Anda di halaman 1dari 25

EFEKTIFITAS EKSTRAK LIDAH BUAYA

(ALOE VERA) SECARA IN VIVO


TERHADAP SCABIES PADA KAMBING

PROPOSAL

ANDI AINUN KARLINA


O11112268

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

EFEKTIFITAS EKSTRAK LIDAH BUAYA


(ALOE VERA) SECARA IN VIVO
TERHADAP SCABIES PADA KAMBING

ANDI AINUN KARLINA

Proposal Penelitian

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................
i
1. PENDAHULUAN
1.1.........................................................................................................................
Latar Belakang
........................................................................................................................
1
1.2.........................................................................................................................
Rumusan Masalah
........................................................................................................................
2
1.3.........................................................................................................................
Tujuan Penelitian
........................................................................................................................
2
1.4.........................................................................................................................
Manfaat Penelitian
........................................................................................................................
2
1.5.........................................................................................................................
Hipotesis
........................................................................................................................
2
1.6.........................................................................................................................
Keaslian Penelitian
........................................................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.........................................................................................................................
Scabies
........................................................................................................................
4
2.2.........................................................................................................................
Aloe Vera
........................................................................................................................
7
2.3.........................................................................................................................
Kambing
........................................................................................................................
14

2.4.........................................................................................................................
Alur Penelitian
........................................................................................................................
16
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.........................................................................................................................
Waktu dan Tempat
........................................................................................................................
17
3.2.........................................................................................................................
Jenis Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel
........................................................................................................................
17
3.3.........................................................................................................................
Materi Penelitian
........................................................................................................................
17
3.4.........................................................................................................................
Metode Penelitian
........................................................................................................................
18
3.5.........................................................................................................................
Analisis Data
........................................................................................................................
18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
19

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sudah sejak zaman dahulu mengenal dan
memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam
penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi, jauh sebelum pelayanan
kesehatan formal dengan obat-obatan modern (Wijayakusuma, 1992).
Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya
bangsa terus ditingkatkan dan didorong pengembangannya melalui penggalian,
pengujian dan penemuan obat-obat baru, termasuk budidaya tanaman yang secara
medis dapat dipertanggungjawabkan (Syukur dan Hermani, 2002). Hal ini telah
terbukti dari masih cukup banyaknya peminat obat alami yang dijadikan sebagai
pengobatan alternative.
Salah satu tanaman yang banyak manfaatnya adalah aloe vera
(Maryam,2013). Aloe vera telah lama diketahui sebagai tanaman penyembuh
utama. Gel aloe vera memiliki aktifitas sebagai antibakteri, antijamur, peningkat
aliran darah ke daerah yang terluka dan penstimulasi fibroblast yang bertanggung
jawab untuk penyembuhan luka. Publikasi pada American Pediatric Medical
Association menunjukkan bahwa pemberian gel Aloe vera pada hewan coba baik
dengan cara diminum maupun dengan cara dioleskan pada permukaan kulit, dapat
mempercepat penyembuhan luka.
Tanaman lidah buaya daun dan akarnya mengandung saponin dan flavonoid,
di samping itu daunnya mengandung tannin dan polifenol (Hutapea,1993).
Saponin ini mempunyai kemampuan sebagai pembersih sehingga efektif untuk
menyembuhkan luka terbuka, sedangkan tannin dapat digunakan sebagai
pencegahan terhadap infeksi luka karena mempunyai daya antiseptik dan obat
luka bakar. Flavonoid dan polifenol mempunyai aktivitas sebagai antiseptik
(Harborne, 1987)
Kambing merupakan ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat luas,
karena memiliki sifat yang menguntungkan bagi pemeliharaannya seperti, ternak
kambing mudah berkembang biak, tidak memerlukan modal yang besar dan
tempat yang luas, dapat digunakan memanfaatkan tanah yang kosong dan
membantu menyuburkan tanah, serta dapat dibuat sebagai tabungan
(Sasroamidjojo dan Soeradji, 1978).
Penyakit parasitik merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan
produktivitas ternak. Parasit bertahan hidup dalam tubuh hospes dengan memakan
jaringan tubuh, mengambil nutrisi yang dibutuhkan dan menghisap darah hospes.
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan, pertumbuhan yang
lambat, penurunan daya tahan tubuh dan kematian hospes. Ternak yang terinfeksi
parasit biasanya mengalami kekurusan sehingga mempunyai nilai jual yang
rendah (Khan dkk., 2008).
Scabies merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di
Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau
Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal pada kulit dan
akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Parasit Sarcoptes
scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit,
yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit dan mengganggu

kesehatan masyarakat. Penyakit ini di golongkan penyakit hewan yang menular


pada manusia atau zoonosis (Iskandar, 2000).
Salah satu faktor yang menghambat penanggulangan penyakit ini adalah
dalam hal pengobatan. Oleh karena itu dipertimbangkan hal lain, yaitu
penggunaan tanaman obat, yaitu lidah buaya.
Tanaman lidah buaya mengandung senyawa antrakuinon, saponin, dan
flavonoid yang diduga mempunyai aktivitas antiparasit terhadap tungau Sarcoptes
scabiei (Yuyun, 2012). Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi atau
menjadi informasi tentang penyakit scabies pada kambing serta memudahkan
pengendalian serta pengobatan penyakit scabies.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana efektifitas ekstrak Aloe vera terhadap penyakit scabies pada
kambing?
1.2.2 Pada konsentrasi minimal berapa kandungan ekstrak Aloe vera yang
paling efektif untuk menyembuhkan penyakit scabies pada kambing?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian pada proposal skripsi ini adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui efektifitas ekstrak Aloe vera terhadap penyakit scabies
pada kambing.
1.3.2 Untuk mengetahui konsentrasi minimal yang efektif untuk menyembuhkan
penyakit scabies pada kambing.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1.4.1
1.4.2

Dapat mengetahui Efektifitas Ekstrak Aloe vera terhadap penyakit scabies


Menambahkan ilmu pengetahuan dan memberikan informasi kepada
mahasiswa dan masyarakat tentang kegunaan dari Aloe vera.
a. Secara umum, agar Aloe vera dapat dikembangkan lagi
penggunaannya oleh masyarakat mengingat manfaatnya.
b. Secara khusus, agar Aloe vera dapat ,menjadi obat alternative untuk
penyakit scabies pada kambing.
1.5 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian eksperimental yang peneliti lakukan yaitu


adanya tingkat mortalitas yang tinggi pada sejumlah tungau Sarcoptes Scabiei
pada kambing yang diberi perlakuan ekstrak lidah buaya ( Aloe vera ).
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai efektifitas ekstrak lidah buaya (Aloe Vera) secara in
vivo terhadap scabies pada kambing belum pernah dilakukan. Penelitian yang

serupa sebelumnya pernah dilakukan mengenai uji aktivitas ekstrak etanol daun
lidah buaya (Aloe Vera) sebagai antiskabis secara in vitro oleh Yuyun Mawaddatur
Rohmah pada tahun 2012.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Scabies
Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh adanya infestasi
Sarcoptes scabiei var. hominis di kulit, ditandai dengan adanya gatal dan erupsi
kulit dengan derajat keparahan yang bervariasi. Onset gejala klinis biasanya
menandai terbentuknya respon imun terhadap kutu dan produknya yang berada di
epidermis (Prendiville, 2011).
2.1.1

Etiologi Penyakit Scabies

Morfologi
Penyakit Scabies disebabkan tungau Sarcoptes scabiei. Tungau jantan
berukuran panjang 213- 285m dan lebar 162-210 m, sedangkan yang betina
berukuran panjang 300-504 m dengan lebar 230- 420 m. Tungau betina bertelur
pada kulit dipinggir-pingir luka atau liang kulit, telur yang dihasilkan sebnyak 40
-90 butir. Telur-telur ini kan menetas 1-5 hari menjadi larva berkaki enam. Larva
berkembang menjadi nimfa yang berkaki delapan tetapi belum mempuinyai alatalat kelamin. Dari nimfa akhirnya terbentuk tungau dewasa. Dari telur sampai
dewasa diperlukan 11-16 hari. Tungau betina diperkirakan hidup tidak lebih dari
40 hari. Tungau ini amat peka terhadap kekeringan (Budiantono,2004).
Siklus Hidup
Dalam Buku Manual Penyakit Hewan Mamalia (2014) halaman 432
dijelaskan bahwa infestasi diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium
kedua yang aktif membuat liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang
tersebut sarcoptes meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4
hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan
berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8. Kemudian tungau
akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak dalam 2-4 hari.

(Sumber: http://en. Wikipedia.org/wiki/Scabies)


Gambar 2.1 Siklus hidup S. scabiei

Penularan penyakit Scabies terutama terjadi secara kontak langsung antar


ternak sakit dan ternak sehat ; baik antara hewan piaraan maupun antara hewan
piaraan dan hewan liar (Sweatman, 1971; Anonimus,1981). Introduksi ternak baru
yang subklinis penyakit Scabies, alat-alat peternakan yang tercemar, maupun
bekas kandang hewan penderita penyakit Scabies( Kertayadya dkk, 1982; Putra,
1994) dan peternak yang terkena penyakit Scabies merupakan sumber penularan
yang cukup potensial.
2.1.2

Patogenesis

Masa inkubasi dari penyakit Scabies bervariasi antara 10-42 hari. Rasa gatal
akan nampak lebih jelas pada saat cuaca panas yaitu terjadi peningkatan aktifitas
tungau (Sheahan, 1974) dalam Budiantono (2004). Bervariasinya masa inkubasi
ini diduga erat kaitannya dengan kelebatan dari bulu bagian tubuh yang terserang.
Penderita mengalami iritasi, tampak tidak tenang, menggosok-gosokkan
tubuhnya, turunnya nafsu makan yang mengakibatkan merosotnya kondisi tubuh,
serta turunnya pertambahan berat badan, kelemahan umum dan dapat berakhir
dengan kematian. Disamping itu penderita dapat mengalami anemia (Sheahan,
1974; Putra dan Gunawan, 1981; Abu-Samra et all., 1981a). Kejadian eosinofilia
pada babi penderita (Sheahan, 1974) dapat sampai 4-5%, serta pada kambing
penderita sampai 16-30% (Abu-Samra et al.,1981a) dibanding dengan hewan
normal.
Pada kambing, dilaporkan oleh Abu-Samra et al. (1981a; 1984) dalam
Budiantono (2004) menjelaskan bahwa lesi biasanya dimulai dari bagian
punggung dari hidung untuk selanjutnya dapat menyebar keseluruh tubuh. Bagian
tubuh yang lembab lebih disukai oleh tungau Sarcoptes dibandingkan dengan
bagian tubuh yang kering.
2.1.3

Gejala Klinis

Tungau Sarcoptes mengisap cairan limfa dengan jalan melakukan perobekan


lapisan epidermis, dan memakan sel-sel jaringan epidermis muda. Hal ini
menyebabkan timbulnya rasa gatal yang terus menerus, sebagai akibatnya
penderita akan menggosok-gosokkan tubuhnya sehingga mengakibatkan luka,
yang pada akhirnya memperburuk kondisi tubuh penderita. Pada awalnya kulit
mengalami erithema, kemudian berlanjut berbentuk papula, vesikula dan akhirnya
terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat. Eksudat mengendap
pada permukaan kulit sehingga terbentuk keropeng-keropeng/ kerak. Proses
selanjutnya, akan terjadi keratinisasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan
ikat sehingga menyebabkan bertambah tebalnya kulit serta terjadi pengkeriputan.
Selanjutnya akan diikuti oleh kerontokan bulu yang dapat terjadi pada seluruh
permukaan tubuh (Soulsby, 1982; Nayel & Abu- Samra,1986) sehingga kulit
kelihatan gundul (Anonimus, 1981).
Menurut Morsy et al. (1989) dalam Budiantono (2004) jalannya penyakit
Scabies dibagi 3 phase, yaitu phase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi.
Saaat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada permukaan
kulit terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada
dibawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/ keropeng yang
tebal. Kerontokan bulu terjadi pada phase ini dan phase ini terjadi setelah 4-7

minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai mengelupas sehingga


pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang kecil. Phase terakhir ini
terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, tampak beberapa tungau meninggalkan bekas
bekas lubang tersebut.
Gambaran histopatologi menurut Jubb et al. (1985) lesi yang timbul
bervariasi antara reaksi infestasi parasit dan reaksi alergi. Pada penderita tampak
sejumlah besar tungau dalam liang parakeratotik di stratum corneum . Mereka
membentuk lapisan kerak yang tebal dengan komposisi hiperkeratosis ortho dan
parakeratotik , cairan serum, debri neutrophilik dan sejumlah pecahan telur
tungau. Pada epidermis tampak gambaran hiperlasia yang hebat dengan formasi
yang menggunung atau hyperplasia pseudikarsinoma. Pada dermal lesi tampak
vasodilatasi, pembengkakan endhotel , edema, fibrosis, infiltrasi sel-sel
mononuklear diperivaskular , eksocytosis neutrofil tergantung pada hebatnya
infeksi sekunder. Pada reaksi alergi yang akut, pada lesi tampak vasodilatasi yang
hebat, edema kulit, infiltrasi limphositik dan eosinophil diperivaskular ,
spongiosis dan hiperplasia pada epidermal . Pada reaksi alergi yang kronis
menggambarkan luka berat dengan fibrosis kulit, hiperplasia epidermis dan
dominan infiltrasi sel-sel monuklear di perivaskular
2.1.4

Diagnosis dan Diagnosa Banding

Penyakit Scabies dapat didiagnosa dengan melihat gejala-gejala klinis dan


histopatologi. Untuk konfirmasi dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu
dengan pemeriksaan mikroskopik dari bahan kerokan dengan atau tanpa dibubuhi
NaOH atau laktofenal. Luka-luka dikerok dengan skalpel atau pisau sampai
terlihat lapisan kulit yang agak basah. Hasil kerokan di tampung pada cawan petri.
Untuk pemeriksan segar sediaan langsung diperiksa dibawah mikroskop. Tungau
tampak bergerak-gerak. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat diidentifikasi jenis
tungaunya (Anonimus, 1981).Sedangkan diagnose secara histopatologi dapat
dibuat biopsi kulit yang berlesi dari hewan yang menunjukan kegatalan yang
hebat (Jubb et al. 1985). Beberapa jenis penyakit kulit dapat mengacaukan
diagnosa klinik. Identifikasi tungaulah dipakai sebagai pegangan, dibedakan
dengan penyakit jamur yang ditemukan yaitu spora hifanya. Kesulitan lain adalah
dalam kasus Scabies subklinis. Mungkin diperlukan teknik khusus untuk
pendiagnosaan, seperti teknik serologi (Pruett et al, 1986). , PCR dan lain-lain
yang masih taraf percobaan. Menurut buku Manual Penyakit Hewan Mamalia
halaman 437 mengatakan diagnosa banding dari penyakit scabies adalah
dermatitis yang disebabkan oleh jamur dan kadang sulit dibedakan dengan
demodecosis tipe skuamosa (pada anjing).
2.1.5

Pengobatan dan Pencegahan

Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit


(perendaman/dipping, disikat/brushing, penyemprotan/spraying), oral dan
paranteral. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali dengan interval 1-2
minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau.
Obat yang digunakan secara langsung pada kulit antara lain larutan
coumaphos 0,1%, hexa chloride ( 1 %larutan yang berisi serbuk BHC dengan

kadar 0,625 % ), emulasi benzyl benzoate 25 %, kombinasi benzyl berzoate dan


BHC, phosmet 20 %, odylen 20 % (dimenthyl-diphenylene disulphide), lindane
20 %, amitra 0,1 %, malathion, phoxim.
Mengingat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka pengobatan
agak sulit dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang sudah lanjut, keropeng
yang tebal dapat menghambat penetrasi akarsida. Hasil yang baru diperoleh bila
keropeng tersebut dibersihkan terlebih dahulu, namun hal ini kurang praktis di
lapangan.
Obat yang bersifat sistemik dan cukup ampuh adalah ivermectin, diberikan
secara subkutan dengan dosis 200mg/kg bb. Secara oral, ivermectin tablet
diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg bb setiap hari selama 7 hari.
Pencegahan
Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat
ternakyang masuk ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas) agar
disesuaikan dengan luas lahan/kandang yang tersedia, sehingga tidak terlalu padat.
Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pengendalian yang terpenting adalah manajemen pengobatan dan
penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas
hewan penderita, baik klinis maupun subklinis. Di samping itu, perhatian juga
harus ditujukan terhadap induk dan pejantannya. Pejantan yang menderita scables
dapat menulari induk, dan selanjutnya induk dapat menulari anaknya.
Tindakan pemberantasan scabies pada peternakan yang bersifat intensif
(pada satu pemilik peternakan) akan mudah dilakukan, yang ditunjukkan oleh
banyaknya laporan keberhasilan yang sangat memuaskan. Sebaliknya, tindakan
pemberantasan pada suatu daerah dengan pola peternakan tradisional, hasilnya
seringkali kurang memuaskan, karena infeksi ulang dapat kembali terjadi,
sehubungan dengan kurangnya pengawasan terhadap lalu lintas ternak.
Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Hewan penderita scabies dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi,
setelah bagian kulit yang rusak dibuang atau dimusnahkan dengan pembakaran.
2.2 Aloe vera
Aloe vera merupakan tumbuhan liar ditempat yang berhawa panas atau
ditanam pada pekarangan rumah sebagai tanaman hias, berasal dari famili liliacea
dengan hijau daun mencolok dan menyatu pada batang dengan pola berbentuk
bunga mawar, sama seperti spesies dari genus aloe lainnya, aloe vera membentu
simbiosis mikoriza arbuskulark, suatu simbiosis yang memungkinkan tanaman
mendapatkan nutrisi mineral didalam tanah dengan baik
Beberapa ahli menduga bahwa daerah asal lidah buaya adalah Afrika,
terutama Mediterania, kemudian menyebar ke Arab, India, Eropa, Asia Timur, dan

Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pendapat lain menjelaskan bahwa lidah buaya
berasal dari Bombay yang kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia (Sudarto,
1997)
Berdasarkan hasil penelitian, aloe vera kaya akan kandungan zat-zat seperti
enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang
sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Selain itu, menurut Wahyono E dan Kusnandar, aloe vera berkhasiat sebagai
anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri dan membantu proses regenerasi sel. Di
samping menurunkan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes, mengontrol
tekanan darah, menstimulasi kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit kanker.
Taksonomi dan Tata nama Aloe vera
Spesies aloe vera memiliki sejumlah sinonim seperti aloe berbadensis,
Aloe indica, Aloe perfoliata dan Aloe vulgaris. Nama spesies vera berarti benar
atau asli. Aloe vera pertama kali dideskripsikan oleh Carl Linnaeus pada tahun
1753 sebagai Aloe perfoliata vera. Selanjutnya dideskrpsikan ulang oleh Nicolas
Laurens pada tahun 1768 sebagai aloe vera. Aloe vera termasuk kedalam:
Kingdom

: plantae (tumbuhan)

Divisi

: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas

: Lilieropsida (berkeping satu atau monokotil)

Ordo

: Asparagales

Famili

: Asphodelaceae

Genus

: Aloe

Spesies

: Aloe vera

Nama Binomial

: Aloe vera (L) Burm,f

Deskripsi Botani dan Morfologi Aloe Vera


Bagian-bagian dari tumbuhan aloe vera yaitu:
a. Aloe vera berbatang pendek, tertutup oleh daun-daun yang rapat dan
sebagian terbenam dalam tanah, melalui batang ini akan muncul tunastunas yang menjadi anakan. Aloe vera bertangkai panjang juga muncul
dari batang melalui celah-celah atau ketiak daun.peremajaan tanaman ini
dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian dari
sisa tunggul batang ini akan muncul tunas baru atau anakan.
b. Aloe vera berbentuk pita dengan helainya yang memanjang agak runcing
berbentuk taji, tebal, getas, tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan
berbintik-bintik, panjang 15-36 cm, lebar 2-6 cm. Daunnya berdaging
tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sukulen atau
banyak mengandung air, getah atau lendir. Aloe vera dibentuk oleh

epidermis tebal yang ditutup oleh kutikula diseluruh mesofil dapat


dibedakan menjadi sel klorenkim dan sel-sel berdinding tipis membentuk
parenkim atau fillet. Sel-sel parenkim berisi agar mucilaginous transparan
yang disebut sebagai gel aloe vera. Aloe vera tahan tehadap kekeringan
karena didalam daun banyak tersimpan cadangan air yang dapat
dimanfaatkan pada waktu kekurangan air, bentuk daun berduri lemas
dipinggirnya. Panjang daun dapat mencapai 50-75 cm dengan berat 0,5-1
kg.
c. Bunga aloe vera berwarna kuning atau kemerahan berbentuk pipa yang
mengumpul, keluar dari ketiak daun. Bunga berukuran kecil, tersusun
dalam rangkaian berbentuk tandan dan panjangnya bisa mencapai 60-100
cm, bunga biasanya muncul bila aloe vera ditanam dipegunungan.
d. Akar aloe vera berupa akar serabut yang pendek dan berada dipermukaan
tanah. Panjang akar berkisar antara 50-100 cm. Untuk pertumbuhannya
tanaman menghendaki tanah yang subur dan gembur dibagian atasnya.
Aloe vera terbagi atas 4 bagian yaitu:
1. Batang
Aloe vera berbatang pendek.batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh
daun-daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Batang aloe
vera dapat distek untuk perbanyak tanaman. Peremajaan tanaman ini
dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya kemudian dari
sisa batang akan tumbuh tunas baru.
2. Daun
Daun aloe vera berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabuabuan, bersifat sukulen (banyak mengandung air), dan banyak
mengandung getah dan lendir (gel) sebagai bahan baku obat. Lendir ini
mendominasi isi daun. Apabila kulit luarnya dikupas, lendirnya akan
mengeras. Gel ini merupakan lapisan air tipis seperti cairan yang tidak
berwarna.
3. Bunga
Bunga aloe vera berwarna kuning atau kemerahan berupa pipa yang
mengumpul, keluar dari ketiak daun. Bunganya berukuran kecil, tersusun
dalam rangkaian berbentuk tandan dan panjangnya bisa mencapai 1 meter.
4. Akar
Akar aloe vera berupa akar serabut yang pendek dan berada disekitar
permukaan tanah. Panjang akar kira-kira berkisar antara 50-100 cm. Oleh
karena itu pada musim kemarau embun yang menempel disekitar tanah
dapat langsung diserap. Dengan demikian dibutuhkan tanah yang gembur
dan subur dibagian atasnya. Hal ini dicapai dengan lapisan sedalam 30 cm.

Kandungan Kimia Lidah Buaya

Zat aktif yang dikandung lidah buaya yang berperan sebagai penyembuh luka
bakar yaitu:
1. Flavonoid
Flavanoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar dan
terdapat dalam semua tumbuhan hijau dan memiliki senyawa metabolit
sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flovonoid tersusun
dari dua cincin aromatis yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin
benzene (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk
suatu susunan C6-C3-C6 seperti yang di tunjukkan pada gambar 1. Dalam
lidah buaya ini flavonoid berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, dan dapat
menghambat pendarahan pada kulit (Rizky,2013).

Flavonoid

Isoflavonoid

Neoflavonoid

Gambar 2.2: Struktur umum flavonoid

Flavanoid merupakan senyawa polar sehingga akan larut dalam pelarut


polar etanol, metanol, butanol, aseton. Adanya gula yang terikat pada
flavanoid cenderung menyebabkan flavanoid lebih mudah larut dalam air dan
demikian campuran pelarut diatas dengan air merupakan pelarut yang baik
untuk glikosida. Sebaliknya, aglikogen yang kurang polar cenderung lebih
mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Sukadana, 2009).
2. Tanin
Tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa
polifenol kompleks. Tanin tersebar dalam setiap tanaman yang berbatang.
Tanin berada dalam jumlah tertentu, biasanya berada pada bagian yang
spesifik tanaman seperti daun, buah, akar dan batang. Tanin merupakan
senyawa kompleks, biasanya merupakan campuran polifenol yang sukar
untuk dipisahkan karena tidak dalam bentuk kristal (Robert,1997). Tanin
biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang
larut dalam organik yang polar. Tanin mempunyai aktivitas antioksidan
menghambat pertumbuhan tumor dan enzim (Harborne, 1987). Teori lain
menyebutkan bahwa tanin mempunyai daya antiseptik yaitu mencegah
kerusakan yang disebabkan bakteri atau jamur berfungsi sebagai astringen

10

yang dapat menyebabkan penutupan


pendarahan yang ringan (Anief, 1997).

pori-pori

kulit,

menghentikan

3. Saponin
Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan.
Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan
dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama.
Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki
rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir.
Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau
hemolisis pada darah. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan
banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat
keras atau racun biasa disebut sebagai Sapotoksin (Robert, 1997).
Efek saponin berdasarkan sistem fisiologis meliputi aktivitas pada sistem
kardiovaskular dan aktivitas pada sifat darah (hemolisis, koagulasi,
kolesterol), sistem saraf pusat, sistem endokrin, dan aktivitas lainnya.
Saponin mampu berikatan dengan kolesterol, sedangkan saponin yang masuk
kedalam saluran cerna tidak diserap oleh saluran pencernaan sehingga
saponin beserta kolesterol yang terikat dapat keluar dari saluran cerna. Hal ini
menyebabkan kadar kolesterol dalam tubuh dapat berkurang.
Sifat-sifat Saponin adalah:
a. Mempunyai rasa pahit
b. Dalam larutan air membentuk busa yang stabil
c. Menghemolisis eritrosit
d. Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi
e. Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya
f. Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi
g. Berat molekul relatif tinggi, dan analisis hanya menghasilkan formula
empiris yang mendekati. Toksisitasnya mungkin karena dapat
merendahkan tegangan permukaan (surface tension).
Saponin diklasifikasikan menjadi 2 yaitu : saponin steroid dan saponin
triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul
karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang
dikenal sebagai saraponin. Tipe saponin ini memiliki efek anti jamur. Pada
binatang menunjukkan penghambatan aktifitas otot polos. Saponin steroid
diekskresikan setelah konjugasi dengan asam glukoronida dan digunakan
sebagai bahan baku pada proses biosintesis dari obat kortikosteroid.
Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul
karbohidrat. Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin.
Ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi
sehingga dapat dimurnikan.
4. Polifenol
Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah
kerusakan akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi dan

11

plastik. Fungsi polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari
rusaknya ion ion logam. Kelompok tersebut sangat mudah larut dalam air dan
lemak serta dapat bereaksi dengan vitamin C dan E (Anief, 1997).

Gambar 2.3 : Struktur umum fenol


5. Steroid
Steroid merupakan bagian yang penting dari senyawa organik dan
seringkali berfungsi sebagai nukleus. Salah satu jenis steroid, yakni kolesterol
mempunyai peranan yang vital bagi fungsi-fungsi selular dan menjadi
substrat awal bagi vitamin yang larut dalam lemak, dan hormon steroid.
Steroid sebagai anti-inflamatory, bersifat antiseptik dan penghilang rasa sakit.

Gambar 2.4 : Struktur umum Steroid

Senyawa Aktif Aloe vera


Daun aloe vera terdiri dari dua bagian utama yaitu kulit luar daun
mengandung eksudat dan gel yang terdapat dibagian dalam daun.Gel aloe vera
tidak berwarna, tidak berasa, dan terdiri dari sel parenkhim, sedangkan eksudat
aloe vera berwarna kuning dan berasal dari sel-sel yang terkait dengan bundel
vaskular.18
a. Kandungan gel
Gel ini mngandung nilai nutrien yang kaya, diantaranya adalah 18
jenis asam amino terutama leusin, lisin, valin, dan histidin, enzim seperti
asam fosfatase, alkalin, fosfatase, amailase, dehidrogenase laktat, lipse, enzim
proteolitik, karboksipeptida, katalase, dan oksidase, vitamin-vitamin berupa
vitamin C, B1, B2, B12, B6, vitamin A, niacin dan kholin, mineral-mineral
12

berupa kalsium, besi, belerang, pospor, mangan, alumunium, magnesium,


sodium, stronsium, silika, boron dan barium, karbohidrat, polisakarida dan
monosakarida berupa acetylated mannan, acetylated glocomannan,
glocomannan,
galaktogalakturan,
glukogalaktomannan,
galaktoglukoarabinomannan, arabinan, galaktan, d-glukosa, arabinosa,
galaktosa dan xylosa, dan komponen spesifik senyawa glikosida antrakuinon
berupa aloin, barbaloin, asam aloetat dan emodin dalam kadar yang sangat
kecil. Bahkan beberapa peneliti lain mengatakan bahwa gel aloe vera ini
mengandung stimulator biogenik untuk epitalisasi berupa heteroauksin, asam
fenilindoasetat, glioksidiuresida dan alantoin.
b. Kandungan eksudat
Kulit luar hijau daun berisi eksudat kuning, eksudat kuning tersebut
mengandung glikosida anthraquinone keonsentrasi tinggi berupa aloin, aloeemodin dan barbaloin.
Manfaat Aloe vera
Bagian dari aloe vera yang dimanfaatkan berupa daun, dapat digunakan
langsung baik secara tradisional maupun dalam bentuk ekstraknya. Eksudat atau
getah daun yang keluar bila dipotong, terasa pahit, dan kental, secara tradisional
dapat digunakan langsung untuk pemeliharaan rambut, penyembuhan luka, dan
sebagainya. Gel adalah bagian berlendir yang diperoleh dengan menyayat bagian
dalam daun setelah eksudat dikeluarkan, bersifat mendinginkan, dan mudah rusak
sehingga dibutuhkan proses pengolahan lebih lanjut agar diperoleh gel yang stabil
dan tahan lama, adapun penggunaan aloe vera dapat dimanfaatkan secara luas dan
telah melalui uji penelitian diantaranya adalah:
1. Makanan dan minuman
Aloe Vera dapat dimakan langsung atau diolah menjadi natabde aloe,
dawet, dodol selai dan lain-lain.
2. Kesehatan kulit
Manfaat untuk kulit sebagai pelembab didapatkan dengan mencampur air
dan komponen polisakarida pada aloe vera, menghasilkan konsistensi
menyerupai agar yang mengikat air di dalam campuran dan meminimalkan
penguapan. Memberikan kondisi lingkungan lembab yang bertahan lama
ketika diaplikasikan pada jaringan yang kering serta membasahi bagianbagian yang cenderung menahan kelembapan pada jaringan.
3. Mempercepat penyembuhan luka
Penelitian oleh Heggers dkk, melaporkan suatu polipeptida dengan berat
molekul tinggi yang dikandung gel aloe vera menunjukkan efek
mengobati luka eksisi pada tikus. Yagi dkk, melaporkan bahwa gel aloe
vera mengandung glikoprotein dengan aktifitas mendorong ploriferasi sel,
sementara Davis dkk, mencatat bahwa gel aloe vera terbukti membantu
penyembuhan luka dengan meningkatkan suplai darah, yang mana pada

13

akhirnya akan meningkatkan suplai oksigen ke jaringan. Thompson, juga


melaporkan derivate dari aloe vera menstimulasi aktifitas fibroblast dan
proliferasi kolagen.
4. Meningkatkan system imun
Mekanisme oleh komponen aloe vera berupa aktifitas farmakologik dari
acemannan termasuk efek antiviral, aktivasi makrofag, stimulasi sel dan
menginduksi produksi oksida nitrat.
5. Efek anti-inflamasi
Hanley dkk, melaporkan bahwa ekstrak aloe vera menurunkan inflamasi
sebessar 48% pada tikus yang mengalami inflamasi adjuvant-induced
arthritis. Penelitian terbaru menunjukkan peptidase bradikinase yang
diisolasi dari aloe vera dapat mengurangi bradikinin, substansi inflamasi
yang merangsang rasa sakit.
6. Efek antibakteri
Streptococcus pyogenes dan Streptococcus faecalis adalah mikroorganisme
yang dapat dihambat oleh gel aloe vera. Menggunakan tikus percobaan,
Heggers dkk, menyatakan efek antibakteri gel aloe vera secara in vivo
dapat meningkatkan proses penyembuhan luka dengan menghilangkan
bakteri yang berperan pada proses inflamasi. Gel aloe vera dilaporkan
berfungsi sebagai bakterisida melawan Pseudomonas aeruginosa
sementara acemannan mencegah perlekatannya pada sel epitel paru-paru
manusia pada selapis kultur.
7. Efek antifungal
Suatu gel aloe vera yang telah diproses sebelumnya dilaporkan
menghambat pertumbuhan Candida albicans.
8. Efek antivirus
Acemannan yang dikandung aloe vera dapat mengurangi infeksi herpes
simplex pada lapisan sel target biakan. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Saoo dkk, Menyatakan bahwa bagian dari gel aloe vera yang mengandung
lektin menghambat secara langsung proliferasi sitomegalovirus pada sel
biakan, dengan cara sintesis protein. Sysiskis dkk, menguji sampel murni
dari aloe-emodin pada infektivitas virus herpes siimpleks Tipe 1 dan Tipe
2 dan menemukan bahwa aloe-emodin menginaktivasi virus seluruhnhya,
termasuk virus varicella-zoster, virus influenza dan virus pseudorabies
(Maryam,2013).
2.3 Kambing
Kambing sudah dibudidayakan manusia kira-kira 8000 hingga 9000 tahun
yang lalu. Kambing liar tersebar dari Spanyol ke arah timur sampai India, dan dari
India ke utara sampai Mongolia dan Siberia. Habitat yang disukai adalah daerah
pegunungan yang berbatu-batu. Alam aslinya, kambing hidup berkelompok 5
sampai 20 ekor. Dalam pengembaraannnya mencari makanan, kelompok kambing
ini dipimpin oleh kambing betina yang paling tua, sementara kambing jantan

14

berperan menjaga keamanan kawanan dari kelompok kambing tersebut. Waktu


aktif mencari makannya siang maupun malam hari. Makanan utamanya adalah
rumput-rumputan dan dedaunan (Chen, 2005).
Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang.
Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah subspesies kambing liar yang
secara alami tersebar di Asia Barat Daya, Turki dan Eropa. Kambing liar jantan
maupun betina memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan
lebih besar. Umumnya kambing mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke
atas dan kebanyakan berbulu lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar tidak
termasuk ekor adalah 1,3 meter - 1,4 meter, sedangkan ekornya 12 sentimeter-15
sentimeter. Bobot yang betina 50 kilogram - 55 kilogram, sedangkan yang jantan
bisa mencapai 120 kilogram. Kambing berkembang biak dengan melahirkan.
Kambing bisa melahirkan dua hingga tiga ekor anak dalam setahun, setelah
bunting selama 150-154 hari. Dewasa kelamin dicapai pada usia empat bulan
(Riwantoro, 2010).
Kambing termasuk salah satu jenis ternak yang akrab dengan usaha tani di
pedesaan. Hampir setiap rumah tangga memelihara kambing. Sebagian dari
mereka menjadikan peternakan kambing sebagai salah satu sumber penghasilan
keluarga. Saat ini, pemeliharaan kambing bukan hanya di pedesaan, tetapi sudah
menyebar ke berbagai tempat. Semakin banyak peternak kambing yang muncul
disebabkan oleh permintaan daging dan susu kambing yang terus mengalami
peningkatan. Kambing sangat digemari oleh masyarakat untuk diternakan karena
ukuran tubuhnya tidak terlalu besar, perawatannya mudah, cepat berkembang
biak, jumlah anak per kelahiran sering lebih dari satu ekor, jarak antar kelahiran
pendek dan pertumbuhan anak atau pedet cepat. Selain itu, kambing memiliki
daya adaptasi yang tinggi dengan kondisi agroekosistem suatu tempat. (Sarwono,
2011).
Distribusi penyebaran kambing relatif merata di seluruh daerah. Satu dari
lima rumah tangga petani memelihara 1-4 ekor kambing. Sebagian masyarakat
pedesaan memperlakukan kambing sebagai pabrik kecil penghasil daging dan
susu. Hasil lain yang bisa diperoleh dari ternak kambing adalah kulit dan
kotorannya yang berfungsi sebagai pupuk kandang. Peternak di Jawa sangat
menyukai kambing karena modal yang diperlukan untuk pemeliharaannya relatif
kecil (Rahayu, 2014).
Di Indonesia ada beberapa bangsa kambing yang fenotip sudah
dikarakterisasi. Dari bangsa ternak kambing lokal Indonesia tersebut yang
termasuk kategori besar adalah kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing
Muara, kambing kategori sedang adalah kambing Kosta, Gembrong dan kategori
kecil adalah kambing Kacang, kambing Simosir dan kambing Marica (Batubara,
2007).

15

2.4 Alur Penelitian


Getah lidah buaya

Kambing yang terinfeksi scabies

Kel.1 kelompok control negative dengan


air sebagai
kontrollidah buaya konsentrasi
Kel.3
dengan getah
Kel.5 dengan
25%
getah lidah buaya konsentrasi 100%

Kel.2 kelompok control positif dengan


Kel.4ivermectin
dengan getah lidah buaya konsentrasi 50%

Pengamatan

Data
Analisis dan Pembahasan

Kesimpulan

16

3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2016. Dilaksanakan di
Peternakan
3.2 Jenis Penilitian dan Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratories dengan
rancangan post test only control group design dengan ruang lingkup keilmuan
meliputi Parasitologi dan Farmasi.
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah selektif. Sampel
diambil dengan cara memilih kambing yang terinfeksi scabies, berat badan yang
relative sama, cara pemeliharaan yang sama, dan berasal dari tempat budidaya
yang sama. Sampel diperoleh di Peternakan di Kabupaten Soppeng.
3.3 Materi Penelitian
3.3.1 Alat
Alat penelitian yang digunakan antara lain:
1. Handskun
2. Scalpel dan blade
3. Mikroskop
4. Kaca objek
5. Rotavafor
3.3.2 Bahan
Bahan penelitian yang digunakan antara lain; ekstrak lidah buaya 25%,
50%, dan 100%. Cairan DMSO 15 ml, ivermectin 1% untuk kontrol positif. Juga
digunakan air sebagai bahan kelompok kontrol negative.
3.3.3 Sampel
Populasi hewan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kambing
yang terinfeksi scabies, berat badan yang relative sama, cara pemeliharaan yang
sama, dan berasal dari tempat budidaya yang sama. Pada penelitian ini sampel
diperhitungkan dengan Rumus Federer (Gaspers,2007).
Rumus Federer:
( n - 1) ( t 1) 15
n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t = jumlah kelompok perlakuan
Dalam penelitian ini terdapat 5 perlakuan, dimana 2 perlakuan pada
kelompok control yaitu control positif dan negatif dan 3 perlakuan pada kelompok
pemberian perlakuan berupa extrak lidah buaya dengan konsentrasi 25 %, 50 %,
100%. Maka nilai teh yang digunakan 5.

17

Bila dimasukkan pada rumus diatas, maka dapat ditentukan jumlah sampel
per perlakuan yaitu :
(n-1)(5-1) = 15
(n-1)(4) = 15
4n-n = 15
4n = 19
n = 19/4
n = 4,75 = 5
maka jumlah sampel per perlakuan minimal 5. Sehingga dalam penelitian ini
dipakai 25 ekor kambing yang terdiri dari 10 ekor kambing dalam kelompok
control dan 15 ekor kambing dalam kelompok perlakuan
3.4 Metode Penelitian
Pembuatan ekstrak lidah buaya (Aloe Vera) dengan cara sebagai berikut:
1. Pengenceran ekstrak dengan menggunakan pelarut cairan DMSO hingga
konsentrasi.
2. Aloe vera dibersihkan terlebih dahulu, kemudian antara buah dan kulit
dipisahkan.
3. Buah Aloe vera kemudian dipotong dadu-dadu kecil, kemudian
dimasukkan kedalam wadah kemudian dicampurkan dengan pelarut
(ethanol 96 %) direndam selama 3 x 24 jam.
4.
Setelah direndam ekstrak Aloe vera kemudian disaring menggunakan
kertas saring, air rendaman kemudian dimasukkan ke dalam rotavafor
untuk memudahkan ekstrak Aloe vera mengental selain itu juga
dimaksudkan untuk memisahkan antara pelarut dengan ekstrak murni
Aloe vera selama 1 jam dengan suhu 60o
Untuk pengobatan scabies digunakan dua puluh lima ekor kambing yang
terinfeksi scabies dan dibagi atas 5 kelompok (K1 (kontrol positif), K2 (kontrol
negatif), K3, K4, dan K5) masing-masing kelompok berjumlah 5 ekor. Semua
kambing dihitung jumlah tungaunya per satu sentimeter bujur sangkar sebelum
perlakuan, sehari dan tujuh hari setelah pelumuran ekstrak lidah buaya.
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengerok kulit di antara yang sehat dan
terinfeksi seluas 1 cm2 menggunakan scalpel dan minyak mineral di dua lokasi
yang berbeda (telinga dan punggung). Kerokan kulit yang didapat diletakkan di
atas gelas objek dan diteteskan larutan NaOH 10% untuk menghancurkan lemak
ataupun kotoran yang ada.
3.5 Analisis Data
Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap jumlah tungau. Data jumlah
ungau sebelum dan sesudah perlakuan dianalisis dengan analisis varians dan
dilanjutkan dengan uji Duncan. Data yang diperoleh, dianalisis dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Apabila ada perbedaan yang
nyata akan dilanjutkan dengan Newman-Keuls.
18

DAFTAR PUSTAKA
Abu-Samra, M.T., B.E.D. Hago, M.A. Aziz and F.W. Awad. 1981a. Sarcoptic
mange in sheep in the Sudan. Annal of Tropical Medicine and
Parasitology 75 : 639-645.
Anief, M. 1997. Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Anonimus. 1981. Kudis menular. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan
Menular, Jilid III hal.78-83.Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta.
Batubara, A. 2007. Tujuh Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Edisi 25
April- 1 Mei 2007.
Budiantono.2004. Kerugian Ekonomi Akibat Scabies dan Kesulitan Dalam
Pemberantasannya. Dalam Prosiding Seminar Parasitologi dan
Toksikologi Veteriner. Denpasar: Balai Penyidikan dan Pengujian
Veteriner Regional VI.
Chen, S. Y.Y.H. 2005. Mitochondrial diversity and Phylogeografhic structure of
chinese domestic goats. Molecular phylogenetic anf evolution 37 : 804814.
Harbone, J.B, 1987. Metode Fitokimia Penentuan Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Kosasih, Padmawinata. Bandung:
Penerbit ITB.
Hutapea, J. R. 1993. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (II). Departemen
Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
Idris, Maryam. 2013. Efektivitas Ekstrak Aloe Vera Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Streptococcus Sangus. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.
Iskandar, T. 2000. Masalah Skabies Pada Hewan Dan Manusia Serta
Penanggulangannya. Wartazoa Vol. 10 No. 1.
Jubb, K.V.F., C.K. Peter and P. Nigel. 1985. Pathology of Domestic Animals 3rd
ed. Vol.1 pp. 495-496. Academic Press Inc. London.
Kasmar, Ihwal Nur. 2015. Prevelansi Scabies pada Kambing Di Kecamatan
Bontoduri, Kabupaten Bulukumba. Makassar. Program Studi Kedokteran
Herwan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuffin.
Kertayadnya, I.G., D.H.A. Unruh, M. Gunawan dan K.S. Adhyputra. 1982.
Scabies, epizotiologi, pengobatan dan perkiraan kerugian ekonomi,
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia

19

Periode Tahun 1976-1981. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat


Jenderal Peternakan, Jakarta, hal 16-23.
Khan MK, Sajid MS, Khan MN, Iqbal Z and Iqbal MU. 2008. Prevalence, Effects
Of Treatment On Productivity And Cost Benefit Analysis Infive Districts
Of Punjab, Pakistan. Res Vet Sci. 87: 7075.
Morsy, G.H., J.J. Turek and S.M. Gaafar. 1989. Scanning electron microscopy of
sarcoptic mange lesions in swine. Veterinary Parasitology 31: 281-288.
Nayel, N. M. and M.T. Abu-Samra. 1986. Experimental infection of the one
humped camel (Camelusdromedaries) with Sarcoptes scabie var cameli
and Sarcoptes scabie var ovis . Annals of TropicalMedicine and
Parasitology 80 :553-561.
Prendiville JS. Scabies and lice. In: Irvine AD, Hoeger PH, Yan AC, editors.
Harpers Textbook of Pediatric Dermatology 3rd ed. West Sussex:
Blackwell Publishing Ltd. 2011. p. 72.172.16.
Pruett, J.H., F.S. Guillot dan W.F. Fisher. 1986. Humoral and celllular
immunoresponsiveness of stanchioned cattle infested with Psoroptes
ovis. Vet Parasitology, 22, 121-133.
Putra, A. A. G. 1994. Kajian epidemiologi dan kerugian ekonomi scabies.
Laporan Rapat KoordinasiKesehatan Hewan Wilayah Nusa Tenggara
tanggal 16-18Nopember 1994. Balai Penyidikan Penyakit Hewan
Wilayah VI Denpasar.
Putra, A.A.G. dan M. Gunawan M. 1983. Laporan penyidikan kasus scabies pada
kambing. Efikasi coumaphos 0,1 % terhadap Sarcoptes scabie var caprae
dan gambaran haematologik. Laporan tahunan Hasil Penyidikan
Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1981-1982.
DirektoratKesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta ,
hal. 30-35.
Rahayu, ika. 2014. Prospek Usaha Ternak Kambing. Nusantara. Bogor, Jabar.
Riwantoro. 2010. Teknologi pakan lengkap solusi bagi permasalahan pakan ternak
Domba dan kambing. Word Press.
Robert, H.D. 1997. Aloe Vera: A Scientific A pproach. Vantage Press, Inc. New
York.
Rohmah, Yuyun Mawaddatur. 2012. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Lidah
Buaya (Aloe Vera) Sebagai Antiskabies Secara In Vitro. Skripsi tidak
diterbitkan. Jember. Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Sarwono. 2011. Buku Beternak Kambing Unggul . http://www.kambing aqiqah di
Jakarta.com/. di akses pada Maret 2016.
Sasroamidjojo, S. M dan Soeradji. 1978. Peternakan Umum. CV. Yasaguna,
Jakarta.
20

Soulsby, E.J.L. 1982. Helmith, Arthropods, and Protozoa of Domestic Animals, 7


th Ed. Bailliere Tindall, page 482-486.
Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktor Kesehatan Hewan. 2014. Manual
Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta: Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian.
Sudarto, Y. 1997. Lidah buaya. Kanisius. Yogyakarta.
Sweatmen, G.K. 1971. Mites and pentastomes. In Parasitic Diseases of Wild
Animals. (John W. Davisand Roy C. Anderson, eds.), Iowa State
University Press, Ames, Iowa, USA., page 3-64.
Wijaya, Riazky Aris. 2013. Formulasi Krim Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera)
Sebagai Alternatif Penyembuhan Luka Bakar. Skripsi tidak diterbitkan.
Semarang. Jurusan Kimir Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Negeri Semarang.

21

Anda mungkin juga menyukai