Anda di halaman 1dari 22

Forum sosial ekonomi kelautan peikanan

IMFISERN (Indonesian Marine and Fisheries Socio-Economics Research Network)


Kelembagaan imfisern sebagai wadah profesi, adalah forum pertemuan peneliti bidang
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
Forum Sosek dilaksanakan dua tahun sekali dengan tujuan :
1. memperkuat jaringan riset melalui sharing data, informasi, penerbitan publikasi ilmiah
dan kerjasama riset
2. mengetahui Perkembangan kegiatan riset sosial ekonomi kelautan perikanan
3. riview imfisern periode 2008 2010
4. Memilih koordinator IMFISERN untuk periode berikutnya (2010-2012)
Manfaat:
Terciptanya kerjasama riset yang terpadu serta mekanisme koordinasi yang baik diantara
anggota/institusi IMFISERN
Berdasarkan hasil kesepakatan forum sosek kelautan dan perikanan yang dilaksanakan di
Univ. Brawijaya Malang tahun 2008, untuk kegiatan imfisern tahun 2010, unhas kembali
dipercaya untuk kedua kalinya (pertama tahun 1997) sebagai pelaksana kegiatan. Adapun
Jenis kegiatan imfisern tahun 2010 meliputi kegiatan: Seminar Internasional dan Forum
Sosek Kelautan dan Perikanan.
Demi suksesnya kegiatan imfisern 2010, panitia pelaksana Forum Sosek Kelautan Dan
Perikanan menanti partisipasi dan kerjasama:
1. .Ketua jurusan/program studi sosial ekonomi kelautan perikanan
2. .peneliti bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan.
3. .pemerhati bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan.
di Forum Sosek Kelautan dan Perikanan tahun 2010 di Makasar
--------SEJARAH KELEMBAGAAN KELAUTAN
Periode 1850-1966 adalah periode pelembagaan institusi-institusi yang menangani urusan
masyarakat bagi pemapanan penjajahan Belanda atas negeri Indonesia. Begitu pula
halnya dengan urusan-urusan masyarakat pantai yang menyandarkan kegiatan ekonomi
pada bidang kelautan. Pengembangan kelautan dimulai pada 1911 dengan dibentuknya
Bugerlijk Openbare Werken yang berubah menjadi Departemen Verkeer en Waterstaat
pada 1931. Kurun waktu hingga kemerdekaan tercapai, merupakan fase pasang surut
pertumbuhan organisasi kelautan dalam struktur pemerintahan kolonial maupun Republik

Indonesia merdeka. Unit-unit warisan kolonial Belanda inilah yang menjadi cikal bakal
pembentukan kementerian yang mengelola aspek kelautan pada masa sekarang.
Lembaga yang menangani kegiatan-kegiatan perikanan semasa pemerintahan kolonial
Belanda masih berada dalam lingkup Departemen van Landbouw, Nijverheid en handel
yang kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken. Kegiatankegiatan perikanan masa itu digolongkan sebagai kegiatan pertanian. Meski demikian,
terdapat suatu organisasi khusus yang mengurusi kegiatan perikanan laut di bawah
Departemen van Ekonomische Zaken. Organisasi tersebut adalah Onderafdeling Zee
Visserij dari Afdeling Cooperatie en Binnenlandsche Handel. Sedangkan untuk
menyediakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut terdapat suatu institut
penelitian pemerintah kolonial yang bernama Institut voor de Zee Visserij. Pada masa ini
juga telah ditetapkan UU Ordonansi tentang batas laut Hindia Belanda melalui
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, yang menetapkan bahwa lebar
laut wilayah Hindia Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau sampai sejauh 3 mil.
Semasa pendudukan Jepang 1942-1945, Departemen van Ekonomische Zaken berubah
nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Fungsi dan tugas departemen ini tidak berubah
dari fungsinya di zaman kolonial. Begitu pula halnya dengan lembaga penelitian dan
pengembangan, meski berubah nama menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan berpusat di
Jakarta tidak mengalami perubahan fungsi. Bahkan, UU tentang batas laut pun tidak
mengalami perubahan. Namun yang perlu dicatat justru adalah pada masa pendudukan
Jepang ini terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah. Pada masa ini, di
daerah-daerah dibentuk jawatan penerangan perikanan yang disebut Suisan Shidozo. Di
samping itu, pada masa ini terjadi penyatuan perikanan darat dengan perikanan laut,
walaupun tetap dimasukkan dalam kegiatan pertanian.

Masa awal kemerdekaan sampai orde lama


Setelah proklamasi kemerdekaan nasional, pada kabinet presidensial pertama, pemerintah
membentuk Kementerian Kemakmuran Rakyat dengan menterinya Mr. Syafruddin
Prawiranegara. Pada kementerian ini dibentuk Jawatan Perikanan yang mengurusi
kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Semenjak kabinet pertama terbentuk pada 2
September 1945 hingga terbentuknya kabinet parlementer ketiga pada 3 Juli 1947,
Jawatan Perikanan tetap berada di bawah Koordinator Pertanian, di samping Koordinator
Perdagangan dan Koordinator Perindustrian dalam Kementerian Kemakmuran Rakyat.
Meskipun kemudian Kementerian Kemakmuran Rakyat mengalami perubahan struktur
organisasi akibat agresi militer Belanda I dan II serta perpindahan ibukota negara ke
Yogyakarta, jawatan perikanan tetap menjadi subordinat pertanian. Pada masa itu,
tepatnya 1 Januari 1948, Kementerian Kemakmuran Rakyat mengalami restrukturisasi
dengan menghapus koordinator-koordinator. Sebagai gantinya, ditunjuk lima pegawai
tinggi di bawah menteri, yakni Pegawai Tinggi Urusan Perdagangan, Urusan Pertanian
dan Kehewanan, Urusan Perkebunan dan Kehutanan, serta Urusan Pendidikan. Jawatan
Perikanan menjadi bagian dari Urusan Pertanian dan Kehewanan.

Pada masa pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949, Kementerian Kemakmuran


Rakyat kemudian dipecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Pertanian dan
Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Pada masa itulah Jawatan Perikanan masuk
ke dalam Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian pada 17 Maret 1951 mengalami
perubahan susunan, yakni penunjukan 3 koordinator yang menangani masalah Pertanian,
Perkebunan dan Kehewanan. Di bawah Koordinator Pertanian, dibentuk Jawatan
Pertanian Rakyat. Jawatan Perikanan pada masa itu telah berkembang menjadi Jawatan
Perikanan Laut, Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan Darat, dan
Yayasan Perikanan Laut. Kesemua jawatan tersebut berada di bawah Jawatan Pertanian
Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama. Pada 9 April 1957, susunan Kementrian
Pertanian mengalami perubahan lagi dengan dibentuknya Direktorat Perikanan dan di
bawah direktorat tersebut jawatan-jawatan perikanan dikoordinasikan.
Jatuh bangunnya kabinet semasa pemerintahan parlementer mengakibatkan Presiden
Soekarno menganggap bahwa sistem parlementer tidak cocok dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Pada 5 Juli 1957, presiden mengeluarkan dekret untuk kembali pada UUD
1945. Istilah kementerian pada masa sebelum dekrit berubah menjadi departemen dan
posisi istilah direktorat kembali menjadi jawatan. Pada 1962, terjadi penggabungan
Departemen Pertanian dan Departemen Agraria dan istilah direktorat digunakan kembali.
Pada masa kabinet presidensial paska dekret, Direktorat Perikanan telah mengalami
perkembangan menjadi beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan
Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Darat,
Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani.
Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak
kembali susunan kabinet dan terbentuklah Kabinet Dwikora pada 1964. Pada Kabinet
Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami dekonstruksi menjadi 5 buah departemen
dan pada kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen
Pertanian dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan
respon pemerintah atas hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi
perlunya departemen khusus yang menangani pemikiran dan pengurusan usaha
meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui pembentukan Kabinet Dwikora yang
Disempurnakan, Departemen Perikanan Darat/Laut tidak lagi di bawah Kompartemen
Pertanian dan Agraria melainkan mengalami reposisi dan bernaung di bawah
Kompartemen Maritim. Di bawah Kompartemen baru, departemen tersebut mengalami
perubahan nama menjadi Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut.
Keadaan ini tidak berlangsung lama, pada 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30
September dan Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera I pada 1966.

Masa Reformasi
Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu pula
perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan berbangsa dan
bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Di masa Orde
Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan.[2]

Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya
kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan
potensinya. Potensi sumber daya tersebut terdiri dari sumber daya yang dapat
diperbaharui, seperti sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya
laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain
dua jenis sumber daya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan
yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata
bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah yang mendasari
Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal
26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono
Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.
Selanjutnya pengangkatan tersebut diikuti dengan pembentukan Departemen Eksplorasi
Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136
Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak
berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan
perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan
Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1 Desember
1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi
Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden Nomor
147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah
Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165
Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.
Kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan
Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian
Kelautan dan Perikanan, sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan
Perikanan tidak mengalami perubahan.

Struktur Organisasi
Saat berupa Departemen
Dalam rangka menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000, pada
November 2000 telah dilakukan penyempurnaan organisasi DKP. Pada akhir tahun 2000,
diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan
Tugas Departemen, di mana organisasi DKP yang baru menjadi:
1. Menteri Kelautan dan Perikanan

2. Sekretaris Jenderal
3. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
4. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
6. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran
7. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
8. Inspektorat Jenderal
9. Badan Riset Kelautan dan Perikanan
10. Staf Ahli

Saat berstatus Kementerian


Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Preaturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006,
maka struktur organisasi KKP menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menteri Kelautan dan Perikanan


Sekretaris Jenderal
Inspektorat Jenderal
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Direktorat Jenderal Pengawasan & Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan
7. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
8. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
9. Badan Riset Kelautan dan Perikanan
10. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan
11. Staf Ahli

Alasan pembentukan kementerian


Tebentuknya Kementrian Kelautan dan Perikanan pada dasarnya merupakan sebuah
tantangan, sekaligus peluang bagi pengembangan sektor kelautan dan perikanan
Indonesia. Artinya, bagaimana KKP ini menempatkan sektor kelautan dan perikanan
sebagai salah satu sektor andalan yang mampu mengantarkan Bangsa Indonesia keluar
dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Setidaknya ada beberapa alasan pokok yang
mendasarinya:

Pertama, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.508 dan
garis pantai sepanjang 81.000 km tidak hanya sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia tetapi juga menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar dan
belum dimanfaatkan secara optimal.
Kedua, selama beberapa dasawarsa, orientasi pembangunan negara ini lebih
mangarah ke darat, mengakibatkan sumberdaya daratan terkuras. Oleh karena itu
wajar jika sumberdaya laut dan perikanan tumbuh ke depan.

Ketiga, dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk serta meningkatnya


kesadaran manusia terhadap arti penting produk perikanan dan kelautan bagi
kesehatan dan kecerdasan manusia, sangat diyakini masih dapat meningkatkan
produk perikanan dan kelautan pada masa datang. Keempat, kawasan pesisir dan
lautan yang dinamis tidak hanya memiliki potensi sumberdaya, tetapi juga
memiliki potensi bagi pengembangan berbagai aktivitas pembangunan yang
bersifat ekstrasi seperti industri, pemukiman, konservasi dan lain sebagainya

Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup


Direktorat Kelautan dan Perikanan
Pasal 308
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307, Sub Direktorat
Kelembagaan Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan fungsi:
a. pengkajian kebijakan di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan;
b. pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di
bidang kelembagaan kelautan dan perikanan;
c. penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang kelembagaan kelautan dan
perikanan;
d. penyusunan rencana pendanaan pembangunan di bidang kelembagaan kelautan
dan perikanan;
e. pelaksanaan inventarisasi dan analisis berbagai kebijakan dan informasi yang
berkaitan dengan penyiapan rencana pendanaan pembangunan di bidang
kelembagaan kelautan dan perikanan;
f. pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaan rencana,
kebijakan, dan program-program pembangunan di bidang kelembagaan kelautan
dan perikanan.
-------------

Satuan Pendidikan
Badan Pengembangan Sumberdaya manusia Kelauatan
Perikanan (BPSDMKP)
Untuk mendukung tugas, pokok dan fungsinya, Badan ini memiliki Satuan Pendidikan
yang secara administrasi di bawah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kelautan dan Perikanan terdiri dari :

Sekolah Tinggi Perikanan,

3 (tiga) Akademi Perikanan,


8 (delapan) Sekolah Usaha Perikanan Menengah dan
6 (enam) Balai Diklat Perikanan yang berlokasi di beberapa kota di seluruh
Indonesia.

Program Kegiatan
Pengembangan Kualitas dan Standarisasi Peserta Didik.
Pengembangan Standar Kualifikasi dan Pembinaan Propesi Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Peningkatan dan Standarisasi Sarana dan Prasarana Pendidikan Kelautan dan
Perikanan.
Peningkatan Sistem dan Standarisasi Kurikulum Pendidikan
Pengembangan Jejaring Kerjasama Pendidikan
Pengembangan Kelembagaan Pendidikan
Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Kelautan dan Perikanan

Program unggulan
1. Info Beasiswa
Upaya menyiapkan dan menghasilkan sumber daya manusia kelautan dan perikanan yang
handal dan professional perlu didukung dengan peningkatan sistem pendidikan dan
pelatihan khususnya dalam bentuk pendidikan formal; tetapi tingginya biaya pendidikan
formal tetap menjadi masalah klasik nan krusial.
Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan sebagai insititusi dibawah
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang bertanggung jawab dalam usaha peningkatan
kualitas SDM kelautan dan perikanan, setiap tahun membuka kesempatan bagi lulusan
SLTP dan SMU untuk melanjutkan pendidikan di bidang kelautan dan perikanan melalui
program beasiswa.
Selain beasiswa untuk lulusan SMA, BPSDMKP juga memiliki dana penunjang
pendidikan dalam bentuk bantuan SPP/beasiswa bagi PNS yang ingin melanjutkan
pendidikan seusai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Program beasiswa ini merupakan suatu upaya peningkatan pengetahuan dan
profesionalisme SDM kelautan dan perikanan bagi semua pelaku utama sektor kelautan
dan perikanan.

2. Sertifikasi
Konvensi Standards on Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel
Personnel (STCW-F) 1995

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut (United Nation Convention on Law
of the Sea - UNCLOS 1982) dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Konsekwensinya bahwa pemerintah RI tunduk pada semua aturan yang ada dalam
konvensi hukum laut 1982 dan mengimplementasikannya dalam peraturan nasional. Ada
beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan kapal perikanan yang perlu
mendapat perhatian untuk mendapat pengesahan dari pemerintah RI, STCW 1995
merupakan salah satu turunan dari Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut.
Dalam hal ini, keahlian para pelaut dibuktikan dengan sertifikat kepelautan berstandar
internasional STCW-F 1995 untuk dapat diterima di tingkat nasional maupun
internasional sehingga para pelaut yang akan bekerja di kapal-kapal penangkap ikan
asing mampu bersaing dengan pelaut dari negeri lain dan dapat menduduki jabatan
nakhoda atau perwira pada kapal-kapal luar negeri.
Untuk menghasilkan awak kapal perikanan yang berkualitas seperti diwajibkan oleh
Konvensi Internasional mengenai STCW-F 1995, maka penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan awak kapal perikanan harus memenuhi standar pelatihan, sertifikasi dan tugas
jaga sebagaimana ditentukan di dalam Konvensi STCW-F. Hal ini berarti bahwa proses
belajar-mengajar beserta fasilitasnya dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
awak kapal perikanan harus mengikuti ketentuan Konvensi STCW-F 1995.
Tujuan pengesahan SCTW-F 1995 bagi awak kapal perikanan di Indonesia adalah untuk
meningkatkan standar pendidikan, pelatihan, sertifikasi dan tugas jaga bagi awak kapal
perikanan,memposisikan awak kapal perikanan agar memperoleh pengakuan
internasional sesuai keahlian, sehingga awak kapal perikanan mempunyai peluang kerja
di atas kapal perikanan di dalam dan luar negeri,untuk meningkatkan keselamatan jiwa
dan harta benda di laut serta perlindungan lingkungan laut.
Pemberlakuan Konvensi STCW-F 1995 ini sangat berkaitan, antara lain, dengan
Konvensi Internasional Torremolinos tentang Keselamatan Bagi Kapal Penangkap Ikan
(Torremolinos Safety of Fishing VesselConvention) 1993, Konvensi-konvensi ILO seperti:
Code of Conduct for Responsible Fishing, Code of Conduct for Responsible Fishery,
Works in Fishing Sector Convention 2007 dan konvensi-konvensi IMO/ILO/FAO lainnya.

3. Paket Kejar Ikan


Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan SDM Kelautan dan
Perikanan selain menyelenggarakan program pendidikan
perikanan formal, juga mengadakan kegiatan Paket Kejar Ikan (Kelompok Belajar
Perikanan) A, B dan C. Paket Kejar Ikan merupakan kegiatan pendidikan kesetaraan
tingkat SD, SLTP, dan SUA untuk masyarakat nelayan, seperti Kejar Paket yang
diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Paket Kejar Ikan adalah kegiatan pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dalam rangka membantu warga masyarakat yang tidak dapat melanjutkan
sekolah pada jalur normal. Program ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan serta
keterampilan bagi anak-anak, remaja dan masyarakat dalam bidang kelautan dan
perikanan.
Tujuan Pelaksanaan Paket Kejar Ikan adalah:

Untuk merealisasikan program pemerintah dibidang pendidikan luar sekolah.


Meningkatkan pengetahuan warga masyarakat dalam bidang formal dan
keterampilan teknis perikanan
--------------------------------

PUSAT PELATIHAN KELAUTAN PERIKANAN KKP


Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP)
A.Latar Belakang
Pusat
Pelatihan
Mandiri
Kelautan
dan
Perikanan
(P2MKP)
adalah lembaga pelatihan/permagangan di bidang kelautan dan
perikanan yang dibentuk dan dikelola oleh pelaku utama maju di
bidang kelautan dan perikanan baik perorangan maupun kelompok.
P2MKP merupakan wujud partisipasi dan keswadayaan masyarakat ikut
mengembangkan SDM melalui pelatihan dari, oleh dan untuk
masyarakat.
Pelaku utama yaitu pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan
nelayan sangat memerlukan peningkatan kualitas SDM melalui
pelatihan. Unit Pelaksana Teknis (UPT) pelatihan lingkup Badan
Pengembangan SDMKP Kementerian Kelautan dan Perikanan yang
berjumlah 6 unit tersebar di Medan, Subang, Tegal, Banyuwangi,
Bitung, dan Ambon belum sebanding dengan jumlah pelaku utama
yang harus dilatih yang diperkirakan 6 juta orang, sehingga Badan
Pengembangan SDMKP melalui Pusat Pelatihan
Kelautan dan
Perikanan mendorong pembentukan dan pengembangan P2MKP.
Pembentukan dan pengembangan P2MKP adalah upaya-upaya untuk
meningkatkan status kelembagaan terhadap kemampuan dan
keswadayaan pelaku utama dalam menyelenggarakan pelatihan yang
ada, menjadi lembaga pelatihan yang lebih operasional dengan
meningkatnya status dan peranannya bagi masyarakat. Pembentukan
dan pengembangan P2MKP melalui proses identifikasi, registrasi dan
penetapan, klasifikasi P2MKP, pembinaan, pembentukan Forum
Komunikasi P2MKP (Forkom P2MKP), dan monitoring, evaluasi dan
9

pelaporan
secara
terencana,
tersistem,
terpadu
dan
berkesinambungan oleh pemangku kepentingan (stakeholder) baik
pemerintah (Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota) maupun masyarakat. Hal
tersebut ditujukan agar kelembagaan P2MKP dapat dikelola secara
lebih baik, sarana prasarana dan ketenagaan ditingkatkan, pelatihan
yang terstandar dapat diselenggarakan, usaha dan jejaring kerja
ditingkatkan, dan secara formal diakui status dan peranannya oleh
masyarakat.
Di bidang pertanian, Kementerian Pertanian sejak lama telah membina
P4S (Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya) sebagai
lembaga pelatihan kewirausahaan masyarakat di bidang pertanian
yang identik dengan P2MKP di bidang kelautan dan perikanan.
Kementerian Pertanian mengatur pembinaan tersebut dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 03/Permentan/ PP.410/1/2010 tentang
Pedoman Pembinaan Kelembagaan Pelatihan Pertanian Swadaya (P4S),
sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menetapkan
peraturan tersendiri tentang Pembentukan dan Pengembangan P2MKP.
Melalui identifikasi P2MKP yang serempak dan tersistem, diperkirakan
animo calon P2MKP lebih banyak karena unit produksi bidang kelautan
dan perikanan sangat variatif. Secara de facto, lembaga pelatihan
kewirausahaan kelautan dan perikanan yang dikelola masyarakat yang
akan ditetapkan sebagai P2MKP sudah tumbuh. Sudah saatnya,
mereka diberikan pembinaan secara terencana, tersistem, terpadu
serta berkesinambungan.
Peran P2MKP sangat dibutuhkan dalam rangka (a) efektivitas dan
efisiensi penyelenggaraan pelatihan di kawasan Minapolitan sebanyak
47.000 orang tahun 2011-2014 sementara UPT pelatihan yang ada 6
unit; (b) meningkatkan pencapaian target pelatihan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan target latih di P2MKP; (c) bentuk
pembinaan bagi lembaga pelatihan kewirausahaan masyarakat di
bidang kelautan dan perikanan.

B. Pengertian
1. Pusat Pelatihan Mandiri Kelautandan Perikanan
(P2MKP) adalah lembaga pelatihan di bidang kelautan dan
perikanan yang didirikan, dimiliki dan dikelola oleh pelaku utama
secara swadaya baik perorangan maupun kelompok.
2. Pembina P2MKP adalah personil Pemerintah Pusat (Badan
Pengembangan SDMKP melalui Pusat Pelatihan Kelautan dan
Perikanan khususnya 6 UPT pelatihan, Direktorat Jenderal dan
10

Badan Lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan


Pemerintah Daerah khususnya lembaga pemerintah daerah
Propinsi, Kabupaten/Kota yang menangani pelatihan dan/atau
penyuluhan kelautan dan perikanan).
3. Pengelola P2MKP adalah pelaku utama baik perorangan atau
kelompok yang mengelola P2MKP dan bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan program pelatihan dan pembelajaran bagi
masyarakat di P2MKP.
4. Pelaku Utama (sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006)
adalah pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan nelayan beserta
keluarga intinya.
5. Forum Komunikasi P2MKP yang selanjutnya disebut Forkom
P2MKP adalah lembaga berhimpunnya P2MKP yang bersifat
independen untuk menjembatani dan memperjuangkan aspirasi
anggotanya.

C.

Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009;
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional;
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.09/MEN/2008 tentang Penyelenggaraan Pelatihan di
Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.12/MEN/2010 tentang Minapolitan
------------------------------

11

STATISTIK DAN KELEMBAGAAN PERIKANAN


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
merupakan dasar hukum untuk pembangunan kelautan dan perikanan di
Indonesia. Bab VI Undangundang tersebut merupakan landasan kebijakan dan
hukum bagi pengembangan dan pengelolaan statistik kelautan dan perikanan di
Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan dalam implementasi Undang-undang tersebut yang pasal
demi pasalnya berisi sebagai berikut:
Pasal 46
(1). Pemerintah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data statistik
perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan,
penyajian, dan penyebaran data potensi, sarana dan prasarana, produksi, penanganan,
pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang terkait dengan
pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis ikan.
(2). Pemerintah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk
menyelenggarakan sistem informasi data statistik perikanan.
Pasal 47
(1). Pemerintah membangun jaringan informasi perikanan dengan lembaga lain, baik di
dalam maupun di luar negeri.
(2). Sistem informasi dan data statistik perikanan harus dapat diakses dengan mudah dan
cepat oleh seluruh pengguna data statistik dan informasi perikanan.
Mengingat Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik. Didukung oleh
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Persetujuan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam surat nomor
B/1116/M.PAN/6/2005, tanggal 9 Juni 2005, perihal Penataan Organisasi Departemen
Kelautan dan Perikanan, sebagai dasar hukum pembentukan Pusat Data, Statistik dan
Informasi (PUSDATIN) yang mempunyai tugas diantaranya melaksanakan pelayanan
informasi dan pengembangan data dan statistik di bidang kelautan dan perikanan
--------Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP) dibentuk pada
tahun 2005 melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.09/Men/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan. BBRSEKP adalah unit pelaksana teknis di bidang sosial ekonomi kelautan
dan perikanan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan
Penelitian dan pengembangan Kelautan dan Perikanan.

12

BBRSEKP dipimpin oleh seorang Kepala dan mempunyai tugas melaksanakan riset
strategis sosial ekonomi kelautan dan perikanan meliputi sosial ekonomi dan
kelembagaan pengelolaan sumber daya, pengembangan usaha dan perdagangan
internasional berdasarkan kebijakan teknis Kepala Badan Penelitian dan pengembangan
Kelautan dan Perikanan.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, BBRSEKP menyelenggarakan fungsi:
1. perencanaan dan perumusan bahan kebijakan teknis dan penyerasian program
serta kegiatan riset strategis sosial ekonomi kelautan dan perikanan;
2. pembinaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program serta kegiatan riset
strategis sosial ekonomi kelautan dan perikanan;
3. pelayanan jasa dan kerja sama riset strategis sosial ekonomi kelautan dan
perikanan;
4. pelaksanaan diseminasi, komunikasi, dokumentasi, dan publikasi hasil riset;
5. pembinaan dan pengembangan sumber daya riset;
6. pengelolaan urusan keuangan, rumah tangga, dan tata usaha.
Peran dan fungsi BBRSEKP di saat ini dan masa mendatang dituntut untuk menghasilkan
riset sebagai basis kebijakan yang lebih efektif dan berdaya guna. BBRSEKP juga
didorong untuk melakukan sinergi yang kuat dengan pemangku kepentingan, lembaga
riset sejenis serta penggiat penelitian sosial ekonomi kelautan dan perikanan. BBRSEKP
harus mampu mendorong komunikasi dan pertukaran informasi terbaru yang lebih dapat
membuka wawasan dan memperkaya khasanah riset inovatif yang dihasilkan.
Adapun yang menjadi Visi dan Misi BBRSEKP, yaitu:
VISI
"Menjadi institusi terkemuka dalam melakukan riset dan penyedia data/informasi IPTEK
yang akurat di bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan untuk mendukung
perwujudan kesatuan anak bangsa".
MISI
1. Mewujudkan sumberdaya riset yang handal dan mandiri di bidang sosial ekonomi
kelautan dan perikanan;
2. Menghasilkan data dan informasi ilmiah serta hasil analisis sistem sosial,
ekonomi, budaya, hukum dan iptek untuk menunjang perumusan dan pelaksanaan
serta evaluasi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan;
3. Meningkatkan pemanfaatan hasil riset untuk pemangku kepentingan kelautan dan
perikanan

13

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PANTAI DI BALI


II. KERUSAKAN PANTAI DAN UPAYA PENANGANANNYA
2.1. Karakteristik Pantai di Pulau Bali
Secara umum, pantai-pantai di Pulau Bali merupakan pantai berpasir
dengan sebagian merupakan tebing curam (cliff), seperti Tanah Lot dan Uluwatu.
Pasir pantai terutama berasal dari abrasi terumbu karang, sedimen klastik, dan
sedimen vulkanik. Formasi karang di damping pantai (nearshore) dengan lebar
yang bervariasi pada sebagian pantai selatan Pulau Bali menyebabkan pantai ini
berpasir putih seperti Pantai Sanur, Nusa Dua, Kuta dan Legian. Sedangkan pantai
di sebelah utara Pantai Sanur, seperti Pantai Padang Galak, Gumicik dan Lebih,
sekitar 90% pantainya berupa sedimen klastik yang berasal dari aktivitas gunung
berapi, seperti Gunung Batur dan Gunung Agung(JICA, 1989).
Gaya utama yang mengangkut sedimen pantai adalah gelombang angin,
dimana gelombang besar dominan berasal dari arah selatan. Bathimetri atau
kontur kedalaman pantai relatif sejajar, sehingga ketika gelombang meluncur dari
perairan dalam menuju perairan pantai terjadi refraksi gelombang yang
mengakibatkan arah gelombang cenderung menyebar ke daerah teluk dan
memusat di daerah tanjung. Akibat proses refraksi tersebut, pada beberapa daerah
pantai bagian selatan, gelombang yang datang ke pantai menjadi lebih besar.
Dengan demikian, daerah tersebut menjadi rentan terhadap hantaman gelombang.
2.2. Penyebab Erosi Pantai
Erosi pantai di Pulau Bali terjadi, karena faktor alam dan faktor campur
tangan manusia. Faktor alam yang mempengaruhi terjadinya erosi pantai antara
lain karena pengaruh gelombang dan arus. Sedangkan pengaruh campur tangan
manusia, antara lain penambangan terumbu karang dan pasir laut, serta
pembangunan krib yang dilakukan oleh pemilik hotel secara sendiri-sendiri di tiap
ruas pantai, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ruas pantai yang lain
di dekatnya.
Penambangan terumbu karang untuk digunakan sebagai bahan bangunan
terjadi pada tahun 1960-an, pada saat kepariwisataan mulai berkembang
(JICA,1989). Meskipun sekarang telah dilarang, namun terumbu karang yang ada
sebagian besar telah rusak dan tidak efektif lagi meredam energi gelombang yang
menghempas pantai. Eksploitasi terumbu karang di kawasan sekitar Sanur, Nusa
Dua dan Kuta beberapa waktu yang lalu, menyebabkan berkurangnya suplai
sedimen ke pantai, sehingga terjadi ketidakseimbangan pasokan sedimen. Selain
itu, hilangnya terumbu karang juga menyebabkan energi gelombang yang datang
ke pantai menjadi lebih besar, karena bertambahnya kedalaman muka air di
dataran karang. Penambangan pasir lepas pantai dapat menyebabkan terjadinya
perubahan pengangkutan sedimen di pantai. Angkutan sedimen akan terperangkap
ke dalam lubang galian yang menyebabkan berkurangnya sedimen yang menuju
pantai, yang akhirnya menyebabkan perubahan keseimbangan pasokan sedimen
ke pantai.
Dalam perkembangan kegiatan pariwisata selanjutnya, yaitu pada tahun

14

1970-1980, kerusakan pantai juga disebabkan oleh pembangunan krib oleh para
pemilik hotel. Untuk melindungi pantainya yang terus berkurang, para pemilik
hotel secara sendiri-sendiri, tanpa konsultasi dengan instansi teknis terkait,
membangun krib tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pantai di
sekitarnya (Sulaiman et. al., 2003). Pantai sekitar yang terkena dampak,
selanjutnya melakukan hal yang sama, sehingga akibatnya seluruh pantai menjadi
rusak tak terkendali. Kejadian ini tidak lepas dari longgarnya pengawasan dan
belum adanya aturan perijinan dari instansi teknis terkait pembangunan krib.

Gambar 2. Peta Lokasi Pantai Sanur (Yusha and Onaka, 2006)


2.3. Upaya Penanganan Erosi Pantai di Pulau Bali
Sejak tahun 1970-an, Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Departemen
Pekerjaan Umum, telah mulai melakukan survei pada beberapa ruas pantai Pulau
Bali, yaitu Pantai Sanur, Kuta, Tanah Lot dan Nusa Dua (Syamsudin, 1998).
Selanjutnya pada tahun 1988, dalam rangka rencana penanganan erosi pantai
Pulau Bali, Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Bali dengan bantuan Japan
International Cooperation Agency (JICA) melakukan studi kelayakan yang
dilanjutkan dengan detail desain dan studi AMDAL pada tahun 1992, yang
dilaksanakan oleh Nippon Koei bekerja sama dengan konsultan nasional dengan
dana dari Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) Pemerintah Jepang.
OECF melanjutkan dukungannya pada pelaksanaan proyek ini setelah tahun 1996.
Pelaksanaan konstruksi rehabilitasi pantai dilaksanakan pada tahun 2000 dengan
sumber dana dari bantuan lunak Jepang (JBIC/OECF) sebesar 95% dan
pemerintah Indonesia sebesar 5% (Yusha dan Budiana, 2006). Pelaksanaan
pekerjaan untuk kawasan Pantai Sanur (Gambar 2) baru dimulai pada tahun 2001,
untuk pantai Nusa Dua (Gambar 3) baru dimulai bulan September 2001, dan
untuk Pantai Tanah Lot dimulai pada bulan Juni 2000. Kegiatan rehabilitasi
pantai di ketiga kawasan tersebut diselesaikan pada tahun 2003.
Pelaksanaan rehabilitasi Pantai Kuta yang seharusnya dilakukan secara
serentak dengan pelaksanaan rehabilitasi Pantai Sanur dan Nusa Dua mengalami
hambatan serius, karena penolakan dari masyarakat desa adat Seminyak, Legian,
15

dan Kuta (SAMIGITA) yang merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan.
Mereka tidak setuju dengan desain bangunan pengaman pantai yang sifatnya
menjorok ke laut seperti krib.

Gambar 3. Peta Lokasi Pantai Nusa Dua (Yusha and Onaka, 2006)
Landasan pacu Lapangan Terbang Ngurah Rai, yang dibangun memanjang
masuk ke perairan pantai, mirip krib raksasa yang membendung aliran sedimen
menyusur pantai, dianggap sebagai penyebab utama timbulnya erosi di sepanjang
Pantai Kuta. Oleh karena itu, masyarakat mengalami trauma dan menolak desain
krib yang ditawarkan oleh pemerintah. Melalui negosiasi dan sosialisasi, antara
lain dengan menggunakan jasa konsultan publik, Pemerintah Provinsi Bali
menyerahkan sepenuhnya apa yang diinginkan masyarakat (Sulaiman et.al.,
2003). Kesepakatan akhirnya dicapai dengan mengganti struktur krib dengan
revetmen, ditambah pemecah gelombang lepas pantai sebagai bangunan penahan
pasir. Selanjutnya, rehabilitasi pantai Kuta dimulai pada tahun 2006 dan selesai
pada tahun 2008.
III. POLA PENGELOLAAN PANTAI
3.1.
Pengelolaan Pantai Secara Terpadu
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources
Management/IWRM) merupakan suatu proses yang mendorong terjadinya
koordinasi diantara para pemangku kepentingan dalam pengembangan dan
pengelolaan air, tanah, dan sumber daya terkait, dalam rangka mengoptimalkan
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa
mengganggu keseimbangan lingkungan (GWP, 2001). Di dalam Undang-undang
No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air terdapat tiga komponen
pengelolaan, yaitu fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
Pasal 3 UU No. 7/2004 menyatakan bahwa sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan secara menyeluruh mencakup
semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan
pengendalian daya rusak air, serta meliputi satu sistem pengelolaan secara utuh
yang mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi. Pengelolaan sumber daya air secara terpadu, merupakan pengelolaan
yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, antar sektor,
dan antar wilayah. Di samping itu, pengelolaan sumber daya air juga harus
berwawasan lingkungan hidup, berarti memperhatikan keseimbangan ekosistem

16

dan daya dukung lingkungan. Akhirnya, pengelolaan sumber daya air juga harus
berkelanjutan, yang berarti bahwa pengelolaan tidak hanya ditujukan untuk
kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan
datang.
Seperti sumber daya air lainnya, pantai juga mempunyai fungsi sosial,
fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan. Pantai mempunyai fungsi sosial, karena
pantai merupakan ruang terbuka yang diperlukan bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai kegiatan, seperti rekreasi, olah raga, keagamaan, dan lainlain. Oleh karena itu, pantai seharusnya dapat diakses oleh setiap orang. Pantai
juga mempunyai fungsi ekonomi, karena berbagai bentuk kegiatan ekonomi
seperti perikanan, pariwisata, dan perdagangan berlangsung di pantai. Mengingat
fungsi sosial dari pantai, maka kegiatan ekonomi yang berlangsung di pantai perlu
diatur dan dikendalikan. Selain itu, pantai juga mempunyai fungsi lingkungan
yang berarti bahwa pantai merupakan bagian dari ekosistem, sekaligus sebagai
tempat berlangsungnya kehidupan berbagai jenis flora dan fauna. Untuk itu,
kualitas lingkungan pantai hendaknya selalu dijaga keberlanjutannya.
Pantai hendaknya dikelola secara menyeluruh, terpadu, berwawasan
lingkungan, dan berkelanjutan. GWP (2009) menyatakan tujuh prinsip
pengelolaan sumber daya air terpadu ( IWRM), yaitu (1) pengelolaan sumber daya
air hendaknya dilakukan dalam satu sistem sungai, satu rencana induk, dan
diimplementasikan oleh banyak lembaga dalam satu manajemen terkoordinasi
dengan pendekatan wilayah sungai sebagai kesatuan pengelolaan; (2)
pendayagunaan sumberdaya air harus diimbangi dengan upaya konservasi yang
memadai; (3) proses penyusunan rencana pengelolaan diselenggarakan dengan
melibatkan semua unsur pemangku kepentingan; (4) penetapan kebijakan
pengelolaan sumber daya air hendaknya diselenggarakan secara demokratis; (5)
implementasi kebijakan dilaksanakan oleh badan pengelola yang profesional dan
akuntabel; (6) masyarakat harus dilibatkan dalam keseluruhan proses pengelolaan;
dan (7) biaya pengelolaan menjadi tanggung jawab seluruh penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air. Sebagai bagian dari suatu wilayah sungai,
pengelolaan pantai hendaknya merupakan bagian dari pengelolaan wilayah
Pasal 3 UU No. 7/2004 menyatakan bahwa sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan secara menyeluruh mencakup
semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan
pengendalian daya rusak air, serta meliputi satu sistem pengelolaan secara utuh
yang mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi. Pengelolaan sumber daya air secara terpadu, merupakan pengelolaan
yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, antar sektor,
dan antar wilayah. Di samping itu, pengelolaan sumber daya air juga harus
berwawasan lingkungan hidup, berarti memperhatikan keseimbangan ekosistem
dan daya dukung lingkungan. Akhirnya, pengelolaan sumber daya air juga harus
berkelanjutan, yang berarti bahwa pengelolaan tidak hanya ditujukan untuk
kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan
datang.
Seperti sumber daya air lainnya, pantai juga mempunyai fungsi sosial,

17

fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan. Pantai mempunyai fungsi sosial, karena
pantai merupakan ruang terbuka yang diperlukan bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai kegiatan, seperti rekreasi, olah raga, keagamaan, dan lainlain. Oleh karena itu, pantai seharusnya dapat diakses oleh setiap orang. Pantai
juga mempunyai fungsi ekonomi, karena berbagai bentuk kegiatan ekonomi
seperti perikanan, pariwisata, dan perdagangan berlangsung di pantai. Mengingat
fungsi sosial dari pantai, maka kegiatan ekonomi yang berlangsung di pantai perlu
diatur dan dikendalikan. Selain itu, pantai juga mempunyai fungsi lingkungan
yang berarti bahwa pantai merupakan bagian dari ekosistem, sekaligus sebagai
tempat berlangsungnya kehidupan berbagai jenis flora dan fauna. Untuk itu,
kualitas lingkungan pantai hendaknya selalu dijaga keberlanjutannya.
Pantai hendaknya dikelola secara menyeluruh, terpadu, berwawasan
lingkungan, dan berkelanjutan. GWP (2009) menyatakan tujuh prinsip
pengelolaan sumber daya air terpadu ( IWRM), yaitu (1) pengelolaan sumber daya
air hendaknya dilakukan dalam satu sistem sungai, satu rencana induk, dan
diimplementasikan oleh banyak lembaga dalam satu manajemen terkoordinasi
dengan pendekatan wilayah sungai sebagai kesatuan pengelolaan; (2)
pendayagunaan sumberdaya air harus diimbangi dengan upaya konservasi yang
memadai; (3) proses penyusunan rencana pengelolaan diselenggarakan dengan
melibatkan semua unsur pemangku kepentingan; (4) penetapan kebijakan
pengelolaan sumber daya air hendaknya diselenggarakan secara demokratis; (5)
implementasi kebijakan dilaksanakan oleh badan pengelola yang profesional dan
akuntabel; (6) masyarakat harus dilibatkan dalam keseluruhan proses pengelolaan;
dan (7) biaya pengelolaan menjadi tanggung jawab seluruh penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air. Sebagai bagian dari suatu wilayah sungai,
pengelolaan pantai hendaknya merupakan bagian dari pengelolaan wilayah
sungai. Dengan demikian, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air seperti
diuraikan di atas, juga harus diterapkan pada pengelolaan pantai.
3.2.
Pengelolaan Pantai di Pulau Bali Saat Ini
Pantai-pantai di Pulau Bali mempunyai fungsi yang beragam, antara lain
untuk kepentingan: (a) nelayan; (b) olah raga air, seperti renang, selancar, para
sailing; (c) wisata bahari, seperti diving, snorkling; (d) rekreasi; (e) tempat
berlangsungnya kegiatan sosial dan ekonomi; dan (f) penyelenggaraan kegiatan
ritual keagamaan. Oleh karena itu, pengelolaan pantai di Pulau Bali menghendaki
diterapkannya pengelolaan secara terpadu guna menghindari konflik antara
berbagai kepentingan tersebut.
Pengelolaan pantai selama ini dilaksanakan oleh suatu lembaga pengelola
yang terdiri atas Badan Koordinasi, Unit Pelaksana Teknis, dan Pelaksana
Lapangan, dengan susunan organisasi seperti diperlihatkan pada Gambar 4.
Organisasi pengelola pantai ini merupakan keterpaduan antara instansi pemerintah
pusat yang ada di daerah, yaitu Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida,
Pemerintah Propinsi Bali, Pemerintah Kota Denpasar, Pemerintah Kabupaten
Badung, Pemerintah Kabupaten Tabanan, dan unsur masyarakat, seperti desa adat,

18

pengusaha pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Keberadaan BWS


Bali-Penida di dalam wadah organisasi pengelola ini sangat strategis. Selain
menjadi
bagian
dari
Badan
Koordinasi
yang
bertanggung
jawab
mengkoordinasikan dengan pihak terkait, menyusun perencanaan, dan
merumuskan mekanisme pendanaan, BWS Bali-Penida juga bertindak sebagai
Unit Pelaksana Teknis yang bertanggung jawab terhadap monitoring,
perencanaan, dan pemeliharaan pantai di Pulau Bali.
3.3.
Usulan Pola Pengelolaan Pantai ke Depan
Pemanfaatan daerah pantai yang optimal akan menghasilkan keuntungan
ekonomi secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat. Keterpaduan
dalam pengelolaan pantai seharusnya dilakukan dalam tiga tahap : teknis,
konsultatif, dan koordinasi seperti dikemukakan oleh Lang (1986). Pada tahap
teknis, seluruh pertimbangan teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan harus secara
proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan daerah pantai. Pada tahap konsultatif, semua aspirasi masyarakat
dan semua kebutuhan pihak pengguna atau yang terkena dampak pembangunan
pantai harus dilibatkan mulai dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan.
Sedangkan pada tahap koordinasi kerjasama yang harmonis antar pihak
terkait dengan pengelola pantai, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat
umum menjadi suatu persyaratan yang harus dipenuhi. Tahapan keterpaduan
tersebut telah diterapkan pada lembaga pengelola pantai di Bali, seperti
ditunjukkan pada Wadah Koordinasi dan Pelaksana Pengelolaan Pantai
(Gambar4). Untuk mendukung terwujudnya pengelolaan pantai secara terpadu
dan berkelanjutan diperlukan beberapa kegiatan pendukung (Dahuri et.al., 1996),
antara lain : (1) penguatan kelembagaan; (2) pengembangan basis data dan
informasi pantai; (3) pengembangan sumber daya manusia; dan (4) monitoring
jangka panjang.
Penguatan kelembagaan erat kaitannya dengan peningkatan kemampuan
sumber daya manusia. Untuk itu perlu rekruitment tenaga ahli, sehingga
terbentuk tim ahli pengelola pantai yang mandiri. Penguatan kelembagaan juga
dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi setempat,
lembaga penelitian di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum, dan lembaga
penelitian lainnya.

Gambar4.WadahKoordinasidanPelaksanaPengelolaanPantai(Ditjen
SDA,2004)
19

UnsurKoordinasi
WADAH KOORDINASI

Ketua

:Gubernur/WklGubernur
WakilKetua
:KepalaBappedaProp.Bali
Sekretaris:KepalaDinasPUPropinsiBali
Anggota
:1.KepalaSubDinasTerkait
2.DesaAdat
3.LembagaSwadayaMasyarakat

Setempat
4.UnsurPariwisatadanPengguna
Pantai

PEMERINTAH
PUSAT
Pengusulandana
Penunjangteknis
monitoringdananalisis

UnitPelaksanaTeknis
InstansiTerkaityangDitunjuk
SeksiInformasidan
Pembinaan

SeksiPemeliharaan
STAF
STAF
STAF

PengamatPantai

Mandor
Mandor
DesaAdat
Keterangan
:
komando
koordinasi
Data dan informasi di bidang pantai dan kelautan telah banyak
dikumpulkan, namun seringkali data tersebut tidak tersedia pada saat dibutuhkan,
karena terkendala oleh sistem pengarsipan data yang tidak baik. Melalui
pengembangan sistem informasi pantai, yang merupakan suatu prosedur
sistematik yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, pemeliharaan, dan
perolehan kembali, kendala tersebut bisa diatasi.
Untuk mendukung perencanaan terpadu, perlu dilakukan digitasi data dan

20

diolah ke dalam peta tematik dan peta yang ditumpang susun (over-lay). Hal ini
dapat dibuat dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Melalui
sistem ini, berbagai pihak yang terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan pantai
dapat mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang
paling optimal. Pemanfaatan produk teknologi sistem informasi pantai dan sistem
informasi geografis memerlukan sumber daya manusia yang memadai. Untuk itu
diperlukan pelatihan secara sistematis dan berjenjang, sehingga aparat-aparat di
daerah dan pusat dapat mengembangkan sistem informasi geografis ini dalam
perencanaan dan pengelolaan sumber daya pantai dan lautan.
Kegiatan monitoring diperlukan sebagai bahan evaluasi dari desain yang
direncanakan dan untuk merencanakan program pemeliharaan, karena setelah
bangunan selesai dikerjakan, secara bertahap cenderung mengalami penurunan
fungsi atau terjadi kerusakan-kerusakan, terutama bangunan-bangunan yang
langsung terkena gelombang maupun arus. Data hasil monitoring tersebut
disimpan dalam suatu sistem informasi pantai jangka panjang sebagai bahan
perencanaan pemeliharaan garis pantai berkelanjutan.
sungai. Dengan demikian, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air seperti
diuraikan di atas, juga harus diterapkan pada pengelolaan pantai.

IV. KELEMBAGAAN DAN PEMBIAYAAN


4.1.
Kelembagaan
Kelembagaan didefinisikan dalam dua pengertian, pertama kelembagaan
sebagai institusi, yaitu lembaga atau organisasi berbadan hukum untuk mengelola
suatu kegiatan dan pengertian kedua adalah pelembagaan nilai-nilai. Kelembagaan
sebagai institusi dikembangkan melalui tiga aspek : (1) peningkatan kemampuan
sumber daya manusia; (2) penyediaan fasilitas kerja untuk mengoperasikan
lembaga tersebut; dan (3) penyediaan dana operasional dan pemeliharaan untuk
membiayai kegiatannya. Pelembagaan nilai-nilai, dikembangkan dengan
memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut kepada
masyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai
yang dilembagakan bisa berupa peraturan perundang-undangan, peraturan daerah;
tata ruang wilayah pesisir dan lautan; petunjuk teknis perencanaan dan bentukbentuk lainnya yang dihasilkan oleh lembaga tersebut (Dahuri et.al., 1996).
Pengelolaan pantai menyangkut kepentingan banyak sektor dan
memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan terstruktur. Ditinjau
dari segi fungsinya, sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air
secara garis besar terdiri atas lima unsur (Hardjono, 2007), yaitu: (1) Regulator,
merupakan pihak yang mengatur pengelolaan sumberdaya air; (2) Operator, yaitu
lembaga yang dibentuk dan berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan seharihari dengan tugas utama menjalankan keputusan regulator dalam pelayanan
sumber daya air kepada masyarakat; (3) Pengembang, merupakan pihak yang
membangun sarana dan prasarana sumberdaya air; (4) Penerima manfaat yang

21

mencakup seluruh unsur masyarakat baik perorangan maupun kelompok


masyarakat yang mendapat manfaat langsung maupun tak langsung dari jasa
pengelolaan sumber daya air; dan (5) Wadah koordinasi, yaitu wadah yang
berfungsi menerima, menyerap, dan menyalurkan aspirasi dan keluhan semua
unsur pemangku kepentingan. Wadah ini bersifat perwakilan yang bertugas
menyampaikan masukan kepada regulator sekaligus menyiapkan resolusi dan
rekomendasi penyelesaian masalah-masalah sumberdaya air.
4.2.
Pembiayaan
Kelestarian pantai merupakan faktor penting bagi berlangsungnya kegiatan
pariwisata di Bali, dimana sekitar 90% hotel berbintang terletak di sepanjang
pantai unggulan seperti Pantai Nusa Dua, Kuta, dan Sanur (BPS, 2004).
Kerusakan pantai yang terjadi di kawasan ini berdampak langsung pada jumlah
kunjungan dan tingkat hunian hotel yang selanjutnya berakibat pada menurunnya
pendapatan daerah (JICA, 1989). Mengingat pentingnya fungsi pantai di pulau ini,
diperlukan perhatian ekstra dari seluruh pemangku kepentingan untuk melindungi
dan melestarikan aset berharga ini.
Mekanisme pendanaan bisa ditempuh melalui pembagian tanggung jawab
pendanaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeliharaan rutin
dan pemeliharaan harian, yang tidak memerlukan biaya besar, dilimpahkan
kepada pemerintah daerah setempat. Sedangkan pemeliharaan berkala dan
pemeliharaan darurat, yang memerlukan perencanaan teknis dan biayanya besar,
dibebankan kepada pemerintah pusat.
V.
KESIMPULAN
Pantai bagi masyarakat Bali mempunyai makna yang sangat dalam, baik
ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial budaya, adat istiadat, serta ritual
keagamaan. Beragamnya fungsi dan kepentingan di daerah pantai tersebut akan
mendorong timbulnya konflik antar sektor dan antar berbagai kepentingan. Guna
menghindari konflik antara berbagai kepentingan tersebut, dibutuhkan suatu
konsep pengelolaan pantai secara terpadu yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan, untuk menjaga dua atau lebih ekosistem, sumber daya dan kegiatan
pemanfaatan secara terintegrasi untuk mencapai pembangunan wilayah pantai
secara berkelanjutan.
Pengelolaan pantai secara terpadu dan berkelanjutan memerlukan
dukungan sistem kelembagaan yang mampu mengintegrasikan berbagai
kepentingan, serta menjaga berlangsungnya fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan

22

Anda mungkin juga menyukai