Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Lebih dari 80% pasien rawat akut mendapatkan terapi intravena sebagai
bagian rutin dari perawatan di rumah sakit (Steven dan Anderson, 2003). Sistem
terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dapat
dilakukan secara kontinu dan penderitapun merasa lebih nyaman jika dibandingkan
dengan cara lainnya. Pemasangan terapi intravena membutuhkan bantuan peralatan
yang tetap tertanam pada tubuh pasien dalam waktu yang lama sampai dinyatakan
pemasangan intravena tidak lagi diperlukan. Alat yang tertanam pada tubuh pasien
ini meskipun telah dipertahankan tingkat sterilitasnya, tetapi karena dalam jangka
waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi
pada lokasi pemasangan infus, salah satunya adalah phlebitis.
Selain pada lokasi pemasangan infus, kejadian plebitis juga dapat terjadi
karena tehnik pemasangan yang kurang memperhatikan tingkat sterilitas dan
kenyamanan pasien. Tehnik pemasangan kateter intravena yang tepat ada 2 metode
yaitu pemasangan dengan jarum menghadap ke atas dari atas vena yang lurus,
memasukkan jarum antara -1/2 kemudian mendorong styletnya sampai stylet
masuk semua ke dalam vena (Rocca, 1998). Menurut Perry dan Potter (2005),
tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan infus
adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan
merupakan akses paling mudah untuk terapi intaravena. Daerah tempat infus yang
memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (Vena supervisial dorsalis, vena
basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika, vena
kubital median, vena median lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal
(Vena safena magna, ramus dorsalis).
Menurut Dougherty, dkk, (2010), Pemulihan lokasi pemasangan terapi
intravena mempertimbangkan beberapa factor, yaitu:

a) Umur pasien: misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat penting dan
mempengaruhi beberapa lama intravena terakhir
b) Prosedur yang diantisipasi: misalnya jika pasien harus menerima jenis terapi
tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pemedahan, pilih sisi yang
tidak terpengaruh oleh apapun
c) Aktivitas pasien: misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan tingkat
kesadaran
d) Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering
memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya hiperalimenasi adalah sangat
mengiritasi bena-vena perifer
e) Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk
memelihara vena; pilih bena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati-hati,
rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal (misalnya mulai di tangan dan pindah ke
lengan)
f)

Keetersediaan vena perifer bila sangan sedikit vena yang ada, pemilihan sisi dan
rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting; jika sedikit vena pengganti

g) Terapi intravena sebelumnya: flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak


baik untuk digunakan, kemotrapi sering membuat vena menjadi buruk (misalnya
mudah pecah atau sklerosis)
h) Pembedahan sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang terkena pada
pasien dengan kelenjar limfe yang telah diangkat (misalnya pasien mastektomi)
tanpa izin dari dokter
i)

Sakit sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada pasien dengan
stroke

j)

Kesukaan pasien: jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk


sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia

maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan

pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden phlebitis


meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan
atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat
kanula dimasukkan. Kejadian phlebitis yang terjadi pada pasien dipengaruhi oleh
beberapa faktor (Steven & Anderson, 2003) antara lain jenis cairan, lokasi
pemasangan dan tehnik insersi kateter intravena. Lokasi pemasangan infus pada
punggung tangan dapat mengganggu kemandirian pasien serta rentan terhadap
pergeseran. Tehnik insersi harus dilakukan observasi secara berkala sebagai upaya
pencegahan terjadinya phlebitis. Penelitian Prajoko (2007), faktor resiko terjadinya
phlebitis pada pemasangan infus didapatkan 24 penderita diamati selama 3 hari
dalam 15 hari terdapat 8 orang (33,33%) yang menderita phlebitis dengan gejala
klinis (gatal, merah, bengkak, nyeri tekan, panas > 38 derajat celcius).
Penelitian Uslusoy dan Mete (2006) tentang faktor predisposisi phlebitis pada
pasien yang dipasang infus pada vena perifer didapatkan bahwa lokasi pemasangan
infus dengan infus pump dan kateter intravena pada vena di sekeliling siku
meningkatkan resiko phlebitis. Angka kejadian phlebitis di RSUD dr.Saiful Anwar
malang sendiri selama bulan Maret 2016 didapatkan angka 3,3% dari seluruh pasien
yang dirawat di Ruangan bedah (R.27 dan R.28). Keterlibatan perawat terkait
dengan tindakan intravena sangat besar, perawat terlibat mulai dari persiapan alat,
persiapan pasien, pemasangan kateter intravena sampai dengan memonitor
kelangsungan

selama

pasien

terpasang

kateter

intravena.

Perawat

perlu

mengidentifikasi kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena


berdasarkan lokasi pemasangan, karena kejadian phlebitis memiliki pengaruh
terhadap kemampuan gerak ekstremitas, keefektifan pengobatan dan suplai cairan
serta nutrisi bagi pasien selama menjalani masa perawatan. Berdasarkan fenomena
tersebut maka penulis menyarankan prosedur penusukan lokasi intravena di vena
fossa cubiti sebagai upaya mengurangi kejadian phlebitis di RSUD dr.Saiful Anwar
malang.

1.2.
TUJUAN
1.2.1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi faktor resiko yang menyebabkan terjadinya phlebitis
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi lokasi insersi catheter intravena yang mempunyai resiko
tinggi terhadap kejadian phlebitis
b. Mengidentifikasi ukuran canula yang dipakai untuk menentukan apakah dapat
menyebabkan kejadian phlebitis
c. Mengidentifikasi cara pemasangan insersi catheter intravena di ruangan
apakah dapat menyebabkan kejadian phlebitis.
1.3.
MANFAAT
1.3.1. Bagi pasien
Pasien diharapkan dapat terhindar dari phlebitis atau infeksi yang
merupakan efek samping dari pemasangan kateter intra vena. Selain itu pasien
juga dapat dapat merasakan kepuasan dan kenyamanan terhadap prosedur
yang dilakukan, sehingga mencapai kesembuhan optimal.
1.3.2. Bagi klinik
Dunia klinik mendapatkan pengetahuan dan skill baru prosedur dalam
pencegahan terjadinya efek samping pemasangan kateter intravena serta
mengembangkan dan mengoptimalkan pelayanan pada tindakan klinik.

1.3.3. Bagi mahasiswa keperawatan


Mahasiswa kesehatan sebagai agen perubahan diharapkan menjadi
promotor dalam aplikasi ilmu keperawatan yang baru untuk memperbaiki kinerja
perawat sehingga mengoptimalkan efisiensi beban kerja perawat.
1.3.4. Bagi institusi pendidikan
Institusi pendidikan mendapatkan pengetahuan baru dari praktek
lapangan di klinik yang sesuai dengan pembahasan teori sehingga bisa
digunakan sebagai bahan materi dalam memberikan pendidikan kepada
mahasiswa keperawatan yang akan menjadi generasi penerus di dunia
keperawatan untuk menjadi lebih baik.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

Konsep Dasar Pemasangan Infus


1. Definisi Pemasangan Infus
Pemasangan infus merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk
memungsi vena secara transcutan dengan menggunakan stilet tajam yang kaku
dilakukan dengan teknik steril seperti angeocateter atau dengan jarum yang
disambungkan dengan spuit (Eni K, 2006). Pemasangan infus adalah salah satu
cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam
tubuh pasien (Darmawan, 2008).
Sedangkan infus adalah memasukkan cairan dalam jumlah tertentu melalui
vena penderita secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu (Azwar, 2008).
Sementara itu menurut Lukman (2007), pemasangan infus intravena adalah

memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh balik) untuk dilewati
cairan infus/pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah cairan atau obat dapat masuk
ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka waktu tertentu. Tindakan ini sering
merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak,
dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman
diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta
asam basa.
2. Tujuan Pemasangan Infus
Tujuan utama terapi intravena adalah mempertahankan atau mengganti
cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang
tidak dapat dipertahankan melalui oral, mengoreksi dan mencegah gangguan cairan
dan elektrolit, memperbaiki keseimbangan asam basa, memberikan tranfusi darah,
menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu pemberian
nutrisi parental (Hidayat, 2008).
3. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk pemilihan vena :
a. Gunakan vena-vena distal terlebih dulu.
b. Gunakan lengan pasien yang tidak dominan jika mungkin.
c. Pilih vena-vena di atas area fleksi.
d. Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang adekuat ke
dalam kateter.
e. Palpasi vena untuk menentukan kondisinya. Selalu pilih vena yang lunak, penuh,
dan yang tidak tersumbat, jika ada.
f.

Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak akan menggangguaktivitas pasien


sehari-hari.

g. Pilih lokasi yang tidak akan mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur


yang direncanakan.
4. Prosedur Pemasangan Kateter Infus

Prosedur pemasangan kateter vena infus dengan menggunakan teknik insersi


penusukan di area vena perifer dan area vena fossa lengan kanan atau lengan kiri
dengan menggunakan prinsip steril untuk mengurangi resiko infeksi yang akan
timbul.
1. alat dan bahan
infusion set dewasa (makro)
venflon ukuran 20
cairan infus
kapas alhohol
handscone steril
torniquet
plester
gungting
2. SOP pemasangan infus

5. Peran Perawat Dalam Terapi Intravena


1) Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infus maupun
kemasannya
2) Memastikan cairan infus diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara
pemberian dan waktu pemberian)
3) Memeriksa apakah jalur intravena tetap paten
4) Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas
5) Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan instruksi
6) Monitor kondisi pasien dan melaporkan setiap perubahan

6. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan ( Kewaspadaan)


a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru
b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi
c. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain
d. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan
e. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir

f.

Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus perlahan,
periksa ujung kateter terhadap adanya embolus

g. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester dibersihkan


memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu).
h. Gunakan alat alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik sterilisasi
dalam pemasangan infus.
i.

Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang telah
rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.

j.

Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat

7. Prinsip pemasangan infus


a. Prinsip pemasangan infus pada pediatric (anak)

Karena vena klien sangat rapuh, hindari tempat-tempat yang mudah digerakkan
atau digeser dan gunakan alat pelindung sesuai kebutuhan (pasang spalk kalau
perlu)

Vena-vena kulit kepala sangat mudah pecah dan memerlukan perlindunga agar
tidak mudah mengalami infiltrasi (biasanya digunakan untuk neonatus dan bayi)

Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan pembatasan yang


minimal

b. Prinsip pemasangan infuse pada lansia

Pada klien lansia, sedapat mungkin gunakan kateter/jarum dengan ukuran paling
kecil (24-26). Ukuran kecil mengurangi trauma pada vena dan memungkinkan
aliran darah lebih lancar sehingga hemodilusi cairan intravena atau obat-obatan
akan meningkat.

Kestabilan vena menjadi hilang dan vena akan bergeser dari jarum (jaringan
subkutan lansia hilang). Untuk menstabilkan vena, pasang traksi pada kulit di
bawah tempat insersi

Penggunaan sudut 5 15 saat memasukkan jarum akan sangat bermanfaat


karena vena lansia lebih superficial

Pada lansia yang memiliki kulit yang rapuh, cegah terjadinya perobekan kulit
dengan meminimalkan jumlah pemakaian plester.

8. Lokasi Pemasangan Infus


Lokasi pemasangan infus biasanya pada vena yang terdapat di lengan antara lain,
1) Vena digitalis mengalir sepanjang sisi lateral jari tangan dan dihubungkan ke vena
dorsalis oleh cabang-cabang penyambung.
Keuntungan :kadang-kadang hanya vena yang tersedia, yang dengan mudah
difiksasi dengan spatel lidah yang dibalut dengan perban.
Kerugian :hanya kateter yang berukuran kecil dapat digunakan, mudah terjadi
infiltrasi, tidak cocok untuk terapi jangka panjang.
2) Vena dorsalis superfisialis (metakarpal atau tangan) berasal dari gabungan vena
digitalis.
Keuntungan :memungkinkan pergerakan lengan, mudah dilihat dan di palpasi,
tulang-tulang dengan membelat kateter.
Kerugian: pasien-pasien yang aktif dapat mengeser kateter, balutan menjadi mudah
basah dengan mencuci tangan, tempat penusukan IV akan macet jika penahan
pergelangan tangan di pasang.
3) Vena sefalika terletak di lengan bagian bawah pada posisi radial lengan (ibu jari).
Vena ini berjalan ke atas sepanjang bagian luar dari lengan bawah dalam region
antekubiti. Vena sefalika lebih kecil dan biasanya lebih melengkung dari vena
basilika.
Keuntungan : dapat menggunakan kateter ukuran bsar untuk infus yang cepat,

dibelat oleh tulang-tulang lengan, pilihan yang baik untuk infus larutan yang
mengiritasi.
Kerugian :lebih melengkung daripada vena basilika; ini biasanya merupakan
kerugian hanya bila memasang kateter yang lebih panjang.
4) Vena basilika ditemukan pada sisi ulnaris lengan bawah, berjalan ke atas pada
bagian posterior atau belakang lengan dan kemudian melengkung ke arah
permukaan anterior atau region antekubiti. Vena ini kemudian berjalan lurus ke atas
dan memasuki jaringan yang lebih dalam.
Keuntungan : sama seperti vena sefalika, biasanya lebih lurus dari vena sefalika
Kerugian : cenderung berputar; posisi pasien mungkin aak kikuk selama pungsi
vena.
5) Vena mediana/antekubiti berasal dari vena lengan bawah dan umumnya terbagi
dalam dua pembuluh darah, satu berhubungan dengan vena basilika dan yang
lainnya berhubungan dengan vena sefalika. Vena ini biasanya digunakan untuk
pengambilan sampel darah.
Keuntungan

mudah

dilakukan

penusukan,

besar,

cenderung

stabil.

Kerugian : dapat membatasi gerakanlengan pasien, sering diperlukan untuk


pengambilan sampel darah.

B.

Phlebitis
1. Pengertian
Dalam pemberian terapi intravena tidak bisa lepas dari adanya komplikasi.
Komplikasi yang bisa didapatkan dari pemberian terapi intravena adalah komplikasi
sistemik dan komplikasi lokal. Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi tetapi
seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal seperti kelebihan sirkulasi, emboli

udara dan infeksi. Komplikasi lokal dari terapi intravena antara lain infiltrasi, phlebitis,
trombophlebitis, hematoma, dan ekstravasasi (Potter and Perry, 2005).
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia
maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan
pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis
meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan
atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula
dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme
pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002).
Menurut

Infusion

Nursing

Society

(INS,

2006)

phlebitis

merupakan

peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan
sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme
iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit
pada area tersebut.

2. Klasifikasi Phlebitis
Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat
kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post
infus (INS, 2006)
a. Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)
Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi
pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi
peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang
diberikan atau bahan material kateter yang digunakan.
PH darah normal terletak antara 7,35 7,45 dan cenderung basa. PH
cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah
netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk
mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf,

jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa
digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik.
Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah
partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma
manusia adalah 285 10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan sering
dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan
osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan
isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 310
mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik,
sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak
hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh
terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami
trauma pada pemberian larutan

hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas

lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat
pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih
hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS,
2006). Menurut Imam Subekti vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan
sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis)
makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis,
trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus
diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan
osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat
sehingga tidak merusak dinding.
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu
penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah
mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material katheter
juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil
klorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar

dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006). Partikel
materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna
diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter
dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan
atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk
tersebut. (Darmawan, 2008)

b. Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)


Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau
penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih
sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat ekstremitas
digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma
pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang
kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease Control and
Prevention, 2002)

c. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)


Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan
adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan laporan dari The Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter
related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada
pemasangan katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative,
tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan
meningkat.

Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah


Pathogen
Coagulase-negatif

1986 - 1989 1992 - 1999


27
37

Staphylococcus
S Aureus
Enterococcus
Gram-negatif rods
E coli
Enterobacter
P aeruginosa
K pneumoniae
Candida species

16
8
19
6
5
4
4
8

13
13
14
2
5
4
3
8

CDC. National Nosocomial Infection Surveillance(NNIS) dipublikasikan 2001.


Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai
predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor faktor yang berperan
dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :
1) Tehnik cuci tangan yang tidak baik.
2) Tehnik aseptik yang kurang pada saat penusukan.
3) Tehnik pemasangan katheter yang buruk.
4) Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)
Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari
petugas kesehatan dalam tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan
universal petugas kesehatan yang melakukan tindakan invansif harus memakai
sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, tehnik cuci tangan yang
baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan sarung tangan robek,
dan bakteri mudah berkembang biak di lingkungan sarung tangan yang basah dan
hangat, terutama sarung tangan yang robek ( CDC, 1989). Tujuan dari cuci tangan
sendiri adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan
kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan menggunakan
sabun biasa dan air, sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun anti
mikroba (Pereira, Lee dan Wade, 1990).
Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan tehnik
aseptic. Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk

meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor harus dibersihkan
dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptic.
Lama pemasangan katheter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian
phlebitis. May dkk (2005) melaporkan hasil, di mana mengganti tempat (rotasi)
kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas
flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster
disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA
tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention
menganjurkan
penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi
(Darmawan, 2008)

d. Post Infus Phlebitis


Phlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat
pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan pada vena yang
didapatkan 48 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan
kejadian phlebitis post infus, antara lain :
1) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.
2) Pada pasien dengan retardasi mental.
3) Kondisi vena yang baik.
4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.
5) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.
3. Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis
Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang
dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk
kejadian phlebitis, yaitu :
Tabel 2.2 VIP Score ( Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson.

SKOR

KEADAAN AREA PENUSUKAN

PENILAIAN

0
1

Tempat suntikan tampak sehat


Salah satu dari berikut jelas

Tak ada tanda phlebitis


Mungkin tanda dini phlebitis

a. Nyeri area penusukan


2

b.Adanya eritema di area penusukan


Dua dari berikut jelas ;

Stadium dini phlebitis

a. Nyeri area penusukan


b. Eritema
3

c. pembengkakan
Semua dari berikut jelas ;

Stadium moderat phlebitis

a. nyeri sepanjang kanul


b. eritema
4

c. indurasi
Semua dari berikut jelas ;

Stadium

a. nyeri sepanjang kanul

thrombophlebitis.

lanjut

atau

awal

b. eritema
c. indurasi
5

d. venous chord teraba


Semua dari berikut jelas ;

Stadium lanjut thrombophlebitis

a. nyeri sepanjang kanul


b. eritema
c. indurasi
d. venous chord teraba
e. demam
4. Tindakan Pencegahan Phlebitis
Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi
cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian
nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor faktor
yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah

dan mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain ;
a. Mencegah phlebitis bakterial
Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik
aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk pemilihan larutan
antisepsis, CDC merekomendasikan penggunaan chlorhexedine 2 %, akan tetapi
penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan.
b. Selalu waspada dan tindakan aseptic.
Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah
infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan pemberian obat,
pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah ) merupakan jalan masuk
kuman.
c. Rotasi katheter.
May dkk (2005) melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral Nutrition (PPN), di
mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15
pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi
baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di
tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease
Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk
membatasi potensi infeksi.
d. Aseptic dressing
INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga
mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan
balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24
jam.
e. Kecepatan pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan
makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus

obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L
jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk
mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini
membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 330 mL/jam). Vena perifer yang
paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk
mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat
bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan
dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance
atau nutrisi parenteral.
f.

Titrable acidity
Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH
larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan
pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang
menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah

(0.16 mEq/L).

Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko
phlebitisnya.

g. Heparin dan hidrokortison


Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL,
mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter. Risiko phlebitis yang
berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan
antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti
hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara
bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium
klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi
dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan
heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan
endapan kalsium.
C.

Jenis cairan infus


Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan tersebut
yang akan dibedakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan, besar molekul suatu
cairan, atau dibedakan pada komposisi atau kandungan dalam suatu larutan infus
(PT Otsuka Indonesia, 2009)
Pembagian cairan infus menurut tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada
tekanan osmotik yang terdapat dalam larutan tersebut, antara lain :
1. Larutan isotonik.
Adalah cairan infus yang mempunyai tekanan osmotik sama seperti cairan tubuh
normal. Sebagai contoh : normal saline (Na Cl0,9%), Ringer Laktat (RL).
2. Larutan hipotonik
Larutan dikatakan hipotonik apabila mempunyai tekanan osmotic lebih rendah dari
cairan tubuh, misalnya : D5%, dan cairan rumatan.
3. Larutan Hipertonik
Cairan infus yang memiliki tekanan osmotik lebih tinggi dari plasma darah disebut
hipertonik. Contohnya adalah cairan manitol.

Berdasarkan besar molekul yang terkandung dalam suatu larutan, cairan infus dapat
dibedakan menjadi :
1. Cairan koloid.
Mempunyai ukuran molekul yang besar, sehingga tidak akan keluar dari membrane
kapiler. Contohnya adalah larutan albumin dan steroid.
2. Cairan kristaloid.
Ukuran molekulnya lebih kecil disbanding cairan koloid. Cairan ini berfungsi untuk
mengisi sejumlah volume cairan kedalam plasma (volume expander). Misalnya
cairan NaCl 0,9% dan RL.
Sedangkan berdasarkan komposisi yang terkandung dalam suatu cairan infus, dapat
dibedakan menjadi :
1. Cairan elektrolit
Cairan ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan beberapa elektolit tubuh yang
mengalami kekurangan, misalnya NaCl, RL, Ringer Asetat.
2. Cairan nutrisi
Untuk cairan ini komposisi yang ada dalam larutan diberikan untuk memberikan
dukungan nutrisi (PT Otsuka Indonesia, 2009).

Anda mungkin juga menyukai