Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini
muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan
masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas
atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol
(syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat
respon imun (syok anafilaktik).7
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi
yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan
darah yang cepat (syok hemoragik).7
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hipovolemik. Syok hipovolemik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan
darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah
cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok
hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan
(selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan
cairan, antara lain gastroenteritis masif dan luka bakar yang luas.7

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini
muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan
masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas
atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol
(syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat
respon imun (syok anafilaktik).7
Syok diklasifikasikan menurut etiologi, yaitu :
1. Syok hipovolemik : dehidrasi, kehilangan darah dan luka bakar
2. Syok distributif : kehilangan tonus vascular (anafilakfik, septik, syok toksik)
3. Syok kardiogenik : kegagalan pompa jantung
4. Syok obstruktif : hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik
dan ekstrinsik. Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikardi.2
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi
yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan
darah yang cepat (syok hemoragik).1,5
2.2. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari
volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat
dari volume darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat pendarahan yang
masif atau kehilangan plasma darah.7
Penyebab syok hipovolemik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang
terdiri dari:
1. Perdarahan:

Hematom subkapsular hati


Aneurisma aorta pecah
Pendarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
2. Kehilangan plasma:
Luka bakar yang luas
Pankreatitis
Deskuamasi kulit
Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular:
Muntah (vomitus)
Dehidrasi
Diare
Terapi diuretik yang sangat agresif
Diabetes insipidus
Insufisiensi renal
2.3. Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan mengaktivasi
sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskular, ginjal,
dan sistem neuroendokrin.5
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
(melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga
melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur
pada sumber pendarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen,
yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan
darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari
bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.5

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik


dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.5
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan
sekresi

renin

dari

apparatus

juxtaglomeruler.

Renin

akan

mengubah

angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi


angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang
keduanya

membantu

perbaikan

keadaan

pada

syok

hemoragik,

yaitu

vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari


korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan
akhirnya akan menyebabkan retensi air.5
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari
glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah
(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang
dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan
peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle.5
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam
memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi
cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan,
perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan
segera terjadi.5
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan

menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ.

Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya
gastrointestinal. Kebutuhan energy untuk penalaksanaan metabolism di jantung
dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ tersebut tidak mampu menyimpan
cadangan energy. Sehingga keduanya sangat bergantung akan kesediaan oksigen
dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang
melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata
(mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ
akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autoimun tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraksi miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi


peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang
mati dalam usus. Hal ini memicu pelebaran darah serta peningkatan metabolisme
dan bukan memperbaiki sel dan menyebabkan depresi jantung.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.
Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok,
sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media
kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,
tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang
bersama-sama dengan aldosteron dan vesopresin bertanggung jawab terhadap
menurunnya produksi urin. 7
Pada

syok,

konsumsi

oksigen

dalam

jaringan

menurun

akibat

berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya


pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan
menyebabkan

sel

terpaksa

melangsungkan

metabolisme

anaerob

dan

menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam


laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting
dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik
yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi
jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis
merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.3,8

2.4. Gejala Klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi


premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung.
Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi.
Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan
jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang
cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih
dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau
singkat.3,8
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat nonperdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam
kecepatan timbulnya syok. Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan
perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam
sirkulasi efektif. Di sini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi,
pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stress serta ekspansi besar guna
pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial,
interselular dan menurunkan produksi urin.7
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat
penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk
penanganan langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar
biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak
nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan
status mental. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan
kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa
informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya,
cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada
pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor).5
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan
hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali
dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler

selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.


2. Takikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons
homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke
mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah
sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik.
Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.3,8
Tanda-tanda vital ortostatik mungkin normal pada individu hipovolemik,
atau individu normal dapat memperlihatkan perubahan-perubahan ortostatik yaitu
hipotensi. Jadi, gunakan pertimbangan klinis. Sebagai tambahan, ingesti alkohol,
makan atau usia lanjut dapat menyebabkan perubahan-perubahan ortostatik dalam
tekanan darah dan nadi. Penurunan diastolik ortostatik sebesar 10-20 mmHg atau
peningkatan nadi sebesar 15 detak/detik dianggap bermakna.periksa tanda-tanda
vital ortostatik, berbaring dan setelah berdiri selama 1 sampai 2 menit. Takikardia
biasanya tetap ada tetapi mungkin tidak didapatkan bila ada iritasi diafragma,
yang menyebabkan stimulasi vagal. Hipoperfusi ditandai oleh berkurangnya
jumlah urin, daya pikir menurun, ekstremitas dingin, bercak-bercak, dll.3,8
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia
akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:
(1) Turunnya turgor jaringan
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.3,8
Dehidrasi dapat timbul pada diare berat dan asupan oral terbatas karena
nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi
bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air
kecil dengan warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan
ortostatik. Pada keadaan berat dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan
status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala.7

Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi 3 tingkatan, yaitu :


1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB) : gambaran klinisnya turgor kurang,
suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8 % BB) : turgor buruk, suara serak, pasien
jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.
3. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10 % BB) : tanda dehidrasi sedang ditambah
kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.7
Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna
dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status
volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah
dan nadi, tempratur tubuh dan tanda-tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang
seksama merupakan hal yang penting. Adanya kualitas bunyi usus dan adanya
distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan clue bagi etiologi.7
Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri. Tanda vital,
sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat. Nyeri dada, perut, atau
punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah. Tanda klasik
pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung.
Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri, nyeri punggung atau
nyeri panggul.5
Skor penilaian klinis dehidrasi :
1. Rasa haus/muntah (1)
2. Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg (1)
3. Tekanan darah sistolik <60 mmHg (2)
4. Frekuensi nadi >120 kali/menit (1)
5. Kesadaran apatis (1)
6. Kesadaran somnolen, sopor atau koma (2)
7. Frekuensi nafas >30 kali/menit (1)
8. Facies cholerica (2)
9. Vox cholerica (2)
10. Turgor kulit menurun (1)
11. Washer womens hand (1)

12. Eksremitas dingin (1)


13. Sianosis (2)
14. Umur 50-60 tahun (1)
15. Umur >60 tahun (2)
Skor Dalyono di atas merupakan penilaian dari klinis pasien yang
menentukan jumlah kebutuhan cairan yang diberikan pada pasien dehidrasi.7
Pada

pasien

dengan

perdarahan

gastrointestinal,

mengumpulkan

keterangan hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti


inflamasi non-steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya)
adalah sangat penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada
pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat
kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan
pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami
ulkus peptik atau varises esofagus. Jika suatu penyebab ginekologik
dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode
terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam
(termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri.
Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan
apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan
diagnosis kehamilan ektopik.5
Pada pasien demam berdarah dengue dapat jatuh pada keadaan syok. Syok
biasanya terjadi saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 samapai hari
sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam
syok yang ditandai dengan kulit dinginlembab, sianosis sekitar mulut, nadi
cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih
tetap

sadar

sekalipun sudah mendekati

stadium akhir. Perubahan ini

memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan


plasma. Kondisi ini dapat diperberat dengan komplikasi yaitu asidosis metabolic,
perdarahan saluran cerna hebat atau pendarahan lain, hal ini pertanda prognosis
buruk.4

10

Hipovolemia ringan (<20 % volume darah) menimbulkan takikardi ringan


dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang
berbaring. Pada hipovolemia sedang (20-40 % dari volume darah) pasien menjadi
lebih cemas dan takikardia lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan
normal pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi
ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan
muncul, tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi berbaring,
pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke
susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat.
Penurunan kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan
ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia
lanjut dan yang memiliki penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam
waktu yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan
resusitasi agresif dan cepat.7
2.5.Stadium Syok
Syok secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :
1. Stadium kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga
terjadi :
a. Resistensi sistemik meningkat :
- distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (jantung,
paru, otak)
diastolic pressure meningkat.K- resistensi arteriol meningkat
cardiac output meningkat.Kb. Heart rate meningkat
ginjal menahan air dan sodium di dalam sirkulasi.Kc. Sekresi vasopressin, reninangiotensin-aldosteron meningkat
Manifestasi klinis : takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler
lambat (lebih dari 2 detik).

11

2. Stadium dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi laktat asidosis, diperberat oleh penumpukan
CO2 , dimana CO2 menjadi asam karbonat. Laktat meningkatmetabolism
anaerobO2 sangat turun.
a. Perfusi jaringan buruk kerusakan sel, integritas membran sel terganggu, fungsi
lisosom dan mitokondria memburuk.
b. Gangguan metabolisme energy dependent Na+/K+ pump tingkat seluler
c. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta sistem koagulasi, akan
diperburuk dengan terbentuknya agregasi trombosit dan pembentukan trombus
disertai tendensi perdarahan.
membentuk oksigen radikal serta platelets aggregating factor.
d. Pelepasan mediator vaskular : histamine, serotonin, sitokin (TNF alfa dan
interleukin I), xantin oxydase cardiac output turun.K preload turun K venous
return menurun KPelepsan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi
arteriol dan permeabilitas kapiler meningkat
Manifestasi klinis : takikardia, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer buruk,
asidosis, oliguria dan kesadaran menurun.
3. Stadium irreversible
Tubuh kehabisan energimulti organ failure. Cadangan phosphate berenergi
tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar KSyok yang berlanjut akan
menyebabkan kerusakan dan kematian sel
Manifestasi klinis : nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur. Anuria dan
tanda-tanda kegagalan organ.6

2.6. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara

12

bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala


syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator
utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.5
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik
secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya
nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang
mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa
memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume
darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien
hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih
berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.5
Telah ditetapkan klasifikasi perdarahan berdasarkan persentasi volume
darah yang hilang. Namun sifatnya tidak absolut dan hanya bersifat sebagai
bantuan. Tatalaksana harus agresif dan lebih dituntun oleh respon terhadap terapi
ketimbang menurut klasifikasi awal.2
Pendarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%) tidak ada komplikasi, hanya
terjadi takikardi minimal. Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan
nadi, dan frekuensi pernapasan. Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik
sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%.5
Pendarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%). Gejala klinisnya,
takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi,
kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan ansietas ringan . Penurunan
tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan
tekanan darah diastolik.5
Pendarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%). Pasien biasanya
mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria,
dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah

13

kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik. Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan
untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap
cairan.5
Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%). Gejala-gejalanya berupa
takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau
tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar,
penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.5
Pada pasien dengan trauma, pendarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari
syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain.
Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher),
tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan
trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).5
Ada empat daerah pendarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada,
perut, paha, dan bagian luar tubuh. Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar
bunyi pernapasan yang melemah, karena pendarahan yang mengancam hidup
dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru. Abdomen
seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang
menunjukkan cedera intraabdominal. Kedua paha harus diperiksa jika terjadi
deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan pendarahan dalam
paha). Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada
pendarahan luar.5
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar pendarahan berasal dari
abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau
bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar.
Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.5
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan spekulum steril. Meskipun,
pada pendarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai double
set-up di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.5

14

2.7. Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber pendarahan. Diagnosis akan
sulit bila pendarahan tidak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus
gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma darah. Setelah
pendarahan maka biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun
sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi
kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya pendarahan.
Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas
ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan
kecurigaan adanya hipovolemia.7
Pada pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas, yaitu
nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa air,
malabsorbtif, atau berdarah yang tergantung bakteri pathogen yang spesifik.
Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan :
1. Keadaan klinis : ringan, sedang dan berat (telah dibicarakan di atas)
2. Berat Jenis Plasma : pada dehidrasi BJ plasma meningkat
a. Dehidrasi berat : BJ plasma 1,032 1,040
b. Dehidrasi sedang : BJ plasma 1,028 1,032
c. Dehidrasi ringan : BJ plasma 1,025 1,028
3. Pengukuran Central Venous Pressure (CVP) : Bila CVP +4 s/d +11 cmH2O :
normal. Pada syok dan dehidrasi maka CVP kurang dari +4 cmH2O.7
Jangan mengandalkan TD sistolik sebagai indikator utama dari syok;
kebiasaan ini mengakibatkan tertundanya diagnosis. Mekanisme kompensasi
mencegah penurunan TD sistolik yang bermakna, sampai pasien telah kehilangan
30% dari volume darahnya. Perhatian harus lebih ditujukan terhadap nadi,
frekuensi nafas, dan perfusi kulit. Disamping itu, pasien-pasien yang sedang
mendapat obat penyekat beta mungkin tidak memperlihatkan takikardia, tanpa
memandang derajat syoknya.2
Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena

15

penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah


jantung dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya
tanda syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3 maka
semua dapat dibedakan.7
2.8. Pemeriksaan Laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis
selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan
stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.7
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:
analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN,
kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang
mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan
dilakukan pencocokan.5
`2.9. Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali
diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan
radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang
operasi.5
Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala
hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber
perdarahan. Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan
ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta
abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang
selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi
tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi
dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari
sumber perdarahan.5
Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia
subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan

16

ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang


memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering
terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes
kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.5
Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari
foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography,
aortografi, atau CT-scan dada.5
Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST
(Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien
yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang
stabil. Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan
radiologi.5
2.10. Penatalaksanaan
Tiga

tujuan

penanganan

kegawatdaruratan

pasien

dengan

syok

hipovolemik antara lain:


(1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang
adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah
(2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
(3) resusitasi cairan.5
Ketika hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah
menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan
diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang
memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau
jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang diteteskan
dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam
seimbang seperti Ringers laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tidak ada
bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik.
Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan
hemodinamik.7

17

Resusitasi Cairan Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan


manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan
maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu
termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan
keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka
mortalitas.3,8
Memaksimalkan penghantaran oksigen. Jalan napas pasien sebaiknya
dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan,
dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti
pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan,
harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan
ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang
berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan
sebaiknya dihindari.5
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu
contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain
dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil
dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena
cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan
untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi
Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.5
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan
pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan
akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan
mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit,
plasma, atau darah.Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah
mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus
Saline atau Ringer Laktat isotonis.3,8Resusitasi cairan yang cepat merupakan
landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan
harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus

18

diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau
kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah
pendarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar,
peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta.
Pemilihan Cairan Intravena. Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status
hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai
larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai
kondisi medis.3,8
Prisip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan :
1. BJ plasma dengan rumus :
Kebutuhan cairan = BJ plasma 1,025 x Berat badan x 4 ml
0,001
2. Metode Pierce berdasarkan klinis :
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x berat badan (kg)
3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis :
Kebutuhan cairan = skor x 10% x kgBB x 1 liter 15
Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan
peroral (sebanyak mungkin, sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama
dengan 3 disertai syok diberikan cairan per intravena. 7
Cairan rehidrasi pada dehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral
melalui selangnasogastrik atau intravena. 7
Bila dehidrasi sedang/beratsebaiknya pasien diberikan cairan melalui
infuse pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan sebaiknya pasien diberikan
cairan peroral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi atau
oral/saluran cerna atas tidak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan
oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 Natrium
Bicarbonat dan 1,5 gr KCl setiap liter. Contoh oralit generik, renalyte, pharolit,
dll.

19

Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas :


a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial) : jumlah total kebutuhan cairan
menurut rumus BJ plasma atau Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam, ini
agar dapat tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan
kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya.
Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per
oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan
melalui tinja dan insensible water loss (IWL).7
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille
mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan
berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang
ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada
panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena,
atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger.
Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus
berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur
intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan
pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah
secara berkala dan juga analisa gas darah.5
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi
adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal
1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien
dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan
darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara,
infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan
yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan
darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita
usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat

20

dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O.
Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus
berdasarkan kondisi pasien.5
Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting
yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal pasien
hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer
Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk
resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah
pada pasien kombustio 1824 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parenteral
pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan
darah.3,8
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan
cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid
pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian
berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal
syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.
Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler.
RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan
kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma
syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan
sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.Ringer asetat memiliki
profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah
hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir
seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer
Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam
larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam
hati menjadi bikarbonat.3,8
Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi
merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji untuk

21

resusitasi, antara lain : NaCl 0,9%, larutan Ringer Laktat, NaCl hipertonik,
albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch dan
dekstran 70. Penganut resusitasi koloid berkilah bahwa tekanan onkotik yang
meningkat karena penggunaan zat-zat ini adalah mengurangi edema paru. Namun,
vaskular paru memungkinkan aliran zat dalam jumlah besar, termasuk protein, di
antara ruang intravaskular dan interstisial. Dipertahankannya tekanan hidrostatik
paru penting dalam mencegah edema paru. Alasan lain adalah dengan koloid lebih
sedikit jumlah yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskular. Infus
Ringer Laktat sebanyak 1 L hanya menambah volume intravaskular sebesar 194
ml. Banyak kajian membenarkan hal ini. Resusitasi dengan kristaloid saja akan
mengencerkan protein plasma dan dengan mengurangi tekanan onkotik
memudahkan filtrasi cairan dari inravaskular ke interstisial. Edema perifer bisa
mengurangi konsumsi oksigen secara mencolok karena jarak anara sel dan kapiler
menjadi bertambah. Walaupun demikian, perbedaan prognosis belum ditunjukkan
antara koloid dan kristaloid.2
Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch dan deksran 70,
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan koloid alamiah seperti fraksi protein
murni, plasma beku segar, dan albumin. Mereka memiliki sifat ekspansi volume
sama, tetapi karena struktur dan berat molekul yang tinggi, zat-zat koloid ini
hampir seluruhnya tetap di ruangan intravaskular, sehingga mengurangi edema
interstisial.2
Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk
meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan
kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara
koloid dibandingkan dengan kristaloid. Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch,
pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan
dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan
albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena
strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada
intravaskuler,

mengurangi

edema

intertisiel.

Meskipum

secara

teoritis

menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter

22

ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau
kelangsungan hidup.5
Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya
karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas
dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal
menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium
klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi
yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau
Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid
untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.2,5
Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan
dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda
dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.5
Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat
diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah
disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks
dialirkan melalui selang thorakostomi.5
Kontol perdarahan lanjut. Kontrol perdarahan tergantung sumber
perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma,
pendarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara
langsung, pendarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang
panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah. Pada pasien
dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat
diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta
diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat
paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.5
Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan SengstakenBlakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon
esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila
perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk,
seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan

23

tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada


keadaan yang ekstrim. Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem
reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur
kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.2,5
Hampir semua pendarahan ginekologi yang menyebabkan hipovolemia
(misalnya kehamilan ektopik, plasenta previa, abruptio plasenta, kista ruptur,
keguguran) membutuhkan intervensi bedah.2
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan
H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi
negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus.
Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaannya secara tetap. H2
Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan
ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal
yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja
vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.2,5
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi. Obat anti sekretorik, obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat
mengurangi aliran darah ke sistem porta. Somatostatin (Zecnil), secara alami
menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel
usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki
efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi
arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit. Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus
selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil. Tindak dianjurkan interaksi
epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek
obat ini. Kontraindikasi Hipersensitifitas dan kehamilan. Risiko yang fatal
ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat
digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin. Dapat
menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan
pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek
konduksi jantung. Ocreotide (Sandostatin) Oktapeptida sintetik, dibandingkan

24

dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat
dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif
pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan
ileum), atau pankreas. Dosis Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat
dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari. Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal
atau D5W. Kontraindikasi hipersensitivitas kehamilan risiko terhadap janin tidak
diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada
binatang. Perhatian Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan
motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan
batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat
pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul
hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan
terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme,
hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.5
Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan
penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien
hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan
yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit
lain, hal ini harus dilakukan segera.5

BAB III
25

KASUS & PEMBAHASAN


3.1. Identitas Pasien
Nama Pasien

:X

Umur

: 6 bulan

Berat Badan

: 8 kg

3.2. Kronologis Kasus


Pasien datang ke UGD karena mengalami diare dengan dehidrasi
berat, dari pemeriksaan fisik ditemukan nafas cuping hidung (+) dan cutis
marmorata (+). Bagaimana manajemen terapi cairan dan perawatan post
resusitasi pada pasien ini.
3.6.

Perencanaan Penatalaksanaan
1. Resusitasi Cairan
Terapi cairan mencakup 3 faktor :
1. Rehidrasi
2. Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung
3. Rumatan (maintenance) --> Holliday Segar
a. Terapi defisit cairan :
1. Penggantian dari kebutuhan cairan (Defisit + rumatan) dalam 8 jam pertama.
2. Penggantian dari kebutuhan cairan (Defisit + rumatan) dalam 16 jam berikutnya.

Kasus : anak usia6 bulan, BB 8 kg


Dehidrasi berat : defisit cairan 15%
BB sebelum = x/8 : 100/85 = kg
Besarnya defisit : 800 ml
2. Manajemen Post Resusitasi

Defisit cairan : BB sebelum dehidrasi BB sekarang


Defisit cairan : BB x % dehidrasi

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth J. 2001. Patofisiologi. EGC. Jakarta. Hal. 390.
2. Graber, Mark A. 2002. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Farmamedia.
Jakarta. Hal. 1-9.
3. FH Feng, KM Fock. 1996. Pengantar Penuntun Pengobatan Darurat. Yayasan
Essentia Medica - Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 5163.
4. Hadinegoro, Sri Rezeki H, dkk. 2004. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Hal. 910.
5. Kolecki, Paul. 2008. Syok Hipovolemik. www. Asrama Medica Fakultas
kedokteran UNHAS. Diakses tanggal 24 Oktober 2009.
6. Leksana, Ery. 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 1214.
7. Sudoyo, Aru. W, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simabrata K.
2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 18027

181.
8. Sunatrio, S. 14 Agustus 1999. Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis,
Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan. Bagian Anestesiologi
FKUI/RSCM. Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai