Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH Biografi

K.H. Ahmad Dahlan

Oleh :
1. Hidayaturrahman
2. Zufar Fadhlurrahman
3. Ananda Miftahur

I.

Biodata Kyai Haji Ahmad Dahlan

Lahir: Yogyakarta,1 Agustus 1868


Wafat: Yogyakarta23 Februari 1923
Dikenal karena: Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional
Agama: Islam
Nama Istri:
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Anak:
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah

II. Latar Belakang dan Ide Pemikiran


K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah mengalami pendidikan formal. Ia menguasai beragam ilmu
dari belajar secara otodidak baik belajar kepada ulama atau seorang ahli atau membaca bukubuku atau kitab-kitab. Beliau belajar ilmu fikih dari Kyai Mohammad Soleh yang juga kakak
iparnya sendiri, belajar ilmu nahwu dari K.H. Muhcsin, belajar ilmu falaq dari K.H. Raden
0Dahlan dari Pondok Pesantren Termas, belajar ilmu hadits dari Kyai Mahfudz, belajar
qiroatul quran dari Syekh Amin dan lain-lain. K.H. Ahmad Dahlan juga pernah berinteraksi
dengan para ulama terutama saat beliau berada di Mekah, misalnya dengan Syekh
Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari
Surabaya dan lain-lain.[6]
Kiai Ahmad Dahlan terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat
keagamaan, bukan pedagang, dan prestasi duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi
prestasi sesudah mati. Reformasi sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa
contoh dalam sejarah dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. Ahmad
Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang belum pernah
berkunjung ke negeri ini. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan
Dahlan dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai insiden sosiologis
sunnatullah atau hukum alam.
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan
iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci
pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan
pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan
penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan
cinta kasih.[7] Sikap K.H. Ahmad Dahlan dipraktekkan dalam misi dahwahnya untuk
mengubah arah kiblat masjid-masjid Yogyakarta termasuk Masjid Kerathon yang dinilainya
tidak tepat, dan kaena itu perlu diubah arahnya.
Ahmad Dahlan tidak serta merta menyuruh mengubah arah kiblat secara sepihak. Sebagai
pembaru, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dahwahnya, atau

orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Karena menurut Ahmad Dahlan dialog
merupakan alat atau sarana untuk mencapai kebenaran.[8]
Haji Majid, seorang murid K.H. Ahmad Dahlan menuliskan pengalamannya dalam risalah
singkat Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan. Setidaknya ada tujuh point yang dapat dipetik
yaitu,
Pertama; Mengutip perkataan al-Ghazali, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa manusia
itu semuanya mati (perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan
ulama itu senantiasa dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal
pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.
Kedua; Kebanyakan mereka di antara manusia berwatak angkuh dan takabur. Mereka
mengambil keputusan sendiri-sendiri. K.H. Ahmad Dahlan heran kenapa pemimpin agama
dan yang tidak beragama selalu hanya beranggap, mengambil keputusan sendiri tanpa
mengadakan pertemuan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memperbincangkan mana
yang benar dan mana yang salah. Hanya anggapan-anggapan saja, disepakatkan dengan
istrinya, disepakatkan dengan muridnya, disepakatkan dengan teman-temannya sendiri. Tentu
saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permusyawaratan dengan golongan lain di
luar golongan masing-masing untuk membicarakan manakah yang sesungguhnya yang benar
dan manakah sesungguhnya yang salah.
Ketiga; Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka
kemudian menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai. Kebiasaan yang
dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa kebanyakan manusia membela
adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut itiqat, perasaan kehendak maupun amal
perbuatan. Kalau ada yang akan merubah sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga.
Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimilikinya adalah benar.
Keempat; Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus sama-sama
menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan
manusia hidup di dunia. Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal
itikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang
sejati.
Kelima; Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam
membaca beberapa tumpuk buku dan sudah memperbincangkan, memikirkan, menimbang,
membanding-banding ke sana ke mari, barulah mereka dapat memperoleh keputusan,
memperoleh barang benar yang sesungguhnya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat
mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan manusia tidak
berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau barang
yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi kesenangannya, khawatir akan
terpisah dengan teman-temannya.
Keenam; Kebanyakan para pemimpin belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya
untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu
biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.

Ketujuh; Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek). Dalam mempelajari kedua
ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan maka
tidak perlu ditambah.
Bagi Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup
pemeluknya, kecuali dipraktikkan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika
tidak dipraktikkan, tak bakal bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, Ahmad Dahlan tak
terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Quran, tapi ia lebih banyak mempraktekkannya
dalam amal nyata.[9]
Tafsirnya Ahmad Dahlan atas surat Ali Imran Ayat 104, basis teologis organisasi modern
sebagai instrumen ritus dan pemecahan problem kehidupan manusia, tidak dtemukan dalam
tafsir klasik.
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran; 104).[10]
Demikian pula tafsir surat Al-Maun sebagai referensi aksi pemberdayaan kaum tertindas atas
pertimbangan pragmatis dan humanis, seperti aksi pemberdayaan kaum perempuan di ruang
publik.
Artinya : Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik
anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang
berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Kecenderungan ideologisasi tafsir Salafi di atas bisa dilihat dari tumpang tindih ajaran Islam
otentik dan ajaran Islam sebagai tasfir tersebut. Keyakinan kebenaran mutlak dan
kesempurnaan ajaran Islam kemudian diterapkan pada tafsir Salafi yang dikukuhkan melalui
hierarki kekudusan sejarah yang menempatkan generasi sahabat lebih kudus dan lebih benar
dari generasi tabiin (pascasahabat) dan seterusnya.
Gagasan genial Dahlan mencairkan hegemoni tafsir Salafi yang secara otentik tidak bisa
dirujukkan pada Abduh, Rasyid Ridla, dan Afghani, apalagi Wahabi. Rasionalitas
pemahaman dan praktik ritus mungkin diambil dari tokoh pembaru, tapi inovasi kreatif
pragmatis-humanis pemihakan pada kaum tertindas diambil dari pengalaman kaum Kristiani
di Tanah Air. Lebih penting lagi ialah pengalaman induktif kemanusiaan universal Kiai
sendiri yang mendasari hampir seluruh gagasan dan kerja sosialnya.
Sulit dicari contohnya dalam sejarah pemikiran Islam ketika Kiai mendirikan organisasi dan
berbagai model pemberdayaan perempuan, kaum proletar dan tertindas (mustadlafin).
Sayang, model gerakan yang belakangan populer di kalangan LSM itu kini semakin terasing
dari kegiatan Muhammadiyah ketika gerakan ini tumbuh besar.

III. Gagasan Pemikiran


Pembaharuan Lewat Politik

Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan
keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta
dengan gelar Ketib Amin oleh Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam usianya yang
relatif muda sekitar 28 tahun, ketika ayahanda Kyai mulai uzur dari jabatan serupa[11]. Satu
tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama
beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah
mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum
Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan
Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun
pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan
Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas
Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam
melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai
wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan
Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya
menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi
Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah
Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres
Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan
rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar
pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Untuk mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan
menjalin hubungan intensif melalui Jamiat Khair dan masuk menjadi anggotanya pada tahun
1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta menjadi anggota.[12]
Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas
dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan
modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak,
yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan
bagi pikirannya yaitu Muhammadiyah
Pembaharuan Lewat Pendidikan
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasardasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; Dengan organisasi
Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni

kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
Usahanya `memberi warna pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler, tidaklah
sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk mendirikan
lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung.
Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan pesantren yang biasanya ikut mati jika
kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah
dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang tamu rumahnya sendiri
ukuran 2,5 x 6 M di Kauman.
Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi
secara mandiri yang dilengkapi dengan perlengkapan belajar mengajar modern seperti;
bangku, papan tulis, kursi (dingklik; kursi berkaki empat dari kayu dengan tempat duduk
panjang), dan sistem pengajaran secara klasikal.
Cara belajar seperti itu, merupakan cara pengajaran yang asing di kalangan masyarakat santri,
bahkan tidak jarang dikatakan sebagai sekolah kafir. Pernah dia kedatangan seorang tamu
guru ngaji dari Magelang yang mengejeknya dengan sebutan kiai kafir, dan kiai palsu karena
mengajar dengan menggunakan alat-alat sekolah milik orang kafir. Kepada guru ngaji yang
mengejeknya itu Dahlan sempat bertanya, Maaf, Saudara, saya ingin bertanya dulu. Saudara
dari Magelang ke sini tadi berjalankah atau memakai kereta api?
Pakai kereta api, kiai, jawab guru ngaji. Kalau begitu, nanti Saudara pulang sebaiknya
dengan berjalan kaki saja, ujar Dahlan. Mengapa? tanya sang tamu keheranan. Kalau
saudara naik kereta api, bukankah itu perkakasnya orang kafir? kata Dahlan telak.
Di sinilah Ahmad Dahlan menerapkan Al Quran surah 96 ayat 1 yang memberi penekanan
arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
Ahmad Dahlan berfikir dengan pendidikan buta huruf diberantas. Apabila umat Islam tidak
lagi buta huruf, maka mereka akan mudah menerima informasi lewat tulisan mengenai
agamanya.
Pembaharuan Pemikiran Budaya
Ketika Grebeg Hari Raya dalam tradisi Kraton Yogyakarta jatuh sehari sesudah hari raya
Islam, Kiai meminta menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Tengah malam, diantar
Kanjeng Kiai Penghulu, Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruang tanpa lampu. Setelah
Dahlan menyampaikan usul agar Grebeg diundur sehari, Raja bersabda bahwa Grebeg
dilaksanakan sesuai dengan tradisi Jawa, Dahlan dipersilakan menyelenggarakan shalat Hari
Raya sehari lebih dahulu.
Kiai begitu terkejut mendapati ruang paseban penuh dengan pangeran dan pejabat kerajaan
mendampingi Raja saat lampu ruang paseban dinyalakan. Sang Raja kembali bersabda bahwa
pemadaman lampu itu sengaja dilakukan agar Dahlan tidak merasa kikuk saat menyampaikan
usulnya kepada Raja.
Hubungan harmonis Dahlan dan pusat kekuasaan Jawa cukup unik dan menarik dikaji ketika
kerajaan dipandang sebagai pusat tradisi Kejawen yang penuh mistik. Kelahiran

Muhammadiyah sendiri berkait dengan kebijakan Hamengku Buwono VII dan VIII.
Kepergian Dahlan naik haji dan bermukim di Mekkah adalah perintah langsung Sri Sultan
Hamengko Buwono VII. Raja memandang penting Raden Ngabei Ngabdul Darwis (nama
kecil Ahmad Dahlan) belajar Islam dari asal kelahirannya. Sepulang haji, Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII memerintahkan Dahlan bergabung dalam Boedi Oetomo. Reformasi
Islam pun mulai berlangsung dari sini.
Konflik keras justru muncul dalam komunitas Kauman dari ulama senior dan Kiai Dahlan.
Disharmoni Muhammadiyah dan pusat kekuasaan Jawa mulai muncul ketika gerakan ini
memperkuat ortodoksi Fikih sesudah pendirinya wafat tahun 1923. Gerakan pembaruan Islam
kemudian berkembang berhadap-hadapan dengan pusat kekuasaan Jawa.
Suasana sosial politik yang melingkupi kehidupan Dahlan di atas berbeda dengan pembaru
Islam Saudi Arabia, Mesir, Iran, Afganistan, Aljazair, Pakistan, atau India. Jika para pembaru
itu banyak berhubungan dengan pusat kebudayaan Eropa (Perancis dan Inggris), Kiai
memperoleh pendidikan di lingkungan kerajaan. Interaksinya dengan elite kerajaan, pejabat
kolonial, priayi Jawa, pendeta, dan pastor memberi ruang lebih luas menjelajahi berbagai
persoalan dunia global atau nasional dan lokal.
Pembaharuan Pemikiran Ekonomi
Tulisan pembaharuan pemikiran ekonomi Ahmad Dahlan, penulis kurang mendapat reverensi
buku yang cukup untuk mengupasnya. Untuk itu penulis mengambil inisiatif mengambil dan
menyampaikan kembali artikel Sutia Budi yang berjudul Gerakan Ekonomi
Muhammadiyah; Sebuah Gugatan 3 September 2007[13], dengan sentuhan pikiran penulis.
Jiwa ekonomi terlihat dari profil kehidupan KH. Ahmad Dahlan yang bekerja sebagai
pedagang batik (bussinessman) di samping kegiatan sehari-harinya sebagai guru mengaji dan
khatib. KH. Ahmad Dahlan sering melakukan perjalan-an ke berbagai kota untuk berdagang.
Dalam perjalanan bisnisnya, KH. Ahmad Dahlan selalu membawa misi dakwah Islamiyah.
Kepada para aktivis organisasi dan para pendukung gerakannya, KH. Ahmad Dahlan
berwanti-wanti: Hidup-hidupilah Muhammad-iyah, dan jangan hidup dari Muhammadiyah.
Himbauan ini menimbul-kan konsekuensi tertentu. Menurut Dawam Raharjo mengatakan,
konsekuensi yang lain adalah bahwa untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya,
mereka harus memajukan usahanya agar bisa membayar zakat, shadaqah, infaq atau memberi
wakaf, warga Muhammadiyah harus menengok ke organisasi lain. Pada waktu itu, yang
bergerak di bidang sosial-ekonomi adalah Sarekat Dagang Islam (SDI), kemudian bernama
Sarekat Islam (SI) itu. Itulah sebabnya warga Muhammadiyah sering berganda keanggotaan,
Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1921, Muhammadiyah memprogramkan perbaikan ekonomi rakyat, salah satunya
adalah dengan membentuk komisi penyaluran tenaga kerja pada tahun 1930. Pada
perkembangan selanjutnya, tahun 1959 mulai dibentuk jamaah Muhammadiyah di setiap
cabang dan terbentuknya dana dakwah. Program-program ekonomi yang dirancang ternyata
menjadi dorongan untuk terbentuknya Majelis Ekonomi Muhammadiyah.
Namun, sebagaimana diungkap Muarif (2005:223), dalam persoalan ekonomi ini,
Persyarikatan Muhammadiyah mengalami posisi dilematis. Di satu sisi, visi ekonomi ketika
hendak membangun perekonomian yang tangguh haruslah didasarkan pada profesionalisme.

Adapun untuk mengantarkannya pada profesionalisme itu biasanya menggunakan cara yang
mengarah pada dunia bisnis kapitalis. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan visi
kerakyatan yang pada awal berdirinya persyari-katan menjadi agenda utama.
Pembaharuan Bidang Sosial
Praktek amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang tersebut dalam surah Al
Maun yang secara tegas memberi peringatan kepada kaum muslimin agar mereka
menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin. Aplikasi surah al Maun ini adalah
terealisirnya rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin.
Ketika menerapkan Al Quran surah 26 ayat 80, yang menyatakan bahwa Allah
menyembuhkan sakit seseorang, maka didirikannya balai kesehatan masyarakat atau rumah
sakit-rumah sakit. Lembaga ini didirikan, selain untuk memberi perawatan pada masyarakat
umum, bahkan yang miskin digratiskan, juga memberi penyuluhan, betapa pentingnya arti
sehat.[14]

IV. Relefansi Pemikiran Ahmad Dahlan pada Konteks Kekinian


Kontinuitas dan perubahan merupakan dua ciri yang menonjol dari perkembangan Islam di
Indonesia pada awal abad ke-20. Kontinuitas mewujudkan diri dalam kecenderungan kaum
muslim untuk : (1) melestarikan pelbagai kepercayaan dan praktik (keagamaan), yang
sebagian besar tidak bisa diterima di daerah-daerah tertentu; dan (2) membatasi Islam hanya
dalam bentuk ritual dan tidak menginspirasikan perubahan dalam kehidupan sosial, kultural
dan material.[15]
Muhammadiyah yang selalu di elu-elukan oleh warga persyarikatan maupun banyak orang
diluar persyarikatan sebagai ormas terkaya dalam bidang amal usaha, gerakan Islam
modernis, dan ormas terbesar nomor dua di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama, ternyata
memiliki krisis legitimasi dari para pengikutnnya. Hal ini ditunjukkan dengan polarisasi
keyakinan dan bahkan pembangkangan terhadap manhaj Muhammadiyah ditingkat basis,
seperti cabang dan ranting. Hal serupa juga tidak menutup kemungkinan dengan munculnya
kecenderungan yang sama dan para pimpinan diberbagai tempat yang saat sekarang duduk
sebagai pejabat teras di Pimpinan Daerah sampai Pusat.[16]
Layaknya bakteri atau virus yang begitu cepat menyebar dan tidak pandang bulu untuk
menyerang paradigma pengurus Muhammadiyah saja, melainkan para aktivis mudanya pun
telah tertular kegenitan virus politik praktis.
Disinilah, bentuk-bentuk penjarahan anggota dan kader muda Muhamnaadiyah secara besarbesaran terjadi. Mereka yang di gadang gadang sebagai resources dan pelopor baru
Muhammadiyah ternyata juga mengalami pembangkangan terhadap organisasi induknya.
Menurut hemat penulis, porak porandanya sistem maupun kondisi internal ini dikarenakan
belum maksimalnya para pimpinan Muhammadiyah untuk menjawab kebutuhan moral
maupun spiritual kadernya. Segala bentuk gagasan bertema purifikasi dan pembaharuan
yang melangit dalam segala bidang selalu dikedepankan. Hal ini menjadikan para pimpinan
terjebak dan bahkan tercerabut dari akar permasalahan. Peran mubaligh Muhammadiyah

dengan sendirinya telah tergeser dengan munculnya para intelektual (meminjam istilah
Kuntowijoyo) muslim tanpa masjid.
Para cendekiawan muslim Muhammadiyah ini terlahir dari rahim forum-forum ilmiah
keagamaan, buku-buku ke-Islaman dan berbagai media yang menunjang dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat kontemporer. Tak pelak jika terkadang para cendekiawan produk
Muhammadiyah ini gagap dalam menjawab masalah-masalah fundamental persyarikatan
khususnya dan masyarakat umumnya.
Masih mungkinkah Persyarikatan Muhammadiyah membangkitkan kembali kesadaran
solidaritas umat Islam dengan metode K.H. Ahmad Dahlan. Dengan menggunakan Al Quran
Surat Al Maun terhadap rasa kepeduliannya dan solidaritasnya terhadap sesama. Mungkinkah
di tengah masyarakat objek dakwah Persyarikatan Muhammadiyah, masyarakatnya sedang
diterpa budaya hedonisme dan sekulerisme, kembali ke ajaran Islam?
Masih mampukah Persyarikatan Muhammadiyah membangkitkan kembali kesadaran
berpartisipasi aktif menciptakan masyarakat bermartabat, dengan memedulikan duka nestapa
yang diderita oleh anak yatim piatu dan fakir miskin korban kebijakan struktural? Kita tahu,
Persyarikatan Muhammadiyah sekarang sudah membangun sarana pendidikan dari play
group hingga perguruan tinggi serta pesantren modern. Akan tetapi, masih adakah guru dan
dosen serta dokter pejuang seperti zaman K.H. Ahmad Dahlan. Kebijakan pendidikan
Persyarikatan Muhammadiyah terlihat cenderung berorientasi memenuhi kebutuhan
pendidikan untuk sesama, need of union, dengan sistem pendidikan pada umumnya.
sungguh, K.H. Ahmad Dahlan sedang menangis. Di tengah kegalauan kehidupan kota,
pelayanan masyarakat bawah dari Persyarikatan Muhammadiyah tidak dikenal oleh
masyarakat. Hal itu tergantikan pelayanannya oleh Dompet Dhuafa (DD), Dompet Peduli
Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT), Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat
Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro (RZI DSUQ) dan sejenisnya. Realitas yang demikian
ini, agaknya menjadikan K.H. Ahmad Dahlan menangis. Karena, Persyarikatan
Muhammadiyah telah kehilangan aktivis dakwahnya yang dapat diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat kota dan desa.[17]
V. Tinjauan Kritis Pemikiran Ahmad Dahlan
Abdul Munir Mulkhan dalam beberapa kajiannya tentang geneologi intelektualitas Ahmad
Dahlan mencatat adanya korelasi ideologis dalam beberapa pemikiran pendiri gerakan
Muhammadiyah ini dengan pemikiran Ibn Taimiyah. Pokok-pokok pandangan Ibn Taimiyah
yang dinilai mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika gerakan pembaharuan di dunia
Islam, dan Ahmad Dahlan pada khususnya ialah:
1. Satusatunya kunci untuk memahami Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul.
2. Ijtihad sebagai upaya memahami Islam dari sumber primer (al Quran dan sunnah)
merupakan proses tidak pernah selesai.
3. Ummat Islam tidak harus dipimpin oleh hanya seorang khalifah.
4. Usaha yang dilakukan oleh manusia dengan mempergunakan kemampuan akal dan
kecerdasan berpikirnya sematamata untuk menemukan dan mencapai kebenaran mutlak,
adalah suatu usaha yang mustahil.

Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap al Quran dan sunnah, perlu
mempergunakan pendekatan dan contoh yang dilakukan oleh golongan salaf yang merupakan
generasi pertama ummat Islam.
Gerakan reformasi Islam dalam dunia Arab modern dimulai dan disemai oleh para pemikirpemikir Muslim rasionalis semenjak Rifaat Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam gerakan
pembaharuan Muhammad Abduh. Dan `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang
ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi kiri atau kanan dalam
madzhab Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus Abduh semakin lama semakin kiri
(menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri
sama sekali dari kerangka ajaran sang imam, yaitu menjadi fundamentalis.
Wawasan keberagamaan Dahlan mengedepankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas
dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian Dahlan ini sangat mewarnai
corak penampilan Muhammadiyah pada fasefase awal. Beliau menafsirkan Islam sebagai
realitas yang dinamis dan hidup. Tafsir sosial Islam yang dilakukan Dahlan menyuarakan
kepentingan pemihakan kepada konstruksi-konstruksi sosial yang marjinal, terjajah, dan
tertindas oleh sebuah sistem otoritas/struktur sosial yang opresif.[18]
Menurut Munir Mulkhan, kesatuan kemanusiaan di atas merupakan dasar berbagai gagasan
KH. Dahlan tentang sikap kritis terhadap kebenaran yang selama ini diyakini pemeluk agama
dan pemimpin agama. Begitu pula pemikiran tentang pentingnya sikap terbuka dan kesediaan
untuk belajar kepada orang lain, walaupun kepada orang yang berbeda agama. Tampak jelas
bahwa bagi KH. Ahmad Dahlan, Islam merupakan ajaran untuk pencapaian kesejahteraan dan
perdamaian seluruh umat manusia.

Daftar Pustaka
https://supardisaminja.wordpress.com/2012/11/09/pokok-pokok-pemikiran-kh-ahmad-dahlan/

Anda mungkin juga menyukai