Anamnesis
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik
LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu hitung darah
lengkap (complete blood count) dan apusan darah tepi, aspirasi dan biopsi sumsum
tulang. Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan apus darah tepi. Jumlah
leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis
(>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3.
Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung
(dengan
sitometri
arus/Flow
cytometry)
merupakan
pemeriksaaan yang berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang
dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap:
- Untuk sel prekusor B: CD10 (common ALL antigen),CD19,CD79A,CD22,
cytoplasmis m-heavy chain, dan TdT
- Untuk sel T: CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT
- Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20 dan CD22
Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid antigen
mieloid yang bisa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan
dari abtigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut.
Kasus ini jarang , dan perjalanan penyakit buruk.
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik
berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi
prognostik. translokasi t(8;14), t(2;8) dan t(8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B,
dan kelainan kromosom ini meyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari
gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada
LLA atau LMA, misalnya kromosom Philadelphia, t(9;22)(q34;q11) yang khas untuk
leukemia mielositik kronik.5
Diagnosis Kerja
Leukemia Limfositik Akut (LLA)
Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang 33%
dari keganasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira - kira
75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun. Leukemia
myeloid akut (LMA) berjumlah kira kira 20% dari leukemia, dengan insidensi yang
tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Leukemia
sisanya adalah bentuk kronis; leukemia limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan
pada anak. Insidensi tahunan keseluruhan dari leukemia adalah 42,1 tiap juta anak
kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh rendahnya kejadian LLA pada
kulit hitam.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah tepi dan
dipastikan oleh pemeriksaan sumsum tulang atau limpa.Pada stadium ini limpa
mungkin tidak membesar, bahkan gambaran darah tepi masih normal dan hanya
terlihat gejala pucat yang mendadak dengan atau tanpa trombositopenia.Dalam
keadaan ini pemeriksaan sumsum tulang dapat memastikan diagnosis. Pada stadium
praleukemia, gejala lebih tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang dapat
memperlihatkan gambaran normal atau gambaran lain yang nonleukemik (misal
anemia aplastik, ITP menahun, diseritropoesis). Dengan pemeriksaan mikroskop
electron sebenarnya telah dapat dilihat adanya sel patologis.
Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan anemia aplastik,
trombositopenia (ITP, ATP, demam berdarah atau infeksi lain). Bila pada pemeriksaan
jasmani ditemukan splenomegali, maka diagnosis lebih terarah pada leukemia akut.
ATP dan trombositopenia biasa tidak menunjukkan kelainan lain dalam darah tepi,
kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi juga menunjukkan
granulositopenia dan retikulositopenia (terdapat pansitopenia), diagnosis lebih
condong pada anemia aplastik atau leukemia.5
Gejala Klinis
Gejala yang khas ialah pucat, panas, dan perdarahan disertai splenomegali dan
kadang-kadang hepatomegali serta limfadenopati.Penderita yang menunjukkan gejala
lengkap seperti tersebut diatas, secara klinis dapat didiagnosis leukemia.Pucat dapat
terjadi mendadak, sehingga bila pada seorang anak terdapat pucat yang mendadak dan
sebab terjadinya sukar diterangkan, waspadalah terhadap leukemia.Perdarahan dapat
berupa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi dan sebagainya.
Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali.Gejala yang
tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalah-artikan sebagai
penyakit reumatik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada
alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada leukemia serebral
dan sebagainya.5
Klasifikasi
Klasifikasi dibagi berdasarkan maturitas sel akut, kronik. Berdasarkan jenis sel
myeloid, limfoid. Berdasarkan maturasi dan jenis sel leukemia mieloblastik akut
(LMA), leukemia mieloblastik kronik (LMK), leukemia limfositik akut (LLA),
leukemia limfositik kronik (LLK). Berdasarkan morfologi dan pewarnaan sitokimia
(FAB) acute non lymphocytic leukemia (ANLL) dibagi menjadi:
L1 : sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan nukleoli
yang tidak jelas.
L2 : sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti
sitoplasma yang rendah.
LLA adalah bentuk leukemia yang paling lazim dijumpai pada anak. Insiden tertinggi
terdapat pada usia 3-7tahun, dan menurun pada usia 10 tahun. Tipe prekusor B yang
lazim dijumpai (CD10+), paling sering ditemukan pada anak dan mempunyai
insidensi yang sama untuk kedua jenis kelamin. Terdapat predominasi pria yang
menderita ALL-T. Frekuensi kejadian ALL lebih rendah setelah usia 10 tahun dengan
peningkatan sekunder usia 40 tahun.1
Diagnosis Banding
Leukemia mielositik akut (LMA)
Pada sebagian besar kasus, gambaran klinis dan morfologi pada pewarnaan
rutin membedakan LLA dari LMA. Pada LLA, blas tidak memperlihatkan adanya
diferensiasi (dengan perkecualian LLA sel B). Sedangkan pada LMA, biasanya
ditemukan tanda - tanda diferensiasi kearah granulosit atau monosit pada blas.
Diperlukan tes khusus untuk memastikan penegakan diagnosis LMA atau LLA dan
untuk membagi lagi kasus kasus LMA atau LLA ke dalam subtype yang berbeda.
Pada sebagian kecil kasus leukemia akut, sel blas memperlihatkan adanya
gambaran LMA dan LLA sekaligus. Ciri - ciri ini dapat ditemukan pada sel yang
sama (biphenotypic) atau pada populasi yang terpisah (bilineal), dan gambaran ini
mencakup ekspresi yang tak wajar dari petanda imunologik atau penataan ulang gen
yang tak wajar. Hal ini disebut leukemia akut hybrid dan pengobatan biasanya
diberikan berdasarkan pola yang dominan.1
Thalasemia
Thalasemia merupakan salah satu jenis anemia hemolitik dan merupakan
penyakit keturunan yang diturunkan secara autosomal. Thalasemia adalah suatu
kelainan darah kongenital yang disebabkan oleh menurun penurunan sistesis atau
kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin atau ,ataupun rantai globin
lainnya,dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh
(komplit) rantai globin tersebut. Akibatnya terjadi talasemia yang jenisnya sesuai
dengan rantai globin yang terganggu produksinya.
Thalasemia-,terjadi akibat berkurangnya ( defisiensi parsial) (thalasemia+) atau tidak di produksi sama sekali ( defisiensi total) (thalasemia-0) produksi
rantai globin-. Thalasemia-,terjadi akibat berkurangnya rantai globin
(thalasemia-+) atau tidak di produksi sama sekali rantai globin- ( thalasemia- 0).
Thalasemia - terjadi akibat berkurangnya atau tidak di produksinya kedua rantai-
dan rantai-. Hal ini yang sama terjadi pada thalasemia-y dan thalasemia .
Thalasemia merupakan kelompok heterogen kelainan mendelian yang di
tandai oleh defek yang menyebakan berkurangnya sintesis rantai atau
globin.rantai di kode oleh sebuah gen tunggal pada kromosom 11; rantai di kode
oleh dua buah gen yang saling terkait dengan erat pada kromosom 16.1
Gejala yang dapat ditemukan adalah anemia. Pada anak yang besar biasanya
disertai keadaan gizi yang jelek dan mukanya memperlihatkan facies mongoloid.
Jumlah retikulosit darah meningkat, Pada apusan darah tepi akan didapatkan
gambaran sel target, hipokromi, anisositosis. Kadar besi dalam serum meningkat dan
daya ikat serum terhadap besi bisa sampai nol. Kadar HbF tinggi.
Etiologi
Penyebab leukemia pada manusia tetap belum diketahui, akan tetapi beberapa
faktor predisposisi yang berperan telah diketahui, termasuk faktor lingkungan dan
genetik serta keadaan imunodefisiensi. Selain itu, leukemia telah diinduksi pada
hewan percobaan dengan strain retrovirus yang berbeda. Adakalnya terdapat laporan
tentang sekelompok anak yang menderita leukemia pada daerah geografis tertentu dan
hubungan antara virus EpsteinBarr dengan limfoma Burkitt memberi kesan bahwa
agen infeksius memegang peranan pada leukemia manusia. Upaya yang keras telah
dilakukan untuk membangun hubungan antara virus dengan leukemia. Virus
limfotropik sel T manusia (HTLV) I berhubungan dengan leukemia sel T dewasa, dan
HTLV II dengan leukemia sel berambut (hairy cell) manusia. Meskipun telah
dilakukan observasi seperti ini, tidak ada bukti langsung yang menghubungkan segala
virus dengan leukemia yang sering terjadi pada anak.6
Patofisiologi
Leukemia limfoid, atau limfositik akut (acute lymphoid, lymphocytic,
leukemia, LLA) adalah kanker jaringan yang menghasilkan sel darah putih (leukosit).
Dihasilkan leukosit yang imatur atau abnormal dalam jumlah berlebihan, dan
leukosit-leukosit tersebut melakukan invasi ke berbagai organ tubuh. Sel-sel leukemik
berinfiltrasi ke dalam sumsum tulang, mengganti unsur-unsur sel yang normal.
Akibatnya, timbul anemia, dan dihasilkan sel darah merah dalam jumlah yang tidak
mencukupi. Timbul perdarahan akibat menurunnya jumlah trombosit yang
bersirkulasi. Infeksi juga terjadi lebih sering karena berkurangnya jumlah leukosit
normal. Invasi sel-sel leukemik ke dalam organ-organ vital menimbulkan
hepatomegali, splenomegali, dan limfadenopati.
Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah bahwa satu sel induk
mutan, mampu memperbaharui secara tidak terhingga, menimbulkan prekursor
hematopoietik berdiferensiasi buruk maligna yang membelah diri pada kecepatan
yang sama atau lebih lambat daripada pasangannya yang normal. Pada studi glukosa
6-fosfat dehidrogenase (G6PD), perkembangan uniseluler dari neoplasma telah
diperlihatkan dengan menemukan satu jenis G6PD dalam sel ganas dari pasien
heterozigot yang memiliki pola enzim ganda dalam jaringan normal mereka.
Penentuan pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmen-restriksi yang terkait-X
pada perempuan heterozigot merupakan metode sensitif lain dalam pada prinsip
analisis yang sama. Akumulasi sel blas menghambat produksi normal granulosit,
eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan infeksi, anemia, dan perdarahan. Sel
leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ dan menyebabkan pembesaran dan
gangguan fungsi organ tersebut.6
Epidemiologi
Delapan puluh lima pesen leukemia pada anak adalah leukemia limfositik akut
(LLA). Insiden puncak tibulnya penyakit ini adalah 3 5 tahun dan lebih banyak
ditemui pada anak laki laki dibandingkan perempuan. Ratio anak kulit putih dengan
berwarna adalah 1,8 : 1.6,7
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia tiap
tahun ada seratus penderita kanker baru dari 100.000 penduduk dan 2% di antaranya
atau 4.100 kasus merupakan kanker anak. Angka ini terus meningkat lantaran
kurangnya pemahaman orang tua mengenai penyakit kanker dan bahayanya. Menurut
Dr. Djajadiman Gatot, SpA(K), dari Sub Bagian Hematologi-Onkologi, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (FKUI-RSCM), leukemia merupakan jenis kanker yang paling
banyak terjadi pada anak (30-40 persen) disusul tumor otak (10- 15 persen) dan
kanker mata/retinoblastoma (10 12 persen). Sisanya kanker jenis lain seperti kanker
kelenjar getah bening, kanker saraf, dan kanker ginjal. Data lain menyatakan bahwa di
Indonesia terdapat sekitar 80 juta anak dengan usia dibawah 15 tahun. Sebagian dari
anak tersebut merupakan populasi berisiko terkena leukemia. Dari penelitian yang
dilakukan di RS Dr.Sardjito Universitas Gajah Mada Yogyakarta, didapatkan insiden
leukemia jenis LLA sebesar 2,5 4,0 per 100.000 anak. Dengan kata lain dapat
diestimasi bahwa terdapat 2000 3200 kasus baru jenis LLA tiap tahunnya. Selain itu
juga didapatkan sebanyak 30 40 leukemia anak jenis LLA ditangani setiap tahun di
institusi tersebut di atas.8
Terapi Medikamentosa
1. Transfusi darah biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan massif, dapat diberikan transfusi
trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
2. Kortikosteroid (prednisone, kortison, deksametason, dsb). Setelah dicapai remisi
dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat
atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti
vinkristin (Oncovin), rubidomisin (daunorubicin), sitosin, arabinosid, Lasparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin, dsb. Umumnya sitostatika
diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednisone. Pada pemberian
obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis,
leucopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis. Hendaknya lebih berhati-hati bila
jumlah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang
suci hama).
5. Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang terbaru, setelah tercapai remisi dan
jumlah sel leukemia cukup rendah (105 106), imunoterapi mulai diberikan.
Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau
dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibody yang dapat
memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan
penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan
terbentuk antibody yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel
5. Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6
ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing masing 0,2 ml. Suntikan BCG
diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat obat
rumat diteruskan.
6. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu).5
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah timbulnya pendarahan, kerusakan organ
lain akibat kemoterapi, disseminated intravascular coagulation (DIC), relaps LLA,
infeksi berat, dan penyebaran keganasan di organ-organ tubuh lain. Kematian
mungkin terjadi karena infeksi (sepsis) atau pendarahan yang tidak terkontrol.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan leukemia untuk memberi
respon terhadap kemoterapi.
Komplikasi dari leukemia dan terapinya dapat berupa sindrom tumor lisis
(hiperfosfatemia berat, hiperkalemia, hiperurikemia, dan hipokalsemia setelah
kemoterapi intensif), gagal ginjal, sepsis, pendarahan, thrombosis, tiflitis (inflamasi di
daerah sekum), neuropati, ensefalopati, kejang, keganasan sekunder, pertumbuhan
terbantut (akibat radiasi kraniospinal), defisiensi hormon pertumbuhan, serta defek
kognitif.
LLA dikatakan dapat mengakibatkan 1400 kematian pada setiap tahun, dan
dapat meningkat lebih cepat jika tidak diobati. Akan tetapi, LLA merupakan salah satu
kanker yang paling mungkin terobati dan kadar survival hidup penderitanya juga
tinggi. Kadar survival bagi pasien dengan usia lanjut dan usia sangat muda dapat lebih
rendah karena leukemia pada golongan tersebut lebih cenderung disebabkan adanya
faktor genetik sehingga kondisi leukemianya lebih parah.
Penelitian menunjukkan survivor LLA anak cenderung mengalami masalah
psikologi, termasuk stress, depresi, mudah marah, serta rasa bingung bila
dibandingkan dengan saudaranya yang sehat. Risiko terhadap gangguan psikologi
dapat bervariasi tergantung terapi yang diberikan. Penelitian pada tahun 2003
menunjukkan pasien yang menerima radiasi SSP dosis tinggi dan terapi metrotreksat
mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan emosi jika dibandingkan dengan pasien
yang tidak diterapi dengan radiasi. Menyadari risiko tersebut, dukungan secara
psikologis dapat menjadi suatu hal yang penting dan sangat membantu dalam
pengobatan LLA.6
Prognosis
Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi
kehilangan arti karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam
mengarahkan terapi ke arah resiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkat
regimen terapi kontemporer. Karena itu, terapi merupakan faktor prognostik tunggal
yang paling penting. Hitung leukosit awal mempunyai hubungan linier terbalik
dengan kemungkinan sembuh. Umur pada waku diagnosis juga merupakan peramal
yang dapat dipercaya. Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang kurang dari 12
bulan yang mempunyai penyusunan kembali (rearrangemement) kromosom yang
menyangkut regio 11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari kelompok umur
pertengahan (intermediete). Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi.
Hiperploidi lebih dari 50 kromosom memperngaruhi hasil terapi baik dan memberi
respon terhadap terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom-t(9;22) atau
kromosom philadelphia, dan t(4;11) mempunyai prognosis buruk. Beberapa peneliti
menganjurkan CST selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi tersebut.
LLA progenitor sel-B dengan t(1;19) mempunyai prognosis kurang baik dibanding
kasus lain dengan imunofenotip ini, hanya 60% dari penderita akan remisi setelah 5
tahun jika tidak mendapat terapi sangat intensif.
Kesimpulan
Leukemia Limfositik Akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal,
dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah
menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam
sumsum tulang. LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak.
Leukemia jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai
anak-anak di bawah umur 15 tahun. Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5
tahun, tetapi kadang terjadi pada usia remaja dan dewasa. Gejala pertama biasanya
terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah merah dalam jumlah yang
memadai, yaitu berupa: lemah dan sesak nafas, karena anemia (sel darah merah
terlalu sedikit), infeksi dan demam karena, berkurangnya jumlah sel darah putih,
perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit. Sehingga dari pembahasan
berupa anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan hipotesis diterima bahwa anak
tersebut menderita LLA.
Daftar Pustaka
1.
Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta:
ECG;2005.h.150-153.
2.
3.
Erlangga; 2007.
Matondang, S. Corry dkk. Anamnesis dan pemeriksaan fisik: diagnosis fisis pada
anak. Edisi 2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2005.
4.
Panji IF. Buku ajar ilmu penyakit dalam leukemia limfoblastik akut buku ajar
ilmu penyakit dalam. jilid 2. Edisi 5. Jakarta: ECG; 2009. Hal.1266-75.
5.
Hassan, Rusepno dkk. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 1.
6.
7.
8.
Referat
Leukemia
pada
Anak.
15
Juli
2010.
Diunduh
dari,