1.
2.
3.
1.
2.
memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, maka ia akan memiliki lapangan kerja yang lebih banyak dan
pendapatan yang lebih tinggi bagi siapa saja, dan ia tidak perlu risau mengenai distribusi lapangan
kerja atau pendapatan. Dalam keadaan apa pun, distribusi sumber-sumber daya ekonomi secara
otomatis akan menjadi lebih merata seiring dengan proses pertumbuhan ekonomi.
Agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi tercapai maka kebijakan-kebijakan makro ekonomi dan fiskal
diarahkan untuk menggenjot tingkat produksi nasional melalui peningkatan investasi, konsumsi
masyarakat, dan ekspor. Lantas bagaimanakah caranya agar hal tersebut dapat dicapai? Logikanya,
untuk meningkatkan ekspor, kapasitas terpasang industri dalam negeri harus ditingkatkan, tapi hal ini
sangat tergantung pada daya saing dan permintaan pasar dunia terhadap komoditas-komoditas yang
diproduksi di Indonesia. Begitu pula untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, tingkat pendapatan
masyarakat harus didorong, antara lain melalui penyerapan tenaga kerja baru dan pengangguran.
Artinya untuk menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, investasi dan kapasitas terpasang industri di
Indonesia harus ditingkatkan. Sebaliknya agar investasi meningkat, pasar dalam negeri harus memilki
daya tarik bagi para investor, antara lain berupa tingginya pemintaan (konsumsi) masyarakat. Jadi
dalam logika ini, kunci peningkatan output Indonesia (baik PDB dan PNB) adalah peningkatan
investasi, dengan kata lain tingkat investasi yang tinggi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
2.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, politik ekonomi yang mendasari kebijakan fiskal Islam
adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu secara menyeluruh dan mendorong
mereka memenuhi berbagai kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar
kemampuannya. Menurut al-Maliki kebutuhan pokok yang disyariatkan oleh Islam terbagi dua.
Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi
pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).*37) Kedua, kebutuhan-kebutuhan
pokok bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini adalah keamanan,
kesehatan dan pendidikan dengan kata lain islam lebih mengedepankan tentang maqosid syariah
Persamaan
Tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam berbeda dari ekonomi konvensional, namun ada
kesamaan yaitu dari segi sama-sama menganalisis dan membuat kebijakan ekonomi. Tujuan dari
semua aktivitas ekonomi bagi semua manusia adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan
hidup manusia, dan kebijakan publik adalah suatu alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada sistem konvensional, konsep kesejahteraan hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan
maksimum bagi individu di dunia ini. Namun dalam Islam, konsep kesejahteraannya sangat luas,
meliputi kehidupan di dunia dan di akhirat serta peningkatan spiritual lebih ditekankan daripada
pemilikan material.
Kebijakan fiskal dalam ekonomi kapitalis bertujuan untuk
a. pengalokasian sumber daya secara efisien;
b. pencapaian stabilitas ekonomi;
c. mendorong pertumbuhan ekonomi; dan
d. pencapaian distribusi pendapatan yang sesuai.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Faridi dan Salama (dua ekonom muslim) bahwa tujuan ini
tetap sah diterapkan dalam sistem ekonomi Islam walaupun penafsiran mereka akan menjadi
berbeda. Jadi Kebijakan fiskal merupakan salah satu dari piranti kebijakan ekonomi makro.
Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran terhadap
pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemerintah sehingga menimbulkan gagasan untuk dengan
sengaja mengubah-ubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna memperbaiki kestabilan
ekonomi.
CONTOH KEBIJAKAN MASA ROSUL
Kebijakan fiskal zaman Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, yang di kemudian hari
dikembangkan oleh para ulama.Ibnu Khaldun (1404) mengajukan solusi atas resensi dengan cara
mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar,
ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah
mengalami penurunan, wajar bila pasar yang lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat
yang lebih besar. Abu Yusuf (798) merupakan ekonom pertama yang secara rinci menulis tentang
kebijakan ekonomi dalam kitabnya Al Kharaj, yang menjelaskan tanggung jawab ekonomi
pemerintahnuntuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Di zaman Rasulullah saw, sisi penerimaan APBN terdiri dari karaj (sejenis pajak tanah),
zakat, kums (pajak 1/5), jizya (sejenis pajak atas badan orang nonmuslim), dan penerimaan lain-lain
(diantaranya kaffarah/denda). Sedangkan pengeluaran terdiri dari pengeluaran untuk kpentingan
dakwah, pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai.
Penerimaan zakat dan kums dihitung secara proporsional, berdasar prensentase, bukan nilai
nominal, sehingga ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih
besar daripada penawaran agregat. Sistem zakat perniagaan tidak akan mempengaruhi harga dan
jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Berbeda dengan hal tersebut, saat ini PPN
dihitung atas dasar harga barang, sehingga harga brang bertambah mahal, dan jumlah yang
ditawarkan lebih sedikit.
Di zaman kekhalifahan begitu banyak contoh nyata pengelolaan dana rakyat yang baik DI
zaman Umar ibn Khattab penerimaan baitul mal mencapai 160 juta Dirham. Di sisi pengeluaran,
Umar memerintahkan Amr bin Ash, gubernur Mesir, untuk membelanjakan sepertiga APBN untuk
membangun infrastruktur. APBN di zaman-zaman para teladan tersebut jarang mengalami defisit.
Dengan ketiadaan defisit tidak ada uang baru yang dicetak, dan inflasi tidak akan terjadi (karena
adanya ekspansi moneter).
BENTUK KEBIJAKKAN FISKAL DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM
Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal
Salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme zakat
dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah mengundang perdebabatan
yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqh
memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin
dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya,
sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Untuk itu, perlu diadakan kajian kritis untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu sehingga
kewajiban seorang Muslim terhadap agama dan negaranya dapat terlaksana secara simultan.
Sebaliknya negara juga diuntungkan karena penerimaan negara dari sektor pajak sesuai dengan
yang diharapkan. Pada gilirannya, pengintegrasian itu perlu diwujudkan dalam kebijakan fiskal
negara.
Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana landasan pengintegrasikan zakat ke
dalam kebijakan fiskal. Hal ini membawa kepada pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana pengaruh
teori-teori tentang kebijakan fiskal terhadap hukum zakat. Pembahasan ini menjadi penting karena
kebanyakan penulisan tentang zakat selalu dihadapkan secara diametral dengan pajak sehingga
persoalan dikotomi zakat dan pajak terus berlarut-larut. Sementara bagi yang telah mencoba
mengintegrasikannya, belum mencoba melihat zakat dalam kerangka teori kebijakan fiskal dan
melihat pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya terhadap hukum zakat dan mendiskusikan
bagaimana perubahan-perubahan tersebut menjadi mungkin. Halaman-halaman berikut akan
mendiskusikan kedudukan zakat jika diadopsi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal,
terutama pengaruhnya terhadap hukum (fiqh) zakat. Terlebih dahulu akan dibahas sekilas mengenai
kebijakan fiskal dan kedudukan pajak di dalamnya