Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak Allah menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, Allah telah
berikan kepadanya ajaran yang menjadi petunjuk kehidupan yang benar,
yang menjamin umat manusia dapat menciptakan kemaslahatan hidup bagi
manusia sendiri dan makhluk-makhluk lainnya. Ajaran yang berisi
petunjuk kehidupan yang benar itu kemudian pada saat penurunannya
yang terakhir kepada rasulullah Muhammad saw, allah beri nama Islam.
Karena itu Allah melarang manusia meragukan kebenaran yang Allah
berikan kepada manusia sebagaimana Allah nyatakan dalam QS. 2 (alBaqarah): 147 yang artinya: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab
itu

jangan sekali-kali

kamu termasuk orang-orang

yang

ragu.

Kebersamaan kebenaran pada semua ajaran yang Allah berikan kepada


semua unat manusia itu dinyatakan pada QS. 3 (Ali Imran): 3 yang
artinya: Dia menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu dengan
sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil. Kebenaran identik dengan kemaslahatan,
karena hanya kebenaranlah yang mampu mewujudkan kemaslahatan dan
mencegah
penderitaan.

timbulnya
Petunjuk

kerusakan
kebenaran

yang
yang

mengakibatkan
menjamin

timbulnya
terwujudnya

kemaslahatan hidup umat manusia. Bahkan bagi semua makhluk itu


merupakan wujud dari rasa kasih saying Allah yang menyebabkan tidak
dicabutnya rahmat Allah dari manusia yang durhaka dalam kehidupan
dunia ini.

B. Rumusan Masalah
Beberapa yang menjadi topik sentral permasalahan dalam makalah
ini yang akan dibahas adalah:
1. Kendala apa yang menjadi permasalahan dalam mencapai kerukunan
umat beragama di Indonesia?
2. Apakah pengertian masyarakat madani?
3. Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat
madani ?

C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1. Agar mahasiswa dapat memahami pentingnya kebersamaan umat
beragama dalam kehidupan sosial
2. Untuk memahami pengertian konsep masyarakat madani.
3. Untuk memahami peran umat islam dalam mewujudkan
masyarakat madani.
D. Manfaat
Umat Beragama Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat
dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan
stabilitas dan kemajuan Negara.

BAB II
ISI
A.

Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia


Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat
dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan

penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai


persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat
beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar
dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga,
kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangankalangan atas/orang kaya saja. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya
sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya
salah satu faktor dari kehidupan manusia.
Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena
memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita
mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segisegi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling
mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agamaagama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting.
Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa
hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi
penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu
pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering
kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru
dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori
terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas
kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling
pengertian.
Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain
dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta
penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang
kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu
sama lain.
1. Kendala-Kendala
a. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam
komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia,
adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance)

sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai


akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter)
antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang
sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan
mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog
yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang
berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama
lain.
Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain,
tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan
cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi
hanyalah

perjumpaan

tak

langsung,

bukan

perjumpaan

sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan


diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan
timbullah yang dinamakan konflik.
b. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting
sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan antar
umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling
penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan
antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama
bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan
demikian kita pun hampir memetik buahnya.
Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut
memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorakporandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya
merontokkan bangunan dialog yang sedang kita selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya
menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari
itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudarasaudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa
politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak

mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik


juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
c. Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif
juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia
telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat
dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni
pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan
tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka
masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang
benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin
selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang
non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di
sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis
karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu,
Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu
pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama
dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang
berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu
saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini.
Kelompok
Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama
gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan
keimanan dan mereka yang berada di luar untuk masuk dan
bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung
dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan
abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap
sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang
berlebihan.

Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor


tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik
sekejap maupun berkepanjangan.
2. Solusi
a. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan
kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi
pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam
perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir,
sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai
sejarah konvensional dikembangkan dengan mencakup bidangbidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan
apa yang disebut sebagai sejarah baru (new history). Sejarah
model mutakhir ini lazim disebut sebagai sejarah sosial (social
history) sebagai bandingan dari sejarah politik (political
history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan
Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat
mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua
agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi
berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada
gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai
(peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang
berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan
juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa
datang.

Sejalan

dengan

peningkatan

globalisasi,

revolusi

teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan


gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada
lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif,
terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya.
Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan

dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh


sebagian orang dipandang sebagai sebuah negara Kristen, telah
berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam.
Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami
kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian
besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama
yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu
tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial
yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik
sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini
seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian
lebih

sering

menjadi

feature

utama.

Kedamaian

dalam

perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran


(exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang
yang secara longgar dapat disebut sebagai non-agama.
Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif
menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog
antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di
Indonesia

maupun

pada

tingkat

internasional;

ini

jelas

memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai


pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan,
pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
b. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk
menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai
antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis.
Sebaliknya,

kita

perlu

dan

seharusnya

mengembangkan

optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan


dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap
optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agamaagama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan

berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar


negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan
Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah
Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas
Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi
pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham
keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih
manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama,
seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan
sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme
agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin
sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan
antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik
secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang
lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang
tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini
seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama,
tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama
dan umat atau jemaatnya. Kita lebih mementingkan bangunanbangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut,
tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan
serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran
agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam
menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi
mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh
pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu.
Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi
semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan
mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan
8

ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya.


Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin
agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di
negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik
dan

tidak

lagi

menebar

teror

untuk

mengadu

domba

antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian
diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita
para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup
berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai
lawan
B. Pengertian Konsep Masyarakat Madani
1. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani memiliki banyak pengertian yang telah
dikemukakan oleh beberapa pakar diberbagai negara yang mengaji dan
mempelajari tentang fenomena masyarakat madani, antaranya:
Masyarakat madani diistilahkan pertama kali oleh mantan Wakil
Perdana Menteri Malaysia,

Anwar Ibrahim. Menurut Ibrahim,

masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan


prinsip moral yang menjamin keseimbangan taraf kebebasan individu
dengan kestabilan masyarakat.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari
masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba ayat 15:

Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada

mereka

dikatakan):

"Makanlah

olehmu

dari

rezeki

yang

(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)


9

adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun".
2. Karakteristik Masyarakat Madani
Masyarakat madani membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi
prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas
masyarakat madani.
a. Wilayah Publik yang Bebas
Adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat masyarakat. Di wilayah ruang publik ini
semua warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk
melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasa takut dan terancam
oleh kekuatan-kekuatan di luar civil society. Mengacu pada Arendt
dan Habermas, ruang public juga dapat diartikan sebagai wilayah
bebas di mana semua warga negara memiliki akses penuh dalam
kegiatan yang bersifat publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya
civil society yang sesungguhnya, ketiadaan wilayah publik bebas ini
pada suatu negara dapat menjadi suasana tidak bebas di mana negara
mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan sosial
politiknya.
b. Demokrasi
Demokrasi

adalah

prasyarat

mutlak

lainnya

bagi

keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi,


masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum, demokrasi
adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan
oleh, dari, dan untuk warga Negara.

10

Demokratisasi dapat diwujudkan melalui :


a) Toleransi, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat
serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain.
Tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah
diberikan oleh Allag sebagai kebebasan manusia.
b) Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan
pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta
tanggung jawab individu terhadap lingkungannya
c) Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut

adalah

masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan


menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur
kehidupan sosial.
d) Damai, artinya masing-masing kelompok masyarakat, baik
secara individu maupun secara kelompok menghormati pihka
lain secara adil.
e) Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu
lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
f) Berperadaban tinggi, yaitu masyarakat tersebut memiliki
kencintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan
kemajuan ilmu pengtahuan untuk memberikan kemudahan dan
meningkat harkat martabat manusia.
g) Berakhlak Mulia.
h) Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan
terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral,
artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum
yang sama tanpa kecuali
c. Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati
perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan
berbeda orang lain, toleransi, mengacu pandangan Nurcholis
Madjid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan
ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan
yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda,

11

maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari
pelaksanaan ajaran yanng benar. Dalam perspektif ini, toleransi
bukan sekedar tuntutan sosial masyarakat majemuk belaka, tetapi
sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajaran moral
agama.
Senada dengan Madjid, Azra menyatakan bahwa dalam
kerangka

menciptakan

berkeadaban

kehidupan

(tamaddun/

yang

civility),

berkualitas

masyarakat

dan

madani

menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individuindividu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di
kalangan warga bangsa.
d. Pluralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi
civil society. Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus
mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, tetapi
harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan
perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang
bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya
dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang
nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. Secara
teologis, tegas Madjid, kemajemukan sosial merupakan dekrit
Allah untuk umat manusia.
e. Keadilan
Keadilan

sosial

adalah

adanya

keseimbangan

dan

pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap


warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan

12

pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan


pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh
kelompok atau golongan tertentu.

C. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani


Sifat kemodernan dalam kaitannya dengan masyarakat madani
muncul dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai gantinya, kemodernan
sebuah politik yang sitandai oleh, antara lain, adanya struktur masyarakat
madani lebih merujuk pada sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan
politik tersebut. Hal ini tidak aneh, karena dari sudut konsepsi, bangunan
masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan oleh para pemikir
dan filsuf lama: Plato, Aristotheles, Hobbes, Locke, Rosseau, Bentham,
Hume, dan sebagainya.
Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan antara
islam dengan masyarakat madani. Ungkapan apresiatif atau yang bersifat
menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau barat, yang
mengatakan bahwa ada kesesuaian antara islam dan konsep masyarakat
madani, bahkan kenyataan itu pernah ada dalam kehidupan nyata
masyarakat islam, barang kali orang akan menilai bahwa ini merupakan
suatu penilaian yang objektif. Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat,
Robert N. Bellah misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya bangunan
politik yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika berada di
Madinah, adalah bersifat sangat modern. Memang bukan organisasi atau
lembaga di luar negara yang berkembang pada waktu itu, tetapi dimensidimensi lain yang ada dalam bangunan konsep masyarakat madani. Hal itu
tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah),
yang oleh para ilmuwan politik, dianggap sebagai konstitusi pertama
sebagai negara. Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya
kehidupan masyarakat madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad

13

adalah prinsip kesamaan, keadilan, dan partisipasi. Dalam konstitusi itu


disebutkan,

bahwa pluralitas

suku yang

diikatkan

dalam

suatu

kesepakatan, bersama, dan dianggap sebagai umat. Tentu, umat disini


bukan dalam arti agama tetapi warga negara. Karenanya, dengan enak bani
aus yahudi itu juga disebut dengan umat Madinah. Adanya aturan-aturan
yang tegas ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah,
yang mengakui diterapkannya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan
musyawarah merupakan ciri-ciri awal terbentuknya kehidupan politik
modern, yang antara lain ditandai dengan munculnya semangat masyarakat
madani. Disitu, yang ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sebanding dengan kehidupan politik
demokratis meskipun masih dalam bentuk dan strukturnya yang
sederhana.
Dalam kerangka ini pernyataan yang muncul kemudian adalah dari
mana sumber transformasi atau perubahan itu berasal. Tak ada satu
jawaban yang lebih pasti bagi kita untuk mengatakan bahwa faktor
pendorong itu adalah islam. Karena sejak muncul dan berlembangnya
islam disana meskipun dalam tahap awal transformasi atau perubahan
masayarakat secara besar-besaran terjadi disana, baik dilihat dari sudut
pandang keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan sosial budaya,
ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama proses
perubahan dari situasi jahiliyah ke berperadaban ditegaskan oleh alQuran, bahwa salah satu fungsi islam adalah membawa atau
mengeluarkan masayarakat dari alam kegelapan menuju alam terang.
Dalam kehadiran islam adalah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan
ke terang benderang. Sebanding dengan itu, yang lebih popular adalah
kehadiran islam adalah rahmat bagi alam semesta.
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial
umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam
menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan
teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya.
Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
14

ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd,
Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 :



Artinya Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat
Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah
ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas
SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang
dimaksud dalam Al-Quran itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan
dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa
hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat
landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi
Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal
tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan
penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan citacita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman
maka perlu ditekankan untuk mewujudkan masyarakat madani selain apa yang
sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW, antara lain:
1. Membangkitkan semangat islam melalui pemikiran islamisasi ilmu
pengetahuan, islamisasi kelembagaan ekonomi melalui lembaga ekonomi
dan perbankan syariah dan lain-lain.
15

2. Kesadaran untuk maju dan selalu bersikap konsisten terhadap moral atau
akhlak islami.
3. Menegakkan hukum islam dan ditegakkannya keadilan dengan disertai
komitmen yang tinggi.
4. Ketulusan ikatan jiwa, sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang
lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini
5. Adanya pengawasan sosial.
6. Menegakkan nilai-nilai hubungan sosial yang luhur dan prinsip demokrasi
(musyawarah).

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut :
a. Menyarakat madani merupakan suatu wujud masyarakat yang
memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas,
supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan
untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan
berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan
merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan
masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada
16

era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa


pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, ke
arah masyarakat madani yang dicita-citakan.
b. Di indonesia konsep masyarakat madani ini sangat bertolak
belakang dengan penerapannya. Politik, ekonomi, sosbud serta
hukum di Indonesia telah jauh dari nilai kemadanian malah
sebaliknya Edan-ni. Namun kita harus melihat positifnya, bahwa
masih ada kesempatan besar untuk memperbaiki masyarakat kita
yang sudah mendekatai taraf menyedihkan ini.
c. Mahasiswa seharusnya mampu berperan untuk mewujudkan
masyarakat madani. Berbagai cara bisa ditempuh mahasiswa
untuk hal itu. Misalnya: lewat pewacanaan, pengabdian berupa
desa binaan, serta membangun skill kewirausahaan.

17

Anda mungkin juga menyukai