Asisten :
Afif Iman Hidayat
G1A009046
Kelompok 3 :
Partogi Andres M
G1A010030
Ning Maunah
G1A010031
G1A001032
Rinda Puspita A
G1A010033
Fanny Trestanita B
G1A010034
Silvia Rosyada
G1A010035
Windarto
G1A010036
Andika Pratiwi
G1A010037
G1A010038
Khairisa Amrina R
G1A010039
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok 3
Partogi Andres M
G1A010030
Ning Maunah
G1A010031
G1A001032
Rinda Puspita A
G1A010033
Fanny Trestanita B
G1A010034
Silvia Rosyada
G1A010035
Windarto
G1A010036
Andika Pratiwi
G1A010037
G1A010038
Khairisa Amrina R
G1A010039
A. Tujuan Instruksional
1. Umum
Setelah menyelesaikan
percobaan
mahasiswa
dapat
menjelaskan
ditentukan
dengan
dengan
koordinasi
pusat
saraf
sirkulasi,
respirasi,
sampai
diserap
melalui
paru-paru.
Adanya
makanan
dalam
usus
dapat
menyebabkan
toxaemia.
Keracuanan
akut
dapat
enfluran
tinggi
dengan
tekanan
PCO2
menurun
metabolisme
desfluran
sangat
rendah
dan
menimbulkan
batuk,
penahanan
napas,
apnea,
thiamilal
dan
methoheksital)
tergantung
dari
meningkatkan
denyut
jantung
dan
meningkatkan
c) Otak
Barbiturat menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah di
otak, menyebabkan penurunan aliran darah otak dan tekanan
intracranial (Morgan et al., 2006).
d) Ginjal
Barbiturat mengurangi aliran darah ginjal dan filtrasi dari
glomerulus sebagai akibat dari penurunan tekanan darah (Morgan
et al., 2006).
e) Hepar
Aliran darah hepar menurun (Morgan et al., 2006).
3) Sediaan dan Dosis
Tabel 1. Sediaan dan Dosis Barbiturat (Wiria, 2007)
Barbiturat
Natrium thiopental
Natrium thiamilal
2,5%)
Dosis induksi : 2-4 ml (larutan 2,5%)
Dosis penunjang : 0,5-2 ml (larutan
Natrium metoheksital
2,5%)
Dosis induksi : 5-12 ml (larutan 1%)
Dosis penunjang : 2-4 ml (larutan 1 %)
4) Efek Samping
Pemberian barbiturat jangka pendek tidak memiliki efek yang
bermakna secara klinis terhadap sistem hati, ginjal, atau endokrin.
Dosis induksi tunggal thiopental tidak mempengaruhi tonus uterus
pada wanita hamil, tetapi menghasilkan depresi aktivitas yang ringan
dan singkat (Evers et al., 2006).
Akan tetapi, disebutkan pula
bahwa
barbiturat
dapat
baik
di
saluran
(0,1
mg/kg)
midazolam
efektif
untuk
sedasi
kelarutan
sedang
pada
lemak
sehingga
2) Farmakodinamik
a) Kardiovaskuler
Efek depresan
kardiovaskuler
benzodiazepin
minimal
jantung
meningkat.
Midazolam
cenderung
lebih
a) Kardiovaskuler
Secara umum, opioid mempengaruhi kardiovaskuler dengan
menurunkan respon simpatis melalui pusat vasomotor di medula
dan meningkatkan respon parasimpatis melalui jalur vagal.
Opioid tidak menekan kontraktilitas jantung kecuali meperidin.
Meperidin dan morfin dapat menyebabkan terjadinya pelepasan
histamine dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi (Cole, 2004).
b) Respirasi
Opioid menekan ventilasi terutama laju respirasi. PaCO2
meningkat dan respon terhadap CO2 berkurang. Efek ini
dipengaruhi oleh pusat respirasi di batang otak. Opioid (terutama
fentanil, sufentanil dan alfentanil) dapat menimbulkan rigiditas
dinding dada cukup berat sehingga mencegah ventilasi adekuat
(Cole, 2004).
c) Otak
Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen otak dan
tekanan intrakranial, namun jauh lebih minimal dibandingkan
barbiturat atau benzodiazepin. Stimulasi terhadap pemicu
kemoreseptor pad tingkat medula menyebabkan terjadinya mual
dan muntah, hal ini berhubungan dengan pemberian opioid yang
berulang (Cole, 2004).
d) Gastrointestinal
Opioid memperlambat
waktu
pengosongan
dengan
Pada
pasien
dengan
hipovolemia,
opioid
Waktu
Eksitasi
Anastesi
Kematian
Jumlah
Chloroform
mula
14.00
Waktu
14.01
Interval
1
Waktu
14.03
Interval
2
Waktu
14.05
Interval
2
Etanol
14.00
14.20
20
Eter
13.53
14.10
17
14.17
14.21
28
b. Kesimpulan
Kematian diantara ketiga tikus putih terjadi pada tikus putih dengan
terinhalasi reagen eter dan kloroform. Tikus putih yang terinhalasi
dengan etanol tidak mengalami kematian karena etanol hanya efektif
jika diberikan melalui metode intravena.
2. Pembahasan
a. Chloroform
Pada percobaan ini tikus putih yang diberikan chloroform
mengalami stadium anastesi paling cepat dibandingkan dengan
anestetik lainnya. Chloroform adalah obat anastesi lebih efektif
daripada eter dan etanol. Chloroform dapat diserap, di metabolisme dan
dieliminasi dengan cepat oleh mamalia lewat oral, inhalasi maupun
kulit. Toxaemia dapat terjadi pada penggunaan alkohol yang
berkepanjangan.
Ketika
digunakan
dalam
anastesi,
penurunan
kesadaran biasanya diawali dengan tahap eksitasi. Hal ini diikuti oleh
hilangnya refleks, sensasi berkurang, kehilangan kesadaran bahkan
dapat menyebabkan kematian.
b. Etanol 95%
Pada tikus putih yang diberi anastesi dengan menggunakan etanol
terjadinya stadium anastesi berjalan sangat lambat bila dibandingkan
dengan anestetik lainnya.Etanol termasuk dalam jenis alkohol, senyawa
etanol ini memiliki sifat mendepresi fungsi SSP dengan mengganggu
pengaturan eksitasi atau inhibisi di otak. Alkohol ini di absorbsi dengan
cepat di lambung dan usus halus serta di metabolisme di hati. Eksresi
alkohol melalui paru-paru dan urin (Wiria, 2009).
Konsumsi alkohol berefek sedasi dan ansietas, pada kadar tinggi
dapat menyebabkan bicara tak jelas, ataksia, tak dapat menentukan
pembesaran
kelenjar
tiroid
yang
menyebabkan
bahan lainnya.
Tiroidektomi
mungkin
dilakukan
jika
yang
diterapkan
adalah
pembiusan
umum.
Operasi
hebat. Sayatan kulit kepala ditutup dengan jahitan benang atau staples.
Adakalanya juga dipasang selang drain dengan maksud mengalirkan sisasisa darah untuk beberapa hari (Barabara, 1998).
5. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh
tonsil palatine.Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis
dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi
minor karena teatap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi
dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran
komplikasi tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia,
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi
pendek dan teknik tidak sulit (DepKes).
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih
banyak bila dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus
umum yang beredar sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah
dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak
pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para
dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan
berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Pada dekade terakhir,
tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan,
kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis,
mendengkur, gangguan bicara dan enuresis (DepKes).
G. Kesimpulan
1. Anastesi dapat dibedakan menjadi anastesi umum dan anastesi lokal.
Sedangkan anastesi lokal berdasarkan jalur masuknya dibedakan menjadi
anastesi inhalasi dan anastesi intravena.
2. Contoh anastesi inhalasi adalah Eter, gas NO, dan Halotan, sedangkan
contoh anastesi intravena diantaranya adalah barbiturat , benzodiazepin
dan Opioid
3. Berdasarkan hasil percobaan pada tikus , zat anastesi inhalasi yang paling
cepat menimbulkan stadium eksitasi dan membawa tikus ke stadium 4
adalah cloroform.
H. Evaluasi
1. Jelaskan stadium-stadium anastesi umum !
Semua zat anestetik menghambat sistem saraf pusat secara bertahap,
yang mula-mula dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling
akhir dihambat ialah medula oblongata tempat pusat vasomotor dan
pernafasan. Guedel (1920) membagi anastesi umum dalam 4 stadium,
sedangkan stadium ketiga dibedakan lagi atas empat tingkat. Yaitu :
a. Stadium I (analgesia)
Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan
nyeri (analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah.
Pada stadium ini dapat dilakukan pembedahan ringan seperti mencabut
gigi dan biopsi kelenjar.
b. Stadium II (eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampei munculnya
pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium
pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak mengalami delirium dan
eksitasi dengan gerakan-gerakan diluar kehendak. Pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpenea, tonus otot rangka
meninggi,
pasien
meronta-ronta,
kadang
sampai
mengalami
spontan
melemah.
Untuk
mencegah
ini,
harus
b. Kadar anestetik dalam udara yang dihirup pasien atau yang disebut
tekanan parsial anestetik
c. Ventilasi paru
d. Aliran darah paru
e. Perbedaan antara tekanan parsial anestetik didarah arteri dan vena.
3. Jelaskan secara skematis dan buatlah grafik potensi relatif anestetik umum
yang digunakan dalam percobaan diatas !
Stadium
K
Keterangan :
E : EksitasiHitam : Chloroform
: AnestesiMerah
: Ether
DariA grafik
di atas terlihat
khloroform
K : KematianBiru
: Etanol 95%
10
Interval
(menit)
umum yang efektif digunakan melalui inhalasi, sifat dari kloroform yang
mudah menguap sehingga cepat berikatan dengan oksigen sehingga dapat
terjadi stadium eksitasi, anastesi dan kematiannya paling cepat, sedangkan
ether dari stadium eksitasi ke stadium anastesi membutuhkan waktu yang
lama, bahkan tak terhingga karena jenis anastesi umum ini akan efektif
apabila digunakan melalui intravena. Etanol hanya memasuki stadium
eksitasi dengan batas waktu yang tak terhingga, Percobaan anastesi umum
dengan menggunakan chloroform diberikan dengan cara diteteskan diatas
kertas sebanyak 0,25 cc dan diberikan setiap 2 menit sekali, kemudian
diamati dan dihitung waktu untuk setiap perpindahan stadium.
Berdasarkan percobaan kali ini hasil yang didapatkan adalah interval
waktu antara stadium eksitasi dan anastesi adalah 1 menit, dari awal
pemberian jam 14.00 dan mulai stadium eksitasi jm 14.01. Kemudian
untuk perpindahan dari stadium anastesi menjadi stadium eksitasi interval
waktunya sama yaitu 2 menit, anastesi terjadi mulai jam 14.03. Sedangkan
stadium anastesi dan kematian intervalnya sama 2 menit waktu terjadinya
14. 05.
Dari hasil Percobaan anastesi umum yang dilakukan kelompok kami
menunjukkan kalau chloroform mempunyai kemampuan tercepat dalam
DAFTAR PUSTAKA
Bland, KI, WG Cioffi, dan MG Sarr. Praktek Bedah Umum. Philadelphia,
PA:Saunders, 2001.
Cole, Daniel J. 2004. Adult Perioperative Ansthesia : The Requisites in
Anesthesiology. Philadelphia : Mosby Elsevier.
Collins, Vincent J. 1996. Diethyl Ether and Chloroform. Dalam: Physiology and
Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania: Williams & Wilkins.
Doenges. 2000. Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC
Evers, Alex S., C. Michael Crowder, Jeffrey R. Balser. 2006. General Anesthetics.
The Pharmacological Basis of Therapeutics.Toronto : McGraw-Hill
Company.
http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=349&Itemid=112
Latief, S. A. 2003. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Jakarta : Bagian Anastesiologi
dan Terapi Intensif FKUI.
Morgan, G. Edward, Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. 2006. Clinical
Anesthesiology. McGraw-Hill : Lange Medical Books.
Munaf, Sjamsuir. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC.
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiogi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Schmitz, Gery., Lepper, Hans., Heidrich, Michael. 2008. Farmakologi dan
Toksikologi. Jakarta : EGC.
Wiria, Metta Sinta Sari. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI
Zunilda D.S. dan Elysabeth. 2007. Anastesi Umum. Dalam :Farmakologi dan
Terapi. Jakarta : FKUI.