Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERAN

BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEM


ANASTESI UMUM

Asisten :
Afif Iman Hidayat

G1A009046

Kelompok 3 :
Partogi Andres M

G1A010030

Ning Maunah

G1A010031

Fiya Yanti Fahma

G1A001032

Rinda Puspita A

G1A010033

Fanny Trestanita B

G1A010034

Silvia Rosyada

G1A010035

Windarto

G1A010036

Andika Pratiwi

G1A010037

Angkat Prasetya A.N

G1A010038

Khairisa Amrina R

G1A010039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013

LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok 3
Partogi Andres M

G1A010030

Ning Maunah

G1A010031

Fiya Yanti Fahma

G1A001032

Rinda Puspita A

G1A010033

Fanny Trestanita B

G1A010034

Silvia Rosyada

G1A010035

Windarto

G1A010036

Andika Pratiwi

G1A010037

Angkat Prasetya A.N

G1A010038

Khairisa Amrina R

G1A010039

disusun untuk memenuhi persyaratan


tugas praktikum Farmakologi Kedokteran Blok NSS Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
diterima dan disahkan
Purwokerto, April 2013
Asisten

Afif Iman Hidayat


G1A009046

A. Tujuan Instruksional
1. Umum
Setelah menyelesaikan

percobaan

mahasiswa

dapat

menjelaskan

perbedaan potensi relatif dari beberapa obat anastesi umum.


2. Khusus
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat:
a. Menjelaskan stadium anastesi umum secara singkat
b. Menjelaskan perbedaan beberapa obat anastesi umum dalam waktu
tertentu
B. Tinjauan Pustaka
1. Anastesi Umum
Istilah anastesi dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal
dari bahasa Yunani anaisthsia (dari an- tanpa dan aisthsis
sensasi) yang berarti tidak ada rasa sakit. Anastesi dibagi menjadi 2
kelompok yaitu:
a. anastesi lokal: hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran
b. anastesi umum: hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.
Sejak jaman dahulu, anastesi dilakukan untuk mempermudah tindakan
operasi, misalnya pada orang Mesir menggunakan narkotika, orang China
menggunakan Cannabis indica, orang primitif menggunakan pemukulan
kepala dengan kayu

untuk menghilangkan kesadaran. Pada tahun 1776

ditemukan anastesia gas pertama, yaitu N2O, namun kurang efektif


sehingga ada penelitian lebih lanjut pada tahun 1795 menghasilkan eter
sebagai anastesia inhalasi prototipe, yang kemudian berkembang hingga
berbagai macam yang kita kenal saat ini. (Ganiswara, 2009).
Obat anastesi umum adalah obat atau agen yang dapatmenyebabkan
terjadinya efek anastesia umum yang ditandai dengan penurunan
kesadaran secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat.
Menurut cara pemberiannya, anastesi umum dibedakan menjadi anastesi
inhalasi dan intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik
maupun farmakokinetik (Ganiswara, 2009).
Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat

ditentukan

dengan

pengamatan yang cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi terutama yang


berhubungan

dengan

koordinasi

pusat

saraf

sirkulasi,

respirasi,

muskuloskeletal dan fungsi-fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu

tertentu. Beberapa anestetik umum berbeda potensinya berdasarkan sifat


farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda pula.Selain itu sifat
farmasetika obat juga mempengaruhi potensi anastesinya. Potensi anestetik
yang kuat dapat disertai dengan potensi depresi sususan saraf pusat yang
kuat sehingga perlu dilakukan pemantauan yang ketat, untuk menghindari
turunnya derajat kesadaran sampai derajat kematian (Ganiswara, 2009).
Guedel (1920) membagi anastesi umum dengan eter dalam 4 stadium,
yaitu:
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik

sampai

hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti


perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat
dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apneu dan hiperapneu, tonus
otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis,
hipertensi serta takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena
dapat menyebabkan kematian.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 tingkat
yaitu:
1) Tingkat 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis,
refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
(tonus otot mulai menurun).
2) Tingkat 2: Pernapasan teratur, spontan, perut dan dada seimbang,
volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak

bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai


menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga
dapat dilakukan intubasi.
3) Tingkat 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna
(tonus otot semakin menurun).
4) Tingkat 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks
sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempurna (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III Tingkat 4. Pada stadium ini
tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhimya
terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat
diatasi dengan pernapasan buatan (Ganiswara, 2009)
Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena
diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol dengan asam
sulfat) digunakan pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani
Prusia berusia 25 tahun.Eter sudah dipakai dalam dunia kedokteran,
namun baru digunakan sebagai agen anestetik pada manusia di tahun 1842,
ketika Crawford W Long dan William E Clark menggunakannya pada
pasien. Namun penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun
kemudian di Boston 16 Oktober 1846, William T. G. Morton
memperkenalkan demostrasi public penggunaan eter sebagai anestetik
umum (Morgan & Mikhail, 2002).
Eter dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol dimana H dari R-O-[H]
digantikan oleh gugus R lainnya. Eter adalah oksida organik yang
berstrukur:
[R]-C-O-C-[R]

Etertidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap.


Titik didihnya adalah 36,2 C. Cara pembuatan yang paling umum adalah
dengan dehidrasi alkohol bersama asam sulfat (Goodman, 2008).
Alkohol (etanol; C2H5OH) ialah suatu molekul kecil, larutdalam air,
dan diserap dengan sempurna dari saluran pencernaan. Uap etanol dapat
juga

diserap

melalui

paru-paru.

Adanya

makanan

dalam

usus

memperlambat serapan. Distribusinya cepat, konsentrasi dalam jaringan


lebih kurang sama dengan konsentrasi plasma. Kadar puncak dalam darah
dapat dicapai dalam 30 menit.Lebih 90% alkohol yang dikonsumsi
dioksidasi dalam hati, sisanya dieksresikan dalam paru-paru dan urin.
Seorang dewasa dapat memetabolisme 7-10 gram (0,15-0,22 mmol)
alkohol setiap jam (Ganiswara, 2009).
Alkohol-alkohol lain yang berhubungan dengan etanol digunakan
secara luas dalam pelarut industri dan kadang-kadang menyebabkan
keracunan hebat. Metanol (CH3OH); metal alkohol, alkohol kayu)
diperoleh dari distilasi desktruktif kayu. Metanol digunakan sebagai bahan
penambah bensin, bahan pemanas ruangan, pelarut industri, pada larutan
fotokopi, serta sebagai bahan makanan untuk bakteri yang memproduksi
protein.Metanol paling banyak dijumpai dalam rumah tangga dalam
bentuk cairan pembersih kaca mobil. Dapat diabsorpsi melalui kulit,
saluran pernapasan atau pencernaan dan didistribusikan ke dalam cairan
tubuh. Mekanisme eliminasi utama methanol di dalam tubuh manusia ialah
dengan oksidasi menjadi formaldehida, asam format dan CO2. Metanol
juga dapat disingkirkan dengan membuat muntah, dan dalam jumlah kecil
diekskresikan melalui pernapasan, keringat dan urin (Ganiswara, 2009).
Alkohol polihidrat seperti etilen glikol digunakan sebagai pengubah
panas, zat anti beku, dan sebagai pelarut industri. Karena glikol
mempunyai penguapan yang rendah, maka zat ini menghasilkan sedikit
uap yang berbahaya pada temperatur biasa. Namun, karena digunakan
dalam campuran anti beku dan sebagai pengubah panas, dapat dijumpai
dalam bentuk uap atau kabut, pada temperatur tinggi. Etilen glikol
tampaknya lebih toksik untuk manusia dibandingkan dengan spesies

hewan lain. Etilen alkohol dimetabolisir oleh alkohol dehidrogenase


menjadi aldehid, asam dan oksalat (Katzung, 2004).
Kloroform pada suhu dan tekanan normal mudah menguap, jernih, tidak
mudah terbakar. Nama lain untuk cloroform adalah trichloromethane dan
triklorid metil, tidak seperti eter, bau chloroform manis tidak menyengat,
walaupun uap chloroform pekat terinhalasi dapat menyababkan iritasi
permukaan mukosa yang terkena. Kloroform adalah anastesi yang lebih
efektif daripada nitro. Kloroform dosis tergantung di dalam tubuh akan
dimetabolisme didalam hati. Metabolit kloroform termasuk phosgene,
carbene dan chlorine, yang semuanya dapat berkontribusi terhadap
aktivitas sitotoksik. Penggunaan jangka panjang kloroform sebagai
anestetik

dapat

menyebabkan

toxaemia.

Keracuanan

akut

dapat

menyebabkan sakit kepala, kejang, perubahan kesadaran, kelumpuhan,


gangguan pernapasan. Dari sistem otonom dapat mengakibatkan pusing,
mual dan muntah. Kloroform juga dapat menyebabkan delayed-onset
kerusakan pada hati, jantung dan ginjal (Katzung, 2004).
2. Anastesi Inhalasi
a. Farmakokinetik
Terdapat beberapa faktor yang menentukan kecepatan transfer
anestetik di jaringan otak ditentukan oleh (Zunilda, 2007):
1) Kelarutan zat anestetik
Kelarutan ini dinyatakan sebagai koefisien partisi darah/gas, yaitu
perbandingan antara kadar anestetik dalam darah dengan kadarnya
dalam udara inspirasi pada saat dicapai keseimbangan.
2) Kadar anestetik dalam udara inspirasi
Kadar anestetik dalam campuran gas yang dihirup menentukan
tekanan maksimum yang dicapai di alveoli maupun kecepatan
naiknya tekanan partial di arteri. Tekanan partial sendiri merupakan
proporsi yang menggambarkan kadar suatu gas yang berada dalam
campuran gas.
3) Ventilasi paru
Hiperventilasi mempercepat masuknya anestetik gas ke sirkulasi
dan jaringan tetapi hal ini nyata pada anastesi yang kuat baik dalam
darah.

4) Kecepatan aliran darah paru


Bertambah cepat aliran darah paru bertambah cepat pula
pemindahan anestetik dari udara inspirasi ke darah. Namun hal ini
akan memperlambat peningkatan tekanan darah arteri sehingga
induksi anastesi akan lebih lambat khususnya oleh anestetik dengan
tingkat kelarutan sedang dan tinggi, misalnya halotan dan isofluran.
b. Farmakodinamik
Mekanisme kerja sampai sekarang tidak ada suatu kesepakatan
tentang teori mekanisme kerja anastesi. Pendapat yang banyak dianut
adalah bagi semua prasyarat untuk efektivitas adalah sifat lipofil yang
tinggi. Berdasarkan afinitas lipid yang tinggi terjadi ikatan pada bahan
membran yang hidrofob yang kemudian terkuncinya struktur membran
yang dilanjutkan dengan penambahan volume membran, ekspansi
membran dan akibatnya pada saat suatu potensial aksi tiba, pembukaan
kanal ion dlaam membran akan dihalangi. Hal ini menyebabkan
hambatan pembentukan dan konduksi impuls di SSP. Hal ini juga yang
menjadi bahan diskusi bahwa anastesi berikatan reversible pada
hidrofob dari protein spesifik yang terikat pada membrane (protein
kanal ion) sehingga dapat mengakibatkan blokade kanalion (Schmitz,
2008).
c. Klasifikasi anastesi inhalasi yang relevan berdasarkan struktur kimia
1) Gas anorganik Nitrogen monoksida (gas gelak)
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna,tidak
berbau, tidak berasa, dan lebih berat daripada udara.N 2O sukar
larutdalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat
sehinggakinihanyadigunakan sebagai adjuvan untuk atau sebagai
pembawa anestetik inhalasi lainnya.N2O mempunyai efek analgesik
yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti
efek 15 mg morfin. N2O akan diekskresikan dalam bentuk utuh
melalui paru-paru dan sebagian kecil memalui kulit (Zunilda, 2007).
2) Eter
a) Enfluran

Enfluranmemiliki sifat berupa senyawa eter terhalogenasi,


cairan yang tak berwarna, titik didih enfluran 56,6 derajat celcius,
tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak (Schmitz, 2008).
Keuntungan penggunaan enfluran antara lain, mudah
dikendalikan, aliran masuk dan keluar cepat, efek anestetik baik,
relaksasi otot baik sekali, tidak mengiritasi mukosa saluran napas,
sedangkan secara klinis enfluran merupakan bronkodilator yang
baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia
jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan
kurugiannya adalah lebar anastesi yang sempit serta memiliki
potensi aktivitas kejang. Enfluran kontraindikasi pada pasien
dengan tekanan intrakranial yang meningkat disertai dengan
gangguan patologik intrakranial (Schmitz, 2008 ; Munaf, 2008).
Dalam sistem kardiovaskular, enfluran akan menyebabkan
depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan
sensitisasi ringan miokar terhadap katekolamin. Dalam sistem
respirasi akan mendepresi pernapasan bergantung pada dosis,
hipoksia ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator. Sedangkan
peran enfluran dalam SSP adalah dapat menimbulkan kejang pada
kadar

enfluran

tinggi

dengan

tekanan

PCO2

menurun

(hipokarbia), vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan


intrakranial dan pada ginjal, enfluran akan menyebabkan aliran
darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).
Metabolisme enfluran sebanyak 2% akan dimetabolisme di
hati, metabolit utama, yaitu fluoridan mempunyai potensi untuk
menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis)
(Munaf, 2008).
b) Isofluran
Merupakan senyawa eter terhalogenasi, cairan tak berwarna,
titik didih 48,50 C , tidak mudah terbakar dan tidak mudah
meledak. Sehingga secara kimia isofluran merupakan isomer dari
fluran (Schmitz, 2008 ; Munaf, 2008).).
Pada kardiovaskular makan isofluran akan terjadi depresi
miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan curah

jantung biasanya normal disebutkan dengan aliran yang


berlebihan (konversi) (Munaf, 2008).
Pada respirasi maka akan menyababkan depresi terhadap CO2
bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi, bronkulodilator, iritasi
sedang pada jalan napas. Pada ginjal GFR dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan arterial menengah yang menurun. Sedangkan
pada SSP maka akan menimbulkan efek minimal pada otoregulasi
serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral menurun, dan
merupakan obat pilihan untuk bedah saraf. Metabolisme isofluran
hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan
pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (B). Keuntungan dari
penggunaan isofluran adalah keadaan kardiovaskular stabil, tidak
bersifat aritmogenik, tekanan intrakranial tidak meningkat, dan
bronkodilator. Kerugian yang mungkin didapat adalah berupa
iritasi jalan napas sedang, dapat pula terjadi sindrom coronary
steal ini masih tanda tanya (Munaf, 2008).
c) Metoksifluran
Obat ini tidak lagi dipakai di US karena flouridnya tinggi yang
dapat menyebabkan nefrotoksik (Munaf, 2008).
d) Desfluran
Desfluran merupakan senyawa yang tersubstitusi lengkap
hanya dengan flour, cairan tak berwarna, yang pada suhu kamar
sudah mendidih (titik didih 22.8 derajat celcius), dan hanya
sedikit dapat terbakar. Keuntungan dengan menggunakan
desfluran adalah karena desfluran memiliki koefisien distribusi
(darah/gas) yang sangat rendah (0,42), yang masih dibawah gas
galek (0,46) sehingga kelarutan dalam darah sangat rendah.
Dengan demikian, aliran masuk dan keluarnya desfluran cepat
dengan mula serta akhir kerja yang juga cepat sehingga mudah
dikendalikan.Selain itu desfluran juga merupakan analgesia dan
dapat merelaksasikan otot dengan baik. Kerugian penggunaan
desfluran adalah karena kelarutan dalam darah yang kecil
memerlukan konsentrasi alveoli yang tinggi, dengan koefisien

alveoli minimal (MAC) berada antara 6 dan 7,25% (Schmitz,


2008).
Kecepatan

metabolisme

desfluran

sangat

rendah

dan

diekshalasikan lewat paru-paru.Dosis desfluran dalam campuran


(tahap induksi) 4-11%, sedangkan dalam kombinasi dengan gas
gelak/oksigen (pemeliharaan anastesia) 2-6%. Efek samping yang
dapat muncul pada sistem pernafasan adalah penekanan
pernafasan spontan, penahan napas dan mungkin juga apnea
(bergantung pada dosis), pada sistem kardiovaskular adalah
penurunan tekanan darah arterial, gangguan ritme jantung
(takikarfia), iskmeia miokard yang bergantung pada dosis.
Sedangkan untuk hati dan ginjal sampai saat ini tidak diketahui
efek toksiknya, yang perlu diingat bahwa desfluran tidak sesuai
untuk induksi anastesia dalam pediatri, karena pada anak-anak
sering

menimbulkan

batuk,

penahanan

napas,

apnea,

laringospasmus dan bronkospasmus (bergantung pada dosis)


(Schmitz, 2008).
e) Dietileter
Dietileter saat ini secara praktis tidak berarti lagi, terutama
karena mudah terbakar dan mudah meledak dalam campuran
dengan udara. Akan tetapi dalam penggunaan pada masa lalu
dapat memberikan keuntungan karena kerja anastesi ynag baik,
lebar anastesia yang relatif besar, analgesia yang baik, serta
relaksasi otot yang baik. Akan tetapi dietileter juga memberikan
kerugikan karena sulit dikendalikan, aliran masuk dan keluar
secara perlahan karena kelarutannya baik di dalam darah, sering
menyebabkan muntah, mual waktu mulai sadar karena melewati
tahap eksitasi dengan perlahan, serta iritasi selaput lendir pada
saluran pernafasan denga peningkatan sekresi bronkial. Pada
tahap induksi dosis yang diperlukan sebesar 7-10 Vol.% dan untuk
pemeliharaan anastesia 3-4 Vol.-%. 8-10% menjadi etanol dan
asetat. Dietileter akan diekshalasikan terutana dalam bentuk C02
(Schmitz, 2008).
3. Hidrokarbon terhalogenisasi halotan

Halotan terhalogenasi, cairan tak berwarna, dengan titik didih 50


derajat celcius, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak.
Keuntungan penggunaan halotan adalah mudah dikendalikan,
aliranmasuk dan keluar cepat, efek anastesi yang baik serta tidak
mengiritasi mukosa saluran napas.Akan tetapi penggunaan halotan
juga memiliki kerugian karena secara praktis tidak ada efek
analgesik, relaksasi otot hanya sedikit dan lebar anastesi yang
sempit. Dosis penggunaan halotan1-2 Vol.-% dalam campuran
inhalasi (tahap induksi), dan 0,5-1,2 Vol.-% dalam campuran inhalasi
(pemeliharaan anastesia). Halotan akan dimetabolisme sampai 1520% yan utama di hati dengan metabolit utama berupa asam
trifluorosetat (Schmitz, 2008).
Indikasi klinik penggunaan halotan secara ekstensif dalam
anastesi anak karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi
secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial.
Efek samping penggunaan halotan adalah hepatitis halotan
(kejadiannya 1/30.000 dari pemberian dengan pasien ynag
mempunyai risiko adalah yang mengalami kegemukan, wanita usia
muda lebih benyak terjadi dengan periode waktu yang singkat,
ditandai dengan nekrosis sentrilobuler), danhipertermi maligna yang
secara umum hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan
dantrolen yang merupakan pemelas otot yang mencegah pelepasan
Ca dari retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).
3. Anastesi Intravena
a. Barbiturat
Barbiturat merupakan derivat dari barbituric acid. Barbiturat
menekan sistem aktivasi retikuler yang mengontrol beberapa fungsi
vital, termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara
khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf daripada akson. Barbiturat
menekan transmisi neurotransmiter eksitator (seperti asetilkolin) dan
meningkatkan transmisi neurotransmiter inhibitor (seperti GABA)
(Morgan et al., 2006).
1) Farmakokinetik
a) Distribusi

Durasi kerja dari barbiturat dengan kelarutan lemak tinggi


(thiopental,

thiamilal

dan

methoheksital)

tergantung

dari

redistribusi, dan bukan dari metabolisme atau eliminasinya. Jika


kompartemen sentral terkontraksi (shok hipovolemik) atau serum
albumin rendah (kelainan di hepar) atau jika asidosis maka
konsentrasi di otak dan hati akan meningkat (Latief, 2003).
b) Metabolisme
Biotransformasi dari barbiturat melibatkan oksidasi hepatik
sampai metabolit larut air yang inaktif. Karena ekstraksi hati yang
lebih besar, methohexital dibersihkan di hati 3-4 kali lebih cepat
daripada thiopental atau thiamilal (Latief, 2003).
c) Ekskresi
Ikatan dengan protein tinggi mengurangi filtrasi glomeruler
dari barbiturat, sedangkan untuk kelarutan lemak yang tinggi
cenderung meningkatkan reabsorbsi tubulus ginjal. Kecuali pada
obat yang ikatan kurang dengan protein dan kurang larut lemak
seperti phenobarbital, ekskresi ginjal terbatas pada produk akhir
yang larut air dari biotransformasi hepatik. Methoheksital
diekskresi lewat feses (Latief, 2003).
2) Farmakodinamik
a) Kardiovaskuler
Efek yang segera timbul setelah pemberian thiopental adalah
penurunan tekanan darah yang sangat tergantung dari konsentrasi
obat dalam plasma dan peningkatan denyut jantung. Depresi pusat
vasomotor medular menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
perifer yang meningkatkan jumlah darah di perifer dan penurunan
venous return ke atrium kanan. Takikardi mungkin disebabkan
karena efek vagolitik sentral. Cardiac output dipertahankan
dengan

meningkatkan

denyut

jantung

dan

meningkatkan

kontraktilitas miokardial dari kompensasi refleks baroreseptor


(Morgan et al., 2006).
b) Respirasi
Sedasi dari barbiturat dapat menyebabkan obstruksi saluran
napas bagian atas. Bronkospasme dapat terjadi pada pasien yang
diinduksi dengan thiopental mungkin akibat stimulasi dari saraf

kolinergik (yang dapat dicegah dengan pemberian atropin),


pelepasan histamin, atau efek langsung terhadap stimulasi otot
polos (Morgan et al., 2006).

c) Otak
Barbiturat menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah di
otak, menyebabkan penurunan aliran darah otak dan tekanan
intracranial (Morgan et al., 2006).
d) Ginjal
Barbiturat mengurangi aliran darah ginjal dan filtrasi dari
glomerulus sebagai akibat dari penurunan tekanan darah (Morgan
et al., 2006).
e) Hepar
Aliran darah hepar menurun (Morgan et al., 2006).
3) Sediaan dan Dosis
Tabel 1. Sediaan dan Dosis Barbiturat (Wiria, 2007)
Barbiturat
Natrium thiopental

Sediaan dan Dosis


Dosis induksi : 2-4 ml (larutan 2,5%)
Anastesia : pentotal 0,5-2 ml (larutan

Natrium thiamilal

2,5%)
Dosis induksi : 2-4 ml (larutan 2,5%)
Dosis penunjang : 0,5-2 ml (larutan

Natrium metoheksital

2,5%)
Dosis induksi : 5-12 ml (larutan 1%)
Dosis penunjang : 2-4 ml (larutan 1 %)

4) Efek Samping
Pemberian barbiturat jangka pendek tidak memiliki efek yang
bermakna secara klinis terhadap sistem hati, ginjal, atau endokrin.
Dosis induksi tunggal thiopental tidak mempengaruhi tonus uterus
pada wanita hamil, tetapi menghasilkan depresi aktivitas yang ringan
dan singkat (Evers et al., 2006).
Akan tetapi, disebutkan pula

bahwa

barbiturat

dapat

menyebabkan hangover, kegelisahan, rasa nyeri, serta alergi (Zunilda


& Elysabeth, 2007).
b. Benzodiazepin

Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam sering digunakan


untuk induksi dalam anastesi umum. Benzodiazepin berinteraksi
dengan reseptor spesifik di sistem saraf pusat, terutama di korteks
serebral. Reseptor terikat benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi
bermacam neurotransmitter (Morgan et al., 2006).
1) Farmakokinetik
a) Absorbsi
Diazepam dan lorazepam diserap

baik

di

saluran

gastrointestinal dengan puncak level plasma didapat dalam 1-2


jam. Intranasal (0,2-0,3 mg/kg), bukal (0,07 mg/kg) dan
sublingual

(0,1

mg/kg)

midazolam

efektif

untuk

sedasi

preoperatif. Sebaliknya, midazolam dan lorazepam diabsorbsi


baik setelah pemberian injeksi intramuskuler dengan puncak level
setelah 30-90 menit (Morgan et al., 2006).
b) Distribusi
Diazepam cukup larut lemak dan dengan cepat melewati sawar
darah otak.Midazolam bersifat larut air namun pada pH yang
rendah, cincin imidazolnya yang mendekati pH fisiologis
menyebabkan peningkatan kelarutan terhadap lemak. Lorazepam
mempunyai

kelarutan

sedang

pada

lemak

sehingga

memperlambat ambilan ke otak dan onset kerjanya. Redistribusi


cukup cepat (paruh waktu distribusi awal 3-10 menit). Semua
benzodiazepin berikatan tinggi dengan protein (90-98%) (Morgan
et al., 2006).
c) Metabolisme
Metabolisme benzodiazepin terjadi di hati.Metabolit dari
reaksi fase I secara farmakologi masih aktif.Ekstraksi hepatik
yang lambat dan volume ditribusi yang besar menyebabkan waktu
paruh dizepam menjadi lama (30 jam) (Morgan et al., 2006).
d) Ekskresi
Metabolit biotransformasi benzodiazepin dieksresi terutama
lewat urin.Sirkulasi enterohepatik menghasilkan puncak sekunder
pada konsentrasi plasma di setelah 6-12 jam pemberian anestetik
(Morgan et al., 2006).

2) Farmakodinamik
a) Kardiovaskuler
Efek depresan

kardiovaskuler

benzodiazepin

minimal

walaupun pada dosis induksi. Tekanan darah arterial, cardiac


output dan tahanan vaskuler perifer turun secara pelan, kadang
denyut

jantung

meningkat.

Midazolam

cenderung

lebih

menurunkan tekanan darah dan tahanan vaskuler perifer daripada


diazepam (Morgan et al., 2006).
b) Respirasi
Benzodiazepin menekan respon ventilatori terhadap CO2
(Morgan et al., 2006).
c) Otak
Benzodiazepin menurunkan Cerebral Metabolic Rate untuk
konsumsi O2, Cerebral Blood Flow dan tekanan intrakranial.
Dosis sedatif oral sering menimbulkan amnesia antegrade yang
berguna untuk premedikasi. Efek muscle-relaxant obat ini akibat
efek di medula spinalis dan bukan neuromuscular junction. Anticemas, amnesia dan efek sedasi terlihat pada dosis rendah dan
meningkat menjadi stupor dan tidak sadar pada dosis induksi.
Benzodiazepin tidak memiliki efek analgesia (Morgan et al.,
2006).
3) Dosis
Dosis diazepam untuk induksi adalah 0,1-0,5 mg/kgBB. Pada
orang sehat, dosis diazepam 0,2 mg/kgBB sebagai medikasi praanestetik. Untuk menimbulkan sedasi, penambahan 2,5 mg diazepam
tiap 30 detik. Umumnya dibutuhkan 5-30 mg untuk sedasi ini
(Zunilda & Elysabeth, 2007).
4) Efek Samping
Benzodiazepin dosis hipnotik dapat menimbulkan efek samping
seperti light headedness, lassitude, lambat bereaksi, inkoordinasi
motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan psikologi, gangguan
koordinasi berpikir, bingung, diastria, amnesia anterograd, mulut
kering dan rasa pahit (Zunilda & Elysabeth, 2007).
c. Opioid
Obat anastesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik.
Biasanya digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri.Efek yang

dihasilkan dari pemakaian obat golongan opioid adalah analgesia,


sedasi, dan depresi respirasi. Mekanisme kerja dari opioid adalah
interaksi dengan reseptornya dalam otak (amygdala) dan medula
spinalis (Morgan et al., 2006).
Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anastesi
adalah obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek
depresi pada fungsi jantung sehingga golongan opioid sangat berguna
untuk anastesi pada pasien dengan kelainan jantung (Morgan et al.,
2006).
1) Farmakokinetik
a) Absorbsi
Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan
meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 2060 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode
efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10
menit) (Morgan et al., 2006).
b) Distribusi
Waktu paruh distribusi semua opioid umumnya cepat (5-20
menit).Kelarutan lemak yang rendah dari morfin memperlambat
laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan
durasi kerja juga lebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil
onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus karena
memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi (Morgan et al.,
2006).
c) Metabolisme
Kebanyakan opioid tergantung biotransformasinya di hepar,
kecuali remifentanil. Produk akhir fentanil, sufentanil dan
alfentanil tidak aktif (Morgan et al., 2006).
d) Ekskresi
Produk akhir biotransformasi morfin dan meperidin dieliminasi
oleh ginjal dengan kurang dari 10% melalui ekskresi bilier.
Karena 5-10% morfin diekskresi tanpa perubahan lewat urin,
kegagalan ginjal memperpanjang durasi kerjanya. Metabolit dari
remifentanil dieliminasi melalui urine dan hepar (Morgan et al.,
2006).
2) Farmakodinamik

a) Kardiovaskuler
Secara umum, opioid mempengaruhi kardiovaskuler dengan
menurunkan respon simpatis melalui pusat vasomotor di medula
dan meningkatkan respon parasimpatis melalui jalur vagal.
Opioid tidak menekan kontraktilitas jantung kecuali meperidin.
Meperidin dan morfin dapat menyebabkan terjadinya pelepasan
histamine dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi (Cole, 2004).
b) Respirasi
Opioid menekan ventilasi terutama laju respirasi. PaCO2
meningkat dan respon terhadap CO2 berkurang. Efek ini
dipengaruhi oleh pusat respirasi di batang otak. Opioid (terutama
fentanil, sufentanil dan alfentanil) dapat menimbulkan rigiditas
dinding dada cukup berat sehingga mencegah ventilasi adekuat
(Cole, 2004).
c) Otak
Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen otak dan
tekanan intrakranial, namun jauh lebih minimal dibandingkan
barbiturat atau benzodiazepin. Stimulasi terhadap pemicu
kemoreseptor pad tingkat medula menyebabkan terjadinya mual
dan muntah, hal ini berhubungan dengan pemberian opioid yang
berulang (Cole, 2004).
d) Gastrointestinal
Opioid memperlambat

waktu

pengosongan

dengan

mengurangi peristaltik (Cole, 2004).


e) Endokrin
Opioid dapat memblok pelepasan hormon-hormon (seperti
katekolamin, ADH dan kortisol) secara lebih komplit daripada
anastesi volatile (Cole, 2004).
3) Dosis
a) Fentanil : dosis 100-150 mcg/kg
b) Sulfentanil : dosis 0,25-0,5 mcg/kg (Wiria, 2007).
4) Efek Samping
Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah,
kekakuan dinding dada, kejang dan supresi dari motilitas
gastrointestinal.

Pada

pasien

dengan

hipovolemia,

opioid

memberikan manfaat dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada


penggunaan morfin). Opioid juga dapat menyebabkan bradikardi

melalui stimulasi vagal secara langsung. Pada pasien yang normal,


bradikardi ini tidak berefek menurunkan tekanan darah karena terjadi
peningkatan stroke volume dari jantung (Morgan et al., 2006).

C. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Beaker glass 1000cc ( 3 buah )
b. Kapas
c. Kertas selofan
d. Spuit 2,5cc
e. Jarum suntik no.22
2. Bahan
a. Chloroform
b. Etanol 95%
c. Ether
3. Binatang percobaan
Tikus putih ( 3 ekor )
D. Rencana Kerja
1. Menandai masing-masing beaker glass dengan nama atau kode obat
anastesi umum yang digunakan.
2. Pada masing-masing beaker glass diletakkan kapas yang sesuai dengn
diameternya, kemudian dimasukkan seekor tikus putih ke dalam masingmasing beaker glass tersebut.
3. Memperhatikan dan mencatat tingkah laku dan respirasi ketiga tikus putih
tersebut. Setelah itu, beaker glass ditutup dengan kertas selofan yang
sebelumnya sudah dilubangi sedikit.
4. Menyuntikkan obat anastesi umum sesuai dengan label pada beaker glass
melalui kertas selofan sebanyak 0,25cc, dan ulangi penyuntikkan dengan
volume yang sama setiap 2 menit sebanyak 10 kali 2 menit.
5. Memperhatikan tanda-tanda perubahan tingkah laku dan pernapasan ketiga
tikus, catat beserta waktu terjadinya.

E. Hasil dan Pembahasan


1. Hasil Percobaan
a. Hasil
Tabel 2. Hasil percobaan
Anastetik

Waktu

Eksitasi

Anastesi

Kematian

Jumlah

Chloroform

mula
14.00

Waktu
14.01

Interval
1

Waktu
14.03

Interval
2

Waktu
14.05

Interval
2

Etanol

14.00

14.20

20

Eter

13.53

14.10

17

14.17

14.21

28

b. Kesimpulan
Kematian diantara ketiga tikus putih terjadi pada tikus putih dengan
terinhalasi reagen eter dan kloroform. Tikus putih yang terinhalasi
dengan etanol tidak mengalami kematian karena etanol hanya efektif
jika diberikan melalui metode intravena.
2. Pembahasan
a. Chloroform
Pada percobaan ini tikus putih yang diberikan chloroform
mengalami stadium anastesi paling cepat dibandingkan dengan
anestetik lainnya. Chloroform adalah obat anastesi lebih efektif
daripada eter dan etanol. Chloroform dapat diserap, di metabolisme dan
dieliminasi dengan cepat oleh mamalia lewat oral, inhalasi maupun
kulit. Toxaemia dapat terjadi pada penggunaan alkohol yang
berkepanjangan.

Ketika

digunakan

dalam

anastesi,

penurunan

kesadaran biasanya diawali dengan tahap eksitasi. Hal ini diikuti oleh
hilangnya refleks, sensasi berkurang, kehilangan kesadaran bahkan
dapat menyebabkan kematian.
b. Etanol 95%
Pada tikus putih yang diberi anastesi dengan menggunakan etanol
terjadinya stadium anastesi berjalan sangat lambat bila dibandingkan
dengan anestetik lainnya.Etanol termasuk dalam jenis alkohol, senyawa
etanol ini memiliki sifat mendepresi fungsi SSP dengan mengganggu
pengaturan eksitasi atau inhibisi di otak. Alkohol ini di absorbsi dengan
cepat di lambung dan usus halus serta di metabolisme di hati. Eksresi
alkohol melalui paru-paru dan urin (Wiria, 2009).
Konsumsi alkohol berefek sedasi dan ansietas, pada kadar tinggi
dapat menyebabkan bicara tak jelas, ataksia, tak dapat menentukan

keputusan dan perilaku disinhibisi. Mekanisme kerja alkohol yaitu


dengan mengganggu keseimbangan antara eksitasidan inhibisi di otak,
ini terjadi karena penghambatan atau penekanan saraf perangsangan.
Efek alkohol terhadap berbagai saraf berbeda karena perbedaan
distribusi fosfolipid dan kolesterol di membran tidak seragam (Wiria,
2009).
c. Eter
Dietileter saat ini secara praktis tidak berarti lagi, terutama karena
mudah terbakar dan mudah meledak dalam campuran dengan udara.
Akan tetapi dalam penggunaan pada masa lalu dapat memberikan
keuntungan karena kerja anastesi ynag baik, lebar yang relatif besar,
analgesia yang baik, serta relaksasi otot yang baik. Akan tetapi dietileter
juga memberikan kerugikan karena sulit dikendalikan, aliran masuk dan
keluar secara perlahan karena kelarutannya baik di dalam darah, sering
menyebabkan muntah, mual waktu mulai sadar karena melewati tahap
eksitasi dengan perlahan,serta iritasi selaput lendir pada saluran
pernafasan denga peningkatan sekresi bronkial. Pada tahap induksi
dosis yang diperlukan sebesar 7-10 Vol.% dan untuk pemeliharaan
anastesia 3-4 Vol.-%. 8-10% menjadi etanol dan asetat. Dietileter akan
diekshalasikan terutama dalam bentuk C02 (Schmitz, 2008).
Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru sebagian kecil
diekskresikan juga melalui air susu, keringat dan difusi melalui kulit
utuh. Eter dapat digunakan dengan berbagai metode anastesi.
Padapengguanaan secara open drop uap eter akan turun ke bawah
karena 6-10 kali lebih berat daripada udara. Penggunaan secara semi
closed method dalam kombinasi dengan oksigen atau N 2O tidak
dianjurkan pada operasi dengan tindakan keuterisasi. Sebab, tetap ada
bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru penderita akan
mati karena jaringan terbakar atau paru-parunya pecah (Wiria, 2009 ).
Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi
penderita, kebutuhan dalamnya anastesi dan teknik yang digunakan.
Untuk induksi, digunakan 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau
campuran oksigen dan N2O, untuk dosis penunjang stadium III
membutuhkan 5-15% volume uap eter (Wiria, 2009 ).

Indikasi penggunaan eter termasuk pada kasus asma, penyakit


bronkospastik, dan penyakit jantung koroner (Collins, 1996). Eter tidak
boleh digunakan dalam kasus asidosis, penyakit respirasi akut,
peningkatan tekanan intracranial, diabetes, dan debil (Collins, 1996).
F. Aplikasi Klinis
1. Tiroidektomi
Tiroidektomi adalah prosedur pembedahan di mana semua atau
sebagian darikelenjar tiroid akan dihapus. Kelenjar tiroid terletak di maju
(anterior) bagian dari leher tepat di bawah kulit dan di depan jakun.
Tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin tubuh, yang berarti
bahwa mengeluarkan produk-produknya di dalam tubuh, ke dalam darah
atau getah bening. Tiroid menghasilkan beberapa hormon yang memiliki
dua fungsi utama: mereka meningkatkan sintesis protein di sebagian
besar jaringan tubuh, dan mereka meningkatkan tingkat konsumsi
oksigen tubuh.
Semua atau bagian dari kelenjar tiroid dapat dipindahkan untuk
memperbaiki berbagai kelainan. Jika seseorang memiliki gondok,
yang merupakan

pembesaran

kelenjar

tiroid

yang

menyebabkan

pembengkakan di bagian depan leher, kelenjar bengkak dapat


menyebabkan kesulitan dengan menelan atau bernapas. Hipertiroidisme
(overactivity dari kelenjar tiroid) menghasilkan hipermetabolisme, suatu
kondisi dimana tubuh menggunakan banyak abnormal oksigen, nutrisi,
dan

bahan lainnya.

Tiroidektomi

mungkin

dilakukan

jika

hipermetabolisme tidak dapat secara memadai dikendalikan oleh obat,


atau jika kondisi ini terjadi pada anak atau wanita hamil. Baik tumor
kanker dan bukan kanker (sering disebut nodul) dapat berkembang dalam
kelenjar tiroid. Pertumbuhan ini harus dikeluarkan, di samping beberapa
atau seluruh kelenjar itu sendiri.
Tiroidektomi dimulai dengan anastesi umum yang dikelola oleh
ahlianastesi. Anastesi akan menyuntikkan obat ke pembuluh darah pasien
dan kemudian menempatkan tabung saluran udara di tenggorokan untuk
ventilasi (memberikan udara untuk) orang selama operasi. Setelah pasien
telah dibius, ahli bedah membuat sayatan di bagian depan leher pada

tingkat di mana sebuah kalung ketat akan beristirahat. Dokter


bedah menempatkan dan mengambil hatijangan sampai melukai kelenjar
paratiroid dan saraf laring berulang, sementara membebaskan kelenjar
tiroid dari struktur sekitarnya. Langkah berikutnya adalah penjepitan
aliran darah ke bagian kelenjar tiroid yang akan dihapus. Selanjutnya,
ahli bedah menghapus semua atau bagian darikelenjar. Jika kanker telah
didiagnosa, semua atau sebagian besar kelenjar akan dihapus. Jika
penyakit lain atau nodul yang hadir, ahli bedah dapat menghapushanya
bagian dari kelenjar. Jumlah jaringan kelenjar dikeluarkan tergantung
pada kondisi yang sedang dirawat. Dokter bedah dapat menempatkan
menguras, yang merupakan tabung plastik lunak yang memungkinkan
cairan jaringan mengalir keluar dari suatu daerah, sebelum menutup
insisi. Insisi ditutup denganbaik jahitan (jahitan) atau klip logam. Sebuah
dressing ditempatkan di atas sayatan dan tiriskan, jika seseorang telah
ditempatkan.
2. Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa
orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi
nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas
menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah
jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan
tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis.
Kontraindikasi dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur
basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polipnasal,
koagulopati, dan trombolisis.
3. Apendiktomi
Apendiktomi adalah pengangkatan apendiks terinflamasi, dapat
dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan pendekatan
endoskopis. Namun adanya perlengketan multiple, posisi reroperitoneal
dari apendiks, atau robek perlu dilakukan prosedur pembukaan
(tradisional) (Doenges, 2000).

Pembedahan diindikasikan bila iagnosa apendisitis telah di tegakkan.


Antibiotic dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan.
Analgesic dapat diberikan setelah diagnose ditegakkan (Doenges, 2000).
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi
dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal dengan insisi
abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode baru
yang sangat efektif (Doenges, 2000).
4. Kraniotomi
Kranitomi adalah melubangi tegnkorak, yang umumnya dilaksanakan
bila terdapat tumor, darah, atau gumpalan darah, ataupun fraktur pada
kubah yang dapat menekan otak (Pearce, 2009).
Kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak (Barabara,
1998). Menjelang tindakan operasi, pasien akan ditangani oleh perawat
dan penata bius. Sebagian atau seluruh rambut kepala akan dicukur
gundul (pada hampir semua kasus), dengan maksud mengurangi potensi
risiko infeksi. Infus (IV line) akan dipasang pada lengan, sehingga obatobatan dan cairan dapat secara efektif diberikan lewat jalur ini.
Pembiusan

yang

diterapkan

adalah

pembiusan

umum.

Operasi

kraniotomi biasanya berlangsung sekitar 3-5 jam bahkan lebih. Tindakan


operasi diawali dengan membuat sayatan pada kulit kepala dan kemudian
dibuat beberapa lubang (berdiameter kirakira 1 cm) dengan bor.
Selanjutnya, tulang di antara tiap lubang akan dipotong, sehingga
terbentuk suatu potongan tulang tengkorak yang dapat dilepas. Setelah
itu, selaput pembungkus otak (dura) disayat serta dibuka untuk mencapai
jaringan otak. Langkah selanjutnya disesuaikan terhadap penyakit atau
problematika yang dihadapi dengan hati-hati untuk menghindari atau
merusak bagian otak yang normal (Barabara, 1998).
Setelah berhasil mengatasi penyakit atau gangguan pada otak, maka
selaput pembungkus otak (dura) akan segera dijahit kembali. Pada
sebagian besar kasus, potongan tulang akan dipasang kembali dan
direkatkan dengan menggunakan ikatan kawat, benang, atau pelat logam
kecuali pada kondisi tertentu semisal kasus pembengkakan otak yang

hebat. Sayatan kulit kepala ditutup dengan jahitan benang atau staples.
Adakalanya juga dipasang selang drain dengan maksud mengalirkan sisasisa darah untuk beberapa hari (Barabara, 1998).
5. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh
tonsil palatine.Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis
dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi
minor karena teatap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi
dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran
komplikasi tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia,
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi
pendek dan teknik tidak sulit (DepKes).
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih
banyak bila dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus
umum yang beredar sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah
dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak
pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para
dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan
berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Pada dekade terakhir,
tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan,
kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis,
mendengkur, gangguan bicara dan enuresis (DepKes).
G. Kesimpulan
1. Anastesi dapat dibedakan menjadi anastesi umum dan anastesi lokal.
Sedangkan anastesi lokal berdasarkan jalur masuknya dibedakan menjadi
anastesi inhalasi dan anastesi intravena.
2. Contoh anastesi inhalasi adalah Eter, gas NO, dan Halotan, sedangkan
contoh anastesi intravena diantaranya adalah barbiturat , benzodiazepin
dan Opioid
3. Berdasarkan hasil percobaan pada tikus , zat anastesi inhalasi yang paling
cepat menimbulkan stadium eksitasi dan membawa tikus ke stadium 4
adalah cloroform.

H. Evaluasi
1. Jelaskan stadium-stadium anastesi umum !
Semua zat anestetik menghambat sistem saraf pusat secara bertahap,
yang mula-mula dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling
akhir dihambat ialah medula oblongata tempat pusat vasomotor dan
pernafasan. Guedel (1920) membagi anastesi umum dalam 4 stadium,
sedangkan stadium ketiga dibedakan lagi atas empat tingkat. Yaitu :
a. Stadium I (analgesia)
Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan
nyeri (analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah.
Pada stadium ini dapat dilakukan pembedahan ringan seperti mencabut
gigi dan biopsi kelenjar.
b. Stadium II (eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampei munculnya
pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium
pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak mengalami delirium dan
eksitasi dengan gerakan-gerakan diluar kehendak. Pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpenea, tonus otot rangka
meninggi,

pasien

meronta-ronta,

kadang

sampai

mengalami

inkontinensia dan muntah. Ini terjadi karena hambatan pada pusat


inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian maka stadium ini harus
diusahakan cepat dilalui.
c. Stadium III (pembedahan)
Stadium ini dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan yang
teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Keempat
tingkat dalam stadium pembedahan ini dibedakan dari perubahan pada
gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot dan
lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.
1) Tingkat 1
Pernapasan teratur, spontan dan seimbang antara pernapasan dada
dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis,
sedangkan tonus otot rangka masih ada.
2) Tingkat 2
Pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak
bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemah dan

refleks laring hilang sehingga pada tingkat ini dapat dilakukan


intubasi.
3) Tingkat 3
Pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada karena
otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil
lebih lebar tetapi belum maksimal.
4) Tingkat 4
Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total,
tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya
hilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini sebab
pasien akan mudah sekali masuk dalam stadium IV yaitu ketika
pernapasan

spontan

melemah.

Untuk

mencegah

ini,

harus

diperhatikan benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil


dibandingkan dengan keadaan normal dan turunnya tekanan darah.
d. Stadium IV (depresi Medulla oblongata)
Stadium IV ini dimulai dengan melemahnya pernapasan perut
dibanding stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur
karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti berdenyut.
Keadaan ini dapat segera disusul kematian, kelumpuhan napas di sini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan, bila tidak didukung oleh
alat bantu napas dan sirkulasi.
Selain dari derajat kesadaran, relaksasi otot, dan tanda-tanda di atas,
ali anastesia menilai dalamnya anastesi dari respons terhadap
rangsangan nyeri yang ringan sampai yang kuat. Rangsangan yang kuat
terjadi sewaktu pemotongan kulit, manipulasi peritoneum, kornea,
mukosa uretra terutama bila ada peradangan. Nyeri sedang terasa ketika
terjadi manipulasi pada fasia, otot dan jaringan lemak, sedangkan nyeri
ringan terasa ketika terjadi pemotongan dan penjahitan usus atau
pemotongan jaringan otak.
2. Faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi mula kerja anastesi umum
inhalasi?
Faktor yang menentukan kecepatan transfer anestetik dijaringan otak
ditentukan oleh:
a. Kelarutan zat anestetik

b. Kadar anestetik dalam udara yang dihirup pasien atau yang disebut
tekanan parsial anestetik
c. Ventilasi paru
d. Aliran darah paru
e. Perbedaan antara tekanan parsial anestetik didarah arteri dan vena.

3. Jelaskan secara skematis dan buatlah grafik potensi relatif anestetik umum
yang digunakan dalam percobaan diatas !
Stadium
K

Keterangan :
E : EksitasiHitam : Chloroform
: AnestesiMerah
: Ether
DariA grafik
di atas terlihat
khloroform
K : KematianBiru
: Etanol 95%

10

Interval
(menit)

adalah salah satu jenis anastesi

umum yang efektif digunakan melalui inhalasi, sifat dari kloroform yang
mudah menguap sehingga cepat berikatan dengan oksigen sehingga dapat
terjadi stadium eksitasi, anastesi dan kematiannya paling cepat, sedangkan
ether dari stadium eksitasi ke stadium anastesi membutuhkan waktu yang
lama, bahkan tak terhingga karena jenis anastesi umum ini akan efektif
apabila digunakan melalui intravena. Etanol hanya memasuki stadium
eksitasi dengan batas waktu yang tak terhingga, Percobaan anastesi umum
dengan menggunakan chloroform diberikan dengan cara diteteskan diatas
kertas sebanyak 0,25 cc dan diberikan setiap 2 menit sekali, kemudian
diamati dan dihitung waktu untuk setiap perpindahan stadium.
Berdasarkan percobaan kali ini hasil yang didapatkan adalah interval
waktu antara stadium eksitasi dan anastesi adalah 1 menit, dari awal
pemberian jam 14.00 dan mulai stadium eksitasi jm 14.01. Kemudian
untuk perpindahan dari stadium anastesi menjadi stadium eksitasi interval
waktunya sama yaitu 2 menit, anastesi terjadi mulai jam 14.03. Sedangkan
stadium anastesi dan kematian intervalnya sama 2 menit waktu terjadinya
14. 05.
Dari hasil Percobaan anastesi umum yang dilakukan kelompok kami
menunjukkan kalau chloroform mempunyai kemampuan tercepat dalam

menimbulkan eksitasi, anastesi maupun kematian, setelah itu disusul


dengan eter dan etanol, untuk etanol tidak sampai pada stadium kematian.

DAFTAR PUSTAKA
Bland, KI, WG Cioffi, dan MG Sarr. Praktek Bedah Umum. Philadelphia,
PA:Saunders, 2001.
Cole, Daniel J. 2004. Adult Perioperative Ansthesia : The Requisites in
Anesthesiology. Philadelphia : Mosby Elsevier.
Collins, Vincent J. 1996. Diethyl Ether and Chloroform. Dalam: Physiology and
Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania: Williams & Wilkins.
Doenges. 2000. Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC
Evers, Alex S., C. Michael Crowder, Jeffrey R. Balser. 2006. General Anesthetics.
The Pharmacological Basis of Therapeutics.Toronto : McGraw-Hill
Company.
http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=349&Itemid=112
Latief, S. A. 2003. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Jakarta : Bagian Anastesiologi
dan Terapi Intensif FKUI.
Morgan, G. Edward, Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. 2006. Clinical
Anesthesiology. McGraw-Hill : Lange Medical Books.
Munaf, Sjamsuir. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC.
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiogi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Schmitz, Gery., Lepper, Hans., Heidrich, Michael. 2008. Farmakologi dan
Toksikologi. Jakarta : EGC.
Wiria, Metta Sinta Sari. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI
Zunilda D.S. dan Elysabeth. 2007. Anastesi Umum. Dalam :Farmakologi dan
Terapi. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai