Pembimbing
dr. Alex Santana, SpPD
Pendamping
dr. M Pratiknyo
Disusun Oleh
dr. Martinus Nuherwan Desyardi
: Medik
Kasus
Oleh
Pembimbing
Pendamping
: dr. M. Pratiknyo
Objektif
Deskripsi
: Seorang laki-laki 21 tahun datang dengan keluhan lemas dan dengan riwayat
TB
Tujuan
dr. M. Pratiknyo
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I.
TUBERKULOSIS
A. Definisi
2
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi (PDPI, 2006).
D. Tuberkulosis Ekstraparu
1. Definisi
Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan
lain-lain.
2. Epidemiologi
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang
berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang
berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB pada situs
ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa proporsi TB
ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan
dalam fasilitas diagnostik.
pengkejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis
regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa
meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95%).
Meskipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa
penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran
milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, dan meningen, sedangkan
penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan
bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan
TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga
mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya tidur.
Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur
ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan
leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun-tahun, bahkan seumur
hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan
keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi
HIV.
TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan
selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis
dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis
melalui erosi bronkus.
Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan bersarang pada
korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat
langsung menyebabkan penyakit atau tidur selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal
sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi,
dan nekrosis pengkejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter,
kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis.
Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik sebagai
penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB pascaprimer. TB
kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan TB pascaprimer.
Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti
dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa
menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis). Penyebaran ke tulang
adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan TB
7
tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang
subkondral. Penyebaran ini menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis
tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular . Penyebaran ke otak dan
meningen juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan
penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak
langsung dari pleura yang tembus ke pericardium.
Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas
rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan
cara lisis (bakteriolisis).
4. Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi atas:
a. TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis
Menurut Kreider dan Rossman (2008), situs tersering TB ekstraparu adalah sbb:
a. Kelenjar Limfe (44%).
Limfadenitis TB merupakan bentuk paling umum dari TB ekstraparu. Beberapa
nodus dapat terlibat, tetapi rantai-rantai servikal dan supraklavikular paling sering
terkena. Pasien datang untuk perhatian medis dengan adenopati yang tidak nyeri,
yang sering berdrainase secara spontan. Pada tahap awal penyakit, nodus akan padat
dan diskret. Pada tahapan penyakit lebih lanjut, nodus akan menjadi lembek dan
berfluktuasi. Selain demam, biasanya tidak ada gejala sistemik jika penyakit ini tidak
ada di tempat lainnya. Diagnosis adalah dengan peralatan aspirasi jarum halus atau
biopsi insisional pada nodus yang terpengaruhi. Pewarnaan BTA dan kultur jaringan
nodus biasanya menunjukkan BTA dan organisme M. tuberkulosis.
b. Rongga Pleura (19%).
Penyakit pleura biasanya bermanifestasi dengan nyeri dada pleuritik ringan
hingga berat, yang dapat diiringi dispneu. Gejala lainnya meliputi demam, keringat
malam, dan penurunan berat badan. Penyakit dapat dalam bentuk akut atau kronik
dan sering menyebabkan efusi dan sering menyebabkan efusi yang halus. Efusi
8
umumnya unilateral dan mengiringi penyakit parenkim aktif pada 70% pasien. TB
pleura akan berkembang beberapa tahapan penyakit tetapi seringkali muncul sebagai
manifestasi penyakit primer dan muncul selama 6 bulan setelah infeksi TB.
c. Tulang dan/atau Sendi (11%).
Vertebral TB (Pott's disease) terdapat pada 50-70% kasus dari semua kasus TB
tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang belakang, jadi pasien
akan bisa mengalami gejala neurologik atau motorik. Vertebra torakal bawah dan
lumbal atas merupakan situs tersering dari penyakit. Pasien secara khas mempunyai
riwayat 2 minggu sampai 3 bulan mengalami nyeri punggung, demam, dan penurunan
berat badan. Abses paravertebral terjadi di antara 50% pasien. Pasien dengan Potts
disease biasanya mempunyai bukti radiologis dari keterlibatan tulang belakang, dan
50% pasien mempunyai bukti radiologis dari salah satu TB paru lama atau aktif.
Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur dari tulang yang terinfeksi.
TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah arthritis monoartikular
dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul, pergelangan). Nyeri merupakan
gejala paling umum, dan pembengkakan dengan rentang pergerakan yang menurun
pada sendi yang dapat terlihat. Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi
jaringan sinovial dapat mengandung granuloma, dan hasil kultur adalah positif untuk
M. Tuberkulosis 60-70% dari waktu itu.
d. Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan meningitis TB muncul dalam bentuk
demam dan tingkat kesadaran yang memburuk secara perlahan, yang dapat dengan
cepat berakibat fatal jika tidak ditangani segera. Menurut Fitzpatrick dan Braden
(2000), meningitis TB disebabkan penyebaran secara hematogen dari organisme
mikobakterial menuju ruang meningeal. Proses ini terjadi dalam berminggu-minggu
hingga bertahun-tahun setelah infeksi, dan tampilan TB sistem saraf pusat (SSP) bisa
akut ataupun subakut. Penyakit dapat bermanifestasi klinis sebagai meningitis
bakterial. Gejal-gejala akut dapat meliputi sakit kepala, demam, atau perubahan status
mental. Gejala-gejala lain dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan; meliputi demam, penurunan berat badan, anoreksia, keringat malam,
malaise, dan kelumpuhan saraf kranialis. Kelumpuhan nervus VI adalah pertanda TB
SSP, tetapi nervus II, III, dan VII juga bisa mungkin bisa dipengaruhi. Pemeriksaan
bisa menunjukkan meningismus dan papilledema. TB SSP dapat berkembang dalam
9
tiga tahapan. Tahap 1 ditandai gejala-gejala nonspesifik dengan sedikit atau tanpa
tanda-tanda klinis meningitis. Tahap 2 ditandai perkembangan tanda-tanda meningitis
seperti meningismus, letargi, dan kelumpuhan saraf kranialis. Tahap 3 ditandai koma
dan gangguan neurologis seperti paralisis.
Diagnosis sering dibuat berdasarkan adanya alasan klinis dan keberadaan faktor
resiko TB, hasil Tuberculin Skin Test (TST), dan radiograf dada. Pasien dengan TB
SSP sering mempunyai respon memuaskan terhadap pengobatan TB jika terapi
diawali dengan cepat (sebelum tahap 3). Ini adekuat untuk diagnosis ketika sangkaan
klinis tinggi dan hasil studi laboratorium tidak mencukupi untuk mendukung
diagnosis.
e. Peritoneum dan/atau Usus (5,5%).
Fitzpatrick dan Braden (2000) mengatakan TB peritoneal tidak umum dan sering
memunculkan dilema dalam diagnosis. Patogenesisnya tidak dipahami dengan jelas,
tetapi penyakit dipikirkan berkembang setelah penyebaran secara hematogen, seperti
halnya penyakit ekstraparu yang lain. Gejala-gejala beraneka ragam dari pasien ke
pasien tetapi paling umumnya meliputi nyeri abdominal, distensi, demam, penurunan
berat badan, dan malaise. Gejala-gejala dapat menjadi kronik, dan penyakit dapat
berkembang menjadi asites atau massa abdominal, yang mungkin adalah omentum
yang terkumpul, mesenteri, dan usus; ditemukan di pemeriksaan fisik. Sebanyak 30%
dari pasien-pasien mungkin akan mengalami efusi pleura.
f. Saluran Genitourinarius (4%).
TB genitourinarius berkembang dengan lamban. Dapat memunculkan tanda dan
gejala infeksi lokal dengan sedikit manifestasi sistemik, atau penyakit mungkin saja
asimptomatis (Fitzpatrick & Braden, 2000). Keterlibatan saluran genitourinarius
mengakibatkan disuria, frekuensi urine, dan gross hematuria dengan atau tanpa nyeri
pinggang.
Penyakit
di
antara
wanita
dapat
menyebabkan
nyeri
pelvik,
6. Diagnosis
a. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test
Tuberculin Skin Test (TST) paling umum digunakan untuk screening infeksi laten
M. tuberkulosis. Tes ini mempunyai keterbatasan nilai dalam mendiagnosis TB aktif
karena berhubungan dengan sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah dan
ketidakmampuannya membedakan antara infeksi laten dan infeksi aktif.
Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat terhadap
kuman TB. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman TB, yang bila disuntikkan
pada orang yang pernah terinfeksi TB (baik yang aktif maupun yang tidur) akan
menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di
daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut positif,
kurang dari 5 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu (false-negatif) umum pada
pasien yang mengalami imunosupresi dan mereka dengan TB yang membludak.
Reaksi positif palsu (false-positive) bisa disebabkan infeksi oleh mikobakterium
nontuberkulosis dan oleh vaksinasi bacille Calmette- Gurin (BCG).
b. Pemeriksaan Patologi
Tuberkulum biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di
sekitar kelompok basil TB. Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari
histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan
disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan
lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran
patologi khas TB. Gambaran patologi jaringan hasil biopsy atau sisa jaringan debris
pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula. Diagnosis dengan cara
ini cukup tinggi keandalannya meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding
yang memberikan gambaran hampir sama.
Gejala dan tanda klinis juga khas. Kecuali TB millier, penyakit TB berkembang
lambat tanpa radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak ada hiperemia,
panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut abses dingin. Kadang
radang disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa,
peritonitis eksudativa, atau perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan
ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosisnya menghasilkan massa
12
seperti salep atau keju sehingga disebut perkejuan atau caseosa, misalnya
limfadenitis kaseosa. Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin karena tidak
ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di
kulit dari limfadenitis TB di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis
pada vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya keluar melalui fasia
otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis / keju yang telah keluar itu mungkin terjadi
ruang yang disebut kaverne seperti di paru dan ginjal.
c. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan
adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB dapat dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl Nielsen atau KenyonGabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan
medium Lweinstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah
sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung pada
letak penyakit.
Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam
sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmut dapat dipakai untuk
biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu.
Pembelahan sel memerlukan waktu 20-24 jam.
d. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB meskipun
diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis.
7. Terapi
a. Terapi Obat
Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan pengobatan
dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan efektif dengan sama
baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini telah ditemukan banyak macam
anti-TB yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbedabeda. Umumnya anti-TB
aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif
terhadap kuman yang membelah lambat. Selain itu, obat-obat ini tidak aktif dalam
suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel makrofag (suasana intraselnya
asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam.
Sementara itu, kuman TB mudah resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu,
kemoterapi TB selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud
13
bulan.
Bagaimanapun,
pada
bentuk
yang
parah
diberikan
14
b. Terapi Bedah
Pusat radang TB terdiri atas pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa. Seperti
halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik
ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu, sarang
infeksi di berbagai organ, misalnya kaverne di paru dan debris di tulang, harus
dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis.
Selain itu, tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada TB
paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada TB usus yang
menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau arthritis tuberkulosa yang
menimbulkan cacat.
II.
15
Inducers
o
Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepine
Primidone
Ethanol
Glucocorticoids
Rifampin
Griseofulvin
Quinine
Inhibitors
16
Amiodarone
Cimetidine
Erythromycin
Grape fruit
Isoniazid
Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara
permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan
penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan
kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang
hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek
yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis
terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan
pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian lagi
tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering
penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50
persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama P., 2006)
B. Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu.
Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada
kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana
reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui
apoptosis. Di samping itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
17
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat
membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak
punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikelvesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T,
merangsang respon imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai
sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada betaoksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan
dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi
akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh
hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya
berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen). (Bayupurnama
P., 2006)
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan yang
tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang
mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada
idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen,
dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). (Bayupurnama P., 2006)
C. Implikasi Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau
substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. (Bayupurnama P., 2006)
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan
dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis
kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat
18
obat, baik secara klinis maupun histologis, sehingga pemeriksaan serologis virus sering
dipakai untuk mengetahui perbedaannya. (Bayupurnama P., 2006)
Menurut International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas
obat berdasarkan :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5
hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari
dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30
hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi
obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsi hati pada tiap kasus.
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling
tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati.
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.
(Nilesh M et al., 2010)
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada
setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan
seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu
menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi.
19
2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anakanak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun,
adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya
volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering
menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada
wanita.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap
keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme
obat.
Alkohol
menyebabkan
deplesi
penyimpanan
glutation
21
III.
pasien wanita, status nutrisi buruk, alkohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV,
prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak
sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien
TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara
meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberkulosis pada berbagai
populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberkulosis.
(Kishore et al., 2010)
A. Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan
hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang
bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia,
jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati
akut. (Kishore et al., 2010).
Jika dalam pasien tuberkulosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan
gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnosa
hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit
seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sklera ikterik,
jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat.
23
Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
25
Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop
SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali
normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi
sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa
laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal,
tambahkan Rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).
Sehingga paduan obat menjadi 2 RHES 6 RH.
hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberkulosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan
karier HBsAg positif dan HBeAg negatif yang inaktif dapat diberikan obat standard
jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan
syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien
tuberkulosis
yang
mendapatkan
Isoniazid
mengalami
kenaikan
konsentrasi
26
o Jika pasien terdiagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut
harus dihentikan
o Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu
o Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan
dua bulan Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan
Etambutol.
o
Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai
8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk
rejimen standar. (Kishore et al., 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
o INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg/hari, dinakikkan perlahan sampai 300
mg/hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
o Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg/hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50
kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada
reaksi yang terjadi, lanjutkan.
o Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg/hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
(Kishore et al., 2010)
D. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT
Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan sebaiknya
dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien
dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini
tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan
kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB
secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek
samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang
mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang
27
terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya
dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda hepatitis pada
mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis reaksi hepatitis.
Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. (Kishore et al.,
2010)
E. Kriteria
yang
Dapat
Digunakan
Untuk
Menentukan
Perkembangan
kimia
normal
hati
sebelum
memulai
rejimen
obat
OAT
Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai pemberian
OAT
2. Pasien harus menerima INH, Rifampisin atau Pirazinamid dengan dosis standar,
sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang
abnormal.
3. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk AST>
120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal, 1,5 mg /
dl). Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
4. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% dari
kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)
kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi).
Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga minggu pertama
pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka tidak ada
tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan harus dihentikan
jika penyakit kuning menjadi bukti klinis.
Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus
dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat
dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambutol sampai kadar
transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).
Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan dalam
suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang perawat
harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit
selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan
terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien
dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus
tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:
* Hari 1: INH pada 1/3 atau 1/4 dosis
* Hari 2: INH pada 1/2 dosis
* Hari 3: INH dengan dosis penuh
* Hari 4: RMP pada 1/3 atau 1/4 dosis
* Hari 5: RMP jam 1/2 dosis
* Hari 6: RMP pada dosis penuh
* Hari 7: EMB pada 1/3 atau 1/4 dosis
* Hari 8: EMB pada 1/2 dosis
* Hari 9: EMB pada dosis penuh
Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus
dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya,
pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien
29
melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah
menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena
kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji
pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga
merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan. EMB berguna ketika pola kepekaan
organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif
terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar tercantum di bawah
ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai
berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak adanya
obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya.
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir (dan
mungkin tidak perlu diuji sama sekali).
30
BAB II
PRESENTASI KASUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. AW
Umur
: 21 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Tuntang
Pekerjaan
: Karyawan Pabrik
Tanggal Masuk
: 3 Januari 2016
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di ruang Isolasi bangsal Asoka
pada tanggal 13 Januari 2016.
A. Keluhan Utama
Lemas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak kurang lebih 2 minggu yang
lalu. Lemas dirasakan terus menerus sepanjang hari dan tidak berkurang dengan
31
mengkonsumsi makanan atau minuman manis. Pasien merasa mudah lelah dan letih.
Pasien mengaku mengalami penurunan nafsu makan disertai penurunan berat badan.
Pasien mengaku mengalami penurunan berat badan sebanyak 15 kg. Pasien tidak
mengeluhkan pandangan berkunang-kunang maupun telinga berdenging. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Pasien juga mengaku saat ini juga merasakan sesak dan nyeri perut. Pasien juga
sedang menjalani pengobatan TB rawat jalan dari RS Kariadi Semarang. Pasien terakhir
kontrol dari RS Kariadi tertanggal 22 Desember 2015. Pasien sebelumnya sempat dirawat
di RSUP Kariadi selama 1 bulan. Pasien juga mengaku bahwa pengobatan TB di RSUP
Kariadi merupakan pengobatan TB yang kedua kalinya. Sebelumnya pasien pernah
menderita TB 1 tahun yang lalu dan menjalani pengobatan. Namun pasien hanya
menjalani pengobatan selama 4 bulan dan kemudian berhenti mengkonsumsi obat karena
alasan ingin berkerja. Setelah berkerja selama 6 bulan, akhirnya kondisi pasien memburuk
dan terpaksa keluar dari pekerjaannya dan kemudian kembali menjalani pengobatan TB.
III.
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok
Riwayat Minum Alkohol
Riwayat konsumsi obat
: disangkal
: disangkal
: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
: Tekanan darah
: 114/98 mmHg
32
BB
Nadi
: 99 x/menit
Suhu (Aksila)
: 36.2 C
Pernafasan
: 26 x/menit
: 25 kg
A. Status Generalis
- Kulit
: Warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor cukup, tidak
tampak jejas trauma, tidak tampak bekas operasi.
- Kepala
- Muka
: Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak ada kelainan
kongenital
- Mata
- Hidung
: Discharge tidak ada, nafas cuping hidung tidak ada, deviasi septum
tidak ada, deformitas tidak ada
- Mulut/Gigi
: Bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada, carries tidak ada, faring
tidak hiperemis, tonsil T0-T0
- Telinga
- Thorax
- Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
- Paru
Inspeksi
: Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis, retraksi tidak
ada, ketinggalan gerak dada tidak ada
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
- Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
- Pemeriksaan Ekstremitas
I
: Trophy : eutrophy
Pa
: KM : 5 5
Gerak involunter ( - )
Tonus
N N
5 5
Pe
IV.
: Reflek Fisiologis
N N
+
Reflek Patologis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium darah tanggal 3/1/2016
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Darah rutin
Hb
Lekosit
Eritrosit
Hasil
Nilai Rujukan
10.8
6.6
4.71
13.5-17.5 g/dl
6-15 ribu
3.6-5.2 juta
34
Trombosit
Hct
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Limfosit
193
35.8
76
23.1
30.4
22.4
8
1.1
ribu
37-47 %
82-98 mikro m3
23-31 pg
32-36 g/dl
10-16 %
7-11 mikro m3
1.5-6.5
Monosit
0.1
10^3/mikro
0-0.8
Eosinofil
Basofil
0.1
0.0
10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
25-40
Neutrofil
5.2
10^3/mikro
1.8-8.0
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Neutrofil%
PCT
PDW
GDS
17.2
1.1
1.8
0.6
79.3
0.153
11.7
418
10^3/mikro
25-40 %
2-8 %
2-4 %
0-1 %
50-70 %
0.2-0.5 %
10-18 %
Mg/dl
Hasil
Nilai
Rujukan
KIMIA KLINIK
Ureum
Kreatinin
Bilirubin Total
50.0
0.75
11.54
10-50
0.62 -1.1
0.3
Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek
Total Protein
Albumin
Globulin
Natrium
7.29
4.25
7.1
2.54
4.46
137.5
mg/dl
0-0.2 mg/dl
0-0.8 mg/dl
6-8 g/dl
3.4-4.8 g/dl
2.0-4.0 g/dl
135-145
Kalium
4.42
mmol/L
3.5-5.1
1.2
35
Klorida
110.7
mmol/L
88-106
mmol/L
V.
VI. PENATALAKSANAAN
Initial Terapi
-
Initial Planning:
-
Lab rutin
36
Follow Up
Tanggal
Subjektif
Objektif
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
04/01/20
Sesak, badan
16
lemas
Kesadaran : CM
TD
mmhg
N
: 100x/menit
RR
: 28x/menit
Mentis
Sesak, badan
16
lemas
Kesadaran : CM
TD
120/80
mmhg
06/01/20
Sesak berkurang,
16
badan lemas
: 100x/menit
RR
: 26x/menit
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
119/93
Ku/kes :
Sedang/ Compos
05/01/20
130/80
mmhg
N
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Mata: CA (+/+), SI
(+/+)
Mulut: Mukosa
Tx:
O2
IVFD D520 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Planning:
Stop Semua Obat TB
Tx:
O2
IVFD Aminoleban :
D10% : Rl (1:1:10)
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Metilprednisolon
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2
IVFD Aminoleban :
D10% : Rl (1:1:10)
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of
kuning
37
120/80
mmhg
N
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Sesak berkurang
Mata: CA (+/+), SI
07/01/20
(+/+)
Mulut: Mukosa
16
kuning
Leher: KGB tidak
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 3
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (+/+),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
08/01/20
16
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Sesak berkurang
Mata: CA (-/-), SI (+/
+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminofluid:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 4
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (+/+),
Wh (-/-)
38
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
09/01/20
16
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Sesak berkurang
Mata: CA (-/-), SI (+/
+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 5
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (+/+),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
10/01/20
16
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Sesak berkurang
Mata: CA (-/-), SI (+/
+)
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of hari ke 6
sesuai jadwal
Wh (-/-)
11/01/20
16
Sesak berkurang
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
39
TD
130/80
mmhg
N
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5% :aminoleban:
Rl 20 tpm
Inj ceftriaxone 1x1
Ambroxol 3x1
Curcuma tab 3 x 1
Metilprednisolon
tapering of sesuai
jadwal
Wh (-/-)
Abdomen: NT
epigastrium
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
13/01/20
Sesak berkurang,
16
badan lemas
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass :
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D520 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Rifampisin tab hari I
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Wh (-/-)
40
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
14/01/20
Sesak berkurang,
16
badan lemas
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Rifampisin tab hari II
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
15/01/20
Sesak berkurang,
16
badan lemas
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Azithromicyn 1 x 500
mg
Rifampisin tab hari III
Wh (-/-)
16/01/20
16
Sesak berkurang
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
41
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
N
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Azithromicyn 1 x 500
mg
Rifampisin tab (150
mg) hari I
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
mmhg
17/01/20
16
Sesak berkurang
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5 20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Azithromicyn 1 x 500
mg
Rifampisin tab (150
mg) hari II
Wh (-/-)
18/01/20
16
Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-),
nyeri perut
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
N
: 100x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Planning:
Azitromicyn stop
Tx:
42
RR
: 24x/menit
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari I
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
mmhg
Sesak berkurang,
: 100x/menit
19/01/20
RR
: 24x/menit
16
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari II
Wh (-/-)
Sesak berkurang,
20/01/20
16
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
N
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
43
Mulut: Mukosa
kuning
Leher: KGB tidak
membesar
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
21/01/20
16
Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-)
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari IV
INH 75 mg hari I
Inj. Ranitidine 2x1
Wh (-/-)
22/01/20
16
Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
N
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
+)
Mulut: Mukosa
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Inj. Ranitidine 2x1
Rifampisin tab (450 mg)
kuning
Leher: KGB tidak
hari IV
INH 75 mg hari II
membesar
44
Thorax:
Pulmo: Ronki (-/-),
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
23/01/20
16
Sesak berkurang,
mual (-), muntah
(-), demam (-)
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Inj. Ranitidine 2x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari V
INH 150 mg hari III
Wh (-/-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
24/01/20
16
Sesak berkurang,
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Ass:
Drug induced hepatitis
TB Milier
Laringitis TB
Riw. TB Drop Out
Tx:
O2 2 lpm
IVFD D5:Rl:Aminofluid
20 tpm
Curcuma tab 3 x1
Inj ceftriaxon 1x1
Ambroxol 3x1
Lesipar 2x1
Domperidon 3 x1
Inj. Ranitidine 2x1
Rifampisin tab (450 mg)
hari VI
INH 150 mg hari IV
Wh (-/-)
25/01/20
Sesak berkurang,
Ass:
45
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Kesadaran : CM
TD
130/80
mmhg
16
: 100x/menit
RR
: 24x/menit
Wh (-/-)
Follow Up Laboratorium
1. Darah Rutin
HEMATOLOGI
Darah rutin
Hb
Lekosit
Eritrosit
Trombosit
Hct
MCV
MCH
MCHC
Tanggal
3/1/2016
10.8
6.6
4.71
193
35.8
76
23.1
30.4
Tanggal
7/1/2016
11
8.4
4.15
191
34.3
82.7
23.1
32.4
Nilai Rujukan
13.5-17.5 g/dl
6-15 ribu
3.6-5.2 juta
ribu
37-47 %
82-98 mikro m3
23-31 pg
32-36 g/dl
46
RDW
MPV
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Neutrofil%
PCT
PDW
GDS
22.4
8
1.1
0.1
0.1
0
5.2
17.2
1.1
1.8
0.6
79.3
0.153
11.7
418
21.1
8
1.1
0.8
5.5
0.1
0
5.2
12.9
9.9
1.8
0.6
79.3
0.153
10-16 %
7-11 mikro m3
1.5-6.5 10^3/mikro
0-0.8 10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
25-40 10^3/mikro
1.8-8.0 10^3/mikro
25-40 %
2-8 %
2-4 %
0-1 %
50-70 %
0.2-0.5 %
2. Kimia Klinik
KIMIA KLINIK
Tanggal
4/1/2016
Nilai Rujukan
Ureum
Kreatinin
Bilirubin Total
Bilirubin Direk
Bilirubin
Indirek
Total Protein
Albumin
Globulin
Natrium
Kalium
Klorida
50
0.75
11.54
7.29
4.25
Oct-50
0.62 -1.1
0.3 1.2 mg/dl
0-0.2 mg/dl
0-0.8 mg/dl
7.1
2.54
4.46
137.5
4.42
110.7
6-8 g/dl
3.4-4.8 g/dl
2.0-4.0 g/dl
135-145 mmol/L
3.5-5.1 mmol/L
88-106 mmol/L
KIMIA KLINIK
Tanggal
7/01/2016
Tanggal
16/01/2016
Tanggal
20/01/2016
SGOT
SGPT
Bilirubin Total
Bilirubin Direk
Bilirubin
Indirek
40
66
4.59
3.63
0.96
24
34
2.45
1.91
0.45
20
22
2.09
1.51
0.45
Nilai Rujukan
0-50 IU/L
0-50 IU/L
0.3 1.2 mg/dl
0-0.2 mg/dl
0-0.8 mg/dl
47
BAB II
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki 21 tahun mengeluhkan badan terasa lemas sejak kurang lebih 2 minggu yang
lalu. Lemas dirasakan terus menerus sepanjang hari dan tidak berkurang dengan mengkonsumsi
makanan atau minuman manis. Pasien merasa mudah lelah dan letih. Pasien mengaku mengalami
penurunan nafsu makan disertai penurunan berat badan. Pasien mengaku mengalami penurunan
berat badan sebanyak 15 kg. Pasien tidak mengeluhkan pandangan berkunang-kunang maupun
telinga berdenging. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien juga mengaku saat ini juga
merasakan sesak dan nyeri perut. Pasien juga sedang menjalani pengobatan TB rawat jalan dari
RS Kariadi Semarang. Pasien terakhir kontrol dari RS Kariadi tertanggal 22 Desember 2015.
Pasien sebelumnya sempat dirawat di RSUP Kariadi selama 1 bulan. Pasien juga mengaku
bahwa pengobatan TB di RSUP Kariadi merupakan pengobatan TB yang kedua kalinya.
Sebelumnya pasien pernah menderita TB 1 tahun yang lalu dan menjalani pengobatan. Namun
pasien hanya menjalani pengobatan selama 4 bulan dan kemudian berhenti mengkonsumsi obat
karena alasan ingin berkerja. Setelah berkerja selama 6 bulan, akhirnya kondisi pasien
memburuk dan terpaksa keluar dari pekerjaannya dan kemudian kembali menjalani pengobatan
TB.
Dari pemerikasaan fisik, vital sign dalam batas normal. Pada pemeriksaan inspeksi,
didapatkan kesan gizi kurang. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan Hb 10.8, Bilirubin Total
11.54, Bilirubin Direk 7.29, Total Protein 7.1, Albumin 2.54, Globulin 4.46, sedangkan pada
Rontgen thorak terdapat gambaran bercak-bercak milier yang tersebar di seluruh lapang paru.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka pasien
tersebut didiagnosa dengan Drug induced hepatitis oleh OAT, TB milier, Laringitis TB dan
Riwayat TB Drop Out. Karena sebagian besar kasus TB milier menyerang penderita dengan
48
sistem imun yang rendah, termasuk penderita immunocompromised. Oleh karena itu sebaiknya
dilakukan pemeriksaan VCT untuk memastikannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Paduan Obat Anti Tuberkulosa (OAT). 2008.
2. Wibowo. Pengobatan Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 258.
3. Dahlan Z. Kejadian tuberkulosa ekstraparu di RS Hasan Sadikin dan beberapa pusat
kesehatan di Jawa Barat. Simposium masalah tuberkulosa ekstraparu dan
pengelolaannya. Lab/UPF lP Dalam FKUP/RSHS, Bandung 1989: 16-25.
4. Dahlan Z. Pendekatan dan Penegakan Diagnosa Penyakit Tuberkulosa. Maj.
Kedokteran Bandung, 1989; XXI (4): 1179-185.
5. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di Indonesia;
Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 1719.
6. Kamadiharja. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis Paru.
FKUI Jakarta, 2004.
7. Hadiarto M. .Pedoman diagnosis dan pengelolaan TB Paru. Pedoman Diagnostikdan
Terapi. FKUI Jakarta, 1989.
8. Makalah Pengelolaan Rasional Penyakit Tuberkulosa Paru, Bandung, 28 April 1984.
9. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
49
10. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
11. Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
12. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2005
13. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta.
EGC. 2007
14. Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001
15. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced
Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in
Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18,
256-260
16. Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberkulosis Prevention and
Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267
17. Jaime, Ungo dkk. Antituberkulosis Druginduced Hepatotoxicity The Role of
Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami
School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine
18. Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and
Hepatology. 2010
19. World Health Organization. Treatment of Tuberkulosis: Guidelines for National
Program. 2003
50
51