Anda di halaman 1dari 14

I .

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan elemen yang sangat signifikan bagi kehidupan mahluk
hidup baik hewan, tumbuhan, dan manusia. Dengan kata lain air merupakan
material yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan di bumi. Semua organisme yang
hidup tersusun dari sel-sel yang berisi air sedikitnya 60% dan aktifitas
metaboliknya mengambil tempat di larutan air (Enger dan Smith dalam Tasambar
Mochtar, 2000). Untuk kepentingan manusia dan kepentingan komersial lainnya
ketersediaan air dari segi kualitas dan kuantitas mutlak diperlukan seperti
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air yang mana menyebutkan bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Apalagi berkaitan dengan
kebutuhan sehari-hari dalam masyarakat. Tidak hanya air bersih untuk domestik,
air juga diperlukan dalam keberlanjutan sektor-sektor lain seperti sektor pertanian
dan sektor industri. Menurut Dyah (2000), kebutuhan air terbesar berdasarkan
sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu kebutuhan
domestik, irigasi pertanian, dan industri. Dalam pemenuhan kebutuhan, kuantitas
air saat ini sulit untuk dicari karena banyak aktivitas manusia yang menyebabkan
ketersediaan air semakin berkurang sehingga dibutuhkan supplai air untuk
memenuhi berbagai kebutuhan seperti sektor pertanian dan industri.
Waduk Jatiluhur merupakan waduk pertama terbesar dan serbaguna yang
ada di Indonesia dengan panorama danau seluas 8.300 ha. Dengan potensi air
sebesar 12,9 milyar m3/ tahun, waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air
irigasi untuk 242.000 ha sawah untuk dua kali tanam dalam setahun. Selain itu
waduk Jatiluhur juga berfungsi sebagai air baku air minum, budidaya perikanan
dan pengendali banjir yang dikelola oleh Perum Jasa Trita II. Perum Jasa Tirta II
adalah Badan

Usaha

Milik

Negara (BUMN)

yang

ditugasi

untuk

menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber air yang


bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, serta

melaksanakan

tugas-tugas

tertentu

yang

diberikan

Pemerintah

dalam

pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).


Prinsip keterpaduan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :
P.60/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, bahwa pengelolaan DAS dilaksanakan secara
terpadu sebagai satu kesatuan ekosistem, satu rencana dan satu system
pengelolaan. Pengelolaan DAS terpadu merupakan rangkaian upaya perumusan
tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber
daya DAS lintas para pemangku kepentingan (stakeholders) secara partisipatif
berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan
guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS. Keterpaduan tersebut mengandung
pengertian terbinanya keserasian, keselarasan, keseimbangan dan koordinasi yang
berdaya guna dan berhasil guna (Paimin dkk, 2012).
Era otonomi daerah laju kerusakan DAS cenderung meningkat dimana
masing-masing
memenuhi

dan

kabupaten/kota/provinsi
meningkatkan

memacu

Pendapatan

Asli

daerahnya
Daerah

untuk
(PAD)

dapat
dengan

mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di wilayahnya dan cenderung kurang


memperhatikan aspek ekologi/lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan
DAS tidak mungkin dilakukan secara sektoral parsial oleh masing-masing
pemerintah daerah yang berada dalam suatu wilayah DAS (Paimin dkk, 2012).
Dari latar belakang diatas, penulis ingin mengetahui

kondisi umum

Waduk Jatiluhur, mendeskripsikan konflik pemanfaaatan air dan pengelolaan


terpadu antar daerah dari aliran sungai di era otonomi daerah dan serta mencari
solusi dari permasalahan konflik pemanfaatan dan pengelolaan air di era otonomi
daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana kondisi umum Waduk Jatiluhur?
2. Bagaimana Peran Stakeholder yang terlibat dari konflik pemanfaaatan air
dan pengelolaan terpadu antar daerah dari aliran sungai di era otonomi
daerah

3. Bagaimana Solusi yang dapat diambil dari konflik pemanfaaatan air dan
pengelolaan terpadu antar daerah dari aliran sungai di era otonomi daerah
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1. Mengetahui kondisi umum Waduk Jatiluhur.
2. Mendeskripsikan peran stakeholder yang terlibat dari konflik pemanfaaatan
air dan pengelolaan terpadu antar daerah dari aliran sungai di era otonomi
daerah
4. Mengetahui Solusi yang dapat diambil dari konflik pemanfaaatan air dan
pengelolaan terpadu antar daerah dari aliran sungai di era otonomi daerah

II. PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Umum Waduk Jatiluhur
Waduk

Jatiluhur

terletak

di

Kecamatan

Jatiluhur,

Kabupaten

Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan


Jatiluhur adalah bendungan terbesar di Indonesia. Bendungan itu dinamakan oleh
pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha.
Bendungan ini mulai dibangun pada tahun 1957 ditandai dengan peletakkan batu
pertama pembangunan oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno. Tanggal 19
September 1965 merupakan kunjungan terakhir Ir. Soekarno ke Bendungan
Jatiluhur. Bendungan ini mulai dibangun oleh kontraktor asal Perancis, dengan
potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3 / tahun. Didalam Waduk Jatiluhur,
terpasang 6 unit turbin dengan daya terpasang 187 MW dengan produksi tenaga
listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun, dikelola oleh Perum Jasa Tirta II.

Gambar 1. Bendungan Waduk Jatiluhur Kabupaten Purwakarta


Bendungan Jatiluhur berjarak kurang lebih 100 km arah Tenggara Jakarta,
yang dapat dicapai melalui jalan tol Jakarta Cikampek dan jalan tol Cipularang
(ruas Cikampek Jatiluhur), dan 60 km arah Barat Laut Bandung, yang dapat
dicapai melalui jalan tol Cipularang (ruas bandung Jatiluhur). Dari Kota
Purwakarta sekitar 7 km arah barat. Berdasarkan koordinat geografis, posisi
Tubuh Bendungan Jatiluhur berada pada 6o31 Lintang Selatan dan 107o23 Bujur
Timur. Kotak merah pada gambar kiri menunjukkan posisi Bendungan Jatiluhur
pada peta.

Bendungan Jatiluhur membendung aliran Sungai Citarum di Kecamatan


Jatiluhur Kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat, membentuk waduk
dengan genangan seluas 83 km2 dan keliling waduk 150 km pada elevasi muka
air normal +107 m di atas permukaan laut. Luas daerah tangkapan Bendungan
Jatiluhur adalah 4.500 km2. Sedangkan luas daerah tangkapan yang langsung ke
waduk setelah dibangun Bendungan Saguling dan Cirata di hulunya menjadi
tinggal 380 km2, yang merupakan 8% dari keseluruhan daerah tangkapan. Daerah
tangkapan (upper Citarum) meliputi wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten
Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Purwakarta. Pada Awalnya dirancang memiliki kapasitas tampungan 3 milyar m3,
namun saat ini tinggal 2,44 milyar m3 (hasil pengukuran batimetri tahun 2000)
akibat sedimentasi. Namun demikian setelah dibangun Bendungan Saguling dan
Cirata di atasnya, laju sedimentasi semakin menurun.
Waduk

Jatiluhur

memiliki

beberapa

fungsi

diantaranya

sebagai

pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 187,5 MW, pengendalian banjir di


Kabupaten Karawang dan Bekasi, irigasi untuk 242.000 ha, pasok air untuk rumah
tangga, industri dan penggelontoran kota, pasok air untuk budidaya perikanan air
payau sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas 20.000 ha, dan pariwisata.
2.2 Peran Stakeholder yang terlibat dalam konflik pemanfaaatan air dan
pengelolaan terpadu antar daerah dari aliran sungai di era otonomi daerah
Perlunya pengelolaan DAS Citarum dikelola secara terpadu
(Mangundikoro, A, 1985) adalah : a). Kegiatan pengelolaan DAS dilakukan
bersama-sama dan saling terkait menyangkut aktivitas manusia/lembaga. Konsep
ekosistem menuntut adanya konsekuensi logis bahwa setiap perubahan atau
tindakan harus mempertimbangkan komponen lainya, b). Ilmu yang mendasari
bersifat multi disiplin antara ilmu tanah, pertanian, dan sosiologi. Bidang-bidang
yang dicakup di dalam harus satu konsepsi bahwa pengelolaan DAS tidak boleh
sepihak. c). Penyelengaraan pengelolaan DAS bersifat lintas sektoral. tidak ada
satu institusipun yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pengelolaan
secara bulat. Merujuk pada apa yang disampaikan diatas maka dalam pengelolaan
DAS terpadu tersebut keterlibatan parapihak (stakeholder) dalam pengelolaan
5

DAS Citarum yang berkelanjutan merupakan faktor penting. Seperti disampaikan


oleh Yasser Pramana (2012), Stakeholders merupakan pihak-pihak mempengaruhi
dan atau dipengaruhi kebijakan dan tindakan dengan kepentingan yang berbeda,
baik individu, kelompok ataupun organisasi4. Eden and Ackermann dalam Bryson
(2004) menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang
mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan
suatu organisasi.
Pelibatan stakeholder merupakan menjadi kunci dalam pengelolaan
DAS Citarum kedepan sepertri telah dikemukakan oleh Mangundikoro, A, 1985
bahwa tidak ada satupun institusi yang mempunyai kewenangan penuh untuk
menggelola DAS secara bulat. Sehingga memetakan Sehingga keberlanjutan
program sangat dipengaruhi oleh peran serta stakeholder dalam keterlibatanya
untuk Pengelolaan DAS Citarum. Untuk itu mengidentivikasi peran-peran dan
kepentingan dari para-pihak melalui analisis stakeholders adalah salah satu upaya
memetakan berbagai persoalan dan potensi yang akan digunakan untuk
merancang program-program pengelolaan DAS Citarum. Analisis stakeholders
menurut Mayers (2005), yaitu mempelajari bagaimana manusia berhubungan satu
sama lain dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan cara memisahkan peran
stakeholders ke dalam rights (hak), responsibilities (tanggungjawab), revenues
(pendapatan) serta relationship (menilai hubungan antar peran tersebut). Analisis
stakeholders perlu dilakukan dengan : 1) mendefinisikan aspek-aspek fenomena
alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2)
mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau
mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan
kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Reed et al. 2009).
Analisis stakeholders mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat
dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. (1999), untuk menentukan siapa yang
perlu

dipertimbangkan

dalam

analisis

stakeholders,

dilakukan

dengan

mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap


hutan, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu:

a. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang


berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan.
b. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui dan
dihormati.
c. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak
mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga mereka
sangat bergantung dengan keberadaan hutan.
d. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia
sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan.
e. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat
dalam menjaga kelestarian hutan.
f. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan,
sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan
perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi
dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan,
sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan
hutan itu sendiri.
g. Defisit kekuasaan, berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat
local dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari
tekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak.
Putra dalam Suharto (2008, hal. 25) Dalam proses identifikasi parapihak (stakeholder) maka strategis yang perlu dilakukan, dalam proses
identifikasinya, mengelompokkan ke dalam tiga kelompok :
Stakeholder kunci: mereka yang memiliki kewenangan secara legal untuk
membuat keputusan. Stakeholder kunci mencakup unsur eksekutif sesuai
tingkatannya, legislative dan lembaga-lembaga pelaksana program pembangunan.
Stakeholder primer: mereka yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung
dengan suatu kebijakan, program atau proyek. Mereka biasanya dilibatkan dalam

proses pengambilan keputusan, terutama dalam penyerapan aspirasi publik.


Stakeholder primer bisa mencakup (a) masyarakat yang diidentifikasi akan
terkena dampak (baik positif maupun negatif) oleh suatu kebijakan, (b) tokoh
masyarakat dan (c) pihak manajer publik, yakni lembaga atau badan publik yang
bertanggungjawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan.
Stakeholder sekunder: mereka yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung
dengan suatu kebijakan, program, dan proyek, namun memiliki kepedulian dan
perhatian sehingga mereka turut bersuara dan berupaya untuk mempengaruhi
keputusan legal pemerintah. Kelompok-kelompok kritis, organisasi profesional
(PGRI, IDI, HIPMI), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Sosial
(Orsos), dan lembaga-lembaga keuangan internasional dapat dikategorikan
sebagai stakeholder sekunder.

III. RENCANA STRATEGI


Berkaitan dengan batas wilayah DAS yang jarang sekali, bahkan tidak
mungkin, berhimpitan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan. Dengan
demikian salah satu permasalahan yang melekat dalam upaya pengelolaan DAS
saat ini adalah adanya kerangka desentralisasi dan otonomi daerah yang
memungkinkan masing-masing wilayah administrasi melakukan pengelolaan
sesuai wilayahnya masing-masing. Hal itu menyebabkan munculnya ego setiap
pemerintah daerah yang merasa hanya bertanggungjawab pada wilayah
administrasinya

sendiri,

padahal

pengelolaan

DAS

bisa

meliputi

satu

kabupaten/kota atau lebih, bahkan bisa meliputi lebih dari satu provinsi.
Pada era otonomi daerah laju kerusakan DAS cenderung meningkat
dimana masing-masing kabupaten/kota/provinsi memacu daerahnya untuk dapat
memenuhi

dan

meningkatkan

Pendapatan

Asli

Daerah

(PAD)

dengan

mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di wilayahnya dan cenderung kurang


memperhatikan aspek ekologi/lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan
DAS tidak mungkin dilakukan secara sektoral parsial oleh masing-masing
pemerintah daerah yang berada dalam suatu wilayah DAS (Paimin dkk, 2012).
Terkait dengan fungsi kawasan dalam wilayah DAS bisa terdiri dari
kawasan hutan, kawasan lindung, kawasan budidaya/pertanian dan perkebunan,
kawasan perairan, kawasan pemukiman dan kawasan lainnya. Sering terjadi
keberadaan sumberdaya alam yang berbeda menempati wilayah atau bentang alam
yang sama, misalnya deposit bahan tambang dan mineral di dalam kawasan
hutan. Hal ini membawa konsekuensi terjadinya tumpang-tindih
kepentingan dan
kewenangan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam oleh instansi yang
berbeda. Serta memungkinkan terjadinya benturan kewenangan dan
kepentingan,
saling lempar tanggungjawab jika terjadi kasus-kasus kerusakan
lingkungan dikarenakan tumpang-tindih tugas masing-masing instansi terkait.

Sebagai akibat dari adanya ego masing-masing instansi tersebut maka pendekatan
pengelolaan DAS yang dilakukannyapun berbeda-beda menurut kepentingan
instansi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya di DAS
yang sama oleh berbagai instansi yang berbeda memerlukan koordinasi
pengelolaan sumberdaya tersebut (Permenhut Nomor 42/Menhut-II/2009).
Terkait

dengan

berbagai

konflik

pengelolaan

atau

pemanfaatan

sumberdaya alam DAS yang disebabkan karena belum adanya perangkat hokum
yang mengatur pengelolaan sumberdaya DAS. Selain itu, konflik pemanfaatan
sumberdaya seringkali terkait dengan belum berjalannya keterpaduan antar
pemangku

kepentingan

(stakeholders)

dalam

kegiatan

penyelenggaraan

pengelolaan DAS yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,


pemantauan dan evaluasi DAS. Oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS
memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi para pemangku
kepentingan (stakeholders) untuk berkoordinasi dan merencanakan kebijakan
pengelolaan DAS serta diperlukan perencanaan yang komprehensif dan
mengakomodir berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam suatu DAS.

10

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Waduk Jatiluhur merupakan waduk pertama terbesar dan serbaguna yang
ada di Indonesia. Pembangunan waduk ini selain mendatangkan manfaat bagi
masyarakat, juga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Manfaat nya
anatara lain pemanfaatan ekonomi dari pasokan air irigasi, masyarakat dapat
membuka usaha warung makan khas Purwakarta disekitar waduk dan potensi
yang bagus di bidang pariwisata. Dampak negatif bagi lingkungan yaitu erosi
yang disebabkan oleh penduduk yang kehilangan tempat tinggal akibat
pembagunan waduk menjarah hutan yang mengakibatkan rusak atau tidak
berfungsinya hutan sebagai pengendali erosi.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan, yaitu saran untuk masyarakat, agar
dapat memanfaatkan potensi yang ada di Waduk Jatiluhur baik dari pasokan air
irigasi atau untuk meningkatkan pendapatan seperti membuka warung makan khas
Purwakarta di sepanjang waduk dan membuka usaha ikan kerambah jaring apung.
Saran untuk Pemerintah, membantu menyediakan fasilitas yang akan digunakan
untuk menunjang pendapatan negara dari Waduk Jatiluhur. Dan saran untuk
Perum Jasa Tirta II, mengelola Waduk Jatiluhur dengan maksimal agara dapat
terus memberi manfaat bagi masyarakat disekitar dan di hilir.

11

V. LAMPIRAN FOTO DILAPANG

Kondisi Hilir Bendungan Ir. H Djuanda (Jatiluhur)

Bendungan Ir. H. Djuanda (Jatiluhir)

12

Fasilitas Kapal Dayung

13

DAFTAR PUSTAKA
Club, Qc Machining.2013.Sejarah Bendungan Waduk Jatiluhur Kabupaten
Purwakarta.http://samiranindah.blogspot.com/.Diakses pada tanggal 22 Mei 2015
Pamugkas,

Wulan

Sri

&

Andrijanto.2011.Sejarah

Bendungan

jatiluhur.http://jatiluhurdam.wordpress.com/.Diakses pada tanggal 22 Mei 2015.


Anonim.2014.Panorama

Waduk

Jatiluhur

Piurwakarta

Jawa

Barat.http://www.sobatpetualang.com/.(22 Mei 2015)


Anonim.http://www.yukpegi.com/indonesia/jawa-barat/pesona-keindahan-wadukjatiluhur/.(22 Mei 2015)

14

Anda mungkin juga menyukai