Masyarakat Madani-8
Masyarakat Madani-8
tradisionalis menganggap konsepsi kalangan modernis ini ahistoris, yang seolah mau
memberi garansi profil negara yang "baik hati" itu.
Negara dan kapitalisme global
Gugatan kalangan tradisionalis terhadap posisi negara dalam konteks dominasi
kekuatan neoliberalisme dewasa ini akan semakin menusuk tajam, tatkala fungsi dan
peran negara makin memudar dan tergantikan oleh kekuatan kapitalisme global di mana
rezim pasar yang dikendalikan oleh kekuatan modal transnational corporations (TNCs)
telah menembus, bahkan menghilangkan batas-batas sebuah negara.
Ideologi neoliberal menolak intervensi negara dan mengharamkan proteksionisme
negara, demi perdagangan bebas yang akan menggerakkan persaingan dan
mengembangkan pemanfaatan sumber-sumber, tenaga kerja, dan modal secara efisien.
Dengan akar filosofis tersebut, ada kecenderungan kuat bahwa peran negara benar-benar
tersubordinasi kepentingan modal.
Mengenai dampak dominasi kekuatan neoliberal ini dipertegas oleh I Wibowo
dalam tulisannya Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi (Kompas,
April 2002). Mengutip hipotesa Nooreena Hertz, ia mengatakan bahwa globalisasi
ekonomi akan berakibat pada terjadiya the death of democracy.
Kematian demokrasi ini disebabkan oleh karena semakin ditelantarkannya rakyat
oleh para pemimpin yang dipilihnya, yang ternyata lebih sibuk melayani para kapitalis.
Dengan dalih memuaskan konstituennya, para pemimpin negara malah menggadaikan
kepentingan rakyat demi mengundang investasi ke dalam negeri.
Padahal, mereka paham, para investor tersebut hanya akan memilih negara yang
menyediakan syarat-syarat yang paling gampang dan menguntungkan kepentingan bisnis
mereka, seperti: lalu lintas mata uang yang bebas, pajak yang rendah, buruh yang
terkontrol, dan sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara menjadi ruang, sebuah alat guna
membangun simbiosis antara pelaku bisnis (kapitalis) dengan elite dan birokrat negara
dengan mengabaikan nasib rakyat, bahkan menindas hak-hak rakyat.
Fakta ini secara kasat mata terjadi pada rezim Soeharto, dan masih berlangsung
hingga sekarang. Belum hilang dalam ingatan kita, silang pendapat dan ketegangan
antara sejumlah menteri bidang perekonomian kabinet Megawati Soekarnoputri
menyangkut privatisasi aset BUMN, pencabutan subsidi BBM, dan diiringi munculnya
pola-pola represif pemerintah terhadap massa buruh dan protes mahasiswa, serta berbagai
produk kebijakan pemerintah yang jelas mengartikulasikan sedemikian kuat dominasi
kepentingan para pemilik modal dan elite negara atas kepentingan rakyat.
Pandangan serupa dilontarkan Robert W McChesney (2000) dalam bukunya, Rich
Media Poor Democracy, Communication Politics in Dubious Time, bahwa kekuatan
neoliberalisme melalui perangkat kemajuan teknologi informasi yang dikendalikan
"kekaisaran ekonomi global" menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Yaitu proses
depolitisasi masyarakat sipil melalui penciptaan pola hidup konsumtif dan kecenderungan
hypercommercialism media massa.
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum UII dan Pengampu Mata Kuliah Civic
Education pada Fakultas Kedokteran UII