A. Definisi
Sirosis hepatis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah
besar dan seluruh sistem arsitektur hepar mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan
terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi
19
(12)
virus hepatitis B dan C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis
B menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui, alkohol sebagai penyebab sirosis hati di Indonesia mungkin
frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya 11.
C. Patogenesis
Aktifasi SSH (sel stelata hepar) adalah respon yang terprogram yang terjadi dalam
urutan rangkaian yang saling mempengaruhi. Fase pertama dikenal sebagai inisiasi atau
fase pre inflamasi. Inisiasi mencakup perubahan cepat dalam ekspresi gen dan fenotip
yang menyebabkan respon sel terhadap sitokin-sitokin dan stimulus lainnya. Inisiasi
berhubungan dengan proses transkripsi dan induksi gen-gen awal secara segera. Fase
kedua dikenal sebagai perpetuasi, dimana terjadi penguatan fenotip teraktifasi dengan
memperkuat ekspresi dan respon dari sitokin. Komponen aktifasi berasal dari stimulasi
autokrin dan parakrin. (3,8,14).
Stimuli yang mengawali aktifasi SSH akan menyebabkan perubahan yang sangat
halus pada komposisi matriks seluler. Hepatosit dan sel Kuffper merupakan sumber yang
potensial dari reactive oxygen intermediates (ROI) dimana senyawa-senyawa ini
menyebabkan stimulasi perakrin dari SSH. Kerja senyawa ini diperkuat oleh deplesi
antioksidan pada sel hepar yang sakit. Hepatosit yang mengalami stress oksidatif
meningkatkan proliferasi dan sintesis kolagen. Ekspresi berlebihan enzim sitokrom
P4502E1 dalam SSh yang menyebabkan ROI akan merangsang ekspresi gen kolagen I,
dimana efek ini dapat dikurangi oleh antioksidan. (3,8,14).
Sel endotel mempunyai dua peranan pada aktifasi SSH. Perlukaan pada sel endotel
sinusoid akan merangsang produksi varian lanjutan dari fibroektin seluler ( EIIA
isoform ) yang akan berefek mengaktifasi SSH. Sel endotel mengubah transforming
growth factor-1 dari bentuk laten menjadi bentuk aktif fibrogenik melalui aktifasi
plasmin. (3,8,14).
Pendekatan molekuler untuk mengungkap regulasi gen SSH pada fase aktifasi awal
berhasil mengidentifikasi gen-gen yang berbeda. Proses cloning gen Kruppel-like factor
(KLF) zinc finger, Zf9/COPEB/GBF yang dikenal juga sebagai KLF6 dapat
mengidentifikasi proses regulasi gen pada aktifasi awal SSH, KLF6mRNA dapat
diinduksi secara cepat pada perlukaan hepar secara invivo dan pada biakan jaringan
dimana gen ini dapat meregulasi akumulasi matriks ekstra seluler. Sp1, kelompok dari
KLF berperan dalam aktifasi SSH, dan Basic transcription element binding protein 1
(BTEB1) menyebabkan peningkatan ekspresi gen kolagen. (3,8,14).
Perpetuasi dari aktifasi SSH melibatkan respon-respon fenotip penting yang
diakibatkan oleh peningkatan efek sitokin dan remodeling matriks ekstra seluler dimana
percepatan respon sitokin terjadi melalui banyak mekanisme dimana yang paling
menonjol adalah peningkatan ekspresi reseptor membrane sel dan percepatan proses
penyampaian sinyal. Reseptor tirosin kinase (RTKs) yang juga menyebabkan respon SSh
terhadap sitokin diperbanyak dalam jumlah besar selama perlukaan hepar. (3,8,14).
Tempat matrik sub endotel berdensitas rendah secara progresif diduduki oleh kolagen
yang kaya akan pembentuk fibril. Pergeseran yang fundamental dalam komposisi matrik
ini berpengaruh terhadap sifat dan kebiasaan hepatosit, endotel sinusoid, dan SSH. MES
pembentuk fibril mempercepat aktifasi SSh melalui interaksi integrin, dan perlekatan
dengan respetor tirosin kinase (3,8,14).
Respon fenotip SSH mempunyai ciri tersendiri. Respon ini mencakup poliferasi,
kontraktilitas, fibrogenesis, degradasi matrik, kemotaksis, hilangnya retinoid, dan
pelepasan sitokin serta kemoatraksi lekosit (4, 14).
kemudian
mengaktifkan
pertumbuhan SSH dan produksi MMP-2 dalam jalur umpan balik positif. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa efek fibril kolagen pada SSH dapat dipengaruhi oleh reseptor
tirosin
kinase
DDR2.
Melalui
peningkatan
regulasi
inhibitor
jaringan
metalloproteinase 1 dan 2 (TIMP-1 dan 2). SSH yang aktif dapat menghambat
aktifitas kolagenase interstitial. (5,14,17).
5. Kemotaksis sel stelata
Perpindahan langsung SSH aktif mempercepat akumulasi SSS di daerah yang
luka. PDGF dan monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) adalah kemoatraktan
terhadap SSH aktif, bukan terhadap SSH yang diam. Kemotaksis memerlukan
aktifator plasminogen untuk memperkuat degradasi matrik. (5,14,17).
6. Hilangnya retinoid
Hilangnya vitamin A intraseluler merupakan tanda aktifasi SSH. Belum
sepenuhnya dimengerti mengapa hilangnya retinoid diperlukan untuk aktifasi SSH
dan retinoid jenis apa yang berpengaruh terhadap percepatan dan pencegahan aktifasi
SSH. Metabolit kecil dari asam retinoid (RA) yaitu 9-cis RA dan 9,13-di-cis RA
mungkin berhubungan langsung dengan fibrogenesis karena dapat menstimulasi
aktifasi dari TGF-1 yang laten, sehingga meningkatkan aktifitas fibrogenetik. (5,14,17).
7. Pelepasan sitokin dan kemoatraksi lekosit
Peningkatan produksi dan atau aktifitas sitokin penting dalam aktifasi SSH yang
terus menerus. Hampir seluruh aktifasi SSH berhubungan dengan sitokin autokrin.
MES pada hepar dibutuhkan untuk tempat penyimpanan growth factor yang terikat,
SSH juga dapat menguatkan proses inflamasi melalui pelepasan kemoatraktan netrofil
dan monosit.
Kemokin inflamasi yang terpenting adalah colony-stimulating factor (CSF) dan
MCP-1. Sekresi MCP-1 diatur melalui stimulasi 1 integrin. Peningkatan regulasi
molekul-molekul adesi yang menyertai aktifasi SSH lebih lanjut memperkuat proses
inflamasi selama perlukaan hepar.
8. Resolusi fibrosis dan SSH
Selama proses penyembuhan jumlah SSH menuru sesuai dengan perbaikan
jaringan. Ekspresi TIMPs-1 dan 2 menurun secara cepat sementara metalloproteinase
untuk degadrasi matrik tetap dihasilkan, sehingga aktifitas kolagenase meningkat dan
matrik mengalamui degadrasi. Menjadi pertanyaan para ahli apa yang terjadi pada
SSH pada masa resolusi fibrosis? Ada dua kemungkinan jawaban yaitu SSH
mengalami proses reverse atau apoptosis. (5,14,17).
Pertanyaan yang belum terjawab, apakah SSh aktif mengalami reversi menjadi
bentuk diam? Stimulus yang mungkin dapayt mengontrol respon ini adalah
interleukin-10
(IL-10).
IL-10
menurunkan
regulasi
proses
inflamasi
dan
meningkatkan aktifitas kolagenase. IL-10 diinduksi saat aktifasi SSH dan memberikan
umpan balik sinyal sutokrin negative untuk membatasi akuimulasi jaringan ikat.
Regresi aktifasi SSH dimunkinkan oleh adanya penyusunan ulang MES subendotel
normal. Bila SSH berkembang di substrat membrane basal SSH akan menjadi bentuk
diam/nonaktif. Kemungkinan lainnya SSH mengalami apoptosis yang berhubungan
dengan penurunan ekspresi TIMP-1 selama fase penyembuhan (5,14,17).
D. Patofisiologi
Hubungan hati terhadap darah adalah unik. Tidak seperti kebanyakan organ-organ
tubuh, hanya sejumlah kecil darah disediakan pada hati oleh arteri-arteri. Kebanyakan
dari penyediaan darah hati datang dari vena-vena usus ketika darah kembali ke
jantung. Vena utama yang mengembalikan darah dari usus disebut vena portal (portal
vein). Ketika vena portal melewati hati, ia terpecah kedalam vena-vena yang
meningkat bertambah kecil. Vena-vena yang paling kecil (disebut sinusoid-sinusoid
karena struktur mereka yang unik) ada dalam kontak yang dekat dengan sel-sel hati.
Faktanya, sel-sel hati berbaris sepanjang sinusoid-sinusoid. Hubungan yang dekat ini
antara sel-sel hati dan darah dari vena portal mengizinkan sel-sel hati untuk
mengeluarkan dan menambah unsur-unsur pada darah. Sekali darah telah melewati
sinusoid-sinusoid, ia dikumpulkan dalam vena-vena yang meningkat bertambah besar
yang ahirnya membentuk suatu vena tunggal, vena hepatik (hepatic veins) yang
mengembalikan darah ke jantung 9.
Pada sirosis, hubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Meskipun sel-sel hati
yang selamat atau dibentuk baru mungkin mampu untuk menghasilkan dan
mengeluarkan unsur-unsur dari darah, mereka tidak mempunyai hubungan yang
normal dan intim dengan darah, dan ini mengganggu kemampuan sel-sel hati untuk
menambah atau mengeluarkan unsur-unsur dari darah. Sebagai tambahan, luka parut
dalam hati yang bersirosis menghalangi aliran darah melalui hati dan ke sel-sel hati.
Sebagai suatu akibat dari rintangan pada aliran darah melalui hati, darah tersendat
pada vena portal, dan tekanan dalam vena portal meningkat, suatu kondisi yang
disebut hipertensi portal. Karena rintangan pada aliran dan tekanan-tekanan tinggi
dalam vena portal, darah dalam vena portal mencari vena-vena lain untuk mengalir
kembali ke jantung, vena-vena dengan tekanan-tekanan yang lebih rendah yang
membypass hati. Hati tidak mampu untuk menambah atau mengeluarkan unbsurunsur dari darah yang membypassnya. Merupakan kombinasi dari jumlah-jumlah selsel hati yang dikurangi, kehilangan kontak normal antara darah yang melewati hati
dan sel-sel hati, dan darah yang membypass hati yang menjurus pada banyaknya
manifestasi-manifestasi dari sirosis. Hipertensi portal merupakan gabungan antara
penurunan aliran darah porta dan peningkatan resistensi vena portal
(1)
. Hipertensi
portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena porta meningkat di atas 10-12
mmHg. Nilai normal tergantung dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7
mmHg
(6)
hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus.
Obstruksi aliran darah dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena
porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler
dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat
terjadi presinusoid, parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena
hepatik (supra hepatik) 12.
Diagnosis hipertensi portal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
laboratorium, endoskopi, pencitraan, biopsi hati dan pengukuran tekanan vena porta.
Usaha penyelamat hidup seperti tindakan pembedahan endoskopik atau pemberian
obat-obatan terus berkembang. Untuk dapat mengelola dengan baik, diagnosis yang
tepat merupakan syarat mutlak 18.
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan
penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis. Tekanan
portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat
kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal 18.
Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik, dan supra hepatik.
Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70% hipertensi portal
pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui,
sedangkan obs-truksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak
menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak mempunyai
riwayat penyakit hati sebelumnya 2.
Penyebab lain sirosis adalah hubungan yang terganggu antara sel-sel hati dan
saluran-saluran melalui mana empedu mengalir. Empedu adalah suatu cairan yang
dihasilkan oleh sel-sel hati yang mempunyai dua fungsi yang penting: membantu
dalam pencernaan dan mengeluarkan dan menghilangkan unsur-unsur yang beracun
dari tubuh. Empedu yang dihasilkan oleh sel-sel hati dikeluarkan kedalam saluransaluran yang sangat kecil yang melalui antara sel-sel hati yang membatasi sinusoidsinusoid, disebut canaliculi. Canaliculi bermuara kedalam saluran-saluran kecil yang
kemudian bergabung bersama membentuk saluran-saluran yang lebih besar dan lebih
besar lagi. Akhirnya, semua saluran-saluran bergabung kedalam satu saluran yang
masuk ke usus kecil. Dengan cara ini, empedu mencapai usus dimana ia dapat
membantu pencernaan makanan. Pada saat yang bersamaan, unsur-unsur beracun
yang
terkandung
dalam
empedu
masuk
ke
usus
dan
kemudian
2 (Sedang)
2,0 3,0
3,0 - < 3,5
40 70
3 (Berat)
> 3,0
< 3,0
< 40
Minimal sedang
Banyak (+++)
(+) (++)
Sukar
Mudah dikontrol
Std 1 dan II
dikontrol
Std III dan IV
(minimal)
(berat/koma)
(Quick%)
Asites
Hepatic
enchephalopathy
0
Tidak ada
F. Komplikasi Sirosis
1.
2.
Hepatic encephalopathy
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan
penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus.
Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri
membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian
dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia,
dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini
diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah
dan di-detoksifikasi (dihliangkan racunnya) 2.
Seperti didiskusikan sebelumnya, ketika sirosis hadir, sel-sel hati tidak dapat
berfungsi secara normal karena mereka rusak atau karena mereka telah kehilangan
hubungan normalnya dengan darah. Sebagai tambahan, beberapa dari darah dalam
vena portal membypass hati melalui vena-vena lain. Akibat dari kelainan-kelainan ini
adalah bahwa unsur-unsur beracun tidak dapat dikeluarkan oleh sel-sel hati, dan,
sebagai gantinya, unsur-unsur beracun berakumulasi dalam darah 2.
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari
otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu siang
hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah
diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain
termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan
perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau tingkat-tingkat
kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang parah/berat
menyebabkan koma dan kematian 2.
Unsur-unsur beracun juga membuat otak-otak dari pasien-pasien dengan sirosis
sangat peka pada obat-obat yang disaring dan di-detoksifikasi secara normal oleh hati.
Dosis-dosis dari banyak obat-obat yang secara normal di-detoksifikasi oleh hati harus
dikurangi untuk mencegah suatu penambahan racun pada sirosis, terutama obat-obat
penenang (sedatives) dan obat-obat yang digunakan untuk memajukan tidur. Secara
alternatif, obat-obat mungkin digunakan yang tidak perlu di-detoksifikasi atau
dihilangkan dari tubuh oleh hati, contohnya, obat-obat yang dihilangkan/dieliminasi
oleh ginjal-ginjal 2.
5. Hepatorenal syndrome
Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat mengembangkan hepatorenal
syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana fungsi dari ginjalginjal berkurang. Itu adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-ginjal, yaitu, tidak ada
kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya, fungsi yang berkurang disebabkan
oleh perubahan-perubahan dalam cara darah mengalir melalui ginjal-ginjalnya.
Hepatorenal syndrome didefinisikan sebagai kegagalan yang progresif dari ginjal-
Hepatopulmonary syndrome
Jarang,
beberapa
pasien-pasien
dengan
sirosis
yang
berlanjut
dapat
sel darah putih yang rendah (leucopenia), dan/atau suatu jumlah platelet yang rendah
(thrombocytopenia). Anemia dapat menyebabkan kelemahan, leucopenia dapat
menjurus pada infeksi-infeksi, dan thrombocytopenia dapat mengganggu pembekuan
darah dan berakibat pada perdarahan yang diperpanjang (lama) 13.
8. Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma)
Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko kanker hati
utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk pada fakta bahwa
tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu yang berasal dari mana
saja didalam tubuh dan menyebar (metastasizes) ke hati 13.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup kalori, protein
1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan
interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti
a) kombinasi IFN dengan ribavirin,
b) terapi induksi IFN
c) terapi dosis IFN tiap hari
a. Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x
1) seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan (1000mg
untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu
24-48 minggu.
2) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang
lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan
dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa
kombinasi dengan RIB.
3) Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3
juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan
jaringan hati.
Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti :
1. Ascites
2. Spontaneous bacterial peritonitis
3. Hepatorenal syndrome
4. Ensefalophaty hepatic
Selain itu, pengendalian proses fibrosis hepatic dapat dilakukan dengan
berbagai
modalitas.
1. Pada fibrosis yang progresif atau yang sudah berlangsung dapat dilakukan dengan cara :
a. Mengurangi proses inflamasi
1). Mengobati penyakit dasar.
2). Pemberian anti inflamasi seperti Interleukin-10 dan inhibitor
TNF.
3). Antioksidan untuk menekan respon finbrosis karena kerusakan
akibat proses oksidasi.
b. Menghambat atau mengurangi aktivasi SSH dengan memakai :
1). Interferon Gamma atau Interferon alfa.
2). Hepatocyte Growth Factor.
3). Peroxisome Proliferators = Activated Receptor Ligand.
c. Prepetuasi aktifasi SSH :
1). Memakai transforming growth factor -1 antagonist untuk
menekan sintesis dan mempercepat degadrasi matrik.
2). Antagosis PDGP untuk mengurangi po;iferasi SSH.
3). Memakai Nitric oxide dan ACE inhibitor untuk menghambat
poliferasi SSH.
d. Mempengaruhi sekresi matrik yang kaya kolagen oleh SSH:
1). Mengurangi fibrosis, memakai ACE inhibitor, inhibitor
polihidroksilase, interferon gamma dan antagonis reseptor
endotelin.
Pemakaian
antagonis TGF -1 dan relaksin untuk mengurangi regulasi TIMPs dan untuk
meningkatkan aktifitas metalloproteinase.
Pada terapi antifibrotik yang menjadikan SSH sebagai target spesifik maka obat-obat
yang dipakai idealnya harus memenuhi persyaratan berikut yaitu :
1. Harus secara spesifik menjadikan SSH yang teraktifasi sebagai target, dan
tidak
berikatan dengan miofibroblas pada jaringan tubuh lainnya atau pada SSH yang non
aktif.
2. Harus dapat mencapai daerah yang mengalami fibrogenesis aktif.
3. Harus dapat ditoleransi oleh system imun dan tidak diikat oleh system
retikuloendotelial.
Hingga saat ini belum ada obat-obatan yang memenuhi seluruh syarat diatas. Buktibukti terakhir menyatakan bahwa protein-protein seperti Mannose-6- phosphate yang
bergabung dengan human serum albumin (M6P-HAS) yang terikat kereseptor M6p/insulin
like growth factor II dan suatu peptide siklik yang bergabung dengan HAS. (pCVI-HAS)
yang dapat mengenali reseptor kolagen tipe VI, dapat mempengaruhi pengabunggan zat
kimia tertentu yang dapat menyebabkan agen anti fibrotik secara selektif menjadikan SSH
sebagai targetnya.