html
Galuh
http://sobogeologists.blogspot.co.id/2014/03/morfologi-butir-sedimen-ketikabentuk.html
Muhammad Anzja
adalah
bentuk (form), derajat
kebolaan(sphericity) clan derajat
kebundaran (roundness). Sementa
ra itu, Pettijohn (1975) dan Boggs
(1992) menekankan bahwa aspek
morfologi luar suatu butir meliputi
bentuk (form), kebundaran (round
ness)dan
tekstur
permukaan.
Mereka
menganggap
bahwa sphericity adalah
metoda
untuk
menyatakan
suatu
bentuk (form) butiran.
Pada
pengamatan tekstur butir secara
megaskopis
dan
mikrospokis,
aspek bentuk, derajat kebolaan
dan
derajat
kebundaraan
merupakan morfologi butiran yang
biasa dilakukan oleh kebanyakan
Bentuk Butir
Bentuk
butir (form atau shape) merupaka
n
keseluruhan
kenampakan
partikel secara tiga dimensi yang
berkaitan dengan perbandingan
antara ukuran panjang sumbu
panjang,
menengah
dan
pendeknya. Ada berbagai cara
untuk mendefinisikan bentuk butir.
Cara
yang
paling
sederhana
dikenalkan oleh Zingg (1935)
dengan
cara
menggunakan
perbandingan b/a dan c/b untuk
mengelaskan butir dalam empat
bentuk
yaitu oblate,
prolate,
bladed clan equant (Gambar
1,
Tabel 1). Dalam hal ini, a :
dengan modifikasi).
b/a
>2/3
II
III
IV
c/b
Bentuk
< 2/3
Oblate (Discoidal)
> 2/3
> 2/3
Equant (Equiaxial/spherical)
< 2/3
< 2/3
Bladed (Triaxial)
< 2/3
> 2/3
Prolate (Rod-shaped)
Sphericity
Sphericity ( W ) didefinisikan
secara sederhana sebagai ukuran
bagaimana
suatu
butiran
mendekati bentuk bola. Semakin
butiran
berbentuk
menyerupai
bola
maka
mempunyai
nilai sphericityyang
semakin
tinggi.
Wadell
(1932)
dapat
secara
tepat
menggambarkan perilaku butiran
ketika diendapkan. Butiran yang
dapat
diproyeksikan
secara
maksimum mestinya diendapkan
lebih cepat, misalnya bentuk
prolate seharusnya lebih cepat
mengendap dibandingkan oblate,
tetapi dengan rumus W, justru
didapatkan nilai yang terbalik.
Untuk itu mereka mengusulkan
rumusan
tersendiri
pada sphericity yang
dikenal
denganmaximum
projection
sphericity (Vp)
atau
sphericity
proyeksi
maksimum.
Secara
matematis
Wp
dirumuskan
sebagai perbandingan antara area
Gambar 2. Hubungan
antara sphericity matemat
Kelas
Very Elongate
Elongate
Subelongate
Intermediete Shape
Subequent
Equent
Very Equent
rata-rata
aritmetik roundness masingmasing sudut butiran pada bidang
pengukuran. Roundnessmasingmasing sudut diukur dengan
membandingkan
jarijari lengkungan sudut tersebut
dengan
jari-jari
lingkaran
maksimum
yang
dapat
dimasukkan
pada
butiran
tersebut (Gambar 3).
Gambar 3. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada butiran (R) dan jarijari lengkungan pada sudut butiran. (Boggs, 1987 dengan modifikasi)
Rumusannya :
r
R
jari-jari
lingkaran
maksimum,
N : banyaknya sudut.
Menurut
Folk
(1968)
pengukuran sudut-sudut tersebut
hampir
tidak
mungkin
bisa
bar 4.
sedangkan
Tabel
3
menunjukkan
kelas roundness menurut
Wadell
(1932) dan
korelasinya
pada
visual Powers (1953).
Tabel 3. Hubungan
antara roundness Wadell (1932)
Visual Kelas
(Powers, 1953)
Very angular
0,17 0,25
Angular
0,25 0,35
Subangular
0,35 0,49
Subrounded
0,49 0,70
Rounded
0,70 1,00
Well rounded
Roundness butiran
pada
endapan sedimen ditentukan oleh
komposisi butiran, ukuran butir,
proses
transportasi dan
jarak
transportnya
(Boggs,
1987).
Butiran
dengan
sifat
fisik
keras dan
resisten
seperti
kuarsa dan
zircon
lebih
sulit
membulat selama proses transport
dibandingkan butiran yang kurang
keras
seperti
feldspar
dan piroksen.
Butiran
dengan
ukuran kerikil sampai berangkal
biasanya lebih mudah membulat
dibandingkan
butiran
pasir.
Sementara
itu
mineral
yang
resisten dengan ukuran butir lebih
kecil
0.05-0.1
mm
tidak
menunjukkan
perubahan roundness oleh semua
jenis transport sedimen (Boggs,
1987). Berdasarkan hal tersebut,
maka perlu diperhatikan untuk
melakukan
pengamatan roundness pada
batuan
atau
mineral
yang
sama dan kisaran butir yang sama
besar