Anda di halaman 1dari 24

http://belajarsejarahfun.blogspot.co.id/2015/01/morfologi-butir-sedimen.

html
Galuh
http://sobogeologists.blogspot.co.id/2014/03/morfologi-butir-sedimen-ketikabentuk.html
Muhammad Anzja

Dalam buku teks sedimentologi


seperti Pettijohn (1975), Fritz &
Moore (1988), Tucker (1991),
Boggs (1987, 1992) dan yang
lainnya,
morfologi
butir
merupakan aspek tekstur sedimen
yang
utamadimana biasanya
dibicarakan setelah membahas
ukuran butir dan aspek yang
terkait
dengannya
terutama
adalah
sortasi
sedimen
atau
batuan sedimen.
Tucker (1991) menyatakan
bahwa aspek morfologi butir

adalah
bentuk (form), derajat
kebolaan(sphericity) clan derajat
kebundaran (roundness). Sementa
ra itu, Pettijohn (1975) dan Boggs
(1992) menekankan bahwa aspek
morfologi luar suatu butir meliputi
bentuk (form), kebundaran (round
ness)dan
tekstur
permukaan.
Mereka
menganggap
bahwa sphericity adalah
metoda
untuk
menyatakan
suatu
bentuk (form) butiran.
Pada
pengamatan tekstur butir secara
megaskopis
dan
mikrospokis,
aspek bentuk, derajat kebolaan
dan
derajat
kebundaraan
merupakan morfologi butiran yang
biasa dilakukan oleh kebanyakan

ahli sedimentologi. Sementara itu


analisa pada tekstur permukaan
butir masih jarang dilakukan.
Pengamatan tekstur permukaan
butir biasanya mengacu pada
kenampakan
relief
mikro
permukaan
butir,
sehingga
memerlukan
peralatan
khusus
untuk mengamatinya. Sejauh ini,
kebanyakan tekstur butiran yang
diamati
adalah
pada
butiran
kuarsa (lihat Boggs, 1992) dengan
alat
SEM (scanning
electron
microscope) untuk
mengamati
karakteristik butiran kuarsa pada
berbagai
lingkungan
pengendapan.

Bentuk Butir
Bentuk
butir (form atau shape) merupaka
n
keseluruhan
kenampakan
partikel secara tiga dimensi yang
berkaitan dengan perbandingan
antara ukuran panjang sumbu
panjang,
menengah
dan
pendeknya. Ada berbagai cara
untuk mendefinisikan bentuk butir.
Cara
yang
paling
sederhana
dikenalkan oleh Zingg (1935)
dengan
cara
menggunakan
perbandingan b/a dan c/b untuk
mengelaskan butir dalam empat
bentuk
yaitu oblate,
prolate,
bladed clan equant (Gambar
1,
Tabel 1). Dalam hal ini, a :

panjang (sumbu terpanjang), b :


lebar (sumbu menengah) dan c :
tebal/tinggi (sumbu terpendek).
Sejauh ini penamaan butir dalam
bahasa
Indonesia
belum
dibakukan
sehingga
seringkali
penggunaan istilah asal tersebut
masih dikekalkan. Pengkelasan
bentuk
butir
ini
biasanya
diperuntukkan pada butiran yang
berukuran
kerakal
sampai
berangkal (pebble) karena kisaran
ukuran tersebut memungkinkan
untuk
dilakukan
pengukuran
secara
tiga dimensi karena
keterbatasan alat dan cara yang
harus dilakukan, terutama pada
bongkah dengan diameter yang

mencapai puluhan sampai ratusan


centimeter. Pada butir pasir yang
bisa diamati secara tiga dimensi,
pendekatan
secara
kualitatif
(misalnya dengan metode visual
comparison) bisa juga dilakukan
untuk mendefinisikan bentuk butir
meskipun
tingkat
akurasinya
rendah.

Gambar 1. Klasifikasi butiran pebel (kerakal-berangkal) berdasarkan


perbandingan antar sumbu (Zingg, 1935, diambil dari Pettijohn, 1975

dengan modifikasi).

Tabel 1. Klasifikasi bentuk butir


menurut Zingg (1935).
No. Kelas

b/a

>2/3

II
III
IV

c/b

Bentuk

< 2/3

Oblate (Discoidal)

> 2/3

> 2/3

Equant (Equiaxial/spherical)

< 2/3

< 2/3

Bladed (Triaxial)

< 2/3

> 2/3

Prolate (Rod-shaped)

Sphericity
Sphericity ( W ) didefinisikan
secara sederhana sebagai ukuran
bagaimana
suatu
butiran
mendekati bentuk bola. Semakin
butiran
berbentuk
menyerupai
bola
maka
mempunyai
nilai sphericityyang
semakin
tinggi.
Wadell
(1932)

mendefinisikan sphericity yang


sebenarnya (true
sphericity) sebagai
luas
permukaan butir dibagi dengan
luas permukaan sebuah bola yang
keduanya
mempunyai
volume
sama. Lewis & McConchie (1994)
mengatakan bahwa rumusan ini
sangat
sulit
untuk
dipraktekkan.Sebagai pendekatan,
perbandingan
luas
permukaan
tersebut
dianggap
sebanding
dengan
perbandingan
volume,
sehingga
rumus sphericity menurut Wadell
(1932) adalah :
Vp

: volume butiran yang diukur

Vcs : volume terkecil suatu bola


yang
melingkupi
partikel
tersebut
(circumscribing sphere)
Krumbein
(1941)
kemudian
menyempurnakan
persamaan
tersebut dengan :
Rumus yang diajukan Krumbein
(1941)
ini
disebut
dengan intercept
sphericity (WI)
yang
dapat
dihitung
dengan
mengukur sumbu-sumbu panjang,
menengah dan pendek suatu
partikel dan memasukkan pada
rumus tersebut. Sneed & Folk
(1958)
menganggap
bahwa intercept
sphericity tidak

dapat
secara
tepat
menggambarkan perilaku butiran
ketika diendapkan. Butiran yang
dapat
diproyeksikan
secara
maksimum mestinya diendapkan
lebih cepat, misalnya bentuk
prolate seharusnya lebih cepat
mengendap dibandingkan oblate,
tetapi dengan rumus W, justru
didapatkan nilai yang terbalik.
Untuk itu mereka mengusulkan
rumusan
tersendiri
pada sphericity yang
dikenal
denganmaximum
projection
sphericity (Vp)
atau
sphericity
proyeksi
maksimum.
Secara
matematis
Wp
dirumuskan
sebagai perbandingan antara area

proyeksi maksimum bola dengan


proyeksi maksimum partikel yang
mempunyai volume sama, atau
secara
ringkas
dapat
ditulis
dengan:
Dalam hal ini L, I dan S adalah
sumbu-sumbu
panjang,
menengah dan
pendek
sebagaimana
dalam
rumus
Krumbein (1941). Menurut Boggs
(1987), pada prinsipnya rumus
yang diajukan oleh Sneed & Folk
(1958) ini tidak lebih valid
dibandingkan
dengan intercept
sphericity, terutama
kalau
diaplikasikan pada sedimen yang

diendapkan oleh aliran gravitasi


dan es.
Dengan
tanpa
mempertimbangkan
bagaimana sphericity dihitung,
Boggs (1987) menyatakan bahwa
hasil perhitungan sphericity yang
sama terkadang dapat diperoleh
pada semua bentuk butir. Gambar
2 menunjukkan bahwa partikel
dengan bentuk yang berbeda bisa
mempunyai
nilai sphericityyang
sama.
Untuk
mendefinisikan sphericity dari
hitungan matematis, Folk (1968)
mengelaskansphericity dalam
7
kelas sebagaimana ditunjukkan
dalam Tabel 2.

Bentuk butir ukuran kerakal


atau yang lebih besar dipengaruhi
oleh bentuk asalnya dari batuan
cumber, namun demikian butiran
dengan ukuran ini akan lebih
banyak
mengalami
perubahan
bentuk
karena
abrasi
dan
pemecahan selama transportasi
dibandingkan dengan butiran yang
berukuran pasir. Untuk butiran
sedimen yang berukuran pasir
atau lebih kecil, bentuk butir juga
lebih banyak dipengaruhi oleh
bentuk asal mineralnya. Pada
prakteknya, analisis bentuk butir
pada sedimen yang berukuran
pasir biasanya dilakukan pada
mineral kuarsa. Hal ini disebabkan

sifat mineral kuarsa yang keras,


tahan terhadap pelapukan, clan
jumlahnya yang melimpah pada
batuan sedimen. Namun demikian,
untuk
membuat
perbandingan
bentuk butiran setelah mengalami
transportasi, pengamatan bentuk
butir pada mineral lain maupun
fragmen batuan (lithic) boleh juga
dilakukan.

Gambar 2. Hubungan
antara sphericity matemat

is dengan bentuk butir


klasifikasi Zingg (kelas
butir lihat gambar 1).
Kurva menunjukkan
kesamaan
nilai sphericity. (Pettijohn,
1975).
Tabel 2.
Klasifikasi sphericity menurut Folk
(1968).
Hitungan Matematis
<0.75
0.60-0.63
0.63-0.66
0.66-0.69
0.69-0.72
0.72-0.75
>0.75

Kelas
Very Elongate
Elongate
Subelongate
Intermediete Shape
Subequent
Equent
Very Equent

Bentuk butir akan berpengaruh


pada kecepatan
pengendapan (settling

velocity). Secara umum batuan


yang
bentuknya
tidak spheris (tidak
menyerupai
bola)
mempunyai
kecepatan
pengendapan yang lebih rendah.
Dengan demikian bentuk butir
akan
mempengaruhi
tingkat
transportasinya
pads
sistem
suspensi (Boggs, 1987). Butiran
yang
tidak spheris cenderung
tertahan iebih lama pads media
suspensi
dibandingkan
yang spheris. Bentuk
jugs
berpengaruh pads transportasi
sedimen
secarabedlood (traksi).
Secara
umum
butiran
yang spheris clan prolate lebih
mudah tertransport dibandingKan

bentuk blade clan disc


(oblate). Lebih
jauh
analisis
sedimen berdasarkan butiran saja
sulit untuk dilakukan. Sebagai
contoh, Boggs (1987) menyatakan
bahwa dari pengamatan bentuk
butir saja tidakdapat digunakan
untuk
menafsirkan
suatu
lingkungan pengendapan.
Roundness
Roundness merupakan
morfologi butir yang berkaitan
dengan ketajaman pinggir dan
sudut suatu partikel sedimen
klastik. Secara matematis, Wadell
(1932)
mendefinisikan roundness Sebagai

rata-rata
aritmetik roundness masingmasing sudut butiran pada bidang
pengukuran. Roundnessmasingmasing sudut diukur dengan
membandingkan
jarijari lengkungan sudut tersebut
dengan
jari-jari
lingkaran
maksimum
yang
dapat
dimasukkan
pada
butiran
tersebut (Gambar 3).

Gambar 3. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada butiran (R) dan jarijari lengkungan pada sudut butiran. (Boggs, 1987 dengan modifikasi)

Rumusannya :
r
R

: jari-jari lingkaran kecil,


:

jari-jari

lingkaran

maksimum,
N : banyaknya sudut.
Menurut
Folk
(1968)
pengukuran sudut-sudut tersebut
hampir
tidak
mungkin
bisa

dipraktekkan, sedangkan Boggs


(1987) menegaskan bahwa cara
tersebut memerlukan waktu yang
banyak
untuk
kerja
di
laboratorium
dengan
harus
dibantu alat circular
protractor atau electronic particlesize analyzer. Untuk mengatasi hal
tersebut,
maka
penentuan roundness butiran
adalah dengan membandingkan
kenampakan (visual
comparison) antara kerakal atau
butir pasir dengan tabel visual
secara sketsa (Krumbein, 1941)
dan/atau tabel visual foto (Powers,
1953).
Kedua
tabel
tersebut
disajikan pada Gambar 3 dan Gam

bar 4.
sedangkan
Tabel
3
menunjukkan
kelas roundness menurut
Wadell
(1932) dan
korelasinya
pada
visual Powers (1953).

Gambar 4. Interpretasi Roundness secara sketsa.

Gambar 5. Visual foto roundness butiran (Powers, 1953).

Tabel 3. Hubungan
antara roundness Wadell (1932)

dan korelasinya pada


visual roundness Powers (1953).
Interval Kelas
(Waddell, 1932)
0,12 0,17

Visual Kelas
(Powers, 1953)
Very angular

0,17 0,25

Angular

0,25 0,35

Subangular

0,35 0,49

Subrounded

0,49 0,70

Rounded

0,70 1,00

Well rounded

Roundness butiran
pada
endapan sedimen ditentukan oleh
komposisi butiran, ukuran butir,
proses
transportasi dan
jarak
transportnya
(Boggs,
1987).
Butiran
dengan
sifat
fisik
keras dan
resisten
seperti
kuarsa dan
zircon
lebih
sulit
membulat selama proses transport
dibandingkan butiran yang kurang

keras
seperti
feldspar
dan piroksen.
Butiran
dengan
ukuran kerikil sampai berangkal
biasanya lebih mudah membulat
dibandingkan
butiran
pasir.
Sementara
itu
mineral
yang
resisten dengan ukuran butir lebih
kecil
0.05-0.1
mm
tidak
menunjukkan
perubahan roundness oleh semua
jenis transport sedimen (Boggs,
1987). Berdasarkan hal tersebut,
maka perlu diperhatikan untuk
melakukan
pengamatan roundness pada
batuan
atau
mineral
yang
sama dan kisaran butir yang sama
besar

Anda mungkin juga menyukai