Anda di halaman 1dari 16

BAB II

KONSEP DASAR TEORI


A. Definisi
Apendisitis adalah peradangan apendiks vermiform yang terjadi sebagian
besar pada remaja dan dewasa muda. Dapat terjadi pada semua usia tetapi jarang
terjadi pada klien yang kurang dari dua tahun dan mencapai insiden tertinggi pada
usia 20-30 tahun. Tidak umum terjadi pada lansia, namun rupturnya apendiks
lebih sering terjadi pada klien lansia (Black & Hawks, 2014).
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Angka mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotik
(Price SA & Wilson LM, 2005).
Appendik adalah organ tambahan kecil yang mempunyai jari, melekat
pada sekumtepat di bawah katub ileosekal. Appendik mengosongkan diri dengan
tidak efesien, dan lumennya kecil, maka appendik mudah mengalami obstruksi
dan rentan terhadap infeksi(appendiksitis). Appendiksitis merupakan penyebab
yang paling umum dari inflamasi akut kuadran kanan bawah rongga abdomen dan
penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat (Smeltzer dan
Bare, 2000).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Jadi dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah peradangan pada apendiks yang
disebabkan oleh infeksi dan memerlukan tindakan pembedahan untuk
menyingkirkan bagian yang terinfeksi. apendiksitis adalah peradangan pada
appendik yang berbentuk seperti tabung pendek yang melekat pada sekum tepat
dibawah ileosekal yang mungkin timbul setelah obstruksi tinja atau akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darah dan sering memberikan keluhan
abdomen yang akut.
B. Anatomi dan Fisiologi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang
kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari
protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum

yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan
menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens
Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian
proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli
yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi
appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi
appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul)
31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%,
dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah
ini.

Appendiks pada saluran pencernaan

Anatomi appendiks

Fisiologi

posisi appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh.
C. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yaitu apendisitis akut dan apendisitis
kronis (Sjamsuhidayat, 2005).
a. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut ialah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
b. Apendisitis Kronis
Diagnosa apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
c. Appendicitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah
menyebabkan terbendungnya

disertai

edema

aliran vena pada dinding appendiks

dan

menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada


apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler
dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena
sering penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di
perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu
saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.

f. Adenokarsinoma apendiks/ Tumor Apendiks


Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi

regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup


yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak
napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal.
Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas
tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.
D. Etiologi
Penyebab utama apendisitis diduga karena adanya obstruksi lumen, yang
biasanya disebabkan oleh fekolit (feses keras yang terutama disebabkan oleh
serat). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan terjadinya
pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminal dapat
menyebabkan terjadinya oklusi arteria terminalis (end-entery) apendikularis. Bila
keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, biasanya mengakibatkan nekrosis,
gangren dan perforasi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa ulserasi mukosa
berjumlah sekitar 60 hingga 70% kasus, lebih sering daripada sumbatan lumen.
Penyebab ulserasi tidak diketahui, walaupun sampai sekarang diperkirakan
disebabkan oleh virus. Akhir-akhir ini penyebab infeksi yang paling diperkirakan
adalah Yersinia enterocolitica (Price SA & Wilson LM, 2005).
Beberapa faktor penyebab terjadinya appendiksitis adalah: Infeksi Bakteri
Bakteri dapat menginfeksi bagian appendik yang menyebabkan peradangan pada
daerah tersebut, penyumbatan apendik. Tumbuhnya jaringan limfe, tinja, tumor
appendik, dan cacing askaris dapatmenyebabkan penyumbatan appendik. Ruang
dalam appendik sangat sempit,sehingga bahan-bahan buangan atau benda asing
diatas yang terperangkap di dalam appendik dapat menyebabkan penyumbatan
yang dapat menyebabkan radang yang hebat dan dapat menimbulkan infeksi.

Hambatan Aliran Lendir ke Sekum Appendik menghasilkan lendir 1-2 ml per hari,
lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lubang.
E. Patofisiologi/ Pathway
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat tersumbat,
kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau benda asing. Proses
inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal yang akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, dan menyebabkan nyeri abdomen atas atau menyebar
hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi dikuadran kanan bawah
dari abdomen. Akhirnya appendiks yang terinflamasi berisi pus (Smeltzer & Bare,
2001).

Pathway
Post operasi laparatomy eksisi atas
indikasi apendiksitis perforasi

Kurang
informasi
Kurang
pengetahuan

General Anastesi

Susunan
syaraf
otonom

Susunan
syaraf
pusat

Luka operasi

Peradangan

Hipertermi

Cidera
pembuluh
darah

trauma

Prosedur
infasive

Nyeri
Pusat
reflex

Perdarahan

Saluran pencernaan

Reflex
pernafasan

Penurunan motilitas
gastrointestinal

menurun
Reflek muntah (intake menurun)
Pola nafas
tidak efektif

Nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh

Resiko aspirasi

Sumber : Carpenito (2001)

Resiko infeksi

Kekurangan volume
cairan

Kelemahan

Intoleransi
aktivitas

E. Manifestasi Klinis

Menurut Mansjoer (2000), menyebutkan appendiksitis biasanya bermula


dari nyerididaerah umbilicus yang berhubungan dengan muntah, 2-12 jam nyeri
akan beralih kekuadran bagian bawah yang akan menetap dan diperberat bila
berjalan. Terdapat jugakeluhan anoreksia malaise dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Biasanya juga terdapatkonstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual
dan muntah.
Gambaran klinis yang sering timbul :
a. Rasa nyeri yang dimulai dari bagian tengah perut dan berpindah
kebagian bawahsebelah kanan perut, dengan perut kaku seperti papan.
b. Nafsu makan hilang, sehingga badan terasa lemah.
c. Rasa nyeri semakin meningkat terasa ada tekanan pada bagian kanan
bawah saatberjalan.
d. Sembelit sehingga penderita memerlukan obat pencahar.
e. Bagian kiri bawah perut terlalu lunak untuk disentuh, diperkirakan
bagian perutmengalami peradangan.
f. Demam suhu badan akan meninggi dan akan merasa mual sampai
menusuk. Rasamual disebabkan rangsangan usus buntu yang meradang
pada selaput lendir perut(peritoneum).
Gejala umum pada appendiksitis adalah nyeri yang berada sekitar pusat dan
merambat ke perut kanan bawah, nyeri meningkat pada 6-12 jam, dan kadang-kadang
dapat menjadi lebih parah. Manifestasi klinis apendisitis dimulai dengan nyeri

abdomen yang bergelombang (viseral). Pada awalnya, nyeri dirasakan sebagai


rasa tidak nyaman yang hilang bila klien buang angin atau pergerakan usus akan
meredakan nyeri tersebut. Nyeri biasanya dimulai di epigastrium atau daerah
periumbilikal, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah ketika proses
inflamasi menyebar melibatkan permukaan peritonium parietal, sehingga
membawa proses inflamasi ke peritonium. Nyeri bertambah berat dan semakin
sering, klien sering menyembunyikan atau melindungi bagian yang sakit dengan
berbaring dan menekukkan tungkai bawah untuk meredakan tegangan pada otot
perut.

Pemeriksaan juga dapat menemukan muntah yang dimulai setelah nyeri


dirasa, anoreksia, demam derajat rendah, lidah kotor, dan halitosis (napas berbau).
Leukositosis ringan biasanya muncul, dengan hitung sel darah putih 10.00018.000/mm3. Diagnosis dipastikan dengan nyeri pada titik McBurney, yang
terletak diantara krista iliaka anterior superior dan umbilikus, atau lokasi yang
berhubungan dengan lokasi apendiks. Radiografi abnormal biasanya tidak bernilai
diagnostik pada apendisitis (Black & Hawks, 2014).
F. Komplikasi
Komplikasi apendiksitis akut adalah keadaan yang terjadi akibat
perforasi, seperti peritonitis generalisata, abses dan pembentukan fistula, dan
konsekuensi penyebaran melalui pembuluh darah , abses hepar dan septikemia.
Radang dapat menjadi kronis, atau obstruksi pada leher apendiks yang dapat
menyebabkan retensi mukus dan kemudian menimbulkan mukokel.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksan penunjang dilakukan dengan pemeriksaan laboraturium
danpemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboraturium yang biasanya dilakukan
pada pasien yang diduga appendiksitis adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien
biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neurotrofil di atas 75%
sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai
meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan . Pemeriksaan radiologi yang
biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendiksitis akut antara lain
ultrasonografi. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang menyilang dengan appendiksitis sertaperluasan dari appendiksitis yang
mengalami infoamasi serta adanya pelebaran sekum (Harnawati, 2008).

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan bagi klien yang terkena appendiksitis adalah :


Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik
dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi merupakan pengobatan
apendisitis dengan cara pembedahan untuk mengangkat apendiks yang mengalami
peradangan yang dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalkan terjadinya
perforasi. Teknik apendektomi adalah open apendektomi yaitu dengan cara
mengiris kulit daerah mcBurney sampai menembus peritoneum, sedangkan
laparascopy adalah tindakan yang dilakukan dengan menggunakan alat
laparascop yang dimasukkan lewat lubang kecil di dinding perut (Smeltzer &
Bare, 2002).
Intervensi bedah termasuk pengambilan apendiks (apendektomi) dalam
waktu 24-48 jam setelah onset. Ketika operasi dilakukan lebih dini, angka
mortalitas menurun kurang dari 0,5%. Penundaan biasanya menyebabkan ruptur
organ dan peritonitis resultan. Perforasi usus adalah komplikasi umum. Drainase
bedah dan antibiotik diperlukan jika perforasi terjadi. Peritonitis dapat terjadi
setelah perforasi (Black & Hawks, 2014).
I. Perawatan Pasca Pembedahan
Perawatan minimum diperlukan setelah apendektomi bagi apendisitis
akut sederhana. Kebanyakan pasien cepat pulih dan siap dipulangkan dari rumah
sakit pada hari ketiga atau keempat pascabedah. Sebaliknya pasien-pasien
apendisitis supurativ dan berkomplikasi memerlukan perawatan intensif sampai
sepsis, ileus paralitik dan masalah lain telah mereda. Antibiotik yang dimulai
prabedah dalam kasus berkomplikasi diteruskan 3 sampai 10 hari setelah operasi
dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen (Sabiston DC,
2012).
Selain itu, yang harus diperhatikan setelah pembedahan yaitu monitor
tanda vital, keluaran urine, tingkat kesadaran, serta terapi IV, juga periksa status
pernapasan klien dan luka pembedahan. Periksa balutan, berikan perawatan luka,
reposisi klien setiap sekitar 2 jam, dan tangani nyeri secara adekuat (Black &
Hawks, 2014).

Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat


tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar
kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat (Mansjoer A, 2000).
J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan appendicitis :
1. Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat,kehilangan volume cairan aktif akibat pembedahan.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual/muntah.
6. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal
danpenekanan batuk serta reflek muntah akibat anastesi.
7. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kondisi pasca anastesi.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
K. Fokus Intervensi
Fokus intervensi pada pasien appendicitis adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik.
Tujuan/ kriteria evaluasi : menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan, mempertahankan tingkat nyeri pada atau
kurang (skala 0-10), pasien dapat beristrahat dengan tenang.
Intervensi:
a. Monitor tanda-tanda vital klien
Rasional : untuk mengetahui secara dini keadaan klien.
b. Lakukan

pengkajian

nyeri

secara

komprehensif

termasuk

lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi


Rasional : agar nyeri klien dapat diketahui secara spesifik, penyebab
dantindakan selanjutnya yang akan dilaksanakan.
c. Posisikan klien senyaman mungkin

Rasional : posisi yang baik menjadikan klien menjadi rilek sehingga


mengurangi nyeri.
d. Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional : lingkungan yang nyaman dapat memberikan kenyamanan pada
pasien dan dapat mengurangi nyeri klien
e. Ajarkan teknik non farmakologi (distraksi dan relaksasi)
Rasional : mengalihkan perhatian atau pikiran klien kepada topik yang lain
dapat mengurangi nyeri klien.
f. Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri (sesuai indikasi),
Rasional : dengan pemberian obat pengurang rasa sakit klien dapat berkurang
rasa sakitnya.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.


Tujuan/kriteria hasil: Mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan
ditunjukkan dengan Daya Tahan, Penghematan Energi, dan Perawatan Diri :
Aktivitas kehidupanSehari-hari. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang
dibutuhkan dengan peningkatan memadai pada denyut jantung, frekuensi
respirasi, dan TD dan pola yang dipantau dalam batas normal. Menampilkan
aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa bantuan (misalnya,
eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi)
Intervensi :
a. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila
pasien menggunakan vasodilator, diuretik
Rasional : hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat
(vasodilasi), perpindahan cairan (diuretik) atau pengaruh fungsi jantung.
b. Catat respons kardiopulmonal terhadapaktivitas, catat takikardi, disritmia,
dispnea, berkeringat, pucat
Rasional : penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan
volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan peningkatan segera
pada frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga peningkatan kelelahan
dan kelemahan.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
Tujuan/ Kriteria hasil; hipertermi dapat teratasi dan suhu tubuh kembali
normal.Suhu tubuh dalam rentang normal (36 0C-370C). Nadi dan RR dalam

rentang normal(RR: 15-30 x/menit, N: 120 x/menit, TD: 98/50 mmHg). Tidak
ada perubahan warnakulit dan tidak ada pusing
Intervensi :
a. Monitor suhu sesering mungkin
Rasional : untuk mengetahui adanya peningkatan atau penurunan suhu.
b. Monitor warna dan suhu kulit.
Rasional : bila ada peningkatan suhu tubuh kulit terasa panas dan memerah.
c. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Rasional : peningkatan suhu juga diikut ipeningkatan tekanan darah, dan RR
d. Kompres pasien pada lipat paha danaksila.
Rasional :dapat menurunkan suhu tubuh
e. Kolaborasi pemerian antipiretik.
Rasional : Dapat menurunkan suhu tubuh dengan signifikan.

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak


adekuat,kehilangan volume cairan aktif akibat pembedahan.
Tujuan : Tujuan/kriteria evaluasi : tidak memiliki konsentrasi urine yang
berlebihan.Sebutkan nilai dasar berat jenis urine, memiliki tekanan vena sentral
dan pulmonal dalam rentang dalam yang diharapkan, tidak mengalami haus yang
tidak normal,memiliki keseimbangan asupan dan keluar yang seimbang, dalam
24 jam,menampilkan hidrasi yang baik (membrane mukosa lembab, mampu
berkeringat),memiliki asupan cairan oral atau intravena yang adekuat.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital klien,
Rasionalnya : untuk mengetahui secara dini keadaan klien.
b. Pantau warna, jumlah dan frekuensi kehilangan cairan.
Rasional : dengan kita memantau hal tersebut dapat mengetahui jumlah
cairan yang keluar
c. Pantau status hidrasi (misalnya : kelembaban membran mukosa, keadekuatan
nadi, dan tekanan darah ortostatik),
Rasional : agar dapat mengetahui tanda-tanda kekurangan volume cairan
secara lebih dini.
d. Pertahankan keakuratan catatan, asupan dan haluan,
Rasional: dapat memenuhi kebutuhan cairan klien.
e. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan,

Rasional : dengan mengetahui nilai tersebut dapat menentukan tindakan


intervensi selanjutnya yang akan diberikan ke pasien
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

mual/muntah
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi klien
terpenuhi dengan kriteria hasil: nafsu makan meningkat, klien tdak mual.
Intervensi:
a. Kaji keluhan mual, muntah yang dialami pasien
Rasional : untuk menetapkan cara mengatasinya
b. Kaji cara bagaimana makanan dihidangkan
Rasional : cara menghidangkan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien
c. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : untuk menghindari mual
d. Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari
rumah
Rasionalnya: agar klien nafsu makan dan mau makan lebih banyak.
e. Timbang pasien pada interval yang tetap
Rasional :agar mampu memantau berat badan klien tiap hari.

6. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal


danpenekanan batuk serta reflek muntah akibat anastesi.
Tujuan/kriteria evaluasi : tidak mengalami aspirasi yang dibuktikan dengan
kemampuan kognitif dan status neorologis yang tidak berbahaya, dan tidak ada
konsekuensi imobilitas fisiologis, akan menunjukakan kemampuan kognitif,
dibuktikan dengan indikator kelemahan sebagai berikut (dengan ketentuan 1-5
ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak).
Intervensi :
a. posisikan klien semi fowler,
Rasionalnya : untuk melebarkan jalan nafas sehingga klien tidak tersedak
b. Pantau tingkat kesadaran,
Rasional : untuk mengetahui keadaan umum klien.
c. Pantau tanda-tanda aspirasi selama proses pemberian makanan,
Rasional : agar klien pada saat makan tidak terjadi atau mengalami tersedak

7. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kondisi pasca anastesi.


Tujuan/kriteria hasil: menunjukkan pola penapasan efektif dibuktikan dengan
status pernapasan yang tidak berbahaya, menunjukkan status pernafasan ventilasi
tidak terganggu, ditandai dengan indikator sebagai berikut (dengan ketentuan 1-5
ekstrem,kuat, sedang, ringan, tidak). Kedalaman respirasi dan kemudahan
bernapas. Ekspansi dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu, bunyi napas
tambahan tidak ada,napas pendek tidak ada.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital klien
Rasional: untuk mengetahui secara dini keadaan klien.
b. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi
Rasional: untuk mengetahui pernafasan klien.
c. Perhatikan gerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu
Rasionalnya : untuk mengetahui tanda-tanda sesak nafas pada klien.
d. Pantau adanya pucat dan sianosis,
Rasionalnya: mengetahui tanda-tanda kekurangan oksigen pada tubuh.
e. Posisikan pasien (semifowler) untuk mengoptimalkan pernapasan
Rasional: untuk melebarkan jalan nafas sehingga klien tidak sesak nafas lagi.
f. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi
Rasional: untuk membantu nafas klien

8. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif


Tujuan/kriteria evaluasi :
Intervensi :
a. Pantau atau monitor tanda-tanda infeksi
Rasional: mengetahui tanda-tanda infeksi secara dini.
b. Monitor temperatur klien secara 4 jam,
Rasional : mengetahui tanda-tanda infeksi secara dini.
c. Anjurkan klien menjaga kebersihan pakaian, badan dan tempat tidur,
Rasional: pakaian, badan dan tempat tidur dapatmenjadi sarang/tempat
bakteri dan jamur sehingga dapat menjadikan infeksi.
d. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Rasional: cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan dapat
mencegah terjadinya infeksi antar pasien atau antar perawat.
e. Melakukan perawatan luka atau ganti balutan luka

Rasional : dengan balutan luka bersih dan tidak basah atau lembab
menjadikan klien nyaman dan menghindarkan terjadinya infeksi.
f. Berikan antibiotik sesuai indikasi,
Rasional : pemberian antibiotik dapat membunuh bakteri atau kuman.
g. Pantau hasil laboraturium (DPL, hitung granulosit absolut, hasil-hasil yang
berbeda, proteinserum, dan albumin)
Rasionalnya adalah untuk mengetahui tanda-tanda infeksi secara dini dan
menentukan tindakan selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai