Anda di halaman 1dari 15

Gagal Jantung Kongestif

Defenisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan
cukup darah ke jaringan tubuh. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi
diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) merupakan suatu keadaan saat terjadi
bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya.
Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung kongenital
maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi :
1. Meningkatkan beban awal
Keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel.
2. Meningkatkan beban akhir
Beban akhir meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
3. Menurunkan kontraktilitas miokardium
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktor-faktor
fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor
yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrkularis) dapat
menyebabkan gagal jantung.
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang
mendadak dapat berupa:
1.Disritmia
Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik
yang memulai respons mekanis. Respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan
dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil.

2. Infeksi sistemik dan infeksi paru-paru


Respon tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh yang meningkat.
3. Emboli paru
Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan,
memicu terjadinya gagal jantung kanan
Tabel 1.Penyebab Seluruh Kegagalan Pompa Jantung

Penyebab Seluruh Kegagalan Pompa Jantung


1.

A.

1.

Kelainan Mekanik
Peningkatan Beban Tekanan

1.

Sentral (Stenosis aorta)

2.

Perifer (hipertensi sistemik)

2.

Peningkatan Beban Volume (Regurgitasi katup, peningkatan beban


awal)

3.

Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau


trikuspidal)

4.

Tamponade Perikardium

5.

Pembatasan Miokardium atau Endokardium

6.

Aneurisme Ventrikel

7.

Dissinergi Ventrikel

8.

B.

1.

Kelainan Miokardium (otot)


Primer

1.

Kardiomiopati

2.

Miokarditis

3.

Kelainan Metabolik

4.

Toksisitas (Alkohol, Kobalt)

5.

Presbikardia

9.

Kelainan Disdinamik Sekunder (Akibat Kelainan Mekanik)

1.

Deprivasi Oksigen (Penyakit Jantung Koroner)

2.

Kelainan Metabolik

3.

Peradangan

4.

Penyakit Sistemik

5.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis

6.

C.

Perubahan Irama Jantung atau Urutan Hantaran

1.

Tenang (Standstill)

2.

Fibrilasi

3.

Takikardia atau bradikardia ekstrim

4.

Asinkronitas listrik, gangguan konduktif

Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat
penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.

Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan
volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadinya
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Akibatnya terjadi pula peningkatan tekanan
atrium kiri karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan
tekanana

atrium

kiri

diteruskan

ke

belakang

kedalam

pembuluh

darah

paru-paru,

meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman
kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan
ke dalam interstisial sehingga terjadilah edema interstisial. Peningkatan lebih lanjut dapat
mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru.
Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan
kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana
akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga mekanisme primer yang dapat terjadi yaitu :
1. Peningkatan aktifitas adrenergik simpatik.
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatis
kompensatorik.

Meningkatnya

aktivitas

adrenergik

simpatik

merangsang

pengeluaran

katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan
kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu, juga terjadi
vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah
dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah seperti kulit
dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan
meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung dan akan meningkatkan beban awal
jantung yang nantinya akan meningkatkan kontraksi dan curah jantung.
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan mengakibatkan penurunan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus akibatnya terjadilah pelepasan renin dari aparatus
jukstaglomerulus. Interaksi renin dengan angiotensinogen di dalam darah akan menghasilkan
angiotensi I. Kemudian akan terjadi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II akan merangsang sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal yang akan
meningkatkan reabsorspi natrium pada tubulus distal dan duktus pengumpul.Natrium akan
menarik

air. Selain

itu,

angiotensin

meningkatkan tekanan darah.


3. Hipertrofi ventrikel.

II

jua

menghasilkan

efek

vasokonstriksi

yang

Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebal dinding miokardium. Hipertrofi akan meningkatkan jumlah sarkomer dalam
sel-sel miokardium sehingga dapat meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel sehingga
curah jantung aka meningkat.
Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja
ventrikel

dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan

berlanjutnya

gagal

jantung,

maka

kompensasi

akan

menjadi

semakin

kurang

efektif.Klasifikasi
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal
jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi,
serta gagal jantung kronis. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark
miokard akut, dengan pembagian:

Derajat I

Derajat II

Tanpa gagal jantung


:

Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan

peningkatan tekanan vena pulmonalis

Derajat III :

Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.

Derajat IV :

Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) dan

vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti (adanya
ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara
jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava) dan kecukupan perfusi (adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans,
hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran). Pasien yang mengalami
kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan
perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut
penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

Kelas I (A)

: kering dan hangat (dry warm)

Kelas II (B)

: basah dan hangat (wet warm)

Kelas III (L)

: kering dan dingin (dry cold)

Kelas IV (C)

: basah dan dingin (wet cold)

Berdasarkan New York Heart Association, Klasifikasi gagal jantung :

Kelas I

: Tanpa keluhan Masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari-hari tanpa

disertai kelelahan, sesak napas, ataupun palpitasi.

Kelas II

: Ringan aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan, sesak napas,

ataupun palpitasi, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan pun hilang.

Kelas III

: Sedang aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan, sesak napas,

ataupun palpitasi, tetapi keluhan akan berkurang jika aktivitas dihentikan.

Kelas IV

: Berat tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari, bahkan pada saat

istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin berat jika melakukan aktivitas

Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda gagal ke belakang jantung kiri:

Dispnea (sulit bernapas)

Merupakan keluhan yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja
pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurang kelenturan paru dan peningkatan
tahanan aliran udara. Dispnea saat beraktivitas (dyspneu deffort) menunjukan gejala awal
dari gagal jantung kiri.

Orthopnea

Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan dyspneu deffort. Hal
ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah
kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler
pulmoner.

Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari)

Merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala
gagal jantung yang lain.

Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)

Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya
terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah
pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan
karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara,
disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran
udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien

PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku
telah duduk tegak.

Ronki

Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru merupakan ciri khas dari gagal
jantung kiri. Awalnya terdengar dibagian bawah paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.

Hemoptisis

Disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena.

Disfagia (sulit menelan)

Disebabkan oleh distensi atrium kiri atau vena pulmonalis yang menyebabkan kompresi
esofagus dan disfagia.
Gejala dan tanda gagal ke belakang jantung kanan:

Kongesti vena sistemik

Dapat diamati dengan peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), vena-vena leher mengalami
bendungan. Tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama inspirasi
jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik
vena ke jantung selama inspirasi.

Hepatomegali (pembesaran hati)

Nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.

Keluhan gastrointestinal.

Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan
gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus
dan/atau kongesti hepar.

Edema perifer

Terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-mula tampak pada
bagian tubuh yang bergantung seperti palpebra pada pagi hari. Siangnya edema akan
tampak pada ekstremitas terutama tungkai akibat gravitasi.

Nokturia (diuresis malam hari)

Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring.

Asites dan edem anasarka

Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema tubuh generalisata.

Gejala dan tanda gagal ke depan jantung kiri:

Hipoperfusi ke organ-organ nonvital

Penurunan cardiac

output menimbulkan

hipoperfusi

ke

organ-organ

nonvital

demi

mempertahankan perfusi ke jantung dan otak sehingga manifestasi paling dini dari gagal ke
depan adalah berkurangnya perfusi ke organ seperti kulit, otot rangka, dan ginjal.
Kulit pucat dan dingin
disebabkan oleh vasokonstriksi perifer.
Demam ringan dan keringat yang berlebihan
disebabkan oleh vaskonstriksi kulit yang dapat menghambat kemampuan tubuh untuk
melepaskan panas.
Kelemahan dan keletihan
disebabkan oleh kurangnya perfusi ke otot rangka. Gejala juga dapat diperberat oleh
ketidakseimbangan elektrolit dan cairan atau anoreksia.
Anuria
Akibat kurangnya perfusi darah ke ginjal.

Pernapasan Cheyne-Stokes

Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-Stokes
umum terjadi pada gagal jantung berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya cardiak
ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat
respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan
PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan
memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti
rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien
sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.

Gejala serebral

Pasien dengan gagal jantung dapat pula datang dengan Gejala serebral, seperti disorientasi,
gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan gagal jantung berat,
terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang
menurun. Nocturia umum terjadi pada gagal jantung dan dapat berperan dalam insomnia
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan penunjang.
A. Anamnesis

Manifestasi klinis

Gagal jantung ringan dan moderat :

Perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan yang datar dalam beberapa menit.
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi.

Gagal jantung berat :

Pasien harus duduk dengan tegak


Sesak nafas
Tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan
Tekanan darah sistolik berkurang karena adanya disfungsi LV berat

Peningkatan aktivitas adrenergic menyebabkan :

Sianosis pada bibir dan kuku


Sinus takikardi (merupakan tanda nonspesifik)

Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang menandakan adanya penurunan stroke
volume

Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer

B.

Pemeriksaan

fisis

inspeksi

perut

bisa

membuncit,

palpasi

hepatomegali, perkusi, dan auskultasi bising usus biasanya normal

dapat

ditemukan

C. Pemeriksaan penunjang :
1. Foto toraks

Mengarah ke kardiomegali, LVH jantung membesar ke kiri, apeks menekan diafragma


(tertanam),RVH jantung membesar ke kiri dengan apeks terangkat dari diafragma, pinggang
jantung merata atau menonjol,dan ada gambaran double kontur.

Corakan vascular paru menggambarkan kranialisasi

Garis Kerley A/B

Infiltrat prekordial kedua paru

Efusi pleura

2. EKG untuk melihat penyakit yang mendasari seperti infark miokard dan aritmia. Hipertropi
ventrikel kiri dimana S d V1 + R di V5/V6 35 mm , aritmia misalnya terdapat fibrilasi
atrium dimana jarak R ke R tidak seragam.
D. Pemerikasaan lain : pemeriksaan Hb, elektrolit, ekokardiografi untuk kelainan katup ,
angiografi, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi.
Laboratorium :
1. Faal ginjal :
+ Urin :
Berat jenis <
Volume urin menurun
Na urin menurun, rennin meningkat aldosteron
+ Darah :
Ureum meningkat dan kreatinin clearance menurun, maka menunjukkan gagal jantung
yang berat.
Na, Bl dan albumin menurun, sehingga meningkatkan volume darah dan cairan udema
karena rennin dan aldosteron meningkat.
Asidosis metabolic : pH turun, HCO3 turun, maka menunjukkan gagal jantung dan gagal
ginjal.

2. Faal hati

Bilirubin darah, urin dan urobilinogen meningkat

LED turun

LDH naik, terutama LDH5

Fosfatase alkali naik (ringan/berat)

Protombin agak naik

1.

Faal paru

Tekanan O2 turun karena pertukaran gas terganggu , paru udema

Alkalosis respiratorik : pH naik, pCO2 turun, maka terjadi dapat hiperventilasi, respon
terhadap hipoksemia

Asidosis respiratorik : pH turun, pCO2 naik, maka dapat terjadi udema paru akut yang
menyebabkan kegagalan ventilasi dan retensi CO2.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosa ditegakkan gagal jantung kongestif,
yaitu ditemukan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Kriteria mayor :

Paroksismal nocturnal dispnea

Distensi vena leher

Peningkatan tekanan vena jugularis

Rongki basah halus tidak nyaring

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Refluks hepatojugular

Kriteria minor :

Edema ekstremitas

Batuk malam hari

Dyspneu deffort

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Takikardi (>120x/menit)

Kriteria mayor atau minor


Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.
Penatalaksanaan
1. Aktivitas
Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada gagal jantung, suatu latihan rutin ringan
terbukti bermanfaat pada pasien gagal jantung dengan NYHA kelas I-III. Pasien euvolemik
sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti jalan atau mengayuh
sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa penelitian mengenai latihan fisik
memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya gejala, meningkatkan kapasitas latihan,
dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan. Manfaat pengurangan berat badan dengan
restriksi intake kalori belum diketahui secara jelas
2. Diet
Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien gagal jantung.
3. Diuretik
Kebanyakan dari manifestasi klinik gagal jantung sedang hingga berat diakibatkan oleh
retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik adalah satusatunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada gagal jantung
berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume pada
pasien dengan

gejala

kongestif

(sesak napas,

orthopnea,

dan edema)

atau

tanda

peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis, edema perifer). Furosemide,
torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop of Henle (loop diuretics) dengan menginhibisi
reabsorbsi Na+, K+,dan Cl pada bagian asendens pada loop of henle; thiazide dan
metolazone mengurangi reabsorbsi Na+ dan Cl- pada bagian awal tubulus kontortus distal,
dan diuretic hemat kalium seperti spironolakton bekerja pada tingkat duktus koligens.
4. Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada gagal jantung akut sebagai first line theraphy, apabila
hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tanda-tanda kongesti dengan diuresis sedikit,
untuk membuka sirkulasi perifer dan mengurangi pre-load. Contoh vasodilator Gliseril trinitrat
5-mononitrat, Isosorbid dinitrat, Nitropusid, dan Nesitirid.

5. ACE Inhibitor (ACEI)


Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan pada
pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF (Ejection fraction) menurun. ACE inhibitor
mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi enzyme yang berperan
terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak hanya itu, karena ACE inhibitor
(ACEI) juga dapat menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan
bradykinin, yang akan meningkatkan efek bermanfaat dari supresi angiotensin. ACEI
menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi kemungkinan opname, dan
memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan efek ACEI,
dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai terapi ACEI. Akan tetapi, penting untuk
mengurangi dosis diuretic selama awal pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi
kemungkinan hipotensi simptomatik. ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti
dengan peningkatan dosis secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin angiotensin.
Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama pemberian terapi dan
biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu diturunkan. Akan tetapi, jika
hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat, maka penting
untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium yang tidak berespon dengan diuretic,
dosis ACE juga perlu diturunkan.
6. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena batuk,
rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem renninangiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda. ACEI
memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I. Beberapa penelitian
klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB pada terapi ACEI pada pasien
HF kronis.
Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi ginjal,
dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.
7. -Adrenergic Receptor Blockers
Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan
penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic yang
berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor adrenergik (1,
1, and 2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir tiga reseptor ini,
kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor 1. Jika diberikan

bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses LV remodeling, meringankan


gejala pasien, mencegah opname, dan memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu beta
blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik atau asimptomatik dengan EF menurun
(<40%).
Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari
penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah
permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker dapat
menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis beta
blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor yang dapat
mengakibatkan efek vasodilatasi.
8. Antagonis Aldosteron
Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek aldosteron
(spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang independent dari efek
keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan sekresi aldosteron secara
transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron akan kembali seperti sebelum
terapi ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien
dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang memiliki EF yang menurun (<35%).
Permasalahan

utama

pemberian

antagonis

aldosteron

adalah

peningkatan

resiko

hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi suplemen
potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis aldosteron tidak
direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens kreatinin <30>5.0 mmol/L.
9. Antikoagulan dan Antiplatelet
Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada penilitan
klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun. Penurunan fungsi LV
dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang kardiak yang berdilatasi
dengan peningkatan resiko pembentukan thrombus. Penatalaksanaan dengan warfarin
dianjurkan pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial paroxysmal, atau dengan riwayat emboli
sistemik atau pulmoner, termasuk stroke atau transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan
iskemik kardiomyopati simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan
adanya thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan setelah
MI, kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.
Aspirin

direkomendasikan

pada

pasien

HF

dengan

penyakit

jantung

iskemik

untuk

menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81 mg)
dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.

Daftar Pustaka
1. Ahlquist David A, Camilleri M. Harrisons Principles of Internal Medicine. 15 th edition.
Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2008.
2. Simadibrata K, Daldiyono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (Editor), Balai
Penerbit UI. Jakarta, 2006.
3. Naskah lengkap penyakit dalam. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2007.

Anda mungkin juga menyukai