada
berupa senyawa dengan berikatan pada protein tertentu, bukan dalam bentuk logam
bebas. Besi ditransport dalam bentuk ikatan dengan transferin plasma dan transferin
cairan ekstrasel. Jumlah besi sekitar 5-6 mg Fe/Kg pada wanita, 10-12 mg Fe/Kg pada
laki-laki disimpan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin, dalam hepatosit, makrofag
dihati, sumsum tulang, limpa dan otot sebagai persiapan saat kehilangan darah (Bakta,
2007). Besi diet yang diserap usus kemudian diikat oleh transferin plasma. Pada laki-laki
dewasa dengan berat badan 70 kg, jumlah besi-transferin dalam plasma sekitar 3 mg,
meskipun besi harian yang ditransport melalui cara ini lebih dari 30 mg. Sebagian besar
besi 24 mg/hari berada di prekursor erithroid sumsum tulang, dan sebagian besar dari
jumlah ini yaitu sekitar 17 mg/hari menjadi hemoglobin di dalam eritrosit disirkulasi
yang nantinya akan dikatabolisme oleh makrofag dalam sumsum tulang, limpa dan hati.
Besi kemudian dilepaskan dari hemoglobin dan kembali ke transferin plasma. Beberapa
dari besi dalam erithroid sumsum tulang sekitar 7 mg Fe/hari dikatabolisme langsung
oleh makrofag karena fagositosis pada prekursor erithroid yang terganggu atau
perpindahan dari feritin eritrosit menyebabkan makrofag mengembalikan besi ke
transferin plasma 22 mg Fe/hari.
Absorbsi besi bergantung tidak hanya pada jumlah besi pada makanan, namun juga
pada bioavailibilitas besi itu sendiri, dan kebutuhan tubuh akan besi. Absorbsi besi dapat
dipengaruhi beberapa fase yang berbeda ( Worwood dan Hoffbrand, 2005). Fase
luminal, besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di
duodenum. Fase mucosal, proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu
proses aktif. Fase corporal, meliputi transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh
sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi oleh tubuh (Bakta et al, 2006).
Saat ini, dengan telah diidentifikasikannya hepsidin, maka komponen molekuler
yang terlibat dalam proses ini dapat dijelaskan (Leong and Lonnerdal, 2004). Dalam
kurun 7 tahun terakhir, didapatkan banyak bukti bahwa regulator fisiologis utama
simpanan dan ketersediaan besi adalah hormon hepsidin (Gambar 2.2) (Fleming, 2008).

2.1.6. Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Zat Besi


Ada beberapa pendekatan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencegah atau
mengurangi terhadap kejadian kekurangan zat besi, usaha-usaha yang dilakukan tersebut antara
lain:
1. Meningkatkan konsumsi makanan bergizi dengan diet tinggi zat besi dan vitamin C.
2. Menambah pemasukkan zat besi ke dalam tubuh dengan minum Tablet Tambah
Darah (TTD).
3. Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti: kecacingan,
malaria, dan TBC (Depkes RI, 1998)
Mengingat unsur mineral ini terdapat dalam makanan dengan jumlah yang relative kecil, cara
efektif untuk mengatasi anemia defisiensi besi segera setelah diketahui adalah dengan pemberian
zat besi dalam bentuk preparat. Apabila terdapat kesalahan pada kebiasaan makan ikut memainkan
peranan penting dalam menimbulkan keadaan anemia, kebiasaan ini harus dikoreksi untuk
mencegah timbulnya kembali anemia da pasien harus melihat cara-cara memilih makanan yang
bervariasi dan baik (E. Beck, 2000).
Makan makanan yang bergizi yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani
(daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau tua, kacangkacangan, dan tempe). Sayuran dan buah yang mengandung vitamin C (daun katuk, daun
singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk, dan nanas) sangat bermanfaat untuk meningkatkan
penyerapan zat besi dalam usus (Depkes RI, 1998).

2.2 KERANGKA TEORI


Berdasaran telaah kepustakaan dari berbagai sumber, kerangka teori dapat dilihat pada
Gambar 2.2 di bawah ini :

Gambar 2.2 Kerangka Teori


Asupan Zat Gizi
Perilaku Makan/Minum

Zat besi

Energi

- Frekuensi makan

Protein

- Perilaku minum teh/kopi

Vitamin C

ANEMIA

Kehilangan Darah
(Perdarahan
)
- Infeksi
- Investasi cacing
- Investasi parasit

Status Gizi

Sosial Ekonomi
- Pendapatan ayah/ibu
- Pendidikan ayah/ibu
- Pekerjaan ayah/ibu

Anda mungkin juga menyukai