Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Pendengaran


Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran adalah
istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu
atau kedua telinga (WHO, 2010).
Menurut Weber et al. (2009) gangguan pendengaran didefinisikan sebagai
pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara.
Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran
(hearing impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar
dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak
kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga (WHO, 2010).

2.2. Epidemiologi
2.2.1. Prevalensi
Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita
gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah
360,8 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di
dunia dianggarkan sebanyak 275,7 juta orang.
Daerah Asia Tenggara mempunyai distribusi tertinggi penderita
gangguan pendengaran dengan estimasi penderita sebanyak 178,3 juta orang,
diikuti daerah Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa (120,3 juta orang),
Amerika (76,7 juta orang), Afrika (56,2 juta orang), dan Mediterranean Timur
(56,2 juta orang).
Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia
Tenggara pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita
gangguan pendengaran derajat berat di Asia Tenggara dianggarkan sebanyak
89,8 juta orang. (GBD, 2004).
Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia dijumpai
sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak
9,6 juta orang. Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang
kedua tertinggi di Asia Tenggara selepas India (630 juta penderita) (WHO,
2001).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Faktor Sosio Demografi


a. Faktor Umur
Menurut estimasi WHO, prevalensi permulaan (onset) gangguan
pendengaran pada orang dewasa di Indonesia adalah lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan dengan prevalensi

permulaan gangguan

pendengaran pada anak-anak, yaitu 7,1% untuk orang dewasa


dibandingkan 0,80% untuk anak-anak (WHO, 2001).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dilaporkan tidak berperan secara signifikan dalam kasus
gangguan pendengaran. Secara global, lelaki dikatakan lebih sering
mengalami masalah gangguan pendengaran daripada wanita. Hal yang
sama terjadi di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan
perbandingan lelaki kepada wanita adalah 1 : 2 (WHO, 2001).
c. Faktor Lingkungan Hidup
Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994 1996) mendapati bahwa prevalensi gangguan pendengaran lebih besar
di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan di Indonesia, yaitu
16,9% kasus di daerah pedesaan dibandingkan 16,3% kasus di daerah
perkotaan (Suwento, 2007).

d. Faktor lingkungan pekerjaan


Gangguan pendengaran yang terjadi dalam industri menempati urutan
pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa
(Soetjipto, 2007).
Pada tahun 1990, sekitar 30 juta orang di Amerika Serikat terpapar
pada tingkat kebisingan di atas 85 dB setiap hari kerja, dibandingkan
dengan lebih 9 juta orang pada tahun 1981 (Hashim, 2001).
Pekerjaan yang berisiko tinggi untuk gangguan pendengaran adalah
sektor pembangunan, transportasi, pertambangan, pertanian dan militer
(Concha-Barrientos, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.3. Klasifikasi Gangguan Pendengaran


Menurut Weber et al (2009), gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan
menjadi 3 jenis, yaitu :
-

konduktif

sensorineural

campuran
Pada gangguan jenis konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan

oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.


Pada gangguan jenis sensorineural terdapat kelainan pada koklea, nervus
vestibulocochlearis (VIII) atau di pusat pendengaran, sedangkan gangguan campuran
disebabkan oleh kombinasi gangguan konduktif dan sensorineural.
Gangguan campuran dapat merupakan akibat suatu penyakit, misalnya radang
telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang
berlainan, misalnya tumor nervus VIII (sensorineural) dengan radang telinga tengah
(konduktif) (Soetirto et al. 2007).

Nilai dari gangguan pendengaran menurut WHO oleh Dhingra (2008) :

Derajat

Ambang pendengaran di telinga yang sehat

penurunan

(Rata-rata 500, 1000, 2000, 4000 Hz)

Deskripsi penurunan
Tidak ada atau
sangat sedikit

0
(No

masalah
0 - 25

impairment)

pendengaran. Dapat
mendengar
bisikan.
Mampu mendengar

1
(Mild
impairment)

dan mengulangi
26 - 40

kata-kata yang
diucapkan dengan

Universitas Sumatera Utara

suara normal
pada jarak 1 meter.
Mampu mendengar
dan mengulangi
2

kata-kata yang

(Moderate

41 - 60

impairment)

diucapkan dengan
suara meninggi
pada jarak 1 meter.
Mampu mendengar
beberapa kata

dengan suara

(Severe

61 - 80

impairment)

berteriak ke telinga
yang sehat.
Tidak dapat

mendengar dan

(Profound

mengerti bahkan

impairment

81 atau lebih besar

(including

dengan suara
berteriak.

deafness))

2.4. Anatomi Telinga


2.4.1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2 - 3 cm.
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut (Soetirto et al. 2007).

2.4.2. Telinga Tengah


Telinga tengah berbentuk kubus dengan :

Universitas Sumatera Utara

batas luar

: membran timpani

batas depan

: tuba Eustachius

batas bawah

: vena jugularis (bulbus jugularis)

batas belakang

: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

batas atas

: tegmen timpani (meningen / otak)

batas dalam

: kanalis semisirkularis horizontal, kanalis


fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan
promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah
liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas
disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars
tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar
ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, seperti epitel saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis
lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat
elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkular pada bagian
dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani
disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light)
ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5
untuk membran timpani kanan. Terdapat dua macam serabut di membran
timpani, sirkular dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya
refleks cahaya yang berupa kerucut itu.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang
tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.
Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada
inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong
yang

berhubungan

dengan

koklea.

Hubungan

antara

tulang-tulang

pendengaran merupakan persendian.


Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan mastoid.

Universitas Sumatera Utara

Tuba Eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan


daerah nasofaring dengan telinga tengah (Soetirto et al. 2007).

2.4.3. Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala
media (duktus koklearis). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di
perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membran vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidahyang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti (Soetirto et al. 2007).

2.5. Fisiologi Telinga


2.5.1. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan
ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes
yang menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris
dan membran tektoria.

Universitas Sumatera Utara

Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya


defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis (Soetirto et
al. 2007).

2.5.2. Gangguan Fisiologi Pendengaran


Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan
gangguan konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan
gangguan sensorineural, yang terbagi atas gangguan koklea dan gangguan
retrokoklea.
Sumbatan tuba Eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan
akan terdapat gangguan konduktif. Gangguan pada vena jugularis berupa
aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung.
Antara inkus dan maleus berjalan cabang nervus facialis yang disebut
korda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin
korda timpani terjepit, sehingga timbul gangguan pengecapan.
Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat
pendengaran. Obat-obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf
pendengaran rusak, dan terjadi gangguan sensorineural. Setelah pemakaian
obat

ototoksik

seperti streptomisin,

akan terdapat

gejala gangguan

sensorineural dan gangguan keseimbangan (Soetirto et al. 2007).

2.6. Patofisiologi berdasarkan Etiologi


2.6.1. Telinga Luar
a. Kongenital
Kanalis auditori eksterna berkembang dari minggu 8 sampai minggu
ke 28 kehamilan; masalah dapat terjadi kapan saja selama fase
perkembangan.
Mikrotia, yaitu malformasi dari aurikula, bias menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif ringan sampai sedang.

Universitas Sumatera Utara

Atresia atau stenosis signifikan kanalis auditori eksterna menyebabkan


gangguan pendengaran konduktif sedang sampai berat (Weber et al.
2009).

b. Trauma
Pinna dapat mengalami trauma, baik dari benturan langsung atau suhu
yang ekstrem. Benturan keras pada telinga dapat menyebabkan
perdarahan

antara

tulang

rawan

dan

membran

di

atasnya,

menghasilkan apa yang dikenal sebagai cauliflower ear. Pinna juga


dapat terjejas akibat radang dingin (frostbite) (Alberti, 1999).
Trauma penetrasi ke kanalis auditori eksterna atau meatus disebabkan
luka tembak, luka tusuk atau fraktur dapat menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif ringan sampai berat, tergantung pada tingkat
oklusi kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

c. Infeksi
Kulit adalah halus, mudah terkelupas sehingga mudah meradang. Hal
ini bisa terjadi ketika berada di tempat yang panas, kondisi lembab
terutama ketika berenang dalam air yang terinfeksi yang menghasilkan
swimmers ear.
Penggunaan sarung bulu atau muffs pada telinga terutama dalam cuaca
panas dapat menghasilkan kondisi yang sangat panas dan lembab di
dalam saluran telinga sehingga daerah ini rentan terhadap infeksi,
insersi dan pengeluaran penyumbat telinga atau ear plug bisa
menghasilkan peradangan (Alberti, 1999).
Spektrum infeksi mencakup bentuk-bentuk akut atau kronis. Dalam hal
infeksi perlu dipertimbangkan agen bakteri, jamur dan virus (Boies,
1997).

d. Serumen
Serumen ialah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa,
epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan normal,

Universitas Sumatera Utara

serumen terdapat di sepertiga luar liang telinga karena kelenjar tersebut


hanya ditemukan di daerah ini.
Serumen dapat keluar sendiri dari liang telinga akibat migrasi epitel
kulit yang bergerak dari arah membran timpani menuju ke luar serta
dibantu oleh gerakan rahang sewaktu mengunyah.
Gumpalan serumen yang menumpuk di dalam liang telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran konduktif terutama bila telinga
dimasuki air (sewaktu mandi, berenang), serumen mengembang
sehingga menimbulkan rasa tertekan dan gangguan pendengaran
semakin dirasakan sangat mengganggu (Sosialisman et al. 2007).

e. Pertumbuhan tulang jinak


Exostosis
Exostosis atau pertumbuhan tulang jinak pada kanalis auditori
eksterna

paling sering terjadi pada orang yang memiliki

pemaparan ulang terkena air dingin (Weber et al. 2009).


Exostosis kadang-kadang terlihat seperti mutiara putih dan
sering dikelirukan sebagai kista, mungkin mengobstruksi
membran timpani (Alberti, 1999).
Osteoma
Osteoma adalah pertumbuhan tulang tunggal yang paling sering
terikat dengan garis sutura timpani skuamosa. Osteoma
biasanya lebih sering ditemukan lebih ke arah meatus
dibandingkan dengan exostosis yang biasanya lebih ke arah
medial dan medekati membran timpani (Weber et al. 2009).

f. Tumor
Tumor ganas yang paling sering dijumpai di kanalis auditori eksterna
adalah karsinoma sel skuamosa. Karsinoma sel skuamosa dan tumor
kanalis auditori eksterna lain seperti karsinoma sel basal dan
melanoma, biasanya menyebabkan gangguan pendengaran konduktif
akibat oklusi kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

Universitas Sumatera Utara

g. Polip jinak
Polip jinak dapat terjadi akibat kondisi otologik lain, seperti infeksi
telinga kronis atau kolesteatoma.
Kadang-kadang, polip jinak dapat tumbuh cukup besar untuk
mengaburkan lumen kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

h. Penyakit sistemik
Diabetes mellitus dan kondisi-kondisi lain yang dapat mengakibatkan
kompromi

sistem

imun

dapat

menjadi

faktor

predisposisi

berkembangnya otitis eksterna nekrotikans yang dapat menyebabkan


terjadinya gangguan pendengaran akibat oklusi kanalis auditori
eksterna (Weber et al. 2009).
i.

Dermatologi
Penyakit kulit tertentu seperti psoriasis dapat menyebabkan lesi pada
kanalis auditori eksterna dan meatus (Weber et al. 2009).
Lesi tersebut dicirikan oleh kemerahan, rasa gatal, pembengkakan, dan
stadium eksudat cair yang diikuti oleh pembentukan krusta (Boies,
1997).
Insersi dan pengeluaran penyumbat telinga atau ear plug dengan
tangan yang kotor dapat menyebabkan dermatitis kontak pada liang
telinga (Alberti, 1999).

2.6.2. Telinga Tengah


a. Kongenital
Atresia atau malformasi rantai osikular dapat menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif. Abnormalitas osikular yang paling umum
adalah hilangnya atau dislokasi (malalignment) cura tulang stapes.
Namun demikian, gangguan pendengaran konduktif sering disebabkan
oleh abnormalitas inkus atau sendi malleoinkuidal (Weber et al. 2009).

b. Trauma
Benturan langsung

Universitas Sumatera Utara

Benturan keras pada sisi kepala dapat menyebabkan perforasi


membran timpani, yang biasanya sembuh secara spontan.
Benturan berat pada kepala dapat menyebabkan fraktur tulang
temporal dan fraktur atau dislokasi rantai osikular.
Hal ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif
yang signifikan, dan biasanya disertai gangguan pendengaran
sensorineural.

Benda asing
Membran timpani dapat megalami perforasi langsung akibat
tusukan benda tajam di dalam telinga atau dengan ledakan
(Alberti, 1999).
Barotrauma (Aerotitis)
Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan
tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu di dalam
pesawat terbang atau menyelam, yang menyebabkan tuba
Eustachius gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan
melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak
mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi tekanan
negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari
pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai
dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga
tengah dan rongga mastoid tercampur darah (Djaafar et al.
2007).
Penyelam akan mengalami penyumbatan atau perdarahan
telinga tengah jika mereka tidak dapat membersihkan telinga
ketika sedang naik atau turun. Aktivitas menyelam dalam air
yang dingin dapat menganggu fungsi tuba Eustachius, dengan
demikian menurunkan kemampuan untuk menyamakan tekanan
telinga tengah (Alberti, 1999).

c. Gangguan fungsi tuba eustachius

Universitas Sumatera Utara

Tuba terbuka abnormal


Tuba terbuka abnormal ialah tuba yang terus menerus terbuka,
sehingga udara masuk ke dalam telinga tengah sewaktu
respirasi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh hilangnya jaringan
lemak di sekitar mulut tuba sebagai akibat penurunan berat
badan yang hebat, penyakit kronis tertentu seperti rinitis atrofi
dan faringitis, gangguan fungsi otot seperti miastenia gravis,
penggunaan obat anti hamil pada wanita dan penggunaan
estrogen pada lelaki.
Obstruksi tuba
Obstruksi tuba dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti
peradangan di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor
nasofaring (Djaafar et al. 2007).

d. Infeksi
Penyebab paling umum penyakit telinga tengah adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang menyebabkan otitis media akut atau otitis media
kronis. Telinga tengah yang menjadi bagian dari saluran pernafasan
adalah rentan pada infeksi yang sama dengan hidung dan sinus
(Alberti, 1999).
Pada gangguan ini biasanya terjadi disfungsi tuba Eustachius seperti
obstruksi yang diakibatkan oleh infeksi saluran nafas atas, sehingga
timbul tekanan negatif di telinga tengah.
Sebaliknya, terdapat gangguan drainase cairan telinga tengah dan
kemungkinan refluks sekresi esofagus ke daerah ini yang secara
normal bersifat steril.
Cara masuk bakteri pada kebanyakan pasien kemungkinan melalui
tuba Eustachius akibat kontaminasi sekret dalam nasofaring. Bakteri
juga dapat masuk telinga tengah bila ada perforasi membran timpani.
Eksudat purulen biasanya ada dalam telinga tengah dan mengakibatkan
gangguan pendengaran konduktif (Djaafar et al. 2007).

e. Tumor
Kolesteatoma

Universitas Sumatera Utara

Kolesteatoma

adalah

suatu

kista

epitelial

yang

berisi

deskuamasi jaringan epitel dalam ruang telinga tengah.


Kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari
proses inklusi pada embrional atau dari sel-sel epitel
embrional. Karena itu kolesteatoma ditemui di belakang dari
membran timpani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga
luar dengan tidak adanya faktor-faktor yang lain seperti
perforasi dari membran timpani, atau adanya riwayat infeksi
pada telinga (Weber et al. 2009).
Jika terjadi disfungsi tuba Eustachius, maka terjadilah keadaan
vakum pada telinga tengah. Sehingga pars flaksida membran
timpani tertarik dan membentuk kantong retraksi (retraction
pocket). Jika kantong retraksi ini terbentuk maka terjadi
perubahan abnormal pola migrasi epitel timpani, menyebabkan
akumulasi keratin pada kantong tersebut.

Akumulasi ini

semakin lama semakin banyak dan kantong retraksi bertambah


besar ke arah medial. Destruksi tulang-tulang pendengaran
sering terjadi. Pembesaran dapat berjalan semakin ke posterior
mencapai aditus ad antrum menyebar ke tulang mastoid, erosi
tegmen mastoid ke durameter dan atau ke lateral kanalis
semisirkularis yang dapat menyebabkan ketulian dan vertigo
(Djaafar et al. 2007).
Otosklerosis
Otosklerosis adalah pertumbuhan tulang lunak pada footplate
stapes. Apabila tulang lunak tersebut berkembang, stapes tidak
dapat lagi berfungsi sebagai piston, melainkan bolak-balik dan
akhirnya benar-benar terfiksasi. Konduksi semakin memburuk
secara bertahap sampai gangguan pendengaran konduktif
maksimal 60 dB tercapai (Weber et al. 2009).

2.6.3. Telinga Dalam


a. Kongenital
Gangguan pendengaran kongenital adalah gangguan pendengaran yang
terjadi pada atau segera setelah kelahiran, baik akibat faktor herediter

Universitas Sumatera Utara

atau non herediter. Gangguan pendengaran sensorineural dapat


diwarisi dalam pola autosomal yang dominan atau resesif, 90 % adalah
autosomal resesif di mana anak-anak mempunyai orang tua dengan
pendengaran normal.
Malformasi kongenital juga bisa terjadi di telinga dalam, ini termasuk
apa-apa dari atresia lengkap ke rongga pada koklea (Weber et al.
2009).

b. Presbikusis
Presbikusis

adalah

gangguan

pendengaran

sensorineural

yang

berhubungan dengan penuaan. Beberapa faktor mempengaruhi


kecepatan terjadinya gangguan pendengaran termasuk paparan
terhadap kebisingan seumur hidup, genetika, obat-obatan, dan infeksi.
Gangguan pendengaran biasanya menjadi lebih signifikan dalam
dekade keenam dan biasanya simetris, dimulai pada batas frekuensi
tinggi (Weber et al. 2009).

c. Infeksi
Infeksi telinga dalam yang paling umum pada orang dewasa adalah
viral cochleitis, dan meningitis pada anak-anak (Weber et al. 2009).
Meningitis umumnya mempengaruhi telinga dalam karena cairan
perilimfa mempunyai kontinuitas langsung dengan cairan serebro
spinal. Meningitis mengakibatkan respon inflamatori akut pada
meninges dan juga pada koklea yang sama sekali menghancurkan
koklea (Alberti, 1999).

d. Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah gangguan pendengaran akibat pembengkakan
rongga endolimfa (Levine, 1997).
Penderita penyakit Meniere mempunyai keluhan seperti serangan
episodik vertigo, tinnitus, dan gangguan pendengaran sensorineural
(Weber et al. 2009).

e. Kebisingan

Universitas Sumatera Utara

Paparan yang terus menerus terhadap suara yang keras dapat


menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi.
Mekanisme di mana kebisingan yang berlebihan menyebabkan
gangguan pendengaran termasuk kerusakan mekanik langsung struktur
koklea dan metabolisme berlebihan akibat overstimulasi.
Beberapa efek metabolik yang berpotensi adalah pelepasan berlebihan
nitrat oksida yang dapat merusak sel-sel rambut, pembentukan radikal
bebas oksigen yang menjadi toksik di membran, dan konsentrasi
rendah magnesium yang melemahkan sel-sel rambut dengan cara
mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler (Weber et al. 2009).

f. Trauma
Barotrauma telinga dalam dapat terjadi apabila terdapat perbedaan
tekanan antara telinga tengah dan telinga dalam yang menyebabkan
ruptur tingkap bundar dan lonjong.
Trauma

penetrasi

dapat

menyebabkan

gangguan

pendengaran

sensorineural atau campuran. Kecederaan ini biasanya disebabkan oleh


luka tembak yang dapat mengakibatkan fraktur tulang temporal
(Weber et al. 2009).

g. Tumor
Tumor yang paling umum menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural adalah neuroma akustik, yang berasal dari bagian
vestibular saraf kranialis yang kedelapan (Weber et al. 2009).

h. Endokrin / sistemik / metabolik


Berbagai kelainan metabolik telah diketahui menjadi penyebab atau
dikaitkan dengan gangguan pendengaran sensorineural (Weber et al.
2009).

i.

Gangguan pendengaran autoimun


Penyakit autoimun telinga dalam mungkin terbatas hanya untuk
telinga, atau mungkin menjadi bagian dari masalah sistemik secara
keseluruhan seperti granulomatosis

Wegener,

sindrom Cogan,

Universitas Sumatera Utara

rheumatoid arthritis, dan sistemik lupus eritematosus (Weber et al.


2009).

j.

Obat-obatan ototoksik
Penggunaan

obat-obatan

ototoksik

pada

telinga

normal

bisa

menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural yang mendadak


(Weber et al. 2009).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai