Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ASKEP ACQUIRED

IMMUNODEFICIENCY SYNDROME

Disusun Oleh : Kelompok I


Anggota :
Arivin
Hery Furwanto
Jerius Indra Pratama
Oktavi Cahyani A
Yupensia Almonia S

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S-1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali dikenal pada tahun 1981
di Amerika Serikat dan disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV-1). AIDS
adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh; bukan penyakit
bawaan tetapi didapat dari hasil penularan. penyakit ini merupakan persoalan kesehatan
masyarakat yang sangat penting di beberapa negara dan bahkan mempunyai implikasi yang
bersifat internasional dengan angka moralitas yang peresentasenya di atas 80 pada penderita 3
tahun setelah timbulnya manifestasi klinik AIDS. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh
Gottlieb diAmerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier
pada tahun1983. Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia
(pandemi),termasuk diantaranya Indonesia.
Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia
yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Penyakit AIDS telah menjadi
masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan
melanda semakin banyak negara. Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat
membantu memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Mekanisme
utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp 120 pada
molekul CD4. Molekul ini merupakan reseptor dengan afinitas paling tinggi terhadap protein
selubung virus.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Acquared Immunodeficiency Syndrome


Syindrome Immunodeficiency yang di dapat(AIDS, Acquared Immunodeficiency
syndrome) di artikan sebagai bentuk paling berat dalam keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi human immunodeficiency virus(HIV).
2.2 Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang di kenal sebagai retrovirus yang
menunjukan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
robonukleat(RNA) dan bukan dalam asam deokhsiribonukleat (DNA). Virion HIV(partikel
virus yang lengkap yang di bungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti
berbentuk peluru yang terpancung dimana p24 merupakan komponen struktural yang utama.
Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait
pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4- positif (CD4+)
adalah gp120 dari HIV.
Sel-sel CD4+ mencakup monosit, makrofag dan limkosit T4 helper(yang dinamakan
sel-sel CD4+ kalau di kaitkan dengan infeksi HIV) ; limfosit T4 helper ini merupakan sel
yang paling banyak di antara ketiga sel di atas. Sesudah terikat membran sel T4 helper, HIV
akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik dalam sel T4 helper. Dengan
menggunakan enzim yang di kenal sebagai reverse transkriptase, Hiv akan melakukan
pemrograman ulang materi genetik fari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-tranded
DNA(utas-ganda). DNA ini akan di satukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus
dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan.
Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (NTF alfa atau
interleokin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV; Sytomegalavirus), virus
Epstein-Barr, herpes simpleks dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat T4 yang terinfeksi
diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan.
HIV yang harus dibentuk ini kemudian dilepas kedalam plasma darah dan menginteksi sel-sel
CD4+ lainnya.
Infeksi monofit dan magrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan tidak
mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi resevoir bagi sistem
imun dan terangkut keseluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai jaringan
tubuh. Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki
kemampuan untuk memproduksinya. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sesudah
infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeklsi oleh HIV pula.
Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat primernya

adalah jaringan limfoid. Ketika sistem imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi dan virus
tersebut menyebar kedalam plasma darah yang mengakibatkan infeksi berikut pada sel-sel
CD4+ yang lain. Penelitian yang lebih muthakhir menunjukan bahwa sistem imun pada
infeksi HIV lebih aktif daripada yang diperkirakan sebelumnya sebagaimana dibuktikan oleh
produksi sebanyak 2 miliar limfosit CD4+ perhari. Keseluruhan populasi sel-sel CD4+
perifer akan mengalami pergantian (ternover) setiap 15 hari sekali (Ho et al, 1995).
Kecepatan reproduksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan orang yang
terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang berperang melawan infeksi yang
lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun, reproduksi HIV tampaknya akan
dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya
terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian
penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagai contoh seorang pasien mungkin bebas dari gejala
selama berpuluh tahun; kendati demikian sebagian orang yang terinfeksi HIV (sampai 65%)
tetap menderita penyakit HIV/AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang
tersebut terinfeksi (Pinching, 1992).
Dalam respon imun, limfosit T4 memainkan beberapa perangan yang penting yaitu:
mengenali antigen yang asin, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksik, memproduksi limpokin dan mempertahankan tubuh
terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu mikroorganisme yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi menyebabkan
sakit yang serius. Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem
imun dinamakan infeksi oportunistik.

Insidens
Sampai desember 1994 sudah terdapat 441.528 kasus penyakit AIDS dan 270.870 kematian
akibat AIDS yang dilaporkan diantara populasi dewasa, remaja dan anak-anak diamerika
serikat dalam bulan januari 1993, definisi surveilans untuk penyakit AIDS diperluas agar
mencakup pula keadaan yang terjadi lebih dini di dalam perjalanan infeksi HIV sehingga
jumlah kasus penyakit AIDS yang dilaporkan mengalami peningkatan. Laporan hasil
surveilans juga menunjukan peningkatan yang cukup besar pada angka infeksi HIV diantara
populasi hererokseksual, khususnya didaerah pantai timur.
Diamerika serikat, sebagian besar penderita AIDS melibatkan diri dalam perilaku
yang beresiko tinggi, seperti hubungan homoseksual antar pria , penggunaan obat bius IV
dan hubungan heteroseksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV atau yang beresiko untuk
terinfeksi virus tersebut. Yang juga beresiko untuk terjangkit infeksi ini adalah orang-orang
yang mendapatkan darah atau produk darah yang terkontaminasi dengan HIV (khususnya
sebelum skrining darah untuk transfusi dilakukan dalam tahun 1985) dan anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang menderita terinfeksi HIV.

Analisis terdapat kategori sosiodemografik dan pajanan menunjukan bahwa dalam


tahun 1994, kelompok orang afrika-amerika dan hispanik menyebabkan 49,9% dari semua
kasus penyakit AIDS; kelompok kulit putih non-hispanik menyebabkan 48,9%; dan
kelompok masyarakat asia, kepulauan pasifik, penduduk asli amerika dan alaska
menyebabkan 0.02%. keadaan ini merupakan tahun pertama saat kelompok afro-amerika dan
hispanik pemberian angka kurang-lebih 46% dari kasus laki-laki, 75% dari kasus wanita 80%
dari kasus kanak-kanak. Gambaran yang tidak proposional ini diperkirakan berkaitan dengan
penggunaan obat bius IV, hubungan sek dengan pemakaian obat bius IV dan kurangnya akses
pada pelayanan kesehatan serta pendidikan.

Penularan
Jalur penularan infeksi HIV serupa dengan infeksi hepatitis B. Pada homoseksual
pria, anal, intercourse atau anal manipulation akan meningkatkan kemungkinan trauma pada
mukosa rektum dan selanjutnya memperbesar peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret
tubuh. Peningkatan frekuensi praktik dan hubungan seksual ini dengan patner yang
bergantian juga turut menyebarkan penyakit ini. Hubungan heteroseksual dengan orang yang
menderita infeksi HIV juga bentuk penularan yang terus tumbuh secara bermakna.
Penularaan melalui pemakaian obat bius intravena terjadi lewat kontak langsung darah
dengan jarum dan semprit yang terkontaminasi meskipun jumlah darah dalam semprit relatif
kecil, efek kumulatif pemakaian bersama peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut
akan meningkatkan resiko penularan.
Darah dan produk darah, yang mencakup tranfusi yang diberikan pada penderita hemofilia,
dapat menularkan HIV kepada resipien. Namun demikian, resiko yang berkaitan dengan
transfusi kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari pemeriksaan serologi yang secara
sukarela diminta sendiri, pemrosesan konsentrat faktor pembekuan dengan pemanasan, dan
cara-cara inaktifasi virus yang semakin efektif. Insidens penyakit AIDS pada petugas
kesehatan yang terpajan HIV lewat cidera tertusuk jarum suntik diperkirakan kurang dari 1%.
Pengertian berskala besar terhadap para petugas kesehatan yang terpajan kini sedang
dilaksanakan oleh CDC dan kelompok-kelompok lainnya. Virus HIV dapat pula ditularkan in
utero dari ibu kepada bayinya dan kemudian melalui air susu ibu.

Pencegahan Penularan
Sebelum di temukan vaksin yang efektif, pencegahan penularan HIV dengan cara
menghilangkan atau mengurangi perilaku beresiko merupakan tindakan yang sangat penting.
Upaya pencegahan primer melalui program pendidikan yang efektif amat penting untuk
pengendalian dan pencegahan. Penyakit AIDS tidak di tularkan lewat kontak secara
kebetulan. Bukti epidemiologi menunjukan bahwa penyakit AIDS hanya di tularkan melalui
hubungan seks yang intim, pajanan parenteral dengan darah atau produk darah dan penularan
perinatal dari ibu kepada bayi yang di kandungnya. Penelitiaan terhadap kontak non seksual

pasien AIDS dalam rumah tangga di samping kontak non seksual antar individu yang
umumnya terjadi di tempat kerja tidak mampu memperlihatkan peningkatan resiko penularan
AIDS lewat kontak tersebut.
Bagi kepentingan kesehatan masyarakat, CDC dan ikatan Dokterdi Amerika Serikat
dalam mempublikasikan beberapa rekomendasi untuk pencegahan pedoman yang berjudul
Universal Blood and Body Fluid Precautions. Di masukan untuk mencegah pajanan
( kontak) parenteral, membran mukosa dan kulit yang tidak utuh dari petugas kesehtan
terhadap mikro organisme patogen dari semua penderita tanpa mempedulikan status HIV
mereka. Meskipun HIV pernah di isolasi dari semua tipe cairan tubuh, namun resiko
penularan pada petugas kesehatan dari feses, sekret hidung, sputum,keringat, air susu ibu,
mata, urin dan muntahan adalah lebih kecil, kecuali jika cairan tubuh ini mengandung darah
yang nyata. CDC menganjurkan agar tindakan kewspadaan universal di terapkan pada
darah;cairan serebro spinal, sinopial, pleural, peritonial, perikardial, amnion dan vaginal; dan
semen. Dalam keadaan darurat ketika tipe-tipe cairan tersebut sulit di bedakan, semuai cairan
tubuh harus di aggap berpotensi membahayakan kesehatan.
Sistem isolasi lainya, yaitu Body Substanse Isolation Syistem( sistem pengisolasian
substansi tubuh), di gunakan oleh beberapa lembaga di Amerika Serikat sebagai pilihan
alternatif untuk Universal Blood And Body Fluid Precuations( Tindakan penjagaan universal
untuk darah dan cairan tubuh). Sistem ini menawarkan strategi pengisolasian yang lebih luas
untuk mengurangi resiko penularan penyakit kepada pasien serta petugas kesehatan, dan
membuat petugas kesehatan tidak perlu mengenali jenis cairan tubuh.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai
setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi
akibat infeksi, malignansi dan / efek langsung HIV pada jaringan tubuh, namun secara umum
dapat di kemukakan sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Rasa lelah dan lesu


Berat badan menurun secra drastis
Demam yang sering dan berkeringat di waktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
Pembekakan leher dan lipatan paha
Radang paru
Kanker kulit

Evaluasi Diagnostik
1. Tes Laboratorium

Tes atau pemeriksaan Laboratorium kini di gunakan untuk mendiagnosis HIV


dan memantau perkembangan penyakit serta responya terhadap terapi pada orang
yang terinfeksi HIV.
2. Tes Antibody HIV
Ada tiga buah tes untuk memastikan antibodi terhadapmHIV dan membantu
mendiagnosis infeksi HIV. Tes Enzyme-linked Imonosorbent assay(ELISA).
Mengidentifikasi antibodi secara spesifik dintunjukan kepada virus HIV. Tes ELISA
tidak menegakkan diagnosa penyakit AIDS tetapi lebih menunjukan bahwa seseorang
pernah terkena atau terinfeksi virus HIV. Orang yang darahnya antibodi untuk HIV di
sebut sebagai orang yang seropositif. Pemeriksaan Western blod assay merupakan tes
lainya yang dapat mengenali antibodi HIV dan di gunakan untuk memastikan
seropositifitas seperti yang teridentifikasi leawat prosedur ELISA. Indirect
Immunoflourescence assay(IFA) ini sedang di gunakan dalam sebagian dokter sebagai
penggnti pemeriksaan western blod untuk memastikan seropositifitas tes lainya , yaitu
radioimmunoprecipitation assay atau (RIPA), lebih mendeteksi protein HIV
ketimbang antibodi.
3. Implikasi Tes Bagi Perawat
Sebelum tes HIV di laksanakan makna tes tersebut dan kemungkinan hasilnya
harus di jelaskan terlebih dahulu. Persetujuan tindakan (informrd consent) untuk
melaksanakan tes di perlukan dari pasien. Hasil tes antibodi HIV harus di jelaskan
hati-hati kepada pasien . Semua hasil tes harus dijaga kerahasiaanya. Pendidikan dan
konseling rentang hasil tes serta penularan penyakit sangat penting jika tes antibodi
dilakasanakan.
4. Pelacakan HIV
Penentuan langsung keberadaan dan aktivitas virus HIV di gunakan untuk
melacak perjalanan penyakit tersebut di samping menilai responsnya terhadap terapi.
Protein inti virus sebagai tersebut P24. Pemeriksaan P24 antigen capture assay
sangat spesifik untuk HIV-1. Pemeriksaan P24 antigen capture assay telah di gunakan
bersama dengan tes lainya seperti CD4+ untuk mengevaluasi efek terapi dari preparat
anti virus.

Penatalaksanaan
1. Obat-obatan Untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV
Infeksi umum. Trimetoprim-sulfametoksazol, yang disebut pula TMP-SMZ
(Bactrim,Septra), merupakan preparat anti bakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada pasienpasien dengan fungsi gastronitestinal yang normal tidak memberikan keuntungan
apapun. Penderita AIDS yang obati dengan TMP-SMZ dapat mengalami efek yang
merugikan dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti dema, ruam,
leukopenia, trombositpenia, dan gangguan fungsi renal.

Pneumonia pneumocystis (PCP). Dalam beberapa tahun terakhir terjadi


banyak kemajuan dalam pengobatan PCP pada pasien-pasien penyakit AIDS dan
pasien-pasien yang kekebalannya terganggu tanpa infeksi HIV, Preparat TMP-SMZ
sudah tersedia dalam bentuk suntikan IV maupun preparat oral.
Pentamidin, suatu obat antiprotozoa, digunakan sebagai preparat alternatif
untuk melawan PCP. jika terjadi efek yang merugikan atau pasien tidak
memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan
dapat merekomendasikan pentamidin penyuntikan intramuskular harus dihindari
karena berpotensi untuk terbentuknya abses steril yang nyeri. Penyuntikan pentamidin
IV dapat menyebabkan hipotensi berat jika diberikan terlalu cepat. Efek pentamidin
yang merugikan mencakup gangguan metabolisme glukosa (dengan diabetes melitus
yang nyata), kerusakan ginjal, gangguan fungsi hati dan neutropenia. Kombinasi
TMP-SMZ dan pentamidin ternyata tidak menunjukan manfaat tambahan;
pengguanan preparat kombinasi ini harus dihindari karena dapat mengakibatkan efek
komulatif toksik.
Kombinasi trimetoprin oral (Proloprim, trimpex) dan dapson terbukti sangat
efektif untuk PCP ringan hingga sedang obat-obat lain sebagai terapi penyelamat bagi
pasien yang tidak berhasil disembuhkan dengan terapi konfesional mencakup preparat
klindamisin IV, primaquin oral, trimetrexate, hidroksinaftokuinon.
Meningitis. Terapi primer yang mutakhir meningitis kriptokokus adalah
anfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukanazol. Pemberian anfoterisin B
intratekal telah digunakan sebagai pengganti pemberian intra vena pada pasien-pasien
yang tidak responsif terhadap cara terapi yang terakhir ini.
Retinitis sitomeigalovirus. Merupakan penyabab utama kebutaan pada
penderita penyakit AIDS pada tahun 1989 FDA menyetujui penggunaan gansiklofir
untuk mengobati retinitis CMV, Obat ini harus diberikan sepanjang sisa usia pasien
efek merugikan yang membuat pendidikan pasien dan pemantauan rawat jalan sangat
penting adalah supresi sumsum tulang (yang akan menurunkan jumlah sel darah putih
dan trombosit) gangguan hepar serta ginjal.
Foskarnet (foscavir) yaitu preparat lain yang digunakan untuk mengobati
retinitis CMV.
2. Penatalaksanaan diare kronik
Terapi dengan okterotid asetad (sandostatin) yaitu suatu analog sintetik
somatostatin ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat.
3. Penatalaksanaan sindrom pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan penanganan penyabab yang mendasari
infeksi opertunis sistemik maupun gastrointastinal. Terapi nutrisi harus disatukan
dalam keseluruhan rencana penatalaksanaan dan harus disesuaikan untuk memenuhi

kebutuhan pasien; terapi nutrisi bisa dilakukan mulai diet oral dan pemberian
makanan lewat sonde (terapi nutrisi enteral ) hingga dukunagn nutrisi parenteral kita
diperlukan.
Advera merupakan suplemen nutrisi yang dibuat khusus untuk penderita
infeksi HIV dan AIDS .megastrol asetat (Megace) yaitu preparat sintetik progesteron
oral yang digunaka untuk pengobatan kanker payudara. Dronabinol (marinol)
merupakan preparat sintetik tetrahidrokanabinol (THC) merupakan obat untuk
mengurangi mual yang berkaitan dengan kemoterapi kanker.
4. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma kaposi, biasanya sulit kaerna sangat beragam gejala
sarkoma kaposi jarang mengancam jiwa penderitanya kecuali mengenai paru-paru dan
saluran cerna. tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi gejala lesi pada kulit,
gangguan rasa nyaman, berkaitan dengan edema. Terapi lokal mencakup eksisi lesi
atau pengolesan nitrogen cair pada lesi kulit dan penyuntikan lesi intra oral dengan
larutan encer vinblastin. Hingga saat ini kemoterapi yang paling efektif berupa ABV
(adrimiamisin, bleomisin dan vinkristin). Alfa-interferon untuk sarkoma kaposi yaitu
untuk mengatasi sarkoma kaposi katenius.
5. Terapi antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antriretrovirus yaitu zidovudin ( ZDV; dahulu disebut
azidotimidin), dideoksinosin, diseoksisitidin semua obat ini menghambat kerja enzim
reverse transctasevirus dan mencegah reproduksi virus HIV.
6. Inhibitor protease
Merupakan obat menghambat kerja enzim protease yaitu enzim yang dibutuhkan
untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Efek sampingnya
mencakup sakit kepala dan gangguan gastrointestinal.
7. Imunomodulator
Untuk melawan penyakit AIDS bukan hanya diperlukan preparat yang akan
menghambat pertumbuhan virus, tetapi juga preparat yang memulihkan atau
menguatkan sistem imun yang rusak.
8. Vaksin
Vaksin merupakan substansi yang memicu produksi antibodi dalam upaya untuk
menghancurkan mikroorganisme penyerang.
9. Perawat pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadan umum yang menurun sebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan infeksi HIV memerlukan banyak perawatan
suportif seperti dukungan nutrisi, terapi pengganti berupa infus cairan serta elektrolit
perawatan tindakan mengembalikan tubuh pasien secara teratur membersihkan dan
mengoleskan obat untuk menutup lesi dengan kasa steril. Teknik relaksasi, dan guided
imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat mengurangi rasa
nyeri.
10. Terapi alternatif
Terapi alternatif dibagi menjadi empat kategori.

1. Terapi spiritual atau psikologis yang mencakup terapi humor, hipnosis,


kesembuhan karena iman-kepercayaan.
2. Terapi nutrisi yang mencakup diet vegetarian atau makrobiotik, suplemen vitamin
C atau beta-karotin.
3. Terapi obat dan biologik termasuk obat-obatan yang pemakaian nya tidak disetujui
oleh FDA seperti nasetilsistein (NAC), pentoksifilin (trental).
4. Terapi tenaga fisik dan alat yang mencakup akupuntur, akupresur, terapi masase,
refleksologi, terapi sentuhan, yogga dan kristal.

Rencana Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan faktor resiko yang potensial, termasuk
praktek seksual yang berisiko dan pengguanaan obat bius IV. situs fisik dan psikologis

hasilnya harus dinilai. Semua faktor mempengaruhi sistem imun perlu digali dengan
sesama.
a. Status nutrisi, dinilai dengan menanyakan riwayat diyet dan mengenali faktorfaktor yang dapat menganggu hasupan oral seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri
oral atau kesulitan menelan.
b. Kulit dan membran mukosa, diinfeksi setiap hari untuk menentukan tanda-tanda
lensi, userasi atau infeksi.
c. Status respiratorius, dinilai lewat pemantawan pasien untuk menditeksi gejala
batuk, produksi sputum, napas yang pendek, artopmea, takipnea dan nyeri dada.
d. Status neorogis, ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien, orentasi
terhadap orang, tempat serta waktu ingatan yang hilang
e. Status cairan dan elektrolit, dinilai dengan memeriksa kulit serta membran
mukosa untuk menentukan tugor dan kekeringannya
f. Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara penularan penyakit
harus di evaluasi. Disamping itu tingkat pengetahuan keluarga dan sehabat perlu
dinilai

2. Diagnosa keperawatan
1) Diare berhubungan dengan patogen enterik atau infeksi HIV
2) Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan imunodisifisiensi

3. Intervesi
N
o
1

Diagnosa

Tujuan dan
Kreteria
hasil
Diare
Tujuan
:
berhubungan
setelah
dengan patogen dilakukan
enterik
atau tindakan
infeksi HIV
keperat 3x24
jam
mendapatka
n
kembali
kebiasaan
defekasi
yang lazim
dengan
kreteria hasil
defekasi
kembali
normal

Intervensi

1. Kaji
terhadap
diare : sering, feses,
nyeri atau kram
adomen,
volume
feses cair, dan
faktor
pemberat
dan penghilang
2. Dapatkan
kultur
feses dan berikan
terapi anti mikroba
sesuai ketentuan
3. Lakukan tindakan
untuk mengurangi
pembatasan sesuai
ketentuan dokter.
a. Pertahankan
batasan

Rasional

1. Diteksi perubahan pada


status,
kontitas
kehilangan cairan, dan
memberikan
dasar
untuk
tindakan
keperawatan.
2. Mengindifikasi
organisme patogenik
3. Tirah baring dapat
menurunkan
episode
akut
a. Menurunkan
stimulasi usus
b. Nikotin
bertidak
sebagai
stimulan
usus
c. Mencegah

Resiko terhadap Tujuan :


infeksi
tidak ada
berhubungan
infeksi
dengan
imunodisifisiens
i

makanan dan
cairan
sesuai
ketentuan
dokter
b. Hindari
merokok
c. Hindari iritan
usus
seperti
makanan
berlemak atau
gorengan,
Sayuran mentah
dan
kacang
kacangan.
4. Beriakan
antispasmodik
antikolinergis atau
obat
sesuai
ketentuan
1. Pantau adanya
infeksi :
demam, gigil,
dan diaporesis,
batuk, napas
pendek, nyeri
oral atau nyeri
menelan,
bercak
berwarna krim
di dalam
rongga oral,
sering
berkemih,
bengkak
2. Ajarkan pasien
atau
memberikan
keperawatan
tentang
perlunya
melaporkan
kemungkinan
infeksi
3. Patau jumlah

meransang usus dan


ditensi
abdomen
dan meningkatkan
nutrisi adekuat
4. Menurunkan
spasme
dan motilitas usus

1. Deteksi dini terhadap


infeksi penting untuk
melakukan tindakan
segera. Infeksi lama
dan berulang
memperberat
kelemahan pasien
2. Berikan deteksi dini
terhadap infeksi
3. Peningkatan SDP
dikaitkan dengan
infeksi
4. Organisme penggangu
harus identipikasi
sesuai ketentuan untuk
memulai tindakan yang
tepat
5. Mencegah infeksi yang
didapatkan di rumah
sakit

sel darah putih


dan deferensial
4. Dapatkan
kultur drainase
luka, lesi kulit,
urin, feses,
sputum, mulut,
dan darah
sesuai
ketentuan.
Berikan terapi
antimikrobial
sesuai
ketentuan.
5. Pertahankan
teknik
antiseptik bila
melakukan
prosedur
infaksip seperti
fungsi vena,
kateteriasi
kandung
kemih, dan
injeksi

Daftar pustaka
Smeltzer, Suzanne C dan Bare G Brenda .2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Bruner & Suddarth. Edisi 8. Vol 3. Jakarta :EGC

Anda mungkin juga menyukai