Anda di halaman 1dari 2

Revitalisasi nilai-nilai toleransi melalui pendidikan berkarakter

Oleh : Anang Fahrur Rozi, S.Pd


Peristiwa pembakaran gereja di Kabupaten Aceh Singkil Propinsi Aceh yang dilakukan oleh massa menjadi
isu intoleransi yang cukup mengundang perhatian oleh khalayak umum. Peristiwa ini mengundang kecaman dari
masyarakat baik melalui media sosial maupun media massa. Untuk kesekian kalinya, aksi pembakaran ini
didasarkan pada sentimen agama. Tidak berhenti sampai disitu, peristiwa pembakaran gereja diwarnai dengan
bentrokan antar kelompok masyarakat yang mengakibatkan jatuhnya korban bentrokan. Peristiwa ini menyiratkan
bahwa masyarakat melakukan aksi anarkis dengan mangatasnamakan agama untuk mewujudkan kepentingan
kelompoknya. Sebelumnya, peristiwa pembakaran masjid di Papua yang dilakukan sekelompok orang karena
kesalahpahaman yang terjadi antar dua kelompok agama. Isu-isu yang terjadi menandakan bahwa masyarakat
sedang mengalami degradasi nilai-nilai toleransi yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
toleran dengan segenap keberagaman dalam setiap dimensi kehidupan bermasyarakat.
Toleransi sesungguhnya berkembang dalam kerangka adanya keberagaman dalam berbagai dimensi
kehidupan, sehingga akan dapat terwujud keserasian dan keharmonisan hidup. Dengan keberagaman dalam
berbagai dimensi, masyarakat dituntut untuk saling menghargai, menghormati, menerima dan memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk memenuhi hak-hak dasar manusia. Namun, nilai-nilai toleransi tersebut tidak
tercermin dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berdampak pada terkotak-kotaknya kepentingan yang berkembang
dalam individualisme, kepentingan kelompok yang dominan, kepentingan daerah, kepentingan suku, agama. Sikap
tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai toleransi antar masyarakat sudah memudar. Nilai-nilai toleransi yang
sudah termaktup dalam Pancasila melalui konsep humanitas belum berimplikasi kepada kehidupan masyarakat
sebagai sebuah bangsa. Didalam konsep humanitas, manusia diciptakan beraneka ragam yang memiliki
kepribadian yang beragam yang membentuk jatidiri manusia sebagai individu. Keberagaman tersebut berimplikasi
pada model tata hubungan manusia dengan manusia yang lain. Dalam berhubungan dengan sesama, seharusnya
masyarakat mampu untuk mengendalikan diri, tidak merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, paling kuasa,
sehingga mengabaikan dan memandang remeh atau tidak penting pihak lain.
Nilai-nilai toleransi yang memudar ini disebabkan oleh, pertama, belum kuatnya penanaman nilai-nilai
agama yang dianut oleh masyarakat. Jika dilihat, aksi anarkis sering didasarkan pada agama. Agama menjadi
kambing hitam dalam setiap aksi yang dilakukan. Dua peristiwa pembakaran tempat ibadah yang terjadi di Aceh dan
Papua mengindikasikan bahwa pemahaman tentang agama oleh masyarakat masih belum kuat. Sikap fanatik
sempit yang dilakukan oleh masyarakat berdampak pada memudarnya nilai-nilai kerukunan, menghargai,
menghormati dan memberikan kesempatan kepada masyarakat lain yang melaksanakan ibadahnya. Selain itu,
peran aparat pemerintah dan tokoh agama yang masih belum optimal dalam memberikan pengertian dan
pemahaman kepada masyarakat. Tokoh agama dan pemerintah justru mengikuti arus dan menjadi pusaran konflik
yang terjadi. Kedua, meningkatnya sifat apatis dan tidak terbuka. Masyarakat selama ini dapat dipandang tidak
mempedulikan kepentingan orang lain. Ketiga, kemerosotan karakter individu. Karakter masyarakat Indonesia yang
toleran, saling menghormati, jujur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila tidak tampak dalam kehidupan
masyarakat. Kemerosotan karakter ini disebabkan oleh pengaruh globalisasi dan modernisasi yang sudah masuk ke
masyarakat dalam dimensi kehidupan mereka. Pengaruh globalisasi yang menuntut masyarakat bersikap
individualis, apatis, tidak menjunjung nilai meghargai, menghormati dan kejujuran. Serangan globalisasi ini
menggerus nilai budaya dan mengancam disintegrasi dan keutuhan NKRI.
Kemerosotan karakter masyarakat ini menjadi perhatian tersendiri oleh Pemerintah. Pemerintah
mencanangkan kebijakan pembangunan karakter bangsa. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki dan menguatkan
karakter masyarakat Indonesia dalam kerangka Ke-bhinneka Tunggal Ika-an. Kebijakan tersebut dijabarkan melalui
empat pilar kebangsaan yang menitikberatkan pada pembangunan karakter masyarakat Indonesia. Implementasi
kebijakan ini menyasar pada sektor pendidikan. Sektor pendidikan ini menjadi tumpuan keberhasilan kebijakan
pembangunan karakter. Sektor pendidikan melalui Kementerian Pendidikan mencanangkan pendidikan berkarakter.
Pendidikan berkarakter tidak terletak pada materi pembelajaran yang disampaikan di satuan pendidikan, akan tetapi
menekankan pada aktivitas pembelajaran yang dilakukan. Proses pembelajaran di kelas seharusnya mencerminkan
dan menerapkan karakter dasar masyarakat khususnya sikap toleran. Penanaman nilai dan karakter kepada
peserta didik tidak semata-mata hanya pada proses pembelajaran, lebih jauh lagi dilakukan dalam proses
pembiasaan dan aktivitas-aktivitas d lingkungan sekolah. Penerapan pendidikan berkarakter membutuhkan strategi
dan rencana aksi yang baik untuk menghasilkan output yang diharapkan. Namun, dalam kenyataannya, pihak-pihak

yang terlibat dalam pendidikan berkarakter masih belum mampu menerapkan dengan baik. Beberapa indikator
ketidakmampuan tersebut tercermin dalam aktivitas yang dilakukan di sekolah. Konsep dasar pelaksanaan
pendidikan berkarakter ini masih belum efektif.
Kerangka aksi pendidikan karakter harus diuraikan dengan jelas melalui strategi, pendekatan dan proses
pelaksanaannya. Strategi yang harus dilakukan dengan membiasakan peserta didik dalam menerapkan sikap dan
perilaku yang sesuai dengan karakter bangsa. Pembiasaan sikap dan perilaku dilakukan dengan berbagai macam
kebiasaan yaitu pembiasaan diri sendiri, pembiasaan sosial, dan pembiasaan memperlakukan lingkungan.
Pembiasaan-pembiasaan tersebut dapat dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, Integrasi ke dalam
Kegiatan Belajar Mengajar pada setiap mata pelajaran. Pembiasaan dapat dilakukan melalui proses pembelajaran
dan proses penilaian di kelas. Didalam Kurikulum 2013, penilaian sikap menjadi penilaian mandiri dengan indikator
pengamatan sikap di dalam melakukan proses pembelajaran. Kedua, Pembiasaan dalam lingkungan di sekolah.
Pembiasaan ini dilakukan dengan memperlakukan lingkungan dengan baik. Hal ini merupakan indikator karakter
dalam menunjukkan sikap mencintai alam dan memelihara lingkungan dengan baik. Selain itu, pembiasaan di
lingkungan sekolah ini dapat dilakukan dengan menerapkan aktivitas sikap bersosial dengan baik. Ketiga,
mengintegrasikan pendidikan berkarakter dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Hal ini dilakukan karena
peserta didik dapat berinteraksi baik dan lebih kreatif dalam melakukan komunikasi dan kerjasama. Proses kegiatan
ektrakurikuler tersebut menjadi tempat peserta didik dalam mengembangkan potensi, bakat dan sikap yanog baik.
Keempat, Penerapan pembiasaan kehidupan di luar sekolah. Pembiasaan ini merupakan praktek pelaksanaan
sikap yang telah dikembangkan di sekolah.
Pengembangan sikap-sikap dan kebersamaan di kalangan peserta didik harus diletakkan sebagai salah
satu bagian mendasar dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Dalam proses pembelajaran untuk
mengembangkan karakter khususnya sikap toleransi, diperlukan beberapa model-model program pembelajaran
yang dirancang guru harus memiliki aspek pengembangan kognitif, pengembangan aspek-aspek afektif dan
psikomotorik. Kurikulum 2013 sebagai turunan dan pengembangan pendidikan berkarakter, mengakomodasi proses
dan model pembelajaran yang menitikberatkan pada pengembangan potensi, bakat, dan sikap peserta didik.
Perancangan model pembelajaran seharusnya mengacu pada sikap yang dikembangkan oleh peserta didik. Sikap
toleransi yang dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan sikap menghargai, menghormati, memberi kesempatan
kepada orang lain harus dimunculkan sebagai indikator penilaian pembelajaran oleh guru. Pengintegrasian karakter
kebangsaan dalam pelaksanaan pendidikan sangat penting dilakukan untuk menanamkan dan merevitalisasi nilainilai sikap masyarakat.
Upaya revitalisasi nilai-nilai toleransi dilakukan dengan, pertama, melaksanakan pendidikan berkarakter
secara berkelanjutan. Proses pengembangan nilai dan karakter bangsa sangatlah panjang dan menyeluruh.
Penerapan dan pengembangan nilai-nilai dan karakter dilakukan secara menyeluruh mulai dari pendidikan dasar
sampai dengan pendidikan menengah atas. Kedua, pengintegrasian karakter bangsa ke setiap mata pelajaran,
program pengembangan diri, dan budaya sekolah. Dengan mengintegrasikan karakter kedalam setiap elemen
sekolah, diharapkan peserta didik dapat menerapkan dan mengembangkan karakter bangsa di lingkungan
masyarakat. Ketiga, mengembangkan nilai sikap dan kepribadian. Paradigma pendidikan pada zaman sekarang
melalui sebuah pergeseran, hal ini juga berdampak pada perubahan dalam pemahaman nilai. Pendidikan masa
dahulu mengajarkan nilai sikap dan kepribadian melalui beberapa mata pelajaran. Namun, pendidikan sekarang
mengembangkan nilai sikap dan kepribadian di setiap pelajaran yang disampaikan di kelas. Dalam
mengembangkan nilai sikap tersebut, guru harus memperhatikan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Keempat,
peserta didik lebih aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran harus mengedepankan pada pengembangan
peserta didik. Peran peserta didik lebih besar daripada guru. Hal ini untuk menghindari adanya doktrinisasi kepada
peserta didik.
Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan/atau memberikan keterampilan. Namun harus
membentuk dan mengembangkan sikap peserta didik sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Pengembangan
kemampuan karakter dan sikap melalui proses pembiasaan maupun model pembelajaran dilakukan oleh peserta
didik. Peran guru hanya membantu peserta didik mengembangkan sikap dan karakter. Keberhasilan pengembangan
dan penguatan nilai-nilai, karakter dan sikap tidak dapat dievaluasi dengan cepat namun pengembangan pendidikan
berkarakter membutuhkan waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan karena karakter dan sikap sangat
berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang cukup lama.

Anda mungkin juga menyukai