Anda di halaman 1dari 51

Presentasi Kasus Medik

Laki-Laki 21 Tahun dengan Drug (OAT)


induced hepatitis, TB milier, Laringitis TB dan Riwayat kasus TB
Drop Out

Pembimbing
dr. Alex Santana, SpPD
Pendamping
dr. M Pratiknyo
Disusun Oleh
dr. Martinus Nuherwan Desyardi

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG
RSUD AMBARAWA
2016
1

Laki-Laki 21 Tahun dengan Drug (OAT)


induced hepatitis dan TB relaps dengan TB milier dan Laringitis
TB.
Topik

: Medik

Kasus

: Drug (OAT) induced hepatitis, TB milier, Laringitis TB dan Riwayat TB DO

Oleh

: dr. Martinus Nuherwan Desyardi

Pembimbing

: dr. Alex Santana, SpPD

Pendamping

: dr. M. Pratiknyo

Objektif

: Ilmu Penyakit Dalam

Deskripsi

: Seorang laki-laki 21 tahun datang dengan keluhan lemas dan dengan riwayat
TB

Tujuan

: Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan pada kasus drug


induced hepatitis, TB relaps, TB Milier dan laringitis TB.

Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus


Pembimbing,

dr. Alex Santana, SpPD

Ambarawa, 26 Januari 2016


Pendamping,

dr. M. Pratiknyo
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

I.

TUBERKULOSIS

A. Definisi
2

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberkulosis


complex.
B. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia
ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus
TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk. Diperkirakan terdapat 2 juta
kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat
di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang
muncul.
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua
setelah system sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah
penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan
yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001, terdapat 50.443
penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga
perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan
setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada
setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia menduduki urutan ke 2 di dunia untuk jumlah
kasus TB setelah India dan diikuti oleh China. (WHO, 2015)
C. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
3

TB paru dibagi atas:


a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis
-

dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.

tuberkulosis (PDPI, 2006).


2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi
aktif/perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan:
o Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan
dll).
o TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
d. Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi (PDPI, 2006).
D. Tuberkulosis Ekstraparu
1. Definisi
Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan
lain-lain.
2. Epidemiologi
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang
berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang
berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB pada situs
ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa proporsi TB
ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan
dalam fasilitas diagnostik.

Pada pasien terinfeksi HIV, frekuensi TB ekstraparu tergantung pada derajat


penurunan imunitas selular. Pada pasien dengan <100 CD4 cells/mL, TB ekstraparu dan
milier terdapat sekitar 70% dari seluruh bentuk TB.
3. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberkulosis. Basil ini tidak berspora
sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil
ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat
dibersihkan lagi dari fuchsin atau methylene blue oleh cairan asam sehingga biasanya
disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk
menampakkan basil ini (Karnadihardja, 2004). M. tuberkulosis umumnya ditularkan dari
seseorang dengan infeksi TB paru atau TB laryngeal kepada orang lain melalui droplet
nuclei, yang teraerosolisasi oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei
infeksius per batukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan
tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara terminal ketika
terinhalasi. Ada dua pengecualian lain yang dilaporkan adalah prosector's wart (kutil
pada orang yang mendiseksi mayat) disebabkan inokulasi pada kulit dari instrumen tajam
yang terkontaminasi dan penularan orang-ke-orang melalui bronkoskopi yang
terkontaminasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke pejamu dihubungkan
dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di ruang udara. Resiko penularan
menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan volume udara, udara segar, dan
cahaya alami atau cahaya ultraviolet.
Menurut Karnadihardja (2004), ada dua macam mikobakteria penyebab TB, yaitu
tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita
mastitis tuberkulosa, dan bila diminum, dapat menyebabkan TB usus. Basil tipe human
bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TB terbuka.
Orang yang rentan dapat terinfeksi TB bila menghirup bercak ini, ini merupakan cara
penularan terbanyak. Selanjutnya dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya.
Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak
tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer.
Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis
regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis
6

pengkejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis
regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa
meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95%).
Meskipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa
penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran
milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, dan meningen, sedangkan
penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan
bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan
TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga
mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya tidur.
Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur
ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan
leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun-tahun, bahkan seumur
hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan
keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi
HIV.
TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan
selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis
dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis
melalui erosi bronkus.
Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan bersarang pada
korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat
langsung menyebabkan penyakit atau tidur selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal
sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi,
dan nekrosis pengkejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter,
kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis.
Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik sebagai
penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB pascaprimer. TB
kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan TB pascaprimer.
Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti
dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa
menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis). Penyebaran ke tulang
adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan TB
7

tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang
subkondral. Penyebaran ini menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis
tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular . Penyebaran ke otak dan
meningen juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan
penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak
langsung dari pleura yang tembus ke pericardium.
Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas
rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan
cara lisis (bakteriolisis).
4. Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi atas:
a. TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis
Menurut Kreider dan Rossman (2008), situs tersering TB ekstraparu adalah sbb:
a. Kelenjar Limfe (44%).
Limfadenitis TB merupakan bentuk paling umum dari TB ekstraparu. Beberapa
nodus dapat terlibat, tetapi rantai-rantai servikal dan supraklavikular paling sering
terkena. Pasien datang untuk perhatian medis dengan adenopati yang tidak nyeri,
yang sering berdrainase secara spontan. Pada tahap awal penyakit, nodus akan padat
dan diskret. Pada tahapan penyakit lebih lanjut, nodus akan menjadi lembek dan
berfluktuasi. Selain demam, biasanya tidak ada gejala sistemik jika penyakit ini tidak
ada di tempat lainnya. Diagnosis adalah dengan peralatan aspirasi jarum halus atau
biopsi insisional pada nodus yang terpengaruhi. Pewarnaan BTA dan kultur jaringan
nodus biasanya menunjukkan BTA dan organisme M. tuberkulosis.
b. Rongga Pleura (19%).
Penyakit pleura biasanya bermanifestasi dengan nyeri dada pleuritik ringan
hingga berat, yang dapat diiringi dispneu. Gejala lainnya meliputi demam, keringat
malam, dan penurunan berat badan. Penyakit dapat dalam bentuk akut atau kronik
dan sering menyebabkan efusi dan sering menyebabkan efusi yang halus. Efusi
8

umumnya unilateral dan mengiringi penyakit parenkim aktif pada 70% pasien. TB
pleura akan berkembang beberapa tahapan penyakit tetapi seringkali muncul sebagai
manifestasi penyakit primer dan muncul selama 6 bulan setelah infeksi TB.
c. Tulang dan/atau Sendi (11%).
Vertebral TB (Pott's disease) terdapat pada 50-70% kasus dari semua kasus TB
tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang belakang, jadi pasien
akan bisa mengalami gejala neurologik atau motorik. Vertebra torakal bawah dan
lumbal atas merupakan situs tersering dari penyakit. Pasien secara khas mempunyai
riwayat 2 minggu sampai 3 bulan mengalami nyeri punggung, demam, dan penurunan
berat badan. Abses paravertebral terjadi di antara 50% pasien. Pasien dengan Potts
disease biasanya mempunyai bukti radiologis dari keterlibatan tulang belakang, dan
50% pasien mempunyai bukti radiologis dari salah satu TB paru lama atau aktif.
Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur dari tulang yang terinfeksi.
TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah arthritis monoartikular
dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul, pergelangan). Nyeri merupakan
gejala paling umum, dan pembengkakan dengan rentang pergerakan yang menurun
pada sendi yang dapat terlihat. Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi
jaringan sinovial dapat mengandung granuloma, dan hasil kultur adalah positif untuk
M. Tuberkulosis 60-70% dari waktu itu.
d. Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan meningitis TB muncul dalam bentuk
demam dan tingkat kesadaran yang memburuk secara perlahan, yang dapat dengan
cepat berakibat fatal jika tidak ditangani segera. Menurut Fitzpatrick dan Braden
(2000), meningitis TB disebabkan penyebaran secara hematogen dari organisme
mikobakterial menuju ruang meningeal. Proses ini terjadi dalam berminggu-minggu
hingga bertahun-tahun setelah infeksi, dan tampilan TB sistem saraf pusat (SSP) bisa
akut ataupun subakut. Penyakit dapat bermanifestasi klinis sebagai meningitis
bakterial. Gejal-gejala akut dapat meliputi sakit kepala, demam, atau perubahan status
mental. Gejala-gejala lain dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan; meliputi demam, penurunan berat badan, anoreksia, keringat malam,
malaise, dan kelumpuhan saraf kranialis. Kelumpuhan nervus VI adalah pertanda TB
SSP, tetapi nervus II, III, dan VII juga bisa mungkin bisa dipengaruhi. Pemeriksaan
bisa menunjukkan meningismus dan papilledema. TB SSP dapat berkembang dalam
9

tiga tahapan. Tahap 1 ditandai gejala-gejala nonspesifik dengan sedikit atau tanpa
tanda-tanda klinis meningitis. Tahap 2 ditandai perkembangan tanda-tanda meningitis
seperti meningismus, letargi, dan kelumpuhan saraf kranialis. Tahap 3 ditandai koma
dan gangguan neurologis seperti paralisis.
Diagnosis sering dibuat berdasarkan adanya alasan klinis dan keberadaan faktor
resiko TB, hasil Tuberculin Skin Test (TST), dan radiograf dada. Pasien dengan TB
SSP sering mempunyai respon memuaskan terhadap pengobatan TB jika terapi
diawali dengan cepat (sebelum tahap 3). Ini adekuat untuk diagnosis ketika sangkaan
klinis tinggi dan hasil studi laboratorium tidak mencukupi untuk mendukung
diagnosis.
e. Peritoneum dan/atau Usus (5,5%).
Fitzpatrick dan Braden (2000) mengatakan TB peritoneal tidak umum dan sering
memunculkan dilema dalam diagnosis. Patogenesisnya tidak dipahami dengan jelas,
tetapi penyakit dipikirkan berkembang setelah penyebaran secara hematogen, seperti
halnya penyakit ekstraparu yang lain. Gejala-gejala beraneka ragam dari pasien ke
pasien tetapi paling umumnya meliputi nyeri abdominal, distensi, demam, penurunan
berat badan, dan malaise. Gejala-gejala dapat menjadi kronik, dan penyakit dapat
berkembang menjadi asites atau massa abdominal, yang mungkin adalah omentum
yang terkumpul, mesenteri, dan usus; ditemukan di pemeriksaan fisik. Sebanyak 30%
dari pasien-pasien mungkin akan mengalami efusi pleura.
f. Saluran Genitourinarius (4%).
TB genitourinarius berkembang dengan lamban. Dapat memunculkan tanda dan
gejala infeksi lokal dengan sedikit manifestasi sistemik, atau penyakit mungkin saja
asimptomatis (Fitzpatrick & Braden, 2000). Keterlibatan saluran genitourinarius
mengakibatkan disuria, frekuensi urine, dan gross hematuria dengan atau tanpa nyeri
pinggang.

Penyakit

di

antara

wanita

dapat

menyebabkan

nyeri

pelvik,

ketidakteraturan menstruasi, dan infertilitas. Laki-laki dapat mempunyai massa


skrotum yang tidak nyeri. Seperlima pasien dengan pyuria dapat mengalami tanpa
gejala. Penyakit dicurigai ketika urinalisis menunjukkan sel darah putih dan
hematuria tanpa bakteri.
Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur urine. Hasil kultur urine adalah negatif
untuk bakteri yang umum (sterile pyuria) dan positif untuk M. Tuberkulosis. Hasil
diagnostik yang terbaik dari spesimen pagi hari awal. Tiga spesimen diambil untuk
10

dikultur. Temuan pada IVP (Intravenous Pyelography) biasanya nonspesifik dan


sering tidak membantu. Dua pertiga pasien dengan TB genitourinarius mempunyai
radiograf dada abnormal yang menunjukkan tanda-tanda penyakit paru aktif atau
lama.
g. Milier (1.8%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan infeksi diseminata (penyakit milier)
dapat muncul tanpa adanya bukti infeksi paru aktif. TB milier, penyakit yang
tersembunyi dan secara klinis dalam bentuk yang sukar dipahami, berkembang
setelah diseminasi secara hematogen dari basil TB. Diseminasi menghasilkan pola
milier (demikan dinamakan karena menyerupai millet seeds (padi-padian) 2 mm
dalam diameter) pada radiograf dada atau pada spesimen biopsi dari sumsum tulang
belakang, hati atau limpa. Penyakit milier biasanya muncul di antara grup berisiko
tinggi, meliputi orang-orang dengan infeksi HIV atau penyakit imunosupresif yang
lain, penyakit jaringan ikat, atau neoplasma hematologik, orang-orang yang
menyalahgunakan alkohol dan mereka yang menjalani pengobatan imunosupresif,
termasuk steroid dosis tinggi.
Pasien dapat mengalami penyakit ringan selama beberapa minggu atau bulan
sebelum mencari perhatian medis. Demam merupakan gejala paling umum pada
penyakit milier, tetapi banyak pasien dilaporkan mendapat gejala-gejala nonspesifik
seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan, dan keringat malam. Pemeriksaan
fisik adalah non-fokal.
Diagnosis TB milier ditegakkan berdasarkan riwayat klinis, keberadaan pola
milier pada radiograf dada dan hasil kultur positif untuk M. tuberkulosis dari darah
atau sebuah situs biopsi seperti hati, atau sumsum tulang belakang. TST adalah
indikator yang insensitif terhadap infeksi M. Tuberkulosis sebelumnya di antara
orang-orang dengan penyakit milier; hasil telah dilaporkan positif pada 25 - 75%
kasus. Pada kasus yang mana diagnosis laboratorium sulit untuk ditegakkan,
pengawasan respon klinis terhadap terapi anti-TB dapat membantu. Demam mereda
di antara 30% pasien dalam 2 minggu dan di antara 60 - 70% pasien dalam 4 minggu.
h. Lain-lain (11%)
Kulit, Laring, telinga tengah, perikardium, payudara, tiroid, kelenjar ludah,
jaringan lunak.
11

6. Diagnosis
a. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test
Tuberculin Skin Test (TST) paling umum digunakan untuk screening infeksi laten
M. tuberkulosis. Tes ini mempunyai keterbatasan nilai dalam mendiagnosis TB aktif
karena berhubungan dengan sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah dan
ketidakmampuannya membedakan antara infeksi laten dan infeksi aktif.
Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat terhadap
kuman TB. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman TB, yang bila disuntikkan
pada orang yang pernah terinfeksi TB (baik yang aktif maupun yang tidur) akan
menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di
daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut positif,
kurang dari 5 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu (false-negatif) umum pada
pasien yang mengalami imunosupresi dan mereka dengan TB yang membludak.
Reaksi positif palsu (false-positive) bisa disebabkan infeksi oleh mikobakterium
nontuberkulosis dan oleh vaksinasi bacille Calmette- Gurin (BCG).
b. Pemeriksaan Patologi
Tuberkulum biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di
sekitar kelompok basil TB. Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari
histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan
disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan
lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran
patologi khas TB. Gambaran patologi jaringan hasil biopsy atau sisa jaringan debris
pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula. Diagnosis dengan cara
ini cukup tinggi keandalannya meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding
yang memberikan gambaran hampir sama.
Gejala dan tanda klinis juga khas. Kecuali TB millier, penyakit TB berkembang
lambat tanpa radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak ada hiperemia,
panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut abses dingin. Kadang
radang disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa,
peritonitis eksudativa, atau perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan
ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosisnya menghasilkan massa
12

seperti salep atau keju sehingga disebut perkejuan atau caseosa, misalnya
limfadenitis kaseosa. Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin karena tidak
ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di
kulit dari limfadenitis TB di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis
pada vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya keluar melalui fasia
otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis / keju yang telah keluar itu mungkin terjadi
ruang yang disebut kaverne seperti di paru dan ginjal.
c. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan
adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB dapat dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl Nielsen atau KenyonGabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan
medium Lweinstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah
sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung pada
letak penyakit.
Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam
sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmut dapat dipakai untuk
biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu.
Pembelahan sel memerlukan waktu 20-24 jam.
d. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB meskipun
diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis.
7. Terapi
a. Terapi Obat
Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan pengobatan
dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan efektif dengan sama
baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini telah ditemukan banyak macam
anti-TB yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbedabeda. Umumnya anti-TB
aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif
terhadap kuman yang membelah lambat. Selain itu, obat-obat ini tidak aktif dalam
suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel makrofag (suasana intraselnya
asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam.
Sementara itu, kuman TB mudah resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu,
kemoterapi TB selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud
13

meningkatkan efek terapinya dan mengurangi timbulnya resistensi. Untuk


menyembuhkan TB diperlukan pengobatan yang lama karena basil TB tergolong
kuman yang sukar dibasmi. Selain itu, kuman yang semidormant, yaitu yang berada
dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut telah keluar dari
makrofag.
Dikenal dua macam paduan terapi (regimen) anti-TB, yaitu paduan jangka
panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9 bulan. Pengobatan
TB diberikan dalam dua fase, yaitu fase intensif selama dua bulan yang dilanjutkan
dengan 4-6 bulan fase lanjutan. Pada fase intensif biasanya digunakan 3-4 macam
obat, misalnya isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol, sedangkan pada fase
lanjutan diberikan lebih sedikit macam obat. Pilihan macam obat dan lamanya
pengobatan bergantung pada beratnya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, dan
riwayat pengobatan sebelumnya. Selain itu adanya kontraindikasi dan efek samping
obat harus jadi pertimbangan.
Efek samping penting yang penting diingat adalah kerusakan N. VIII oleh
streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada defisiensi vitamin B6, gangguan
penglihatan akibat etambutol, dan hepatotoksisitas INH dan rifampisin. Efek toksik
terhadap hati ini lebih berat bila kedua obat diberikan bersama-sama.
Untuk bentuk yang parah, lebih cenderung untuk menangani dengan empat obat
pada fase intensif awal dan jika diperlukan, total lama pengobatan dapat diperpanjang
menjadi 9 bulan. Pasien TB ekstraparu diberikan pengobatan 2H3R3Z3/4H3R3
selama

bulan.

Bagaimanapun,

pada

bentuk

yang

parah

diberikan

2H3R3Z3E3/4H3R3. Pada TB meningeal, pengobatan akan diperpanjang selama 9


bulan dengan tambahan steroid. Walaupun pengobatan memberikan hasil yang bagus
pada kebanyakan bentuk TB ekstraparu, ada beberapa pengecualian, seperti
meningitis dan TB spiral yang mana hasil pengobatan tergantung diagnosis awal.
Jika, bagaimana pun, TB ekstraparu bersamaan dengan infeksi HIV, idealnya
pengobatan anti retroviral aktif tinggi (HAART / Highly Active Anti-retroviral
Treatment) harus diberikan juga. Interaksi antara rifampasin dan komponen HAART
perlu untuk diketahui dan diingat juga.

14

b. Terapi Bedah
Pusat radang TB terdiri atas pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa. Seperti
halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik
ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu, sarang
infeksi di berbagai organ, misalnya kaverne di paru dan debris di tulang, harus
dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis.
Selain itu, tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada TB
paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada TB usus yang
menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau arthritis tuberkulosa yang
menimbulkan cacat.

II.

Hepatotoksisitas Imbas Obat


A. Metabolisme Obat
Setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh menglamai proses metabolism di
hati. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel
intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam
hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim
sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi reaksi
oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini, dan
beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. (Nilesh M et al., 2010)
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum
endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif.
Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada
substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit
acetaminophen, N-asetil-p-benzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika
dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam
kasus keracunan. (Nilesh M et al., 2010)

15

Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka


dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling
penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat.
Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain,
sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat
Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam ataupun di luar hati.
Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam amino, sulfat, glutathione,
asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat. Selanjutnya, obat dengan
berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal mengeluarkan
obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat sitokrom
P-450 enzim adalah sebagai berikut:

Inducers
o

Phenobarbital

Phenytoin

Carbamazepine

Primidone

Ethanol

Glucocorticoids

Rifampin

Griseofulvin

Quinine

Omeprazole - Induces P-450 1A2

Inhibitors
16

Amiodarone

Cimetidine

Erythromycin

Grape fruit

Isoniazid

Ketoconazole (Nilesh M et al., 2010)

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara
permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan
penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan
kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang
hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek
yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis
terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan
pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian lagi
tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering
penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50
persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama P., 2006)

B. Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu.
Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada
kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana
reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui
apoptosis. Di samping itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
17

yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat
membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak
punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikelvesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T,
merangsang respon imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai
sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada betaoksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan
dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi
akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh
hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya
berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen). (Bayupurnama
P., 2006)

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan yang
tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang
mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada
idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen,
dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). (Bayupurnama P., 2006)

C. Implikasi Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau
substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. (Bayupurnama P., 2006)
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan
dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis
kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat

18

obat, baik secara klinis maupun histologis, sehingga pemeriksaan serologis virus sering
dipakai untuk mengetahui perbedaannya. (Bayupurnama P., 2006)
Menurut International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas
obat berdasarkan :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5
hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari
dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30
hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi
obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsi hati pada tiap kasus.
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling
tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati.
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.
(Nilesh M et al., 2010)
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada
setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan
seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu
menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi.
19

Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan risiko


tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat,
menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata setelah penghentian
obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat. (Nilesh M et
al., 2010)
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut
terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosit lebih dominan maka konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga
paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin
menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan
hepatosit seluruh lobul hepatik dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada
kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak minum
obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan
pemakaiannya. (Nilesh M et al., 2010)
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat.
Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap
bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis
asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang
tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit
terutama area sentrilobular. Konsentrasi aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi
3500 IU/L. (Nilesh M et al., 2010)

D. Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat


1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku
bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap
isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan
dapat bervariasi antar individu.
20

2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anakanak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun,
adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya
volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering
menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada
wanita.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap
keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme

obat.

Alkohol

menyebabkan

deplesi

penyimpanan

glutation

(hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat.


5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami
peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa
orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang
dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat
dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis
B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan
terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami
peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan
genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat.
Debrisoquine adalah obat antiaritmia yang mengalami metabolisme yang tidak baik
karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi
polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi
masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.
7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orangorang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan
glutation rendah.
8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek
dibandingkan obat short-acting

21

9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan


mendorong terjadinya penyakit hati, yakni:
o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac
o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)
o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat
o Usia Muda - Salisilat, asam valproik
o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen
o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan
o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin
o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol
o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol
o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide
o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate (Mehta, Nilesh, 2010)

III.

Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun
sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun, masalah
TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini
diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug
Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan
dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. (Amin dan Asril, 2006)
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk
dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh
obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar
obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi
pengobatan dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai
pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni
Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S).
(Kishore et al., 2010)
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3
obat pertama bersifat hepatotoksik). Faktor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut,
22

pasien wanita, status nutrisi buruk, alkohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV,
prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak
sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien
TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara
meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberkulosis pada berbagai
populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberkulosis.
(Kishore et al., 2010)
A. Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan
hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang
bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia,
jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati
akut. (Kishore et al., 2010).
Jika dalam pasien tuberkulosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan
gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnosa
hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit
seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sklera ikterik,
jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat.

B. Efek Hepatotoksik OAT


Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine
transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat
peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberkulosis. Kenaikan progresif
ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan
menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih
dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-

23

Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang


menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore et al., 2010)
1. Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati
ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan
konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi
progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH
bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat
menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak
11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat
terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang
memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis.
Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati
di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan
terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dengan dosis
biasa 300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang
terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif,
kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram
per hari (mg/kg/hari) dan dosis maksimum 300 mg/hari) untuk profilaksis pada
pengobatan TB adalah 0,18%. Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada anakanak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif
(14 dari 430 anak-anak). (Kishore et al., 2010)
2. Rifampisin
Rifampisin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal
terapi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih
lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa
dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampisin
menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama
terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin
24

terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima


rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampisin. Insiden
hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima
rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang
dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk
pengobatan laten tuberkulosis. (Kishore et al., 2010)
3. Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksik. Hepatotoksik dapat
terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease
Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksik yang dilaporkan pada pengobatan TB
dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003.
37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33
(69%) terjadi pada kedua bulan terapi. (Kishore et al., 2010)
4. Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi
hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol
yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore et
al., 2010)
5. Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yang dilaporkan. (Kishore et al., 2010)
B. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
-

Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop

Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
25

Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop

SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop

SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan

Paduan obat yang dianjurkan


-

Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali
normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi
sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa
laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal,
tambahkan Rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).
Sehingga paduan obat menjadi 2 RHES 6 RH.

Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)


Pada pasien tuberkulosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko

hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberkulosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan
karier HBsAg positif dan HBeAg negatif yang inaktif dapat diberikan obat standard
jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan
syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien
tuberkulosis

yang

mendapatkan

Isoniazid

mengalami

kenaikan

konsentrasi

aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya


menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau
tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal
dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis
viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan
kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk, 2010).
C. Rekomendasi Mengelola OAT
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional
untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:

26

o Jika pasien terdiagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut
harus dihentikan
o Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu
o Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan
dua bulan Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan
Etambutol.
o

Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai
8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk
rejimen standar. (Kishore et al., 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien

hepatotoksisitas
o INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg/hari, dinakikkan perlahan sampai 300
mg/hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
o Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg/hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50
kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada
reaksi yang terjadi, lanjutkan.
o Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg/hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
(Kishore et al., 2010)
D. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT
Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan sebaiknya
dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien
dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini
tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan
kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB
secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek
samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang
mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang
27

terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya
dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda hepatitis pada
mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis reaksi hepatitis.
Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. (Kishore et al.,
2010)
E. Kriteria

yang

Dapat

Digunakan

Untuk

Menentukan

Perkembangan

Hepatotoksisitas Imbas OAT


1. Periksa

kimia

normal

hati

sebelum

memulai

rejimen

obat

OAT

Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian
OAT
2. Pasien harus menerima INH, Rifampisin atau Pirazinamid dengan dosis standar,
sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang
abnormal.
3. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST>
120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg /
dl). Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
4. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari
kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)

F. Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas


Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang
memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis:
Pirazinamid, INH dan Rifampisin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak
mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan tanda-tanda dan
gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak
perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal ini,
tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah memulai pengobatan dan kemudian setiap
dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin
dapat terjadi akibat pemakaian Rifampisin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya
28

kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi).
Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga minggu pertama
pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka tidak ada
tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan harus dihentikan
jika penyakit kuning menjadi bukti klinis.
Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus
dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat
dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambutol sampai kadar
transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).
Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan dalam
suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang perawat
harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit
selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan
terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien
dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus
tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:
* Hari 1: INH pada 1/3 atau 1/4 dosis
* Hari 2: INH pada 1/2 dosis
* Hari 3: INH dengan dosis penuh
* Hari 4: RMP pada 1/3 atau 1/4 dosis
* Hari 5: RMP jam 1/2 dosis
* Hari 6: RMP pada dosis penuh
* Hari 7: EMB pada 1/3 atau 1/4 dosis
* Hari 8: EMB pada 1/2 dosis
* Hari 9: EMB pada dosis penuh
Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus
dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya,
pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien

29

melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah
menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena
kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji
pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga
merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan. EMB berguna ketika pola kepekaan
organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif
terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar tercantum di bawah
ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai
berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak adanya
obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya.
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir (dan
mungkin tidak perlu diuji sama sekali).

30

BAB II
PRESENTASI KASUS
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. AW

Umur

: 21 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Tuntang

Pekerjaan

: Karyawan Pabrik

Tanggal Masuk

: 3 Januari 2016

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di ruang Isolasi bangsal Asoka
pada tanggal 13 Januari 2016.
A. Keluhan Utama
Lemas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak kurang lebih 2 minggu yang
lalu. Lemas dirasakan terus menerus sepanjang hari dan tidak berkurang dengan
31

mengkonsumsi makanan atau minuman manis. Pasien merasa mudah lelah dan letih.
Pasien mengaku mengalami penurunan nafsu makan disertai penurunan berat badan.
Pasien mengaku mengalami penurunan berat badan sebanyak 15 kg. Pasien tidak
mengeluhkan pandangan berkunang-kunang maupun telinga berdenging. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Pasien juga mengaku saat ini juga merasakan sesak dan nyeri perut. Pasien juga
sedang menjalani pengobatan TB rawat jalan dari RS Kariadi Semarang. Pasien terakhir
kontrol dari RS Kariadi tertanggal 22 Desember 2015. Pasien sebelumnya sempat dirawat
di RSUP Kariadi selama 1 bulan. Pasien juga mengaku bahwa pengobatan TB di RSUP
Kariadi merupakan pengobatan TB yang kedua kalinya. Sebelumnya pasien pernah
menderita TB 1 tahun yang lalu dan menjalani pengobatan. Namun pasien hanya
menjalani pengobatan selama 4 bulan dan kemudian berhenti mengkonsumsi obat karena
alasan ingin berkerja. Setelah berkerja selama 6 bulan, akhirnya kondisi pasien memburuk
dan terpaksa keluar dari pekerjaannya dan kemudian kembali menjalani pengobatan TB.

III.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Opname
Riwayat TB
Riwayat Hipertensi
Riwayat DM
Riwayat Alergi

: (+) 1 bulan di RSUP Kariadi Semarang karena TB relaps


: 1 tahun yang lalu, namun pengobatan tidak selesai
: disangkal
: disangkal
: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi
Riwayat DM
Riwayat Alergi
Riwayat TB paru

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

E. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok
Riwayat Minum Alkohol
Riwayat konsumsi obat

: disangkal
: disangkal
: disangkal

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Vital Sign

: Tekanan darah

: 114/98 mmHg
32

BB

Nadi

: 99 x/menit

Suhu (Aksila)

: 36.2 C

Pernafasan

: 26 x/menit

: 25 kg

A. Status Generalis
- Kulit

: Warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor cukup, tidak
tampak jejas trauma, tidak tampak bekas operasi.

- Kepala

: Simetris, normal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah


dicabut, tidak tampak jejas trauma dan kelainan kongenital, tidak
tampak bekas operasi

- Muka

: Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak ada kelainan
kongenital

- Mata

: Pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm Konjungtiva anemis (+/


+), sklera ikterik tidak ada, terdapat reflek cahaya pada kedua mata.

- Hidung

: Discharge tidak ada, nafas cuping hidung tidak ada, deviasi septum
tidak ada, deformitas tidak ada

- Mulut/Gigi

: Bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada, carries tidak ada, faring
tidak hiperemis, tonsil T0-T0

- Telinga

: Simetris, discharge tidak ada, tidak ada kelainan congenital

- Thorax

- Jantung
Inspeksi

: Simetris, ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba tak kuat angkat

Perkusi

: Batas atas kiri

: ICS II LPS sinistra

Batas atas kanan

: ICS II LPS dextra

Batas bawah kiri

: ICS V LMC sinistra

Batas bawah kanan : ICS IV LPS dextra


Auskultasi

: S1 > S2 reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada


33

- Paru
Inspeksi

: Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis, retraksi tidak
ada, ketinggalan gerak dada tidak ada

Palpasi

: Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri, ketinggalan


gerak tidak ada, massa tidak ada

Perkusi

: Sonor kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar: vesikuler kanan dan kiri


Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)

- Abdomen
Inspeksi

: Perut tidak membuncit, venektasi tidak ada, sikatrik tidak ada,


tidak tampak massa, tidak tampak bekas jejas trauma, gambaran
gerak usus tidak ada.

Auskultasi

: Terdengar suara bising usus normal

Palpasi

: Terdapat nyeri tekan pada daerah epigastrium, defans muskular


tidak ada, tidak teraba massa, ballotemen tidak ada, buli-buli
tidak teraba.

Perkusi

: timpani di seluruh kuadran abdomen, nyeri ketok sudut


costovertebra tidak ada.

- Pemeriksaan Ekstremitas
I

: Trophy : eutrophy

Pa

: KM : 5 5

Gerak involunter ( - )

Tonus

N N

5 5
Pe

IV.

: Reflek Fisiologis

N N
+

Reflek Patologis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium darah tanggal 3/1/2016
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Darah rutin
Hb
Lekosit
Eritrosit

Hasil

Nilai Rujukan

10.8
6.6
4.71

13.5-17.5 g/dl
6-15 ribu
3.6-5.2 juta
34

Trombosit
Hct
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Limfosit

193
35.8
76
23.1
30.4
22.4
8
1.1

ribu
37-47 %
82-98 mikro m3
23-31 pg
32-36 g/dl
10-16 %
7-11 mikro m3
1.5-6.5

Monosit

0.1

10^3/mikro
0-0.8

Eosinofil
Basofil

0.1
0.0

10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
25-40

Neutrofil

5.2

10^3/mikro
1.8-8.0

Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Neutrofil%
PCT
PDW
GDS

17.2
1.1
1.8
0.6
79.3
0.153
11.7
418

10^3/mikro
25-40 %
2-8 %
2-4 %
0-1 %
50-70 %
0.2-0.5 %
10-18 %
Mg/dl

B. Laboratorium Darah tanggal 4/1/2016


Pemeriksaan

Hasil

Nilai
Rujukan

KIMIA KLINIK
Ureum
Kreatinin
Bilirubin Total

50.0
0.75
11.54

10-50
0.62 -1.1
0.3

Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek
Total Protein
Albumin
Globulin
Natrium

7.29
4.25
7.1
2.54
4.46
137.5

mg/dl
0-0.2 mg/dl
0-0.8 mg/dl
6-8 g/dl
3.4-4.8 g/dl
2.0-4.0 g/dl
135-145

Kalium

4.42

mmol/L
3.5-5.1

1.2

35

Klorida

110.7

mmol/L
88-106
mmol/L

A. Foto Rontgen Thorak

V.

DIAGNOSIS DAN DIFFERENTIAL DIAGNOSIS


Drug (OAT) induced hepatitis
TB Drop Out
TB milier
Laringitis TB

VI. PENATALAKSANAAN
Initial Terapi
-

Infus D5% 20 tpm


Mecobalamin 3x1
Ambroxol tab 3x1
Novorapid 3 x 16 UI
FDC 1 x 3 tab
Sterptomycin 1 x 750mg

Initial Planning:
-

Lab rutin

36

Follow Up
Tanggal

Subjektif

Objektif
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis

04/01/20

Sesak, badan

16

lemas

Kesadaran : CM
TD

mmhg
N

: 100x/menit

RR

: 28x/menit

Mentis
Sesak, badan

16

lemas

Kesadaran : CM
TD

120/80

mmhg

06/01/20

Sesak berkurang,

16

badan lemas

: 100x/menit

RR

: 26x/menit

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out

119/93

Ku/kes :
Sedang/ Compos

05/01/20

Assesment and Planning

130/80

mmhg
N

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (+/+), SI
(+/+)
Mulut: Mukosa

Tx:
O2
IVFD D520 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Planning:
Stop Semua Obat TB
Tx:
O2
IVFD Aminoleban :
D10% : Rl (1:1:10)
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Metilprednisolon
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2
IVFD Aminoleban :
D10% : Rl (1:1:10)
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of

kuning

37

Leher: KGB tidak


membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (+/+),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

120/80

mmhg
N

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Sesak berkurang
Mata: CA (+/+), SI

07/01/20

(+/+)
Mulut: Mukosa

16

kuning
Leher: KGB tidak

Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 3

membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (+/+),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

08/01/20
16

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Sesak berkurang
Mata: CA (-/-), SI (+/
+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak

Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminofluid:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 4

membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (+/+),
Wh (-/-)

38

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

09/01/20
16

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Sesak berkurang
Mata: CA (-/-), SI (+/
+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak

Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 5

membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (+/+),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

10/01/20
16

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Sesak berkurang
Mata: CA (-/-), SI (+/
+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 6
sesuai jadwal

Wh (-/-)
11/01/20
16

Sesak berkurang

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM

Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out

39

TD

130/80

mmhg
N

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of sesuai
jadwal

Wh (-/-)
Abdomen: NT
epigastrium
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

13/01/20

Sesak berkurang,

16

badan lemas

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak

Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D520 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Rifampisin tab hari I

membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Wh (-/-)

40

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

14/01/20

Sesak berkurang,

16

badan lemas

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Rifampisin tab hari II

membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

15/01/20

Sesak berkurang,

16

badan lemas

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Azithromicyn 1 x 500
mg
Rifampisin tab hari III

Wh (-/-)
16/01/20
16

Sesak berkurang
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out

41

Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg
N

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Azithromicyn 1 x 500
mg
Rifampisin tab (150
mg) hari I

Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out

mmhg

17/01/20
16

Sesak berkurang

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Azithromicyn 1 x 500
mg
Rifampisin tab (150
mg) hari II

Wh (-/-)
18/01/20
16

Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-),
nyeri perut

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg
N

: 100x/menit

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Planning:
Azitromicyn stop
Tx:

42

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari I

Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out

mmhg
Sesak berkurang,

: 100x/menit

19/01/20

mual (-), muntah

RR

: 24x/menit

16

(-), demam (-),


nyeri perut (+)

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari II

Wh (-/-)
Sesak berkurang,
20/01/20
16

mual (-), muntah


(-), demam (-)

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg
N

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1

43

Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Rifampisin tab (450 mg)


hari III

Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

21/01/20
16

Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-)

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari IV
INH 75 mg hari I
Inj. Ranitidine 2x1

Wh (-/-)
22/01/20
16

Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-)

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg
N

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid

+)
Mulut: Mukosa

20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Inj. Ranitidine 2x1
Rifampisin tab (450 mg)

kuning
Leher: KGB tidak

hari IV
INH 75 mg hari II

Mata: CA (-/-), SI (+/

membesar

44

Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

23/01/20
16

Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-)

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Inj. Ranitidine 2x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari V
INH 150 mg hari III

Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

24/01/20
16

Sesak berkurang,

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

mual (-), muntah


(-), demam (-)

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Inj. Ranitidine 2x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari VI
INH 150 mg hari IV

Wh (-/-)
25/01/20

Sesak berkurang,

Ass:

45

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD

130/80

mmhg

16

mual (-), muntah


(-), demam (-)

: 100x/menit

RR

: 24x/menit

Mata: CA (-/-), SI (+/


+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),

Drug induced hepatitis


TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Inj. Ranitidine 2x1
Rifampisin tab 450 mg
INH 300 mg

Wh (-/-)

Follow Up Laboratorium
1. Darah Rutin
HEMATOLOGI

Darah rutin
Hb
Lekosit
Eritrosit
Trombosit
Hct
MCV
MCH
MCHC

Tanggal
3/1/2016

10.8
6.6
4.71
193
35.8
76
23.1
30.4

Tanggal
7/1/2016

11
8.4
4.15
191
34.3
82.7
23.1
32.4

Nilai Rujukan

13.5-17.5 g/dl
6-15 ribu
3.6-5.2 juta
ribu
37-47 %
82-98 mikro m3
23-31 pg
32-36 g/dl
46

RDW
MPV
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Neutrofil%
PCT
PDW
GDS

22.4
8
1.1
0.1
0.1
0
5.2
17.2
1.1
1.8
0.6
79.3
0.153
11.7
418

21.1
8
1.1
0.8
5.5
0.1
0
5.2
12.9
9.9
1.8
0.6
79.3
0.153

10-16 %
7-11 mikro m3
1.5-6.5 10^3/mikro
0-0.8 10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
25-40 10^3/mikro
1.8-8.0 10^3/mikro
25-40 %
2-8 %
2-4 %
0-1 %
50-70 %
0.2-0.5 %

2. Kimia Klinik
KIMIA KLINIK

Tanggal
4/1/2016

Nilai Rujukan

Ureum
Kreatinin
Bilirubin Total
Bilirubin Direk
Bilirubin
Indirek
Total Protein
Albumin
Globulin
Natrium
Kalium
Klorida

50
0.75
11.54
7.29
4.25

Oct-50
0.62 -1.1
0.3 1.2 mg/dl
0-0.2 mg/dl
0-0.8 mg/dl

7.1
2.54
4.46
137.5
4.42
110.7

6-8 g/dl
3.4-4.8 g/dl
2.0-4.0 g/dl
135-145 mmol/L
3.5-5.1 mmol/L
88-106 mmol/L

KIMIA KLINIK

Tanggal
7/01/2016

Tanggal
16/01/2016

Tanggal
20/01/2016

SGOT
SGPT
Bilirubin Total
Bilirubin Direk
Bilirubin
Indirek

40
66
4.59
3.63
0.96

24
34
2.45
1.91
0.45

20
22
2.09
1.51
0.45

Nilai Rujukan

0-50 IU/L
0-50 IU/L
0.3 1.2 mg/dl
0-0.2 mg/dl
0-0.8 mg/dl

47

BAB II
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki 21 tahun mengeluhkan badan terasa lemas sejak kurang lebih 2 minggu yang
lalu. Lemas dirasakan terus menerus sepanjang hari dan tidak berkurang dengan mengkonsumsi
makanan atau minuman manis. Pasien merasa mudah lelah dan letih. Pasien mengaku mengalami
penurunan nafsu makan disertai penurunan berat badan. Pasien mengaku mengalami penurunan
berat badan sebanyak 15 kg. Pasien tidak mengeluhkan pandangan berkunang-kunang maupun
telinga berdenging. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien juga mengaku saat ini juga
merasakan sesak dan nyeri perut. Pasien juga sedang menjalani pengobatan TB rawat jalan dari
RS Kariadi Semarang. Pasien terakhir kontrol dari RS Kariadi tertanggal 22 Desember 2015.
Pasien sebelumnya sempat dirawat di RSUP Kariadi selama 1 bulan. Pasien juga mengaku
bahwa pengobatan TB di RSUP Kariadi merupakan pengobatan TB yang kedua kalinya.
Sebelumnya pasien pernah menderita TB 1 tahun yang lalu dan menjalani pengobatan. Namun
pasien hanya menjalani pengobatan selama 4 bulan dan kemudian berhenti mengkonsumsi obat
karena alasan ingin berkerja. Setelah berkerja selama 6 bulan, akhirnya kondisi pasien
memburuk dan terpaksa keluar dari pekerjaannya dan kemudian kembali menjalani pengobatan
TB.
Dari pemerikasaan fisik, vital sign dalam batas normal. Pada pemeriksaan inspeksi,
didapatkan kesan gizi kurang. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan Hb 10.8, Bilirubin Total
11.54, Bilirubin Direk 7.29, Total Protein 7.1, Albumin 2.54, Globulin 4.46, sedangkan pada
Rontgen thorak terdapat gambaran bercak-bercak milier yang tersebar di seluruh lapang paru.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka pasien
tersebut didiagnosa dengan Drug induced hepatitis oleh OAT, TB milier, Laringitis TB dan
Riwayat TB Drop Out. Karena sebagian besar kasus TB milier menyerang penderita dengan

48

sistem imun yang rendah, termasuk penderita immunocompromised. Oleh karena itu sebaiknya
dilakukan pemeriksaan VCT untuk memastikannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Paduan Obat Anti Tuberkulosa (OAT). 2008.
2. Wibowo. Pengobatan Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 258.
3. Dahlan Z. Kejadian tuberkulosa ekstraparu di RS Hasan Sadikin dan beberapa pusat
kesehatan di Jawa Barat. Simposium masalah tuberkulosa ekstraparu dan
pengelolaannya. Lab/UPF lP Dalam FKUP/RSHS, Bandung 1989: 16-25.
4. Dahlan Z. Pendekatan dan Penegakan Diagnosa Penyakit Tuberkulosa. Maj.
Kedokteran Bandung, 1989; XXI (4): 1179-185.
5. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di Indonesia;
Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 1719.
6. Kamadiharja. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis Paru.
FKUI Jakarta, 2004.
7. Hadiarto M. .Pedoman diagnosis dan pengelolaan TB Paru. Pedoman Diagnostikdan
Terapi. FKUI Jakarta, 1989.
8. Makalah Pengelolaan Rasional Penyakit Tuberkulosa Paru, Bandung, 28 April 1984.
9. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.

49

10. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
11. Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
12. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2005
13. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta.
EGC. 2007
14. Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001
15. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced
Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in
Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18,
256-260
16. Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberkulosis Prevention and
Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267
17. Jaime, Ungo dkk. Antituberkulosis Druginduced Hepatotoxicity The Role of
Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami
School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine
18. Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and
Hepatology. 2010
19. World Health Organization. Treatment of Tuberkulosis: Guidelines for National
Program. 2003

50

51

Anda mungkin juga menyukai