Anda di halaman 1dari 4

Tantangan "Civil Society"

Dominasi Negara dan Kapitalisme Global


Oleh : Bagya Agung Prabowo, SH, MHum
Akhir-akhir ini perdebatan soal wacana civil society begitu menghangat, terkait
dengan upaya pribumisasi dan formulasinya dalam konteks keindonesiaan. Polemik ini
berkisar pada relasi civil society terhadap negara. Namun, kini, kehadiran kekuatan
kapitalisme global mesti dipertimbangkan sebagai tantangan baru penguatan civil society
ke depan.
Kajian civil society muncul dan makin marak seiring dengan semangat kebebasan
setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Pencarian genealogi konsep civil society ini
mengerucut pada dua kutub yang masing-masing direpresentasikan oleh kelompok
modernis dan kalangan tradisional. Diskursus ini mencuat, tatkala kelompok modernis
menerjemahkan civil society dengan "masyarakat madani", sementara kalangan
tradisionalis mempertahankannya atau menerjemahkannya secara literer dengan
"masyarakat sipil".
Bagi kalangan tradisionalis "dipimpin" AS Hikam dan Ahmad Baso, pemakaian
translasi yang berbeda ini terkait dengan wawasan pengetahuan dan ideologi yang dianut
masing-masing menyangkut konsepsi masyarakat ideal yang dicita-citakan. Bahkan,
Ahmad Baso dalam bukunya yang secara khusus "menggugat" pemaknaan "masyarakat
madani" (Civil Society Versus Masyarakat Madani, Pustaka Hidayah, 1999) mensinyalir
ada kepentingan ideologis tersembunyi di balik pemaknaan tersebut. Kalangan
tradisionalis beranggapan, mempertahankan penerjemahan civil society sebagai
"masyarakat sipil" memiliki relevansi erat dengan perjuangan demokratisasi di Tanah Air.
Dengan mempertahankan karakter civil society dalam konteks budaya Barat, yaitu
sebagai counter-balancing terhadap negara, masyarakat sipil memerankan dirinya sebagai
alat kontrol negara, bahkan perlawanan bagi kecenderungan otoritarianisme baru negara
dalam proses transisi.
Bagi kalangan tradisional tidak penting mengislamisasi translasi bahasa, tapi yang
terpenting adalah kontekstualisasi gagasan itu dalam upaya redemokratisasi. Masyarakat
sipil diperhadapkan dengan negara karena negara dianggap bukanlah institusi "baik hati"
di mana aktor-aktornya dengan tanpa pamrih memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi,
diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan mapan sebagai alat penekan dan kontrol
terhadap seluruh kebijakan negara, kalau perlu opposite terhadap negara.
Sedangkan kalangan modernis memakai istilah "masyarakat madani" dalam
pengertian masyarakat yang bersifat komplemen atau suplemen terhadap negara.
Pemaknaan ini terutama dirujukkan pada konsep dan formulasi masyarakat Madinah
yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW, yang digambarkan sebagai prototype ideal
masyarakat demokratis, egaliter, adil, dan berkeadaban.
Piagam Madinah dianggap sebagai konstitusi awal yang mendahului Declaration of
Human Rights PBB tahun 1948. Singkatnya, pada zaman itulah civil society, dalam
pandangan kelompok ini, memperoleh pembenarannya, legitimasi historisnya dalam
masyarakat Muslim. Polemik makin tajam, tatkala dipertanyakan apakah masyarakat
Madinah benar-benar mencerminkan masyarakat yang demokratis, setara, dan tersedia
public sphere sebagaimana masyarakat demokratis abad modern sekarang. Kalangan

tradisionalis menganggap konsepsi kalangan modernis ini ahistoris, yang seolah mau
memberi garansi profil negara yang "baik hati" itu.
Negara dan kapitalisme global
Gugatan kalangan tradisionalis terhadap posisi negara dalam konteks dominasi
kekuatan neoliberalisme dewasa ini akan semakin menusuk tajam, tatkala fungsi dan
peran negara makin memudar dan tergantikan oleh kekuatan kapitalisme global di mana
rezim pasar yang dikendalikan oleh kekuatan modal transnational corporations (TNCs)
telah menembus, bahkan menghilangkan batas-batas sebuah negara.
Ideologi neoliberal menolak intervensi negara dan mengharamkan proteksionisme
negara, demi perdagangan bebas yang akan menggerakkan persaingan dan
mengembangkan pemanfaatan sumber-sumber, tenaga kerja, dan modal secara efisien.
Dengan akar filosofis tersebut, ada kecenderungan kuat bahwa peran negara benar-benar
tersubordinasi kepentingan modal.
Mengenai dampak dominasi kekuatan neoliberal ini dipertegas oleh I Wibowo
dalam tulisannya Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi (Kompas,
April 2002). Mengutip hipotesa Nooreena Hertz, ia mengatakan bahwa globalisasi
ekonomi akan berakibat pada terjadiya the death of democracy.
Kematian demokrasi ini disebabkan oleh karena semakin ditelantarkannya rakyat
oleh para pemimpin yang dipilihnya, yang ternyata lebih sibuk melayani para kapitalis.
Dengan dalih memuaskan konstituennya, para pemimpin negara malah menggadaikan
kepentingan rakyat demi mengundang investasi ke dalam negeri.
Padahal, mereka paham, para investor tersebut hanya akan memilih negara yang
menyediakan syarat-syarat yang paling gampang dan menguntungkan kepentingan bisnis
mereka, seperti: lalu lintas mata uang yang bebas, pajak yang rendah, buruh yang
terkontrol, dan sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara menjadi ruang, sebuah alat guna
membangun simbiosis antara pelaku bisnis (kapitalis) dengan elite dan birokrat negara
dengan mengabaikan nasib rakyat, bahkan menindas hak-hak rakyat.
Fakta ini secara kasat mata terjadi pada rezim Soeharto, dan masih berlangsung
hingga sekarang. Belum hilang dalam ingatan kita, silang pendapat dan ketegangan
antara sejumlah menteri bidang perekonomian kabinet Megawati Soekarnoputri
menyangkut privatisasi aset BUMN, pencabutan subsidi BBM, dan diiringi munculnya
pola-pola represif pemerintah terhadap massa buruh dan protes mahasiswa, serta berbagai
produk kebijakan pemerintah yang jelas mengartikulasikan sedemikian kuat dominasi
kepentingan para pemilik modal dan elite negara atas kepentingan rakyat.
Pandangan serupa dilontarkan Robert W McChesney (2000) dalam bukunya, Rich
Media Poor Democracy, Communication Politics in Dubious Time, bahwa kekuatan
neoliberalisme melalui perangkat kemajuan teknologi informasi yang dikendalikan
"kekaisaran ekonomi global" menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Yaitu proses
depolitisasi masyarakat sipil melalui penciptaan pola hidup konsumtif dan kecenderungan
hypercommercialism media massa.

Dua tantangan sekaligus


Hadirnya kepentingan rezim kapitalisme global dalam negara pada akhirnya akan
memperhadapkan civil society pada dua hambatan besar sekaligus dalam sejarahnya.
Pertama, tantangan yang berasal dari negara, yaitu pola-pola represif kontra
demokratik negara.
Kedua, berasal dari kekuatan pasar yang dikendalikan oleh struktur kapitalisme
global.
Melemahnya peran negara di hadapan rezim kapitalisme global berarti menguatnya
negara di hadapan masyarakat sipil. Asumsi ini dibangun berdasar kenyataan bahwa
kolaborasi kepentingan elite negara dan para kapitalis telah "memaksa" negara-dengan
dalih demi stabilitas-menciptakan seperangkat alat represif guna meredam protes dan
gerakan kritis rakyat. Pemerintah berusaha menciptakan aturan-aturan baru untuk
mempersempit ruang publik, membatasi gerak kebebasan warga melalui sikap represif
tanpa kompromi demi melindungi kepentingan investasi perusahaan-perusahaan
transnasional.
Sebagai kekuatan yang "mentransendensi" negara, kekuatan kapitalisme global
berdiri menghunjamkan dua kakinya pada dua dataran sekaligus. Di samping pada
negara, kekuatan ini tampil dalam wujudnya yang manis melalui slogan-slogan populis,
seperti: memberantas kemiskinan, mengurangi kesenjangan, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, menyokong demokratisasi, dan sebagainya. Padahal ia tak jauh beda dengan
neo-kolonialisme baru yang berwajah anggun nan menawan, namun bak penyakit typus
yang siap menjangkiti ke mana ia hinggap.
Kehadiran perusahaan TNCs dalam banyak level nyata-nyata telah menggusur
produk-produk lokal, mematikan kreativitas dan kearifan lokal, merusak budaya lokal,
eksploitasi ekonomi, dan dengan demikian mengurangi kemandirian warga.
Globalisasi praktis telah memihak pemilik modal besar untuk memonopoli ruang
publik dan "memaksa" masyarakat patuh pada universalisme baru budaya konsumen.
Kekuatan kolaboratif
Tak disangkal, kehadiran pesaing atau lawan baru bagi civil society, yaitu
kapitalisme global, membuat perjuangan penguatan masyarakat sipil makin berat. Artinya
civil society tidak hanya berhadapan dengan sosok negara beserta perangkat aparatur
ideologis dan represifnya; tapi negara di situ yang telah menjelma sebagai kekuatan
kolaboratif dengan kapitalisme global, atau kekuatan neoliberalisme sendiri.
Jika demikian halnya, bayangan mengenai negara sebagai institusi yang "baik hati",
yang mau melindungi kepentingan hakiki warga negara serta menjamin kemandirian dan
kebebasan mereka, tampaknya sekadar ilusi dan impian kosong belaka. Alih-alih
memperkuat masyarakat sipil, negara seperti diutarakan Ralp Miliband (1963), Nico
Poulantzas (1978), dan juga Antonio Gramsci, justru menjadi alat kepentingan kaum
borjuis kapitalis untuk menghegemoni dan menindas masyarakat. Dengan demikian
semakin relevanlah kesimpulan kritis kelompok tradisionalis di awal tulisan ini, bahwa
civil society secara ideal harus diperhadapkan vis a vis negara. Bahkan, itu pun tidak
cukup, tantangan baru itu hadir dalam wujudnya yang sopan namun lebih ganas:
kapitalisme global.

Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum UII dan Pengampu Mata Kuliah Civic
Education pada Fakultas Kedokteran UII

Anda mungkin juga menyukai