Anda di halaman 1dari 16

BAB II

STATUS PASIEN
I.

II.

IDENTITAS
Nama pasien

: Ny. S

Umur

: 53 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Kadrengan 2/7 kemasan sukoharjo

Status perkawinan

: Kawin

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Tanggal masuk RS

: 17 Januari 2016

No. rekam medik

: 268xxx

Diagnosis Pre Operatif

: Orif Radius Ulna

Macam Operasi

: Close Fracture Radius Ulna Sinistra

Macam Anestesi

: General Anestesi

Tanggal Operasi

: 18 Januari 2016

PEMERIKSAAN PRA ANESTESI


1. Anamnesis
a. Keluhan Utama :
Nyeri tangan sebelah kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo dengan nyeri tangan sebelah
kiri. Nyeri dirasakan setelah pasien terpeleset dikrikil. Terdapat luka lecet dan
tampak memar. Tangan juga sakit jika digerak-gerakan, sehingga dokter umum
menyarankan untuk di rontgen.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes melitus
Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat sakit jantung
Riwayat batuk lama

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat diabetes mellitus


Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat penyakit jantung

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
KU
: Sedang, GCS : E4 V5 M6
BB/TB
: 60 Kg/156 cm
Gizi
: Baik
b. Vital Sign
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
RR
: 16 x/menit
Suhu
: 36,80C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik(-/-) nafas cuping hidung (-)
Leher : Retrraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-/-)
Thorax :
1. Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung S I-II irama regular, bising jantung (-)

2. Paru

Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi: Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)

Abdomen :

Inspeksi : Bentuk abdomen sejajar dengan dada, tidak ada darm

contour, tidak ada darm steifung, tidak ada luka bekas operasi
Auskultasi : BU (+) dalam batas normal.
Palpasi : Nnyeri tekan (-), teraba benjolan di selangkangan kanan.

Ekstremitas :

Clubbing finger tidak ditemukan


Tidak ditemukan edema
Akral hangat (+/+)

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tangggal : 10 Juni 2015
Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Neutrofil%

Hasil
10.0
29.0
12.6
176
4.59
86.9
29.9
34.3
50.9

Rujukan
12.0 16.0
37.0-47.0
5-10
150-300
4.0-5.0
82.0-92.0
27.0-31.0
32.0-37.0
50.0-70.0

Satuan
g/%
Vol%
/mm3
mm3
Juta/ul
Fl
Pg
%
%

Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
CT
BT
Kreatinin
Ureum
Glukosa Sewaktu
HbsAg

39.2
6.8
2.4
0.3
03.30
01.30
0.95
20.5
89
Negatif

25.0-40.0
3.0-9.0
05-5.0
0.0-1.0
2-8
1-3
0.5-0.9
10-50
70-150
Negatif

%
%
%
%
Menit
Menit
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl

4. Kesimpulan
Seorang perempuan umur 53 tahun dengan diagnosis close fracture radius
ulna sinistra yang akan dilakukan tindakan operasi orif radius ulna. Hasil
laboratorium darah dalam batas normal.

III.

Kegawatan Bedah : (+)


ASA : II
LAPORAN ANESTESI
1. Rencana Anestesi
a. Persiapan operasi
a) Persetujuan operasi tertulis
b) Puasa 8 jam pre operatif
c) Infus RL 30 tetes / menit
b. Jenis anestesi
: General Anestesi
c. Premedikasi
: Ondancetron, ketorolac
d. Induksi
: Propofol, Fentanyl, Midazolam, Atriaticum
e. Monitoring
: tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi.
f. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

2. Tata Laksana Anestesi


a. Di Ruang Persiapan
a) Cek Persetujuan Operasi
b) Periksa tanda vital dan keadaan umum
c) Lama Puasa 8 jam
d) Cek obat-obatan dan alat anestesi
e) Infus Fimahes 30 tetes/menit
f) Injeksi Ondancetron IV
g) Injeksi ketorolac IV
h) Posisi terlentang
i) Katater : Terpasang
b. Di Ruang Operasi
Anestesi mulai
: 10.10
Operasi mulai

Anestesi selesai

: 10.15

: 11.10 Operasi selesai : 11.10

a) Jam 10.00 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang,
tekanan darah 168/79 mmHg, HR 87 x/menit, Saturasi oksigen 99 %
b) Jam 10.10 mulai dilakukan anestesi General
c) Jam 10.15 operasi dimulai, selama operasi dimonitor tanda vital dan
saturasi O2 tiap 5 menit.
d) Jam 11.10 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
e) Monitoring Selama Anestesi
Jam
08.45
08.50
08.55
09.00
09.05
09.10
09.15
09.20
09.25
09.30

Nadi
87
77
70
72
70
64
52
60
64
68

TD
140/80
140/80
140/80
120/60
107/57
100/50
110/57
117/60
125/60
130/60

Sp02
98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%

c. Di Recovery Room
Pasien masuk Ruang RR pukul 11.10 dalam Posisi Supine (terlentang), sadar
penuh, dimonitoring tanda vital, infuse RL, diberikan O2 3 liter/menit.
Jam 11.40 pasien dipindah ke bangsal.
d. Intruksi pasca anestesi
a) Posisi supine dengan oksigen 3 L/ mnt
b) Kontrol vital sign, T < 100 mmHg infus dipercepat, beri efedrin
c) Bila muntah diberi ondancetron dan bila kesakitan diberi analgetik.
d) Lain-lain
Antibiotik sesuai Bedah

Analgetik sesuai Bedah


Puasa sampai dengan flatus
Post operasi, cek Hb. Bila <10 mg/dl tranfusi sampai Hb 10
Kontrol balance cairan
Monitor vital sign
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama
narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan
lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah
rekonstruksi tulang, dan lain-lain .
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi
otot. Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.
B. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang
cukup untuk tindakan operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan

yang

halus

cepat

dan

tidak

menimbulkan ESO yang berlangsung lama.


Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa

hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik

>110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.

C. MEDIKASI

Agar

anestesi

umum

dapat

berjalan

dengan

sebaik

mungkin,

pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini


didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia.
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang
tidak diinginkan
Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian
obat, terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum:
1.

Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun
intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat atau
untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering digunakan adalah:
a. Pentothal
b. Ketalar (Ketamine)

2. Perektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya sampai
ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto,
pemeriksaanmata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan
anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anakanak. Syaratnya adalah:
1. Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

3. Perinhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paruparu, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.
Obat-obat yang dipakai:
1. Induksi halotan

Induksi

halotan

memerlukan

gas

pendorong

O2

atau

campuran N2O dan O2. Induksidimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt


atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah
tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
2. Induksi sevofluran
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi

sampai

vol

%.

Seperti

dengan

halotankonsentrasi

dipertahankan sesuai kebutuhan.


3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran ( foran, aeran ) atau
desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu
induksi menjadi lama.

D. FAKTOR YANG BERPENGARUH


1. Faktor respirasi

Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam


paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu.
Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus
bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus
sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi
hal tersebut adalah:
Konsentrasi

zat

anestesika

yang

dihirup/

diinhalasi;

makin

tinggi

konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi

Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena


Factor-faktor yang mempengaruhi:
Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali
melalui vena.
Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.

Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran
darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus,
konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
3. Faktor jaringan

Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan


jaringan.Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organorgan ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini
meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
Lemak : jaringan lemak
Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :
ligament dan tendon.
4. Faktor zat anestesika

Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda.


Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar
concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat
anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan
(respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi
zat anestesika tersebut.
E. STADIUM ANESTESI

Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.

Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk
mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan,
hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan
dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien
sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi
yang berlebihan.
F. TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI
I.
Penilaian dan persiapan pra anestesia
Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
I.1 Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang

apakah

pasien

pernah

mendapat

anestesia

sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang


perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya
jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam
waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan
juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan


laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua system organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Klasifikasi status fisik
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan
dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist (ASA).
ASA I
: Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II
: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA III
: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis
perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia
miokardium.
ASA IV

: Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara

langsung mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok


atau dekompensasi kordis.
ASA V
: Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis
kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan

darurat

dengan

mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau


IIE
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama

pada

pasien-pasien

yang

menjalani

anestesia.

Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk


operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3
jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
I.2 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi \
Obat-obat yang sering digunakan:
1.
Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
2.
Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3.
Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4.
Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5.
Anti emetic
a.Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
mg/kgBB
b.DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.
II.
INDUKSI ANASTESI
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau
rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube

Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon

(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).


A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas.
T : Tape

Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau

tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

Induksi intravena

Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan


dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan
darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.

\
o
Obat-obat induksi intravena:
Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Propofol (diprivan, recofol)
Ketamin (ketalar)
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien
tidur.

o
o
o
o
o
o

Cara

Induksi inhalasi
N2O
Halotan (fluotan)
Enfluran (etran, aliran)
Isofluran (foran, aeran)
Desfluran (suprane)
Sevofluran (ultane)
Induksi per rectal
ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau

midazolam.

Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita
berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.

I.

Pelumpuh otot nondepolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)

RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 1050 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena
dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran
2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu atau dikendalikan.

J.

SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery

room (RR).
a. Aldrete Score

Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan

Dapat bernapas dalam dan batuk, 2


Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5
pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:
B. Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0

Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
K. KOMPLIKASI

Efek samping paling sering dari anestesi umum adalah mual dan

muntah setelah operasi. Beberapa orang mungkin mengalami sakit


tenggorokan dan kerusakan pada gigi, gusi, lidah ataupun plica vokalis
akibat masuknya endotracheal tube kedalamnya. Komplikasi paling serius
dan paling jarang adalah malignant hyperthermia, serangan jantung,
stroke, atau kematian. Hal tersebut dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan jantung, hipertensi, diabetes, penyakit ginjal, dan atau penyakit
paru.

DAFTAR PUSTAKA
Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Budiono, Uripno. Anestesi umum dalam Anestesiologi. Fakultas Kedokteran UNDIP.
2010
Desai AM, General Anesthesia. Accessed on July 28 2012. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.
General Anesthesia. Accessed on July 29 2012. Available at
http://www.mayoclinic.com/health/anesthesia/MY00100
Hines, R. L., Marschall, K. E. 2008. Stoeltings Anethesia and Co-existing Disease.
edition. New York: Elsevier.

5th

Howley JE, Routh PA. Anesthesia delivery system: Basic of anesthesia 5th ed.
Philadelphia. Churcill livingstone. 2007
Latief SA, Suryadi KA. PetunjukPraktisAnestesiologi, FakultasKedokteran
Universitas Indonesia 2009.
Miller, R. D., Erikkson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener, J. P., Young W. L. 2009.
Anesthesia. 7th Edition. New York: Elsevier.

Millers

Muhiman M, Latief SA, Basuki G. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan


terapi Intensif FKUI.

Taylor D. Choice of anestestic technique: Basic of anesthesia 5th ed.


Philadelphia. Churcill livingstone. 2007

Anda mungkin juga menyukai