Indonesia merdeka. Unit-unit warisan kolonial Belanda inilah yang menjadi cikal bakal
pembentukan kementerian yang mengelola aspek kelautan pada masa sekarang.
Lembaga yang menangani kegiatan-kegiatan perikanan semasa pemerintahan kolonial
Belanda masih berada dalam lingkup Departemen van Landbouw, Nijverheid en handel
yang kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken. Kegiatankegiatan perikanan masa itu digolongkan sebagai kegiatan pertanian. Meski demikian,
terdapat suatu organisasi khusus yang mengurusi kegiatan perikanan laut di bawah
Departemen van Ekonomische Zaken. Organisasi tersebut adalah Onderafdeling Zee
Visserij dari Afdeling Cooperatie en Binnenlandsche Handel. Sedangkan untuk
menyediakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut terdapat suatu institut
penelitian pemerintah kolonial yang bernama Institut voor de Zee Visserij. Pada masa ini
juga telah ditetapkan UU Ordonansi tentang batas laut Hindia Belanda melalui
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, yang menetapkan bahwa lebar
laut wilayah Hindia Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau sampai sejauh 3 mil.
Semasa pendudukan Jepang 1942-1945, Departemen van Ekonomische Zaken berubah
nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Fungsi dan tugas departemen ini tidak berubah
dari fungsinya di zaman kolonial. Begitu pula halnya dengan lembaga penelitian dan
pengembangan, meski berubah nama menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan berpusat di
Jakarta tidak mengalami perubahan fungsi. Bahkan, UU tentang batas laut pun tidak
mengalami perubahan. Namun yang perlu dicatat justru adalah pada masa pendudukan
Jepang ini terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah. Pada masa ini, di
daerah-daerah dibentuk jawatan penerangan perikanan yang disebut Suisan Shidozo. Di
samping itu, pada masa ini terjadi penyatuan perikanan darat dengan perikanan laut,
walaupun tetap dimasukkan dalam kegiatan pertanian.
Masa Reformasi
Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu pula
perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan berbangsa dan
bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Di masa Orde
Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan.[2]
Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya
kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan
potensinya. Potensi sumber daya tersebut terdiri dari sumber daya yang dapat
diperbaharui, seperti sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya
laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain
dua jenis sumber daya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan
yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata
bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah yang mendasari
Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal
26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono
Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.
Selanjutnya pengangkatan tersebut diikuti dengan pembentukan Departemen Eksplorasi
Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136
Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak
berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan
perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan
Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1 Desember
1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi
Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden Nomor
147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah
Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165
Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.
Kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan
Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian
Kelautan dan Perikanan, sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan
Perikanan tidak mengalami perubahan.
Struktur Organisasi
Saat berupa Departemen
Dalam rangka menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000, pada
November 2000 telah dilakukan penyempurnaan organisasi DKP. Pada akhir tahun 2000,
diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan
Tugas Departemen, di mana organisasi DKP yang baru menjadi:
1. Menteri Kelautan dan Perikanan
2. Sekretaris Jenderal
3. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
4. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
6. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran
7. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
8. Inspektorat Jenderal
9. Badan Riset Kelautan dan Perikanan
10. Staf Ahli
Pertama, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.508 dan
garis pantai sepanjang 81.000 km tidak hanya sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia tetapi juga menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar dan
belum dimanfaatkan secara optimal.
Kedua, selama beberapa dasawarsa, orientasi pembangunan negara ini lebih
mangarah ke darat, mengakibatkan sumberdaya daratan terkuras. Oleh karena itu
wajar jika sumberdaya laut dan perikanan tumbuh ke depan.
Satuan Pendidikan
Badan Pengembangan Sumberdaya manusia Kelauatan
Perikanan (BPSDMKP)
Untuk mendukung tugas, pokok dan fungsinya, Badan ini memiliki Satuan Pendidikan
yang secara administrasi di bawah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kelautan dan Perikanan terdiri dari :
Program Kegiatan
Pengembangan Kualitas dan Standarisasi Peserta Didik.
Pengembangan Standar Kualifikasi dan Pembinaan Propesi Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Peningkatan dan Standarisasi Sarana dan Prasarana Pendidikan Kelautan dan
Perikanan.
Peningkatan Sistem dan Standarisasi Kurikulum Pendidikan
Pengembangan Jejaring Kerjasama Pendidikan
Pengembangan Kelembagaan Pendidikan
Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Kelautan dan Perikanan
Program unggulan
1. Info Beasiswa
Upaya menyiapkan dan menghasilkan sumber daya manusia kelautan dan perikanan yang
handal dan professional perlu didukung dengan peningkatan sistem pendidikan dan
pelatihan khususnya dalam bentuk pendidikan formal; tetapi tingginya biaya pendidikan
formal tetap menjadi masalah klasik nan krusial.
Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan sebagai insititusi dibawah
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang bertanggung jawab dalam usaha peningkatan
kualitas SDM kelautan dan perikanan, setiap tahun membuka kesempatan bagi lulusan
SLTP dan SMU untuk melanjutkan pendidikan di bidang kelautan dan perikanan melalui
program beasiswa.
Selain beasiswa untuk lulusan SMA, BPSDMKP juga memiliki dana penunjang
pendidikan dalam bentuk bantuan SPP/beasiswa bagi PNS yang ingin melanjutkan
pendidikan seusai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Program beasiswa ini merupakan suatu upaya peningkatan pengetahuan dan
profesionalisme SDM kelautan dan perikanan bagi semua pelaku utama sektor kelautan
dan perikanan.
2. Sertifikasi
Konvensi Standards on Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel
Personnel (STCW-F) 1995
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut (United Nation Convention on Law
of the Sea - UNCLOS 1982) dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Konsekwensinya bahwa pemerintah RI tunduk pada semua aturan yang ada dalam
konvensi hukum laut 1982 dan mengimplementasikannya dalam peraturan nasional. Ada
beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan kapal perikanan yang perlu
mendapat perhatian untuk mendapat pengesahan dari pemerintah RI, STCW 1995
merupakan salah satu turunan dari Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut.
Dalam hal ini, keahlian para pelaut dibuktikan dengan sertifikat kepelautan berstandar
internasional STCW-F 1995 untuk dapat diterima di tingkat nasional maupun
internasional sehingga para pelaut yang akan bekerja di kapal-kapal penangkap ikan
asing mampu bersaing dengan pelaut dari negeri lain dan dapat menduduki jabatan
nakhoda atau perwira pada kapal-kapal luar negeri.
Untuk menghasilkan awak kapal perikanan yang berkualitas seperti diwajibkan oleh
Konvensi Internasional mengenai STCW-F 1995, maka penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan awak kapal perikanan harus memenuhi standar pelatihan, sertifikasi dan tugas
jaga sebagaimana ditentukan di dalam Konvensi STCW-F. Hal ini berarti bahwa proses
belajar-mengajar beserta fasilitasnya dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
awak kapal perikanan harus mengikuti ketentuan Konvensi STCW-F 1995.
Tujuan pengesahan SCTW-F 1995 bagi awak kapal perikanan di Indonesia adalah untuk
meningkatkan standar pendidikan, pelatihan, sertifikasi dan tugas jaga bagi awak kapal
perikanan,memposisikan awak kapal perikanan agar memperoleh pengakuan
internasional sesuai keahlian, sehingga awak kapal perikanan mempunyai peluang kerja
di atas kapal perikanan di dalam dan luar negeri,untuk meningkatkan keselamatan jiwa
dan harta benda di laut serta perlindungan lingkungan laut.
Pemberlakuan Konvensi STCW-F 1995 ini sangat berkaitan, antara lain, dengan
Konvensi Internasional Torremolinos tentang Keselamatan Bagi Kapal Penangkap Ikan
(Torremolinos Safety of Fishing VesselConvention) 1993, Konvensi-konvensi ILO seperti:
Code of Conduct for Responsible Fishing, Code of Conduct for Responsible Fishery,
Works in Fishing Sector Convention 2007 dan konvensi-konvensi IMO/ILO/FAO lainnya.
Paket Kejar Ikan adalah kegiatan pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dalam rangka membantu warga masyarakat yang tidak dapat melanjutkan
sekolah pada jalur normal. Program ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan serta
keterampilan bagi anak-anak, remaja dan masyarakat dalam bidang kelautan dan
perikanan.
Tujuan Pelaksanaan Paket Kejar Ikan adalah:
pelaporan
secara
terencana,
tersistem,
terpadu
dan
berkesinambungan oleh pemangku kepentingan (stakeholder) baik
pemerintah (Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota) maupun masyarakat. Hal
tersebut ditujukan agar kelembagaan P2MKP dapat dikelola secara
lebih baik, sarana prasarana dan ketenagaan ditingkatkan, pelatihan
yang terstandar dapat diselenggarakan, usaha dan jejaring kerja
ditingkatkan, dan secara formal diakui status dan peranannya oleh
masyarakat.
Di bidang pertanian, Kementerian Pertanian sejak lama telah membina
P4S (Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya) sebagai
lembaga pelatihan kewirausahaan masyarakat di bidang pertanian
yang identik dengan P2MKP di bidang kelautan dan perikanan.
Kementerian Pertanian mengatur pembinaan tersebut dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 03/Permentan/ PP.410/1/2010 tentang
Pedoman Pembinaan Kelembagaan Pelatihan Pertanian Swadaya (P4S),
sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menetapkan
peraturan tersendiri tentang Pembentukan dan Pengembangan P2MKP.
Melalui identifikasi P2MKP yang serempak dan tersistem, diperkirakan
animo calon P2MKP lebih banyak karena unit produksi bidang kelautan
dan perikanan sangat variatif. Secara de facto, lembaga pelatihan
kewirausahaan kelautan dan perikanan yang dikelola masyarakat yang
akan ditetapkan sebagai P2MKP sudah tumbuh. Sudah saatnya,
mereka diberikan pembinaan secara terencana, tersistem, terpadu
serta berkesinambungan.
Peran P2MKP sangat dibutuhkan dalam rangka (a) efektivitas dan
efisiensi penyelenggaraan pelatihan di kawasan Minapolitan sebanyak
47.000 orang tahun 2011-2014 sementara UPT pelatihan yang ada 6
unit; (b) meningkatkan pencapaian target pelatihan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan target latih di P2MKP; (c) bentuk
pembinaan bagi lembaga pelatihan kewirausahaan masyarakat di
bidang kelautan dan perikanan.
B. Pengertian
1. Pusat Pelatihan Mandiri Kelautandan Perikanan
(P2MKP) adalah lembaga pelatihan di bidang kelautan dan
perikanan yang didirikan, dimiliki dan dikelola oleh pelaku utama
secara swadaya baik perorangan maupun kelompok.
2. Pembina P2MKP adalah personil Pemerintah Pusat (Badan
Pengembangan SDMKP melalui Pusat Pelatihan Kelautan dan
Perikanan khususnya 6 UPT pelatihan, Direktorat Jenderal dan
10
C.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009;
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional;
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.09/MEN/2008 tentang Penyelenggaraan Pelatihan di
Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.12/MEN/2010 tentang Minapolitan
------------------------------
11
12
BBRSEKP dipimpin oleh seorang Kepala dan mempunyai tugas melaksanakan riset
strategis sosial ekonomi kelautan dan perikanan meliputi sosial ekonomi dan
kelembagaan pengelolaan sumber daya, pengembangan usaha dan perdagangan
internasional berdasarkan kebijakan teknis Kepala Badan Penelitian dan pengembangan
Kelautan dan Perikanan.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, BBRSEKP menyelenggarakan fungsi:
1. perencanaan dan perumusan bahan kebijakan teknis dan penyerasian program
serta kegiatan riset strategis sosial ekonomi kelautan dan perikanan;
2. pembinaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program serta kegiatan riset
strategis sosial ekonomi kelautan dan perikanan;
3. pelayanan jasa dan kerja sama riset strategis sosial ekonomi kelautan dan
perikanan;
4. pelaksanaan diseminasi, komunikasi, dokumentasi, dan publikasi hasil riset;
5. pembinaan dan pengembangan sumber daya riset;
6. pengelolaan urusan keuangan, rumah tangga, dan tata usaha.
Peran dan fungsi BBRSEKP di saat ini dan masa mendatang dituntut untuk menghasilkan
riset sebagai basis kebijakan yang lebih efektif dan berdaya guna. BBRSEKP juga
didorong untuk melakukan sinergi yang kuat dengan pemangku kepentingan, lembaga
riset sejenis serta penggiat penelitian sosial ekonomi kelautan dan perikanan. BBRSEKP
harus mampu mendorong komunikasi dan pertukaran informasi terbaru yang lebih dapat
membuka wawasan dan memperkaya khasanah riset inovatif yang dihasilkan.
Adapun yang menjadi Visi dan Misi BBRSEKP, yaitu:
VISI
"Menjadi institusi terkemuka dalam melakukan riset dan penyedia data/informasi IPTEK
yang akurat di bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan untuk mendukung
perwujudan kesatuan anak bangsa".
MISI
1. Mewujudkan sumberdaya riset yang handal dan mandiri di bidang sosial ekonomi
kelautan dan perikanan;
2. Menghasilkan data dan informasi ilmiah serta hasil analisis sistem sosial,
ekonomi, budaya, hukum dan iptek untuk menunjang perumusan dan pelaksanaan
serta evaluasi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan;
3. Meningkatkan pemanfaatan hasil riset untuk pemangku kepentingan kelautan dan
perikanan
13
14
1970-1980, kerusakan pantai juga disebabkan oleh pembangunan krib oleh para
pemilik hotel. Untuk melindungi pantainya yang terus berkurang, para pemilik
hotel secara sendiri-sendiri, tanpa konsultasi dengan instansi teknis terkait,
membangun krib tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pantai di
sekitarnya (Sulaiman et. al., 2003). Pantai sekitar yang terkena dampak,
selanjutnya melakukan hal yang sama, sehingga akibatnya seluruh pantai menjadi
rusak tak terkendali. Kejadian ini tidak lepas dari longgarnya pengawasan dan
belum adanya aturan perijinan dari instansi teknis terkait pembangunan krib.
dan Kuta (SAMIGITA) yang merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan.
Mereka tidak setuju dengan desain bangunan pengaman pantai yang sifatnya
menjorok ke laut seperti krib.
Gambar 3. Peta Lokasi Pantai Nusa Dua (Yusha and Onaka, 2006)
Landasan pacu Lapangan Terbang Ngurah Rai, yang dibangun memanjang
masuk ke perairan pantai, mirip krib raksasa yang membendung aliran sedimen
menyusur pantai, dianggap sebagai penyebab utama timbulnya erosi di sepanjang
Pantai Kuta. Oleh karena itu, masyarakat mengalami trauma dan menolak desain
krib yang ditawarkan oleh pemerintah. Melalui negosiasi dan sosialisasi, antara
lain dengan menggunakan jasa konsultan publik, Pemerintah Provinsi Bali
menyerahkan sepenuhnya apa yang diinginkan masyarakat (Sulaiman et.al.,
2003). Kesepakatan akhirnya dicapai dengan mengganti struktur krib dengan
revetmen, ditambah pemecah gelombang lepas pantai sebagai bangunan penahan
pasir. Selanjutnya, rehabilitasi pantai Kuta dimulai pada tahun 2006 dan selesai
pada tahun 2008.
III. POLA PENGELOLAAN PANTAI
3.1.
Pengelolaan Pantai Secara Terpadu
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources
Management/IWRM) merupakan suatu proses yang mendorong terjadinya
koordinasi diantara para pemangku kepentingan dalam pengembangan dan
pengelolaan air, tanah, dan sumber daya terkait, dalam rangka mengoptimalkan
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa
mengganggu keseimbangan lingkungan (GWP, 2001). Di dalam Undang-undang
No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air terdapat tiga komponen
pengelolaan, yaitu fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
Pasal 3 UU No. 7/2004 menyatakan bahwa sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan secara menyeluruh mencakup
semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan
pengendalian daya rusak air, serta meliputi satu sistem pengelolaan secara utuh
yang mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi. Pengelolaan sumber daya air secara terpadu, merupakan pengelolaan
yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, antar sektor,
dan antar wilayah. Di samping itu, pengelolaan sumber daya air juga harus
berwawasan lingkungan hidup, berarti memperhatikan keseimbangan ekosistem
16
dan daya dukung lingkungan. Akhirnya, pengelolaan sumber daya air juga harus
berkelanjutan, yang berarti bahwa pengelolaan tidak hanya ditujukan untuk
kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan
datang.
Seperti sumber daya air lainnya, pantai juga mempunyai fungsi sosial,
fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan. Pantai mempunyai fungsi sosial, karena
pantai merupakan ruang terbuka yang diperlukan bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai kegiatan, seperti rekreasi, olah raga, keagamaan, dan lainlain. Oleh karena itu, pantai seharusnya dapat diakses oleh setiap orang. Pantai
juga mempunyai fungsi ekonomi, karena berbagai bentuk kegiatan ekonomi
seperti perikanan, pariwisata, dan perdagangan berlangsung di pantai. Mengingat
fungsi sosial dari pantai, maka kegiatan ekonomi yang berlangsung di pantai perlu
diatur dan dikendalikan. Selain itu, pantai juga mempunyai fungsi lingkungan
yang berarti bahwa pantai merupakan bagian dari ekosistem, sekaligus sebagai
tempat berlangsungnya kehidupan berbagai jenis flora dan fauna. Untuk itu,
kualitas lingkungan pantai hendaknya selalu dijaga keberlanjutannya.
Pantai hendaknya dikelola secara menyeluruh, terpadu, berwawasan
lingkungan, dan berkelanjutan. GWP (2009) menyatakan tujuh prinsip
pengelolaan sumber daya air terpadu ( IWRM), yaitu (1) pengelolaan sumber daya
air hendaknya dilakukan dalam satu sistem sungai, satu rencana induk, dan
diimplementasikan oleh banyak lembaga dalam satu manajemen terkoordinasi
dengan pendekatan wilayah sungai sebagai kesatuan pengelolaan; (2)
pendayagunaan sumberdaya air harus diimbangi dengan upaya konservasi yang
memadai; (3) proses penyusunan rencana pengelolaan diselenggarakan dengan
melibatkan semua unsur pemangku kepentingan; (4) penetapan kebijakan
pengelolaan sumber daya air hendaknya diselenggarakan secara demokratis; (5)
implementasi kebijakan dilaksanakan oleh badan pengelola yang profesional dan
akuntabel; (6) masyarakat harus dilibatkan dalam keseluruhan proses pengelolaan;
dan (7) biaya pengelolaan menjadi tanggung jawab seluruh penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air. Sebagai bagian dari suatu wilayah sungai,
pengelolaan pantai hendaknya merupakan bagian dari pengelolaan wilayah
Pasal 3 UU No. 7/2004 menyatakan bahwa sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan secara menyeluruh mencakup
semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan
pengendalian daya rusak air, serta meliputi satu sistem pengelolaan secara utuh
yang mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi. Pengelolaan sumber daya air secara terpadu, merupakan pengelolaan
yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, antar sektor,
dan antar wilayah. Di samping itu, pengelolaan sumber daya air juga harus
berwawasan lingkungan hidup, berarti memperhatikan keseimbangan ekosistem
dan daya dukung lingkungan. Akhirnya, pengelolaan sumber daya air juga harus
berkelanjutan, yang berarti bahwa pengelolaan tidak hanya ditujukan untuk
kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan
datang.
Seperti sumber daya air lainnya, pantai juga mempunyai fungsi sosial,
17
fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan. Pantai mempunyai fungsi sosial, karena
pantai merupakan ruang terbuka yang diperlukan bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai kegiatan, seperti rekreasi, olah raga, keagamaan, dan lainlain. Oleh karena itu, pantai seharusnya dapat diakses oleh setiap orang. Pantai
juga mempunyai fungsi ekonomi, karena berbagai bentuk kegiatan ekonomi
seperti perikanan, pariwisata, dan perdagangan berlangsung di pantai. Mengingat
fungsi sosial dari pantai, maka kegiatan ekonomi yang berlangsung di pantai perlu
diatur dan dikendalikan. Selain itu, pantai juga mempunyai fungsi lingkungan
yang berarti bahwa pantai merupakan bagian dari ekosistem, sekaligus sebagai
tempat berlangsungnya kehidupan berbagai jenis flora dan fauna. Untuk itu,
kualitas lingkungan pantai hendaknya selalu dijaga keberlanjutannya.
Pantai hendaknya dikelola secara menyeluruh, terpadu, berwawasan
lingkungan, dan berkelanjutan. GWP (2009) menyatakan tujuh prinsip
pengelolaan sumber daya air terpadu ( IWRM), yaitu (1) pengelolaan sumber daya
air hendaknya dilakukan dalam satu sistem sungai, satu rencana induk, dan
diimplementasikan oleh banyak lembaga dalam satu manajemen terkoordinasi
dengan pendekatan wilayah sungai sebagai kesatuan pengelolaan; (2)
pendayagunaan sumberdaya air harus diimbangi dengan upaya konservasi yang
memadai; (3) proses penyusunan rencana pengelolaan diselenggarakan dengan
melibatkan semua unsur pemangku kepentingan; (4) penetapan kebijakan
pengelolaan sumber daya air hendaknya diselenggarakan secara demokratis; (5)
implementasi kebijakan dilaksanakan oleh badan pengelola yang profesional dan
akuntabel; (6) masyarakat harus dilibatkan dalam keseluruhan proses pengelolaan;
dan (7) biaya pengelolaan menjadi tanggung jawab seluruh penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air. Sebagai bagian dari suatu wilayah sungai,
pengelolaan pantai hendaknya merupakan bagian dari pengelolaan wilayah
sungai. Dengan demikian, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air seperti
diuraikan di atas, juga harus diterapkan pada pengelolaan pantai.
3.2.
Pengelolaan Pantai di Pulau Bali Saat Ini
Pantai-pantai di Pulau Bali mempunyai fungsi yang beragam, antara lain
untuk kepentingan: (a) nelayan; (b) olah raga air, seperti renang, selancar, para
sailing; (c) wisata bahari, seperti diving, snorkling; (d) rekreasi; (e) tempat
berlangsungnya kegiatan sosial dan ekonomi; dan (f) penyelenggaraan kegiatan
ritual keagamaan. Oleh karena itu, pengelolaan pantai di Pulau Bali menghendaki
diterapkannya pengelolaan secara terpadu guna menghindari konflik antara
berbagai kepentingan tersebut.
Pengelolaan pantai selama ini dilaksanakan oleh suatu lembaga pengelola
yang terdiri atas Badan Koordinasi, Unit Pelaksana Teknis, dan Pelaksana
Lapangan, dengan susunan organisasi seperti diperlihatkan pada Gambar 4.
Organisasi pengelola pantai ini merupakan keterpaduan antara instansi pemerintah
pusat yang ada di daerah, yaitu Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida,
Pemerintah Propinsi Bali, Pemerintah Kota Denpasar, Pemerintah Kabupaten
Badung, Pemerintah Kabupaten Tabanan, dan unsur masyarakat, seperti desa adat,
18
Gambar4.WadahKoordinasidanPelaksanaPengelolaanPantai(Ditjen
SDA,2004)
19
UnsurKoordinasi
WADAH KOORDINASI
Ketua
:Gubernur/WklGubernur
WakilKetua
:KepalaBappedaProp.Bali
Sekretaris:KepalaDinasPUPropinsiBali
Anggota
:1.KepalaSubDinasTerkait
2.DesaAdat
3.LembagaSwadayaMasyarakat
Setempat
4.UnsurPariwisatadanPengguna
Pantai
PEMERINTAH
PUSAT
Pengusulandana
Penunjangteknis
monitoringdananalisis
UnitPelaksanaTeknis
InstansiTerkaityangDitunjuk
SeksiInformasidan
Pembinaan
SeksiPemeliharaan
STAF
STAF
STAF
PengamatPantai
Mandor
Mandor
DesaAdat
Keterangan
:
komando
koordinasi
Data dan informasi di bidang pantai dan kelautan telah banyak
dikumpulkan, namun seringkali data tersebut tidak tersedia pada saat dibutuhkan,
karena terkendala oleh sistem pengarsipan data yang tidak baik. Melalui
pengembangan sistem informasi pantai, yang merupakan suatu prosedur
sistematik yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, pemeliharaan, dan
perolehan kembali, kendala tersebut bisa diatasi.
Untuk mendukung perencanaan terpadu, perlu dilakukan digitasi data dan
20
diolah ke dalam peta tematik dan peta yang ditumpang susun (over-lay). Hal ini
dapat dibuat dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Melalui
sistem ini, berbagai pihak yang terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan pantai
dapat mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang
paling optimal. Pemanfaatan produk teknologi sistem informasi pantai dan sistem
informasi geografis memerlukan sumber daya manusia yang memadai. Untuk itu
diperlukan pelatihan secara sistematis dan berjenjang, sehingga aparat-aparat di
daerah dan pusat dapat mengembangkan sistem informasi geografis ini dalam
perencanaan dan pengelolaan sumber daya pantai dan lautan.
Kegiatan monitoring diperlukan sebagai bahan evaluasi dari desain yang
direncanakan dan untuk merencanakan program pemeliharaan, karena setelah
bangunan selesai dikerjakan, secara bertahap cenderung mengalami penurunan
fungsi atau terjadi kerusakan-kerusakan, terutama bangunan-bangunan yang
langsung terkena gelombang maupun arus. Data hasil monitoring tersebut
disimpan dalam suatu sistem informasi pantai jangka panjang sebagai bahan
perencanaan pemeliharaan garis pantai berkelanjutan.
sungai. Dengan demikian, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air seperti
diuraikan di atas, juga harus diterapkan pada pengelolaan pantai.
21
22