Anda di halaman 1dari 24

Gadis Oriental (Bagian 1)

kakak Mirah.

Sebuah sedan mewah meluncur mulus, memasuki jalan raya


perumahan elite di kawasan Bukit Kencana, Bandar
Lampung. Yang duduk di belakang kemudi adalah Mirah
Delima. Wanita cantik bermata besar, berwajah manis
dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya. Baru menikah
satu tahun.

Non Vivian juga ada di dalam, Non. Bersama Pak Romeo.

Di sebelah Mirah, Devina Sari Dewi, masih lajang.


Kecantikannya sedikit lebih menonjol dibanding Mirah.
Selain memiliki hidung bangir, Devina punya bentuk bibir
sangat bagus, sepasang mata indah.
Dua sahabat ini tampak sibuk dalam perbincangan akrab,
sampai akhirnya mobil yang mereka tumpangi tiba di depan
pintu gerbang sebuah rumah besar bertingkat. Rumah besar
dan mewah itu dijaga seorang petugas keamanan, yang
duduk di pos kecil dekat pintu gerbang.
Mirah membunyikan klakson mobilnya, membuat petugas
keamanan itu menoleh. Ketika mengenali Mirah, si petugas
keamanan segera berlari menghampiri, sambil menekan
tombol remote control pembuka gerbang. Gerbang pun
terbuka secara otomatis. Mobilnya mau dimasukkan ke
garasi, Non? petugas keamanan bernama Parman itu
bertanya.
Tidak usah, Mirah menggeleng. Kami cuma sebentar.
Mirah memarkir mobilnya tepat di depan pintu garasi.
Setelah mematikan mesin, ia mengajak Devina masuk.
Sepi sekali, gumam Mirah, seakan bicara pada diri
sendiri. Jangan-jangan Mami dan Sultan sedang keluar.
Tidak, Non, Parman menyahut. Ibu Fatimah ada di
dalam.
Bu Fatimah ibu kandung Mirah, yang ditinggal meninggal
ayahnya 10 tahun lalu, sedangkan Sultan satu-satunya

Dia lagi? Mirah membelalak sebal, mendengar nama


Vivian disebut. Ia tidak pernah menyukai Vivian, kekasih
Sultan.
Iya, Non. Mereka semua sedang berada di taman
belakang, Parman jadi agak gugup, melihat wajah Mirah
berubah kecut.
Rumahmu ini terlalu besar, Mir. Biarpun sedang
kedatangan beberapa orang tamu sekaligus, tetap saja
akan kelihatan sepi. Devina sengaja memberi komentar,
agar Mirah tidak terlalu cemberut. Padahal, ia sendiri
sebenarnya agak berdebar, bercampur cemburu, mendengar
nama Vivian Chung disebut.
Harusnya, setelah menikah, kamu jangan pindah rumah,
kata Devina, lagi. Kasihan mamimu. Pasti kesepian.
Aku, sih, maunya begitu, Mirah berkata dengan nada
setengah menyesal. Tapi, kamu tahu sendiri adat
suamiku. Dia tidak mau tinggal bareng Mami dan Sultan.
Takut dikira mendompleng mertua. Makanya, Dev, cepat
kamu gaet Sultan. Biar mamiku punya teman ngobrol,
Mirah menggoda.
Sepasang pipi halus Devina merona merah.
Sejak dulu aku sudah berusaha menjodohkanmu dengan
Sultan. Tapi, kamu terlalu pemalu, sih, kata Mirah,
kesal.
Devina menghela napas panjang. Ia mengerti, Mirah dan
Nyonya Fatimah selalu berusaha menjodohkan dirinya
dengan Sultan, setiap kali ia bertandang ke rumah megah
milik Mirah ini. Sultan memang sempat memperlihatkan
rasa suka terhadap dirinya. Kalau saja Devina tidak
terlalu malu untuk menyambut perhatian Sultan....

nyaman dan terjamin.


Kini, segalanya sudah terlambat. Sejak setahun lalu,
Sultan berpacaran dengan Vivian Chung, gadis keturunan
Tionghoa, putri pengusaha kayu kaya. Vivian merupakan
teman sekolah Romeo Indrajaya Kusuma, mitra usaha
Sultan.
Aku cari Mami dulu, kata Mirah, sambil mempersilakan
Devina duduk, lalu berlari ke ruang dalam untuk menemui
ibunya.
Mami! Mirah berseru, saat ibunya keluar dari ruang
dalam.
Mirah! Kamu, kok, tidak datang selama satu bulan ini?
Nyonya Fatimah melotot sayang, sambil mencubit pipi
putri bungsunya.
Sibuk, Mi, Mirah menjawab, sambil menggelayut manja di
bahu ibunya. Sesekali, ia mencium pipi ibunya, yang
masih tetap terlihat cantik, meski telah berusia lebih
dari setengah abad.
Devina kadang-kadang iri terhadap Mirah. Nasib Devina
memang tidak seberuntung Mirah. Walau Devina juga
merupakan keturunan dari keluarga intelek, orang tuanya
tidak semapan orang tua Mirah. Ayah Devina pada mulanya
pengusaha timah cukup berhasil. Tapi, usahanya bangkrut,
ketika Devina lahir. Celakanya, kebangkrutan itu membuat
ayah Devina jadi seperti orang linglung, yang tak lagi
mau bekerja. Mau tak mau, ibu Devina yang kemudian
membanting tulang untuk mencari nafkah. Beliau berdagang
ketoprak untuk menghidupi suami dan ketiga anaknya.
Beruntung, adik laki-laki ibu Devina memiliki kehidupan
cukup mapan. Paman Devina itu bersedia menyekolahkan
Devina dan kakaknya sampai tamat SMA. Kini, Devina dan
kakaknya sudah bekerja dan dapat memberikan bantuan
materi pada orang tua mereka. Namun, tetap saja
kehidupan masih terasa keras dan harus dipenuhi oleh
perjuangan, jika dibandingkan kehidupan Mirah yang serba

Mendiang ayah Mirah adalah pengusaha barang antik cukup


sukses. Selain memperjualbelikan barang antik asli
dengan harga sangat tinggi, beliau juga memiliki pabrik,
yang memproduksi replika barang-barang antik tersebut.
Ketika beliau meninggal, Nyonya Fatimahlah yang
meneruskan usaha suaminya. Setelah Sultan dewasa, Sultan
pun ikut membantu.
Hal itu membuat Mirah tak pernah harus merasa khawatir
akan hidup kekurangan. Bahkan, gadis itu tidak
mempersoalkan kuliahnya, yang terpaksa putus di tengah
jalan karena keburu menikah. Hanya, ia kini tinggal
bersama suaminya, yang tidak memiliki rumah semewah
miliknya. Meski begitu, pasangan pengantin baru itu tak
kekurangan, karena bisnis barang pecah belah milik David
cukup berhasil dan mampu menyokong hidup mereka.
Ah... kamu kan tidak kuliah, tidak kerja, sibuk apa?
Nyonya Fatimah berpura-pura mengomel.
Aduh, Mami, kok, nggak percaya! Mirah memang sibuk, Mi.
Sekarang Mirah ambil kursus masak, bikin kue, kursus
menata rumah, macam-macam, deh, Mi. Mirah kan sudah jadi
ibu rumah tangga.
Devina tersenyum melihat perdebatan itu Ia baru berdiri
dari kursinya, mengangguk sopan, saat Nyonya Fatimah
melihatnya.
Eh, Devina. Apa kabar? Duh, kok, tambah kurus? Nyonya
Fatimah menyentuh lengan Devina yang sedikit kurus.
Jangan-jangan, pekerjaanmu terlalu memeras energi, ya?
Nggak juga, Tante. Ini kurus dengan sendirinya, kok.
Saya juga nggak tahu jelas penyebabnya, Devina menjawab
pelan.
Dia mikirin Sultan, Mi. Soalnya, Sultan nggak buru-buru
melamar, sih! cetus Mirah, dengan suara nyaring. Wajah
Devina merah padam.

Ah, itu bisa-bisanya Mirah saja, kok, bantah Devina.


Mi, suruh Sultan melamar Devina, deh. Kalau Devina
keburu dilamar orang, Mami bakal susah cari menantu
sebaik Devina!

Dua minggu lalu, jawab Nyonya Fatimah. Sepertinya,


Sultan sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, tanpa
memberi tahu Mami. Tahu-tahu, dia sudah pesan tempat di
hotel dan sekarang sibuk menyiapkan undangan.

Biasanya, Nyonya Fatimah akan menanggapi dengan


bersemangat, jika Mirah menjodoh-jodohkan Devina dengan
Sultan. Tapi, kali ini ia terduduk lesu. Ada kemurungan
terlukis di wajahnya. Devina dan Mirah bertukar pandang.

Devina terenyak lemas di kursi. Dugaannya tadi sangat


tepat. Harapannya untuk bersanding dengan Sultan di
pelaminan sirna sudah.

Kenapa, Mi? tanya Mirah, bingung.


Nyonya Fatimah menghela napas panjang. Ia menatap Devina
dengan tatapan penyesalan dan kasih sayang. Dari dulu
Tante selalu berharap kamu yang jadi menantu Tante.
Tapi, sekarang....
Jantung Devina berdebar. Hatinya meraba-raba maksud
ucapan ibu Mirah. Apakah kata-kata itu merupakan
pertanda bahwa peluangnya untuk jadi kekasih Sultan
telah berakhir? Ataukah?
Sekarang kenapa, Tante? Devina akhirnya tak dapat
menahan diri. Sesaat ia sadar bahwa pertanyaannya itu
telah mengungkapkan perasaannya secara tak langsung.
Tapi, ia tak peduli lagi. Ucapan Nyonya Fatimah yang
terpotong itu, entah kenapa, dirasakannya seperti vonis
yang menyatakan bahwa ia tak memiliki harapan lagi untuk
menjadi istri Sultan.
Sekarang semua sudah terlambat. kata Nyonya Fatimah,
dengan suara sesak. Sebentar lagi Sultan akan menikah
dengan Vivian.
Sepasang mata Mirah membelalak. Nyonya Fatimah
mengangkat alis, sambil membuang napas. Ia tampak enggan
menganggukkan kepalanya dan membenarkan pertanyaan
putrinya.
Kapan rencana ini pertama kali tercetus, Mi?

Sekarang Sultan di mana, Mi? tanya Mirah.


Kamu mau apa? Nyonya Fatimah yang sudah kenal betul
sifat putrinya itu, tak segera memberitahukan. Ia tidak
ingin terjadi keributan di antara kedua anaknya.
Ah, dia pasti di kebun belakang! Awas, akan kumaki-maki
anak bodoh itu! Masa mau nikah dengan perempuan yang
genitnya minta ampun! Coba Mami bayangkan, setiap hari
dia ke sini, nyamperin Sultan, tapi nggak segan-segan
gelendotan sama Romeo!
Mirah, tunggu! Nyonya Fatimah berusaha mencegah
putrinya yang hendak melabrak Sultan. Tapi, Mirah sudah
keburu ke ruang dalam, yang menembus ke taman belakang.
Aduh, anak itu selalu saja bikin ribut! Nyonya Fatimah
panik. Dia menarik tangan Devina untuk mengejar Mirah.
Ayo, Devina. Jangan biarkan dia membuat keributan
dengan abangnya!
Sultan! Mirah berkacak pinggang di beranda belakang
rumahnya. Ia melotot galak melihat Sultan, yang tengah
duduk santai bersama Vivian dan Romeo di patio (tempat
bersantai, lengkap dengan meja dan kursi), yang dipagari
oleh tanaman.
Sultan menoleh, terkejut. Tapi, ketika melihat sosok
Mirah, ia tersenyum lebar. Vivian yang menggelayut manja
di pundak Sultan juga ikut menoleh. Tapi, gadis cantik

bermata sipit itu segera dihadiahi tatapan galak oleh


Mirah.
Halo, Mirah, sapa Romeo, sambil melemparkan senyum
ramah. Tapi, Mirah malah melengos. Bagi Mirah, senyum
Romeo lebih mirip seringai lapar seekor serigala rakus.
Romeo memang mata keranjang. Gonta-ganti kekasih,
seperti membalikkan telapak tangan. Pernah, ia
terang-terangan mendekati Mirah, padahal saat itu Mirah
punya kekasih. Setelah Mirah menikah, Romeo ganti
mengejar Devina, sampai Devina sebal.
Kita harus bicara, Tan. Mirah mendekati patio, menatap
abangnya dengan pandangan tajam. Meski enam tahun lebih
muda dari Sultan, ia terbiasa memanggil abangnya dengan
sebutan nama.
Vivian melirik Sultan. Gadis berwajah oriental itu
seakan sudah dapat menerka apa yang hendak dibicarakan
Mirah.
Kamu mau bicara apa, Sayang? Sultan bertanya, sambil
menatap adiknya dengan sinar mata menggoda.
Tentang pikiranmu yang nggak beres, jawab Mirah,
galak.
Nggak beres? Sultan pura-pura mengerutkan kening.
Jangan main-main, Tan! Aku betul-betul mau bicara!
Sultan tertawa melihat Mirah mengentakkan kakinya. Ia
menoleh ke arah Romeo. Coba kamu lihat adikku ini, Rom.
Sudah menikah, tapi manjanya nggak ketulungan. Untung
bukan kamu yang mendapatkan dia. Kalau kamu menikah
dengannya, pasti kamu akan kerepotan menjinakkannya.
Romeo tertawa lebar.
Sssh! Jangan diganggu terus, Vivian menempelkan ujung
jari telunjuknya di depan bibir Sultan. Nanti dia

marah!
Kalau marah kenapa? Sultan meraih jari Vivian dan
menciumnya dengan lembut.
Nanti situasinya jadi nggak enak, jawab Vivian,
manja. Wanita itu menyandarkan dagu runcingnya ke dahi
Sultan, sambil matanya melirik Mirah. Meski ia melarang
Sultan menggoda Mirah, sikapnya itu seakan diperlihatkan
untuk membuat Mirah bertambah kesal. Sejak dulu memang
begitu. Makin Mirah memperlihatkan rasa tidak sukanya,
makin atraktif pula Vivian memperlihatkan kemesraannya
dengan Sultan.
Devina yang baru tiba bersama Nyonya Fatimah, tertegun
melihat kemanjaan Vivian. Hati Devina serasa
dicabik-cabik melihat lengan kokoh Sultan melingkar
nyaman di pinggang Vivian, yang duduk berpangku kaki di
atas paha kiri Sultan.
Halo, Devina, sapa Romeo, genit.
Devina melengos melihat mata Romeo mengerlingnya dengan
tatapan penuh arti. Sudah kesal melihat kemanjaan
Vivian terhadap Sultan, kini ia bertambah kesal melihat
ulah Romeo yang menggodanya.
Apa kabar, Dev? Sultan menyapa Devina ramah. Hari ini
kamu kelihatan cantik sekali.
Devina tersenyum kikuk menanggapi sapaan Sultan. Dadanya
sempat berdebar saat Sultan melontarkan pujian. Tapi,
debar itu lenyap, ketika menyadari bahwa pujian Sultan
hanyalah basa-basi.
Sultan tersenyum pada Davina, yang di matanya memang
terlihat cantik. Blus sutra berwarna hijau lembut
membuat Devina tampak anggun. Tanpa sadar, Sultan
memandangi Davina.
Sultan! jerit Mirah, kesal. Aku mau bicara!

Kamu mau bicara apa, sih? Sultan menatap Mirah dengan


mimik wajah mulai tak sabar. Kamu kan sudah menikah.
Kalau mau bermanja-manja, temui David saja.

dulu, apa itu bukan kurang ajar namanya? Kalau ia sampai


menikah dengan wanita ini, nantinya Sultan pasti akan
kurang ajar pada Mami. Belum menikah saja Sultan sudah
melangkahi wibawa Mami, hanya karena ingin menikahi
gadis pujaannya ini!

Baik, kata Mirah, sambil mendengus kesal. Karena kamu


nggak bisa diajak bicara baik-baik, aku akan
mengutarakan maksudku di sini saja. Di depan kedua
temanmu!

Plak! Tamparan keras tangan Sultan mendarat di pipi


Mirah!

Silakan, Sultan menjawab, enteng.

Mirah mengaduh, sambil memegang pipinya yang merah.


Sepasang mata besarnya menatap Sultan dengan pandangan
berapi-api.

Mirah menggeretakkan gigi, menarik napas dalam-dalam,


sambil matanya menatap Vivian dengan pandangan sangat
tajam. Aku nggak setuju kamu menikah dengan dia!
Vivian terkejut bukan main. Wajahnya merah padam.
Jaga mulut kamu, Mirah! Sultan membentak marah. Pria
itu lalu menepuk pinggang Vivian dengan lembut. Memberi
tanda agar gadis itu bangkit dari pangkuannya.
Aku sudah berusaha menjaga mulutku, kata Mirah, ketus.
Kamu yang tidak pernah berusaha menjaga sikap.
Maksudmu apa? suara Sultan tak terdengar main-main.
Tampaknya, dia tidak suka melihat Mirah mempermalukan
Vivian.
Sudahlah, Mirah, Nyonya Fatimah menarik tangan Mirah.
Kamu tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap
abangmu.
Tapi, Sultan sudah bersikap kurang ajar pada Mami!
Jangan begitu, Mirah. Abangmu tak pernah kurang ajar
pada Mami, kata Nyonya Fatimah, mendinginkan hati
Mirah.
Dulu memang tidak pernah. Tapi, sekarang?
Menyelenggarakan pernikahan tanpa minta izin Mami lebih

Sultan terkejut, menyadari dirinya telah memukul adik


kesayangannya. Ia menatap Mirah dengan menyesal. Tapi,
sebelum ia mengutarakan permintaan maafnya, tangan Mirah
melayang.
Plak! Ganti Sultan yang ditampar oleh Mirah!
Aku tidak sudi jadi korban telapak tanganmu! bentak
Mirah, galak. Ia sama sekali tidak terlihat takut,
apalagi menangis. Ia terlalu galak, dan terlalu periang
untuk bersikap cengeng di hadapan orang lain. Tapi,
hatinya hancur karena tidak mengira abang kesayangannya
akan memukulnya seperti itu.
Ini semua gara-gara kamu! desis Mirah, sambil matanya
menusuk Vivian dengan pandangan tajam. Setelah itu, ia
membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Ayo, Dev, tidak ada gunanya kita di sini! kata Mirah,
sembari memberi tanda agar Devina mengikutinya. Mirah
pulang dulu, Mi!
Devina bimbang sesaat. Matanya menatap Sultan, berharap
agar Sultan mengejar Mirah, menyudahi pertengkaran
mereka dengan permintaan maaf. Ia merasa tidak enak
melihat pertengkaran kakak-beradik itu, yang baru kali
ini terjadi. Tapi, sikap Sultan sama sekali tidak
menunjukkan untuk mengejar Mirah. Dengan kecewa, Devina

membalikkan tubuh, mengikuti Mirah keluar.


Mirah, panggil Nyonya Fatimah, bingung. Di satu sisi,
ia ingin mengejar Mirah dan mencegahnya pergi. Di sisi
lain, ia ingin membujuk Sultan supaya jangan terlalu
marah terhadap adiknya. Ia menghela napas kesal, lalu
mengejar Mirah dan Devina. Namun, sesampainya di beranda
depan rumah, bayangan Mirah dan Devina sudah tak
kelihatan lagi. Ia hanya melihat Parman di posnya,
tengah menutup gerbang dengan remote control.
Sepeninggal Nyonya Fatimah, Vivian segera memeluk lengan
kokoh Sultan, menyandarkan kepalanya di bahu Sultan.
Tampaknya, adikmu masih tidak menyukai aku, katanya,
setengah mengeluh.
Tidak, dia bukannya tidak menyukaimu. Hanya, dia memang
agak sulit dimengerti, Sultan mengelus kepala Vivian,
mencium rambutnya dengan lembut. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, Sayang. Tidak akan ada yang bisa
menghalangi pernikahan kita.
Sungguh? tanya Vivian, sambil menatap Sultan.
Kamu tidak percaya padaku?
Tentu saja, aku percaya. Hanya, aku agak takut jika
setelah menikah nanti, Mami dan adikmu akan memusuhi
aku.
Mereka tidak akan melakukan itu padamu. Percayalah.
Romeo melirik sepasang kekasih itu sekilas. Ada kilatan
iri di bola matanya, tapi ia menyembunyikannya dengan
baik, lalu buru-buru meneguk minumannya untuk
menghilangkan perasaan canggung.
Seakan tidak peduli akan keberadaan Romeo, Sultan
memeluk tubuh Vivian lembut. Tubuhnya terasa bergetar
diguncang oleh perasaan yang luar biasa setiap kali ia
mencium keharuman tubuh kekasihnya. Vivian pun

menyandarkan kepalanya ke dada bidang Sultan dengan


bibir tersenyum. Ia pun merasakan kenyamanan setiap kali
berada di dalam rengkuhan Sultan.
Ehm! suara deheman Romeo menyadarkan mereka. Secara
otomatis Sultan dan Vivian sama-sama melepaskan
pelukan. Kita mau jalan jam berapa, Vi? tanya Romeo.
Kalian mau ke mana? Sultan bertanya, bingung.
Ada reuni SMA nanti malam. Kami akan pergi bareng.
Wah, jangan bikin aku cemburu, ya, kata Sultan,
setengah berkelakar. Sebenarnya, ia sama sekali tidak
cemburu pada Romeo. Ia percaya pada Vivian. Kekasihnya
itu telah mengenal Romeo sebelum mengenal dirinya. Jika
Vivian menyukai Romeo, ia pasti sudah menjalin hubungan
asmara dengan Romeo sejak dulu. Lagi pula, Sultan tidak
mudah cemburu gelap mata.
Kalau terlalu sore, nanti kita terlambat, kata Romeo.
Sultan tertawa dan meraih pinggang kekasihnya.
Tampaknya, kamu harus segera pergi, Sayang. Tuan Romeo
sudah tidak sabar lagi ingin bertemu kekasih lamanya di
reuni nanti.
Vivian tersenyum kecil. Okay, kita berangkat sekarang.
Vivian melepaskan pelukannya pada Sultan, mengecup
pipinya sekilas.
Kuantar kalian sampai ke gerbang, kata Sultan, bangkit
berdiri.
Sampai nanti, Sayang! Vivian melambaikan tangannya.
Romeo langsung menginjak gas, dan meluncur pergi.
Kamu keterlaluan, Rom, Vivian menggerutu, setelah
mobil mereka berbaur dengan kepadatan lalu lintas.
Seharusnya, kamu tidak mengajakku pulang secara
mencolok di depan Sultan!

Mencolok bagaimana? Kukira, wajar saja kalau aku


mengajakmu pulang buru-buru. Tidak salah kan kalau aku
mengingatkanmu, supaya kita tidak sampai terlambat?
Tapi, aku tidak ingin Sultan tahu kalau kita pergi
bersama!
Itu salahmu sendiri. Tadi aku kan cuma mengajakmu
pulang. Sedikit pun aku tidak menyinggung soal reuni.
Kamu sendiri yang mengatakan bahwa kita akan pergi ke
pesta reuni berdua.
Itu sudah kepalang basah! sergah Vivian, kesal.
Ya, sudah. Yang penting dia tidak cemburu, kata Romeo,
tak ingin memperpanjang debat kecilnya dengan Vivian.
Hmm harum, Vivian mencium kartu undangan pernikahan,
yang baru selesai dicetak. Siapa yang pertama kali kita
undang?
Yang pasti, aku akan mengundang Romeo terlebih dahulu.
Soalnya, dia yang mempertemukan kita berdua, jawab
Sultan, menjawab kalem. Tanpa dia, undangan ini nggak
akan pernah ada.
Vivian tertawa kecil. Kasihan Romeo. Dia mirip anak
kucing yang mengangsurkan ayam goreng miliknya ke
moncong harimau.
Sultan melirik curiga. Maksudmu, dia menaruh hati
padamu?
Vivian tersadar bahwa ia telah salah bicara. Aku hanya
asal membuat perumpamaan saja, kok, Vivian buru-buru
membantah. Jangan diambil hati, ya.
Kalau aku tahu dia naksir padamu, dia tidak akan kuberi
kesempatan pergi denganmu. Kenapa baru bilang bahwa dia
mendekati kamu? Apa kamu berencana menggaetnya jadi
kekasih kedua?

Siapa bilang dia berusaha mendekati aku? Aku cuma


membuat perumpamaan saja, kok. Memang, dia menaruh hati
padaku. Tapi, sejak aku menjalin hubungan denganmu, dia
tidak pernah coba-coba main gila denganku, Vivian
berbohong, takut Sultan marah. Ia lalu mengubah sikap
duduknya, sambil mendaratkan ciuman-ciuman kecil di
wajah Sultan.
Hati Sultan luluh. Sudah, dong. Bahaya, nih!
Tapi, Vivian malah menggelitik leher Sultan dengan ujung
jarinya. Sultan kaget, bercampur geli. Mobil yang
dibawanya melenceng dari jalur. Dari tikungan curam di
depan mereka, muncul sebuah bus antarkota berukuran
besar dengan kecepatan tinggi.
Refleks, Sultan membuang setirnya ke kiri, hingga
mengeluarkan suara decit di aspal. Dan braaak! Lolos
dari bus, moncong mobil Sultan tak mampu menghindari
pohon besar. Mobil itu rusak parah di bagian kanan.
Sultan pingsan dengan dada menekan kemudi. Vivian, yang
tak sempat menjerit, tak sadarkan diri.
Apa? Sultan akan lumpuh? Nyonya Fatimah terpekik
dengan wajah pucat. Devina dan Mirah berpegangan tangan.
Tidak, Sultan tidak akan lumpuh, Dokter Harun
menggeleng, sambil tersenyum. Dia hanya harus
menggunakan kursi roda, karena kakinya terjepit. Tapi,
tidak akan permanen. Dengan terapi, dalam waktu singkat,
Sultan sudah akan berjalan seperti biasa.
Semua menarik napas lega. Diam-diam, Devina melirik
tubuh Sultan yang terbaring di atas tempat tidur. Wajah
pemuda itu tampak tampan, jika matanya terpejam seperti
itu. Penuh kasih sayang, digenggamnya jemari Sultan.
Devina memejamkan mata. Getaran kasih sayang yang
mengisi relung hatinya seolah disalurkan melalui
genggaman tangannya pada jemari Sultan. Setelah beberapa

menit, Devina membuka mata, mengamati wajah Sultan.


Sepasang mata Sultan terpejam tak berdaya. Namun, garis
keras di wajah itu masih memperlihatkan kecerdasan dan
keteguhan tekad si empunya wajah.
Perlahan, dilepaskannya jemari Sultan. Dengan ujung
jemarinya, ia membelai kulit lengan Sultan dari bahu
hingga ke pergelangan tangan, lembut. Kulit pria itu
halus, tapi berkesan jantan, karena ditumbuhi rambut
halus. Dada Devina bergetar saat membayangkan dirinya
dalam rengkuhan tangan itu.
Tapi, kemudian ia mendesah, kecewa. Ia sadar, impiannya
itu tidak mungkin jadi kenyataan. Dalam waktu beberapa
minggu, Sultan akan bersanding dengan wanita lain.
Dev, suara Mirah mengejutkan Devina. Sebaiknya, kita
keluar saja, cari angin. Biar Mami yang jaga Sultan di
sini.
Devina ragu sejenak. Matanya melirik Sultan yang
terbaring diam.
Kamu nggak usah khawatir. Sultan akan baik-baik saja.
Mirah benar, Devina. Kamu berada di sini sejak semalam.
Lebih baik kamu pulang untuk istirahat. Sore nanti baru
kembali lagi, kata Nyonya Fatimah, sambil menepuk bahu
Devina dengan lembut.
Baiklah, Tante. Saya mungkin pulang untuk mandi dan
mengisi perut saja, kata Devina, tersenyum tipis. Ia
mengikuti langkah Mirah yang keluar dari kamar rawat
Sultan setelah berpamitan dengan Nyonya Fatimah. Dalam
diam, mereka berjalan beriringan. Keduanya menunduk,
menekuni kotak-kotak ubin di bangsal rumah sakit, sambil
sesekali menghela napas panjang.
Mirah mendesis. Sultan kecelakaan pasti karena dia.
Sultan sangat disiplin. Saat menyetir, ia pasti
berhati-hati. Tidak mungkin ia mengalami kecelakaan

begitu saja. Pasti ini karena ulahnya.


Bisa saja ada faktor lain yang membuat Sultan lengah.
Mirah menggeleng, sambil menghela napas panjang. Tak mau
percaya pada teori yang dikemukakan Devina. Ia tetap
ngotot.
Jangan menuduh sembarangan, Mir.
Kamu ini memang aneh. Kenapa kau membelanya?
Tidak adil rasanya kita menuduh orang secara sepihak.
Mendadak, Mirah menyenggol lengan Devina, menghentikan
langkahnya dengan tiba-tiba, memonyongkan mulutnya,
menunjuk ke depan koridor yang mereka lalui. Lihat,
tuh!
Dari arah yang ditunjuk Mirah, Vivian dan Romeo berjalan
mendatangi. Di tangan Vivian ada seikat mawar merah
cantik.
Sayang sekali, dia cuma memar. Tiba-tiba Mirah
menangis.
Vivian dan Romeo yang sudah tiba di hadapan mereka,
berhenti dan menatap Mirah dengan heran. Selamat
siang, Romeo menyapa dengan senyumnya yang khas.
Kenapa, Mir? Apa Sultan baik-baik saja?
Baik-baik apanya? Mirah menyentak. Air matanya
merebak. Devina heran, bagaimana Mirah yang tadinya
bersikap biasa-biasa saja, tiba-tiba menangis sedih
seperti itu.
Dia lumpuh seumur hidup! suara Mirah menyentak.
Vivian dan Romeo kaget. Devina juga.
Tapi, Devina hendak membantah, tapi Mirah menginjak

kaki gadis itu dengan cepat. Hampir saja Devina


menjerit,.
Untung kamu datang, Mirah menggenggam tangan Vivian.
Tapi, dengan cepat Vivian menarik tangannya kembali.
Sultan seharian menanyakanmu. Sultan ingin bertanya
padamu, apakah kamu masih tetap mau menikah dengannya
setelah ia lumpuh?
Wajah Vivian yang agak pucat, bertambah pucat. Ia
kelihatan gugup dan terkejut. Tapi kemudian, dengan
galak ia membantah ucapan Mirah. Omong kosong!
katanya, ketus. Semalam Sultan baik-baik saja.
Bagaimana mungkin ia bisa mendadak lumpuh?
Kamu boleh melihatnya, kalau tidak percaya, Mirah
menarik tangan Vivian. Ayo, dia sudah menunggumu di
atas kursi roda.
Vivian menepiskan tangan Mirah, melangkah mundur. Dulu
kamu terang-terangan menentang aku. Sekarang, setelah
Sultan lumpuh, kamu malah menjodohkan aku dengannya.
Sultan hanya mencintaimu, Vi. Tolonglah dia
membutuhkan kehadiranmu, Mirah memohon dengan wajah
memelas.
Sejenak Vivian berdiri bimbang. Entah apa yang ada di
pikirannya. Tapi, ia tampak ragu memenuhi ajakan Mirah.
Mendadak, ia membalikkan tubuh. Kaki jenjangnya
melangkah terburu-buru. Bunga di tangannya dilempar ke
tempat sampah di sisi bangsal. .
Nah, kamu lihat sendiri, kan, kata Mirah, dengan
senyum kemenangan. Dia bukan gadis yang tepat untuk
Sultan.
Ketika tiba di rumahnya, Vivian segera keluar dari mobil
dan berlari masuk ke dalam rumah. Panggilan Romeo sama
sekali tidak digubris olehnya. Tapi, dengan langkah kaki
yang panjang, Romeo berhasil menangkap Vivian.

Pulanglah, Rom! Vivian melepaskan tangan Romeo. Aku


butuh waktu untuk menyendiri.
Romeo menggeleng. Aku akan di sini menemanimu. Aku bisa
jadi teman bicaramu. Aku tahu bagaimana perasaanmu saat
ini.
Kamu tahu? Vivian mengangkat alis. Kamu tidak
memiliki kekasih yang mendadak lumpuh, bagaimana mungkin
kamu bisa tahu perasaanku? Sudahlah, kamu jangan
macam-macam. Aku sedang tidak ingin berdebat!
Aku bukan mau berdebat, Vi. Malah, aku menyediakan
diriku untuk menjadi tempat berkeluh kesah bagimu.
Aku tidak perlu tempat untuk berkeluh kesah!
Romeo meraih tubuh Vivian. Ia memegang kedua bahu gadis
itu, hingga mereka berdua berdiri berhadapan dan saling
tatap.
Pandang aku, Vi, Romeo berkata lembut. Perhatikan
diriku baik-baik. Sejenak Romeo merasa bergetar. Dalam
keadaan terguncang pun, Vivian terlihat cantik. Semua
yang ada pada diri gadis itu membuat jantung Romeo
melonjak-lonjak tak keruan.
Aku ini teman baikmu, kata Romeo, setengah berbisik.
Apa pun yang kamu rasakan, aku turut merasakannya.
Jangan kamu sembunyikan kesedihanmu. Aku tahu kamu
kecewa. Tapi, izinkan aku menghiburmu. Izinkan aku
menjadi curahan hatimu.
Vivian mendesah. Mata indahnya mengerjap lesu.
Kebimbangan dan kesedihan yang menggayuti hatinya
terlukis jelas di wajahnya. Beberapa detik lamanya, ia
tak sanggup berkata apa-apa. Tapi, kemudian, ia
menjatuhkan kepalanya ke dada Romeo. Tangisnya pecah
seketika. Dadanya turun-naik karena sesak. Beberapa
tetes air matanya membasahi baju Romeo.

Aku tidak mengerti, kenapa Sultan harus lumpuh?


Romeo membelai punggung Vivian untuk memberikan
kekuatan. Tidak ada yang menduga akan terjadinya
bencana ini.
Tapi aku tidak mungkin memiliki suami berkaki lumpuh.
Tidak mungkin, Romeo, keluh Vivian.
Seulas senyum tipis mengembang di bibir Romeo. Senyum
yang tidak mungkin dapat dilihat oleh Vivian. Inilah
yang diharapkan Romeo sejak dulu. Ini kesempatannya
merebut cinta Vivian! Tapi, tentu saja, kegembiraan ini
tidak diperlihatkan pada gadis yang tengah menangis di
bahunya.
Kenapa kamu berkata seperti itu? kata Romeo,
berpura-pura lembut. Bukankah kamu mencintai Sultan?
Ya, tapi bukan berarti aku mau menikah dengan orang
lumpuh! sentak Vivian, kesal. Gadis itu melepaskan
dirinya dari pelukan Romeo. Sudahlah, lebih baik kamu
pulang saja, Rom. Kamu tidak akan mengerti perasaanku!
Siapa bilang aku tidak mengerti? Kamu ingin membatalkan
pernikahanmu dengannya. Iya, kan?
Bukan begitu, aku cuma, Vivian menggantung
kalimatnya. Ia mendesah beberapa kali dengan wajah
bimbang.
Kenapa bingung? Kalau tidak mau menikah dengannya,
katakan saja dengan jujur. Toh, tidak ada yang berhak
memaksamu.
Vivian menatap wajah Romeo. Ia lalu tercenung. Rasanya,
sulit membayangkan ada pria lain yang lebih baik
daripada Sultan. Vivian tidak dapat melupakan, betapa
lembutnya Sultan memperlakukan dirinya. Betapa indah
masa-masa bahagianya. Tapi, sekarang Sultan lumpuh.
Vivian tidak dapat membayangkan dirinya bersanding di

pelaminan bersama pria lumpuh. Ia bergidik, membayangkan


harus mendorong kursi roda seumur hidup.
Vivian memejamkan matanya beberapa saat. Sentuhan tangan
Romeo di bahu Vivian membuatnya membuka mata. Kalau
kamu tidak berani membatalkan pernikahanmu dengan
Sultan, biar aku yang menyampaikannya kepada Sultan.
Bagaimana?
Vivian ingin menyetujui usul Romeo itu. Tapi, sebagian
dari dirinya berat untuk mengucapkan selamat tinggal
pada Sultan.
Setengah terisak, ia menjatuhkan dirinya ke pelukan
Romeo. Katakan padanya dengan lembut, Romeo. Katakan
bahwa aku hanya manusia biasa. Aku tidak sanggup
menerimanya, kalau kalau ia duduk di kursi roda.
Romeo tersenyum puas. Ia memeluk tubuh Vivian, sambil
menghela napas lega. Dengan lembut, ia membelai rambut
Vivian. Bau harum yang keluar dari rambut gadis itu
menggetarkan seluruh pembuluh nadinya. Darahnya
berdesir, jantungnya berpacu cepat. Ia menundukkan
kepalanya, mengecup kepala Vivian. Tangan kokohnya
mempererat pelukannya.
Sepulang dari rumah sakit, Sultan hanya tersenyum kecil
ketika disambut oleh para pembantu rumah itu. Ia
memegang tangan Mirah dan Nyonya Fatimah, yang
membantunya memindahkan tubuhnya dari mobil ke kursi
roda.
Bagaimana pabrik dan galeri kita, Mi? Semuanya lancar?
Baru kembali dari rumah sakit, kok, sudah bertanya soal
pekerjaan. Nggak ada soal lain yang lebih menarik?
celetuk Mirah.
Sultan meringis. Tentu saja ia ingin bertanya soal lain.
Terutama, soal Vivian yang tidak pernah menjenguknya.
Tapi, apa ibu dan adiknya mau menjawab pertanyaannya
itu? Rasanya, tidak. Ada sedikit kecurigaan di benak

Sultan. Jangan-jangan, ibu dan adiknya menghalangi


Vivian datang. Tapi, rasanya, kecurigaan itu sangat tak
beralasan. Lagi pula, Vivian keras kepala. Kalaupun
kedatangannya dihalangi, ia pasti akan tetap bisa
menjenguknya.

mengatakan bahwa kamu sangat suka puding cokelat.

Kamu tahu nggak, selama kamu pingsan, ada seseorang


yang sangat setia menunggumu? bisik Mirah, di telinga
abangnya.

Kamu mau kan mencicipi puding buatanku? tanya Devina.

Siapa? Vivian? tanya Sultan, bersemangat.


Mirah cemberut. Aku nggak pernah lihat Vivian
menjengukmu, apalagi menungguimu. Yang selalu di sisimu
justru Devina!
Sultan mengerutkan alis lebatnya. Di mata Sultan, Devina
memang gadis yang menarik. Wajahnya cantik, tutur
katanya sopan dan lembut, sangat cerdas, dan memiliki
kesabaran luar biasa. Tak bisa dipungkiri bahwa ia
sempat jatuh hati padanya. Tapi, sejak bertemu
Vivian.... Bagi Sultan, dia sangat istimewa. Bahkan,
pesona yang dipancarkan Vivian mampu memupus daya tarik
Devina, yang nyaris berhasil menjerat cinta Sultan.
Halo, sebuah suara menyapa lembut. Devina. Apa
kabar? Senang, ya, bisa kembali ke rumah?
Tentu, jawab Sultan, ramah. Ia tidak melihat ibu dan
adiknya di belakang kursi rodanya. Entah sudah kabur ke
mana mereka.
Sultan menatap Devina dengan mata tajamnya. Tatapan yang
penuh selidik, membuat rikuh yang ditatap. Pria itu
heran mendengar Devina membuat puding cokelat untuknya.
Rupanya, hubungan gadis itu dengan Nyonya Fatimah sudah
sedemikian dekatnya, hingga ia bisa bebas memakai
dapurnya.
Mamimu mengizinkan aku meminjam dapurnya, kata Devina,
seakan bisa menerka pertanyaan di benak Sultan. Mirah

Lagi-lagi mereka, keluh Sultan dalam hati. Entah apa


lagi yang akan dilakukan mereka untuk menjodohkan ia dan
Devina.

Sultan mengembangkan senyumnya. Meski ia tidak setuju


pada rencana perjodohan ibu dan adiknya, ia merasa
harus tetap bersikap ramah terhadap Devina. Tidak adil
jika memperlakukan Devina dengan sikap dingin, hanya
karena ingin menjaga jarak. Apalagi, sikap Devina selalu
penuh perhatian.
Boleh aku bantu mendorong kursi rodamu? tanya Devina.
Tidak usah, kata Sultan, mencegah Devina yang sudah
hendak mendorong kursi rodanya. Ini otomatis. Aku cukup
menekan satu tombol, kursi ini bisa berjalan sendiri.
Bisa kukendalikan ke mana saja aku mau, kata Sultan,
sambil mempraktikkan kata-katanya. Sultan sengaja
berputar-putar di ruang tamu, hingga Devina tertawa
terpingkal-pingkal.
Mirah dan Nyonya Fatimah mengintip dari dapur, sambil
tersenyum. Sebaiknya, jangan kamu beri tahu Sultan
tentang telepon Romeo tadi. Nanti dia kaget mendengar
pembatalan sepihak dari Vivian. Kamu tahu, abangmu
tergila-gila padanya. Biar saja Sultan lebih dekat pada
Devina, melupakan Vivian sedikit demi sedikit.
Mudah-mudahan saja Devina bisa menggunakan peluang ini
untuk merebut perhatian Sultan, gumam Mirah.
Kamu mau menolongku, Dev? tanya Sultan. Tolong
panggilkan Parman dan Kemis untuk membantuku naik.
Baiklah. Kamu tunggu saja di ruang tengah. Dekat
tangga.

Devina segera mencari Parman di pos jaga, lalu memanggil


Kemis yang masih asyik dengan rumput liarnya. Mereka
lalu membantu Sultan naik ke lantai dua untuk masuk ke
kamar barunya. Sebenarnya, ketika mengetahui bahwa
Sultan akan memakai kursi roda selama beberapa lama,
Nyonya Fatimah ingin memindahkan kamarnya ke lantai
bawah, tapi Sultan menolak. Ia merasa sudah sangat
nyaman dengan kamar barunya.
Kamar baru Sultan adalah dua kamar tidur yang digabung
menjadi satu. Tadinya, kamar itu merupakan kamar tidur
tamu. Tembok pemisah dua kamar itu lalu dibongkar
menjadi satu kamar besar. Di kamar itu telah terdapat
beberapa penghuni baru, seperti ranjang, meja rias
untuk wanita, dan beberapa benda lain, yang baru dibeli
Sultan untuk Vivian. Rencananya, setelah menikah, ia dan
Vivian akan menempati kamar baru itu. Dekorasi di dalam
kamar juga merupakan dekorasi pilihan Vivian, dengan
dominasi warna jingga, warna kesukaan Vivian.
Setelah Parman dan Kemis menutup pintu kamar dari luar,
Sultan merebahkan diri. Pikirannya menerawang dan jadi
kacau karena selalu teringat pada Vivian. Seharusnya,
pernikahan mereka akan berlangsung dua minggu lalu.
Tapi, hingga kini, Sultan tidak dapat menghubungi
Vivian. Selama di rumah sakit, Sultan beberapa kali
berusaha menghubungi Vivian melalui ponselnya.
Sepasang mata Sultan tertumbuk pada setumpuk kartu
undangan pernikahannya di sudut meja kerja. Dari sekian
banyak kartu undangan, belum ada satu pun yang disebar.
Padahal, tempat pesta sudah dipesan. Sultan menarik
kakinya ke atas tempat tidur, lalu meraih pesawat
telepon di meja kecil dekat ranjang.
Sampai beberapa kali Sultan menelepon rumah Vivian, tapi
tidak ada yang mengangkat pesawat telepon di seberang
sana. Sultan menghubungi telepon di kamar Vivian. Juga
tak ada yang mengangkat. Lesu, Sultan menutup
teleponnya, kembali membanting kepalanya ke permukaan
ranjang.

Vivian? suara Romeo terdengar, ketika pintu kamar


Vivian terbuka. Isak tangisnya terhenti. Vivian
mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dengan
terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, ketika
wajah Romeo muncul dari balik pintu.
Kenapa di sini? Kesedihannya yang terpotong membuat
Vivian marah. Tapi, Romeo tidak tersinggung. Ia kasihan
melihat Vivian memakai gaun pengantin yang terkoyak,
bersimbah air mata?
Pergi! Aku benci melihatmu! Vivian berteriak.
Romeo berdecak. Ia agak bingung melihat Vivian yang
tampak seperti orang kehilangan akal itu. Tapi, ia tetap
tidak pergi.
Aku mencoba menghubungimu beberapa hari terakhir ini.
Tapi, kamu tidak pernah mau mengangkat telepon dariku.
Jadi, aku ingin menengokmu.
Romeo memandang wajah Vivian, yang pucat seperti orang
sakit. Mata gadis itu tidak bersinar tajam seperti
biasa. Malah, kelopaknya sedikit bengkak, karena terlalu
sering menangis. Rambutnya acak-acakan.
Aku dengar dari pembantumu, kamu selalu mengurung
diri, kata Romeo, tanpa memedulikan bentakan Vivian.
Kupikir, kamu sedih karena rencana pernikahanmu gagal.
Aku coba menghubungi ayahmu. Tapi, beliau sedang ke
Malaysia mengurus bisnis. Jadi, aku memberanikan diri
masuk ke sini. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan.
Aku tidak butuh perhatianmu. Pergi! Vivian berusaha
mendorong Romeo, tapi Romeo menangkap tangannya dengan
sigap.
Kamu panik, Sayang, kata Romeo, lembut. Kamu merasa
tertekan karena situasi ini.

Vivian berusaha melepaskan diri dari genggaman Romeo.


Tapi, Romeo mencengkeram lengannya keras, hingga ia
kesakitan. Vivian mendengus. Ia sangat marah karena
keadaan telah membuat Sultan lumpuh dan tidak mungkin
jadi suaminya. Ia juga marah pada dirinya karena tidak
bisa melupakan Sultan.
Romeo menarik Vivian ke dalam pelukannya. Dengan lembut
ia membelai punggung Vivian. Ketika tangannya menyentuh
kulit yang halus dan lembut, darahnya berdesir.
Jantungnya berdebar keras. Bulu kuduknya meremang.
Vivian menjatuhkan diri ke pelukan Romeo.
Aku bingung, Romeo, keluh Vivian. Aku sangat
mencintainya.
Romeo gemas, merasa marah bercampur cemburu. Kamu harus
melupakan dia! kata Romeo, dengan mata berapi-api.
Sesulit apa pun, kamu harus tetap berusaha melupakan
dia!
Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?
Vivian sama sekali tidak curiga bahwa belaian Romeo
bukan lagi belaian simpati seorang sahabat. Kamu
memiliki aku, Vi.
Vivian mengangguk. Jangan tinggalkan aku sendirian.
Aku tidak akan meninggalkanmu, Vi, bisik Romeo, seraya
mempererat pelukannya. Karena, aku mencintaimu.
Vivian terperanjat. Ia melepaskan dirinya dari pelukan
Romeo dan mundur beberapa langkah. Tapi, bukan itu
maksudku, kata Vivian Aku hanya menginginkan kamu
sebagai teman.
Kenapa hanya sebagai teman?
Vivian diam. Romeo tidak berlama-lama membiarkan Vivian
bimbang. Ia mendaratkan sebuah ciuman.

Vivian? suara Romeo terdengar, ketika pintu kamar


Vivian terbuka. Isak tangisnya terhenti. Vivian
mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dengan
terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, ketika
wajah Romeo muncul dari balik pintu.
Kenapa di sini? Kesedihannya yang terpotong membuat
Vivian marah. Tapi, Romeo tidak tersinggung. Ia malah
kasihan melihat Vivian memakai gaun pengantin yang
terkoyak, sambil bersimbah air mata.
Pergi! Aku benci melihatmu! Vivian berteriak.
Romeo berdecak. Ia agak bingung melihat Vivian yang
tampak seperti orang kehilangan akal. Tapi, ia tetap
tidak keluar dari kamarnya.
Aku mencoba menghubungimu beberapa hari terakhir ini.
Tapi, kamu tidak pernah mau mengangkat telepon dariku.
Jadi, aku ingin menengokmu.
Romeo memandang wajah Vivian, yang pucat seperti orang
sakit. Mata gadis itu tidak bersinar seperti biasa.
Malah, kelopaknya sedikit bengkak, karena terlalu sering
menangis. Rambutnya pun acak-acakan.
Aku dengar dari pembantumu, kamu selalu mengurung
diri, kata Romeo, tanpa memedulikan bentakan Vivian.
Kupikir, kamu sedih karena rencana pernikahanmu gagal.
Aku mencoba menghubungi ayahmu. Tapi, beliau sedang ke
Malaysia mengurus bisnis. Jadi, aku memberanikan diri
masuk ke sini. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan.
Aku tidak butuh perhatianmu. Pergi! Vivian berusaha
mendorong Romeo, tapi Romeo menangkap tangannya dengan
sigap.
Kamu panik, Sayang, kata Romeo, lembut. Kamu merasa
tertekan karena situasi ini.
Vivian berusaha melepaskan dirinya dari genggaman Romeo.

Tapi, Romeo mencengkeram lengannya keras, hingga ia


merasa kesakitan. Vivian mendengus. Ia sangat marah,
karena keadaan telah membuat Sultan lumpuh dan tidak
mungkin jadi suaminya. Ia juga marah pada dirinya karena
tidak bisa melupakan Sultan.

berapa kali ia menghubungi Vivian, tapi tak juga


berhasil. Kalau saja punya sayap, mau rasanya Sultan
terbang tinggi dan pergi menemui Vivian. Namun, kakinya
yang lumpuh tak lagi bisa membuatnya terbang sesuka
hati.

Romeo menarik tubuh Vivian ke dalam pelukannya. Dengan


lembut ia membelai punggung Vivian. Ketika tangannya
menyentuh kulit yang halus dan lembut, darahnya
berdesir. Jantungnya berdebar keras. Bulu kuduknya
meremang. Vivian menjatuhkan diri ke pelukan Romeo.

Pernah terpikir oleh Sultan untuk meminta bantuan Nyonya


Fatimah atau Mirah, untuk mencarikan kabar tentang
Vivian. Tapi, ia sadar bahwa ibu dan adiknya itu tidak
menyukai Vivian. Kalaupun mereka mau membantunya,
pastilah karena terpaksa, hanya agar bisa menyenangkan
pria yang duduk di kursi roda. Ia tidak ingin itu
terjadi.
Sultan duduk tercenung di atas kursi roda, sambil
menatap pesawat telepon dengan pandangan nanar.
Pikirannya galau, dipenuhi rasa bingung dan khawatir
atas sikap Vivian yang tidak pernah menemuinya lagi.

Aku bingung, Romeo, keluh Vivian. Aku mencintainya.


Romeo gemas, merasa marah bercampur cemburu. Kamu harus
melupakan dia! kata Romeo, dengan mata berapi-api.
Sesulit apa pun, kamu harus tetap berusaha melupakan
dia!
Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?
Vivian sama sekali tidak curiga bahwa belaian Romeo di
tubuhnya bukan lagi belaian simpati seorang sahabat.
Kamu memiliki aku, Vi.
Vivian mengangguk. Jangan tinggalkan aku sendiri.
Aku tidak akan meninggalkanmu, Vi, bisik Romeo, seraya
mempererat pelukannya. Karena, aku mencintaimu.
Vivian terperanjat. Ia melepaskan dirinya dari pelukan
Romeo dan mundur beberapa langkah. Tapi, bukan itu
maksudku, kata Vivian, tergagap. Aku hanya
menginginkan kamu sebagai teman.

Ragu-ragu, Sultan kembali mengangkat gagang teleponnya,


dan memutar nomor telepon rumah Romeo. Terdengar jawaban
dari seberang sana.
Rom! seru Sultan. Ini aku, Sultan! Aku mencoba
menghubungimu dua hari terakhir ini, tapi kamu tidak
pernah ada. Ke mana saja? Sibuk?
Begitulah, jawab Romeo, sumbang. Aku sedang mengurus
beberapa paket barang yang baru tiba dari Rusia.
Wah, sedang panen order, ya?
Romeo tertawa. Bisa saja kamu, Tan.

Kenapa hanya sebagai teman?

Sultan ikut tertawa. Tapi, ia merasakan kejanggalan pada


percakapannya dengan Romeo. Sepertinya, Romeo agak
kaku, seakan ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.

Vivian terdiam. Romeo tidak berlama-lama membiarkan


Vivian bimbang. Tiba-tiba ia mendaratkan sebuah ciuman.

Rom, aku ada perlu denganmu, Sultan memutuskan untuk


tak berpanjang lebar lagi. Aku mau tanya soal Vivian.

Sultan menutup telepon dengan gelisah. Entah sudah

Diam sejenak. Tak terdengar jawaban apa-apa dari Romeo.

Ini aneh, sebab biasanya Romeo selalu tertawa, bila


Sultan menanyakan kabar Vivian padanya. Malah, terkadang
Romeo melemparkan lelucon spontan untuk menggoda Sultan
yang tergila-gila pada Vivian.

Aku tidak mengerti maksudmu, Sultan jadi panik.


Pernikahanku dengan Vivian hanya tinggal beberapa hari
lagi. Banyak persiapan yang belum kami lakukan. Karena
itu, aku harus segera bertemu dengannya!

Romeo? Sultan memanggil namanya. Sayang, saat itu


Sultan tidak bisa melihat reaksi Romeo. Kalau saja ia
berhadapan dengan Romeo, ia pasti akan dapat melihat
wajah Romeo yang mendadak pucat dan agak gugup.

Pernikahan? Kamu belum diberi tahu ibumu?

Apa yang mau kamu tanyakan? beberapa detik kemudian,


barulah suara Romeo terdengar. Kaku.
Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Aku benar-benar
khawatir dengan keadaannya, Rom. Aku dengar, keadaannya
baik-baik saja dan hanya menderita sedikit memar saat
kecelakaan. Tapi, aku belum puas kalau belum melihatnya
sendiri.
Kamu tidak perlu khawatir. Memang dia agak memar, tapi
sekarang sudah sembuh. Lebih baik kamu pikirkan saja
kesehatanmu sendiri.
Aku belum merasa sehat, kalau belum bertemu Vivian,
kata Sultan, setengah bergurau.
Tapi, seharusnya kamu tahu, kalau kamu bertemu lagi
dengan Vivian, segalanya akan kacau. Ia bisa sedih dan
merasa canggung.
Maksudmu? Sultan mengerutkan alis, tak mengerti.
Maksudku jelas. Vivian tak mau bertemu denganmu lagi.
Jangan bercanda, Rom. Situasiku saat ini sedang tidak
dalam suasana yang bisa diajak berkelakar seperti itu.
Aku tidak bercanda. Vivian memang tidak bisa menemuimu
sementara ini. Mungkin juga dia tidak akan mau bertemu
denganmu selamanya.

Diberi tahu apa? Sultan jadi tegang.


Vivian telah membatalkan rencana pernikahan kalian.
Sultan terdiam, tak bisa berkata-kata.
Sebaiknya, kamu tanyakan pada ibumu atau adikmu. Aku
telah menyampaikan niat Vivian itu kepada mereka. Suara
Romeo terdengar tenang. Padahal, keringat dingin
membanjiri tubuhnya. Ia lebih suka jika Sultan
mengetahui pembatalan ini dari Nyonya Fatimah atau
Mirah. Meski ia senang pernikahan itu dibatalkan, ia
merasa janggal menyampaikannya kepada Sultan.
Vivian membatalkan pernikahan? Sultan bergumam seperti
orang linglung. Antara percaya dan tidak. Tapi apa
alasannya?
Aku tidak dapat mengatakannya padamu.
Klik! Romeo memutuskan sambungan telepon. Suara dengung
dari pesawat telepon segera memenuhi ruang di telinga
Sultan. Berkali-kali Sultan mencoba lagi menghubungi
Romeo, tapi gagal.
Lemas, Sultan bersandar di kursi. Napasnya sesak. Dia
kaget, panik, tak mengerti maksud Romeo tentang
pembatalan pernikahan secara sepihak itu.
Mamiii! Sultan berseru keras, sambil memutar kursi
rodanya. Ia ingin mencari ibunya untuk meminta
penjelasan, tentang hal yang baru didengarnya dari
Romeo. Tapi, ia terpaku melihat Devina berdiri di
depannya.

Hai, Devina menyapa Sultan, lembut.


Tanpa membalas senyum gadis itu, Sultan kembali memacu
kursi rodanya. Mamiii! panggil Sultan sekali lagi.
Tapi, ia tidak menemukan ibunya di rumah mewah itu.
Ruang tamu, ruang baca, kamar tidur, semua kosong.
Sultan? suara Devina mengejutkan Sultan. Ini jam
kerja, kata Devina. Ibumu sedang di kantor.
Sultan tersenyum kecut. Ia tidak ingat bahwa ibunya
tengah berada di kantor perusahaan mereka. Wanita itu
menggantikan posisinya di kantor, sementara ia sibuk
menjalani terapi untuk penyembuhan kakinya.
Kamu bisa meneleponnya, kalau kamu mau bicara dengan
beliau, kata Devina lagi. Mau kusambungkan?
Tidak. Tidak usah, terima kasih, Sultan buru-buru
menggeleng. Ia tidak ingin Devina mendengarkan
pembicaraan dengan ibunya nanti. Terutama, karena yang
ingin dibicarakan adalah tentang Vivian. Sebuah
pembicaraan yang sangat pribadi.
Devina juga mengerti, mengapa Sultan menolak tawarannya.
Ia sudah menduga apa yang akan dibicarakan Sultan dengan
Nyonya Fatimah, karena ia mendengar pembicaraan Sultan
dengan Romeo di telepon tadi. Apalagi, ia juga sudah
diceritakan Mirah tentang niat Vivian membatalkan
pernikahan.
Rasa iba muncul di benak Devina melihat kekecewaan
Sultan. Ia baru menyadari bahwa Sultan sangat mencintai
Vivian. Tapi, di lain sisi, gadis itu juga senang,
karena mendapat peluang merebut cinta Sultan.
Kamu datang dengan siapa? tanya Sultan.
Sendiri, sahut Devina.
Tidak bersama Mirah? pertanyaan Sultan bernada tajam.

Tatapan matanya juga menusuk tepat di jantung Devina,


membuat gadis itu merasa sedih dan tidak enak hati.
Kamu tahu, Mirah tidak ada di sini. Mami juga berada di
kantor setiap jam kerja seperti ini. Lalu, mengapa kamu
datang sendirian ke sini? tanya Sultan. Nada suaranya
lebih mirip tuduhan ketimbang pertanyaan.
Aku datang ke sini atas permintaan ibumu, Devina
berusaha bersikap setenang mungkin, meski ia gugup
mendengar pertanyaan Sultan yang bernada menusuk.
Beliau memintaku untuk menemanimu ke tempat
fisioterapi.
Mengantarku pergi terapi? Sultan mengerutkan kening.
Apa kamu tidak punya kegiatan lain sehingga mau
mengantarkan aku pergi terapi? Atau apa kamu sengaja
bolos kerja untuk memenuhi permintaan mamiku?
Lagi-lagi pertanyaan yang bernada pedas. Devina mengeluh
dalam hati. Tapi, ia memahami perasaan Sultan yang
sedang kacau.
Kebetulan, aku sedang cuti selama 2 minggu. Mirah juga
sedang menghadiri suatu acara bersama suaminya. Karena
itu, aku bisa memenuhi permintaan ibumu.
Sultan mendehem. Matanya tidak lagi bersorot tajam. Ia
tidak berniat terus mencecar Devina dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Apalagi, ia tahu
bahwa Devina tidak dapat disalahkan hanya karena memberi
perhatian padanya. Malah seharusnya ia berterima kasih
pada gadis itu atas perhatian yang diterimanya.
Jadi, kamu benar mau mengantarkanku? tanya Sultan.
Devina mengangguk. Sultan tersenyum. Sebuah pikiran baru
menyelinap, pikiran yang membuatnya bisa bertemu Vivian.
Kamu baik sekali mau mengantar aku. Tentu kamu tidak

keberatan jika aku meminta satu pertolongan lagi darimu.


Pertolongan kecil saja, kata Sultan, penuh taktik.

Memangnya kenapa, Dev? Sultan kecewa. Bukankah


permintaanku ini tidak sulit dipenuhi?

Pertolongan apa?

Tidak sulit dipenuhi? Devina tersenyum pahit dalam


hatinya. Permintaan Sultan kali ini bukan hanya dirasa
sulit, tetapi juga sangat menyakitkan.

Tolong temani aku ke rumah Vivian, sebelum ke rumah


sakit.
Mata Devina terbelalak. Mengantar Sultan ke rumah Vivian
adalah hal yang tak pernah diinginkan Devina sepanjang
hidupnya. Bagaimana mungkin ia sanggup mengabulkan
permintaan Sultan?
Kamu mau, kan? tanya Sultan, setengah membujuk.
Devina tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia
menatap Sultan dengan pandangan setengah tak percaya.
Mestinya, Sultan tahu bahwa ia menaruh hati padanya dan
tidak dengan kejam menyuruhnya mengantar ke rumah
Vivian.
Aku tidak bisa. Suara Devina terdengar datar. Mami
dan adikmu pasti marah jika mengetahui bahwa aku
mengantarmu ke rumah Vivian.
Mereka tidak akan tahu, kalau tidak diberi tahu. Hanya
kita berdua yang tahu soal ini. Yang jelas, aku tidak
akan membocorkannya pada mereka.
Devina diam. Perasaannya terluka. Ia benar-benar tak
mengerti, mengapa Sultan melakukan ini padanya.
Tolonglah.... Sultan menyentuh tangan Devina,
mengejutkan gadis yang sedang bimbang, sekaligus kecewa.
Sultan bukannya tidak tahu tentang perasaan Devina.
Tapi, tak ada jalan lain baginya, selain melakukan itu.
Kamu mau kan menolongku? desak Sultan lagi.
Devina menggeleng. Maaf, kali ini aku tidak bisa
menolongmu.

Sultan menghela napas panjang. Meski Devina tidak


menjawab pertanyaannya, sikap diam gadis itu sudah cukup
jadi jawaban. Devina tak mungkin mau membantunya kali
ini. Itu berarti, pupus sudah harapannya untuk dapat
bertemu Vivian.
Kursi kurang ajar! Braaak! Dengan gemas, Sultan
memukulkan tinjunya ke sandaran tangan kursi rodanya.
Gara-gara kursi itu ia tak dapat menemui kekasih
hatinya. Suara itu mengejutkan Devina. Sepasang mata
indahnya mengerjap, menatap Sultan. Kekecewaan yang
dalam tergambar jelas di wajah Sultan. Agaknya, pria itu
betul-betul mengharapkannya.
Devina tak tahan melihat gurat kekecewaan di wajah
tampan itu. Ia tak tahan melihat perasaan menderita di
wajah Sultan. Sungguh, apa pun akan dilakukannya agar
dapat menghapus kekecewaan dan kesedihan itu. Apa pun.
Baiklah, Devina akhirnya mendesah, aku akan
mengantarmu.
Sultan menatapnya. Ia tidak mengira Devina akan berubah
pikiran. Ia memandang wajah Devina beberapa saat, agar
ia merasa yakin pada apa yang didengarnya. Ia melihat
ketulusan di mata Devina. Ketulusan yang disertai cinta
dan kasih sayang.
Terima kasih, Devina, suara Sultan jadi serak karena
terharu.
Mata Devina mengerjap sesaat, ketika melihat kegembiraan
di wajah Sultan. Biarlah, gumam gadis itu dalam hati.
Biarlah ia mendapatkan sebuah kekecewaan, asalkan Sultan

dapat merasa berbahagia.

perampok di dalam mobil ini? tanya Devina, heran.

Devina mengendarai mobil Sultan, memasuki Nusa Indah


Permai, kawasan perumahan elite yang memiliki jalur
pejalan kaki yang teratur. Pepohonan pun diatur
sedemikian apik. Beberapa pohon perdu yang menyejukkan,
diselingi beraneka pohon bunga yang terpangkas rapi,
tampak menyejukkan mata.

Tentu tidak. Mereka tidak sembarangan membukakan pintu


untuk tamu yang datang. Hanya, seluruh petugas keamanan
Vivian, yang menangani kamera monitor dan pintu
otomatis, sudah mengenali mobilku, jawab Sultan.
Lagi-lagi dengan nada bangga.

Sultan duduk di sisi Devina dengan tenang. Kadang-kadang


ia memberi tahu Devina, jalan mana saja yang harus
dilalui. Tak berapa lama, mobil Sultan tiba di depan
sebuah rumah besar berarsitektur modern.
Ini rumah Vivian? Devina bertanya, setengah takjub.
Sultan mengangguk, bangga. Ia selalu membanggakan apa
pun yang dimiliki Vivian. Sementara mulut Devina terasa
pahit seketika. Sekarang ia mengerti mengapa Sultan
selalu memandang sebelah mata padanya. Ternyata, jika
dibandingkan dengan Vivian yang hidup bak putri raja di
negeri dongeng, ia memang bukan siapa-siapa.
Aku harus membunyikan klakson, atau menekan bel pintu?
tanya Devina, dengan suara lemah.
Kamu tidak usah melakukan keduanya, kata Sultan,
sambil tersenyum. Kamera itu sudah merekam kedatangan
kita. Sebentar lagi petugas keamanan akan membukakan
pintu gerbang.
Devina menoleh ke arah yang ditunjuk Sultan. Ia melihat
kamera monitor yang dipasang tepat di sebelah kanan
depan mereka. Kamera itu bisa merekam semua kendaraan
yang berada di depan gerbang. Jadi, tanpa harus
membunyikan bel, kedatangan tamu sudah diketahui penjaga
rumah.
Benar saja, baru selesai Sultan berucap, gerbang rumah
itu terbuka sendiri secara otomatis. Mereka langsung
membukakan pintu? Apa mereka tidak takut kedatangan

Sekarang, apa kita langsung membawa mobil ini masuk?


tanya Devina, ragu-ragu. Kali ini Sultan tidak sempat
menjawab, karena sebuah mobil sedan biru metalik datang
menghampiri dan berhenti tepat di samping mobilnya
dengan posisi menyerong.
Pengemudi mobil itu adalah seorang gadis cantik berambut
lurus melebihi bahu, mengenakan kacamata hitam. Gadis
itu membuka kaca jendela mobilnya, melongokkan kepalanya
ke luar jendela.
Itu dia Vivian! Sultan begitu gembira melihat Vivian,
hingga lupa pada kelumpuhannya.
HALO, VI, SULTAN MENYAPA KEKASIHNYA.
Vivian terperangah. Ia mengenali mobil Sultan sejak
tadi. Tapi, ia tak yakin bahwa memang Sultan yang
datang. Ia mengira, Sultan masih berada di rumah sakit.
Sultan pun tampak banyak berubah dibanding saat terakhir
mereka bertemu sebelum kecelakaan. Kali ini Sultan
kelihatan agak kurus dan pucat. Rambutnya sedikit kusut,
karena belum dipotong dan tidak disisir rapi.
Kamu mau memrotes sikapku yang hendak membatalkan
pernikahan kita? tanya Vivian, tanpa tedeng
aling-aling.
Kegembiraan di wajah Sultan lenyap seketika.
Jangan bikin sulit aku, Sultan, kata Vivian, dingin.
Tapi, suaranya bergetar.
Pertanda isi hatinya tidak sama dinginnya dengan nada

suaranya.

langsung saja ke tempat terapi.

Aku tidak mungkin mengubah keputusanku, kata Vivian,


sambil kembali mengenakan kacamatanya, sambil melirik
sekilas pada Devina.

Devina menarik napas lega. Bukan hanya karena ia tidak


harus mengejar Vivian, tapi juga karena melihat Sultan
tetap punya semangat untuk sembuh. Sultan sebenarnya
sangat terkejut, kecewa, melihat sikap Vivian yang
sangat dingin. Juga tak mengerti mengapa Vivian akan
menikah dengan Romeo. Tapi, karena itu, ia makin
bertekad untuk sembuh.

Tapi, kenapa kamu melakukannya? Sultan bingung.


Devina menatap Vivian tajam. Ingin rasanya ia
meneriakkan dengan kencang bahwa Sultan tidak lumpuh
selamanya, agar Vivian tidak membatalkan pernikahannya.
Tapi, jika hal itu ia lakukan, Sultan pasti akan kembali
ke pelukan Vivian. Ia kehilangan kesempatan merebut
cintanya.
Segala macam pikiran berkecamuk di dalam benak Devina.
Ia ingin Sultan bahagia, duduk di pelaminan bersama
Vivian. Tapi, di sisi lain, ia tak ingin kehilangan
Sultan.
Aku akan menikah dengan Romeo, kata Vivian,
mengejutkan Devina dan Sultan. Karenanya, kuminta kamu
jangan menganggu aku lagi! Lalu, dengan cepat Vivian
memundurkan mobil, lalu memutar mobil itu kembali ke
jalan raya, melesat meninggalkan Sultan.
Vivian! Sultan seperti orang hilang akal, berusaha
mengejar.
Vivian, suara Sultan terdengar parau dan putus asa.
Kamu mau aku mengejarnya? tanya Devina. Ia tak tega
melihat Sultan seperti orang kehilangan separuh
nyawanya. Diam-diam Devina mengutuk Vivian, yang tega
menghancurkan perasaan Sultan.
Sultan menggeleng. Tidak. Tidak usah dikejar, kata
Sultan.
Meskipun kamu harus membantuku masuk ke dalam mobil
dulu baru mengejarnya, mana mungkin bisa terkejar? Kita

Satu-satunya jalan yang masuk akal bagi Sultan adalah


menyembuhkan kakinya secepat mungkin. Setelah itu, ia
akan bicara pada Romeo dan Vivian untuk mengetahui yang
sebenarnya terjadi.
KAMI TIDAK INGIN KAMU KECEWA, kata Nyonya Fatimah.
Mami, aku lebih terpukul ketika mendengar semua ini
dari Romeo dan Vivian.
Kenapa hal penting ini harus disembunyikan?
Kamu tidak bisa menyalahkan aku dan Mami, Sultan! Kami
merahasiakan ini justru untuk melindungi kamu!
Melindungi bagaimana? sergah Sultan.
Kamu kan baru keluar dari rumah sakit. Masa aku sampai
hati menjejalimu dengan berita buruk? Lagipula, alasan
Vivian membatalkan pernikahan itu sangat memuakkan!
Jadi, kamu tahu alasannya?
Tentu saja aku tahu. Romeo mengatakannya dengan cukup
jelas di telingaku melalui telepon! Vivian tidak mau
menikah denganmu, karena dia tidak mau punya suami
lumpuh! kata Mirah, ketus.
Sultan menatap adiknya dengan tajam. Pasti telah
terjadi salah paham. Sultan mengarahkan kursi rodanya
ke meja telepon. Aku harus menjelaskan bahwa aku tidak
selamanya lumpuh.

Namun, Nyonya Fatimah telah lebih dulu meletakkan


tangannya di pesawat telepon.

mewah. Tak lupa ia mengundang Romeo dan Vivian, yang


kaget karena melihat Sultan tampak gagah dalam setelan
jas pernikahannya. Tidak terlihat lumpuh sama sekali.

Lupakan saja niatmu. Vivian bukan wanita yang tepat


untukmu. Ia tega memutuskan hubungan, saat kamu sedang
dalam kesulitan. Wanita seperti itukah yang akan kamu
jadikan teman seumur hidupmu?

Kamu tampak tidak senang, Sayang. Kenapa? tanya Romeo.

Aku akan meneleponnya dari kamarku, Sultan tak


menggubris ucapan ibunya. Tapi, sebelum Sultan memanggil
Parman dan Kemis untuk membantunya naik ke kamarnya,
telepon berdering keras.

Romeo tercekat. Bukankah kamu yang membatalkan?

Nyonya Fatimah mengangkat gagang teleponnya, lalu diam


dengan wajah serius. Romeo ingin bicara denganmu,
katanya, singkat.
Sultan dengan cepat menerima pesawat telepon itu.
Sultan, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu.
Vivian ingin kamu tahu bahwa kami telah menikah di
Catatan Sipil pagi tadi.
Sultan terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak
seketika.
Kenapa Vivian tega melakukan semua ini?
SEGALA PERUBAHAN DIALAMI OLEH SULTAN. Kini ia mulai
dapat berjalan, tidak bergantung pada kursi roda lagi,
meski masih harus menggunakan tongkat. Lalu, atas
desakan ibunya, Sultan akhirnya memperistri Devina yang
selama ini tidak pernah lelah memperlihatkan cinta dan
perhatiannya. Ia menerima desakan ibunya, bukan karena
cinta pada Devina, tapi didorong oleh rasa kecewa pada
Vivian. Ia lalu bertekad menyelenggarakan pesta
pernikahannya, sebelum Vivian menggelar resepsi
pernikahannya dengan Romeo.
Pesta pernikahan Sultan dan Devina dirancang sangat

Bagaimana mungkin aku senang. Pesta ini seharusnya jadi


pesta pernikahanku, sentak Vivian.

Memang. Tapi, aku sudah dijebak, hingga mengambil


keputusan itu. Mirah telah membohongiku! Aku mau pulang
sekarang, kata Vivian, sambil berjalan keluar.
Sultan, yang mengamati raut wajah Vivian, tersenyum
simpul. Pemandangan itu sudah cukup untuk jadi satu
angka kemenangan untuknya. Ketika pesta usai, langkah
Sultan menuju kamar pengantin terasa sangat ringan,
tanpa beban.
Ia baru selesai mandi, saat melihat pengantin wanitanya
duduk di tepi ranjang dengan wajah tertunduk. Kecantikan
Devina yang mengagumkan dan luar biasa membuat Sultan
tergoda untuk menyentuhnya.
Sentuhan Sultan pada tubuh Devina begitu lembut dan
menghanyutkan. Mereka tenggelam dalam keindahan yang
menghanyutkan. Mereka terbuai oleh kemesraan yang hampir
mencapai puncaknya. Tapi, semua itu terputus saat sebuah
bayangan menyeruak tirai ingatan di benak Sultan.
Bayangan Vivian!
Mendadak Sultan kehilangan gairah. Bayangan itu
membuatnya mati rasa seketika. Sepertinya, Vivian tengah
berada di kamar pengan tin itu dan mengamati semua yang
tengah dilakukan Sultan.
Ini membuat Sultan tak berdaya. Ia menggelosor jatuh di
sisi Devina dengan wajah pucat pasi. Badannya basah
karena keringat. Sultan marah. Marah sekali, karena ia

belum dapat melupakan Vivian. Ia marah, karena ternyata


masih menyimpan cinta untuk Vivian!
SEJAK MALAM PENGANTIN yang gagal itu, Sultan tak pernah
lagi memberikan kemesraan terhadap Devina. Ia tetap
tidur satu ranjang dengan istrinya. Di bawah selimut
yang sama. Tapi, sedikit pun ia tak menyentuhnya. Malah,
untuk menghindari pertemuan dengan Devina, Sultan lebih
banyak bekerja lembur di perusahaannya. Ia pergi ke
kantor pagi-pagi sekali.Baru pulang setelah malam
menyelimuti permukaan bumi.
Sultan seperti mesin, yang hanya mampu menjalankan tugas
di kantornya saja. Ia mati rasa terhadap wanita. Ia tak
lagi mampu untuk mencintai. Selama bertahun-tahun
menikah, hanya pekerjaan yang ada dalam pikirannya.
Devina hanya seperti boneka cantik yang jadi penghias
kamarnya.
Hingga suatu malam di sebuah club, tanpa sengaja Sultan
bertemu kembali dengan Vivian. Apa kabar? Boleh aku
gabung di sini? Sendiri?
Romeo sibuk mengurusi pekerjaannya. Aku juga terlalu
sibuk untuk membujuknya menemuiku ke tempat ini, jawab
Vivian, kalem.
Sultan tersenyum. Rupanya, pernikahan mereka juga tak
berjalan dengan baik. Tampaknya kamu tidak mendapatkan
apa yang kamu harapkan. Vivian tersenyum kecut. Kamu
sendiri? Apakah kamu mendapat kebahagiaan yang kamu
harapkan?
Kebahagiaan tidak akan mudah diperoleh dari sebuah
perkawinan yang dipaksakan oleh keadaan, Sultan
menjawab dengan taktis. Aku masih tak mengerti, kenapa
kamu membatalkan pernikahan kita.
Vivian mendesah. Kenapa kamu masih mempertanyakan hal
itu? Apakah kamu masih mencintaiku aku?

Sulit bagi Sultan menjawab yang sebenarnya sangat


sederhana itu. Barangkali, karena terlalu tenggelam
dalam pekerjaan, Sultan jadi tidak yakin lagi akan
perasaannya sendiri. Ia juga tidak yakin lagi akan mampu
mencintai wanita, seperti waktu-waktu yang lalu. Ia
memang merasa sangat kehilangan Vivian, tapi ia tidak
yakin masih mencintai gadis itu seperti dulu.
Kebahagiaan itu masih bisa kita raih, Sultan, lanjut
Vivian, sambil menggenggam tangan Sultan. Kita
dipertemukan kembali untuk meraih kesempatan yang dulu
terlepas dari tangan kita. Kamu masih dapat menikahiku,
kalau memang masih mencintaiku.
Sultan tercengang. Dulu ia memang sangat ingin menikahi
Vivian. Tapi, sekarang? Sekarang ia telah memiliki
Devina sebagai istrinya. Meski ia tidak pernah
menyentuhnya, sedikit pun tak pernah melintas untuk
menceraikan Devina dan menikahi Vivian.
Aku masih mencintaimu. Menginginkanmu jadi suamiku.
Sultan mengangkat alisnya. Aku mungkin masih memiliki
harapan yang sama denganmu. Tapi, keadaan sudah tidak
memungkinkan lagi.
Tapi, kamu tidak mencintai istrimu, seperti kamu
mencintai aku, Tan. Aku tahu itu!
Sultan mendesah. Kamu benar. Aku memang tidak
mencintainya seperti aku mencintaimu dulu. Tapi, banyak
sekali hal yang membuatku tidak dapat menceraikannya
begitu saja. Ia selalu setia mencintaiku, meski aku
duduk di kursi roda. Satu hal yang tidak kudapatkan
darimu. Jadi, bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya
untuk menikahimu?
Wajah Vivian merah padam seketika. Ia merasakan kalimat
Sultan sebagai suatu sindiran pedas untuknya.
Vivian, perasaanku padamu sudah tidak sama seperti dulu
lagi. Sikapmu membuatku terluka. Luka itu masih

kurasakan, meski kerap tertutup oleh perasaan rinduku.


Lalu, sekarang kamu dengan mudah mengatakan hendak
meninggalkan suamimu untuk menikah denganku. Bagaimana
aku yakin kalau kamu tidak akan meninggalkan aku kelak?
Vivian terperangah.
Kurasa, sampai di sini saja perbincangan kita. Aku
senang sekali bertemu denganmu, Vi. Tapi, aku harus
segera pulang, karena istriku sudah menungguku di
rumah.
Lalu, Sultan beranjak pergi. Suara panggilan Vivian tak
dihiraukannya. Entah kenapa, langkah Sultan terasa
ringan. Hatinya terasa lapang. Sultan juga tidak
mengerti, mengapa tiba-tiba ia merasa lega, setelah
menolak Vivian sedemikian rupa. Entahlah, sulit baginya
untuk mendefi nisikan perasaannya sendiri terhadap
Vivian. Yang jelas, ia merasa menjadi Sultan yang baru,
setelah menyadari bahwa dirinya tidak terobsesi lagi
pada Vivian.
BARU PULANG? SUARA LEMBUT Devina mengejutkan Sultan
yang berjingkat-jingkat memasuki kamar tidurnya.
Maaf. Aku membangunkanmu, ya? tanya Sultan, rikuh.
Aku bukan terbangun karena suaramu. Aku memang masih
terjaga sejak sore tadi. Devina bangkit dari tempat
tidur.
Mau kubuatkan kopi susu? tanya Devina, sambil mengikat
rambutnya.
Sultan menggeleng cepat. Ia lalu berjalan menuju meja
kerjanya, mencoba menekuni beberapa sketsa barang antik
yang berserakan. Tapi, konsentrasi Sultan benar tidak
dapat tertuju pada pekerjaan. Ia mendekap wajahnya.
Tiba-tiba saja ia merasa berdosa terhadap Devina, yang
selalu memperlakukannya dengan lembut. Alangkah tidak
adilnya ia selama ini.

Ia berdiri, menuju kamarnya. Ia merasa harus bicara pada


istrinya dan meminta maaf atas sikapnya yang tidak
bijaksana. Tapi, baru saja ia bangkit dari tempat duduk,
wajah Devina muncul. Sultan, kamu sudah makan? Suara
Devina lirih. Tapi, terdengar menggetarkan di telinga
Sultan.
Sultan tertegun di tempatnya. Pertanyaan istrinya yang
demikian sederhana itu terasa sangat menyentuh.
Terbukti, meski ia tidak pernah memerhatikan Devina,
istrinya tidak pernah lalai memerhatikan kebutuhannya.
Kamu sendiri, apakah sudah makan? Sultan balik
bertanya.
Devina menggeleng lemah. Aku tidak bisa tidur. Jadi,
aku menunggumu pulang supaya kita bisa makan malam
bersama.
Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu? Sultan
menepukkan kedua tangannya. Lantas, dengan bersemangat,
ia meraih pinggang Devina, dan membimbingnya menuju
ruang makan.
Devina tersentak. Sentuhan tangan Sultan serasa
mengaliri tubuhnya dengan getaran yang sangat aneh. Ia
tambah tertegun ketika Sultan menyalakan beberapa batang
lilin di atas meja makan. Menarikkan kursi untuk
istrinya. Memutar lagu romantis untuk jadi musik
pengiring makan malam.
Meski merasa heran atas sikap suaminya, Devina diam
saja. Ia duduk di samping Sultan, menikmati makan
malamnya. Ia biarkan tangan kokoh Sultan melingkari
pinggangnya. Membiarkan desah napas Sultan mengembus di
pipinya. Ia biarkan Sultan memeluknya.
DEVINA TERJAGA DI SAAT MATAHARI belum muncul dari ufuk
timur. Wanita lemah lembut itu merasakan sebuah
kesegaran yang aneh menyirami tubuhnya. Kesegaran yang
diberikan oleh suaminya melalui sebuah kemesraan yang

sakral. Perlahan, ia memalingkan wajahnya, tersenyum


melihat tubuh suaminya terbaring di sisinya dengan
sebuah kebahagiaan terukir di wajah tampannya. Dengan
penuh cinta, ia mengecup suaminya.
Ia mendesah. Teringat pada malam yang baru saja
dilaluinya. Masih terasa di tubuhnya pelukan hangat,
sentuhan lembut Sultan. Tapi, tiba-tiba muncul sebuah
tanda tanya di benak Devina. Ia mereka- reka, hal apa
yang menyebabkan suaminya bersikap mesra.
Yang pertama melintas di benaknya adalah Vivian. Ia
tiba-tiba merasa getir, saat membayangkan sebuah
kemungkinan yang menghubungkan perlakuan mesra Sultan
dengan Vivian. Devina menangis. Ia sudah cukup termakan
perasaannya sendiri dengan membiarkan Sultan tetap
mencintai Vivian. Kini haruskah ia menerima kenyataan
bahwa Sultan bercinta dengannya sambil membayangkan
bercinta dengan Vivian? Tidak!

menemui ibunya yang sudah menunggu di ruang makan.


Hmm tumben bangun agak siang, sapa Nyonya Fatimah.
Sultan hanya tersenyum.
Mami tidak melihat Devina. Ke mana dia? tanya ibunya
lagi.
Dia pulang, Mi, kata Sultan. Dia pulang ke rumahnya
sendiri.
Apa?! Kalian bertengkar atau bagaimana?
Tidak, kok. Sultan tersenyum.
Tapi, kenapa Devina pulang ke rumahnya, Sultan? Kamu
harus bicara yang jelas. Mami tidak ingin kamu
memperlakukannya dengan semena-mena.

Devina tidak mau membiarkan dirinya jadi jelmaan Vivian


di mata Sultan. Sudah cukup lama dia hidup di bawah
bayang-bayang wanita itu. Kini segalanya harus diakhiri!
Dengan hati pedih, Devina bangkit. Ia mengemasi pakaian
dan barang-barangnya dalam dua buah koper. Sebelum ia
meninggalkan rumah mewah suaminya, ia meletakkan surat
di atas bantalnya. Matahari masih mengintip malu, saat
Devina melangkah pergi.

Sultan tersenyum, sambil melahap sepotong roti isi selai


stroberi ke dalam mulutnya. Aku berniat menyusul ke
rumahnya, setelah selesai sarapan. Ada kesalahpahaman
antara aku dengan Devina.

DEVINA, DENGAN MATA MASIH TERTUTUP, Sultan


meraba-raba sisi tempat tidur yang biasa ditiduri
Devina. Tapi, tidak ditemukannya wanita yang telah setia
mendampinginya selama 4 tahun itu. Tak disengaja
tangannya menyentuh selembar kertas terlipat di atas
bantal istrinya.

SAAT SULTAN TIBA DI RUMAH DEVINA, ia melihat istrinya


itu tengah membantu ibunya, melayani seorang pembeli
ketoprak. Ia terkejut sekali melihat kedatangan suaminya
yang tak terduga itu. Devina mengerutkan alisnya. Ia tak
mengerti mengapa Sultan menyusulnya ke tempat ini.
Padahal, lewat surat, ia telah mengutarakan semuanya,
termasuk permintaan agar suaminya tidak mencarinya lagi.

Mata Sultan langsung terbuka lebar, terkejut. Ia segera


bangkit dan membuka lipatan kertas itu dengan
terburu-buru. Matanya terbeliak membaca kata demi kata.
Ketika seluruh isi surat telah selesai dibaca, Sultan
tertawa. Lalu, ia mandi dengan santai. Sesudahnya, ia

Sekarang saja kamu susul dia, kata Nyonya Fatimah


tegas, sambil menggeret Sultan, agar bangkit dari tempat
duduk.

Devina, Sultan memanggil dengan lembut.


Devina sampai terkejut mendengar kelembutan suaranya.
Apalagi, saat melihat tatapan mata yang begitu

menyejukkan dari Sultan.


Seharusnya, kamu jangan datang ke sini, Sultan,
ujarnya lirih.
Kamu lebih baik mencari Vivian, yang lebih pantas untuk
jadi istrimu. Dia pasti akan menerimamu kembali, kalau
tahu kamu tidak lum.
Sssh! Sultan meletakkan telunjuknya di depan bibir
Devina.
Tanpa berkata apa-apa, ia meraih wanita itu dalam
pelukannya.
Jangan sebut orang lain lagi, Devina. Aku hanya
mencintaimu, bisik Sultan di telinga istrinya.
Devina terperangah. Rasanya, ia tengah berada dalam
mimpi mendengar penyataan cinta dari suaminya itu.
Selama bertahun-tahun suaminya mabuk oleh pesona Vivian.
Ia hampir tak percaya apa yang didengarnya.
Benarkah? tanya Devina.
Sultan tak menjawab. Ia hanya mempererat pelukannya.
Sebutir kristal bening turun di pipi Devina. Ia bahagia
mendengar penyataan suaminya. Tak peduli bahwa adegan
pelukan yang cukup hangat itu menjadi tontonan beberapa
pembeli ketoprak ibunya.
Tamat

Anda mungkin juga menyukai