Mahrita. A. Lakburlawal
Pendahuluan
Hidup manusia tidak dapat dilepas pisahkan dari tanah. Sehingga apabila kita membicarakan
eksistensi manusia maka secara tidak langsung kita juga membicarakan tentang tanah. Di atas
tanah manusia melakukan semua aktifitasnya dan dari tanah manusia memperoleh sumber untuk
melanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu semakin berkembangnya peradaban manusia,
semakin tinggi pula kebutuhan akan tanah, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan
menyangkut tanah.
Permasalahan tanah tidak semata-mata hanya menyangkut aspek ekonomi dan kesejahteraan
saja, tetapi tetapi jua meliputi aspek sosial, cultur, politik, hukum dan religious. Oleh karena itu
dalam penyelesaiannya tidak hanya mengindahkan aspek hukumnya saja, tetapi juga harus
memperhatikan asas kesejahteraan, keamanan dan kemanusiaannya juga.
Diantara permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan masalah tanah tersebut, adalah
persoalan tanah yang berada dalam lingkungan atau wilayah suatu masyarakat hukum adat. Di
satu pihak ada masyarakat hukum adat dengan hak ulayat dan di pihak lain ada pemanfaatan
tanah-tanah untuk kepentingan pembangunan oleh pemerintah. Benturan kewenangan antara
masyarakat hukum adat dan pemerintah ini sering dianggap dapat menghambat pembangunan di
Negara Indonesia.
Di provinsi Maluku persoalan sengketa lahan terjadi terutama terkait dengan batas wilayah antar
desa/negeri, klaim kepemilikan adat oleh kelompok warga yang berbeda, konflik akibat
tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah administratif.
Program Sistem Pemantau Kekerasan Nasional (National Violence Monitoring System, NVMS)
memantau konflik kekerasan yang terkait dengan sumber daya yang mencakup kepemilikan dan
pemanfaatan tanah, sumber daya alam/buatan, akses atas pekerjaan,dan pencemaran lingkungan
mencatat sebagian besar (69 %) insiden kekerasan yang terjadi di Indonesia merupakan masalah
tanah, dan hampir setengahnya terjadi di provinsi Maluku yang memiliki sejarah panjang
sengketa tanah ulayat[2]. Akar dari sengketa lahan yang terus berulang tersebut adalah sistem
kepemilikan lahan yang tumpang tindih serta akses penggunaan tanah yang tidak tercatat.
Konflik ini semakin rumit dengan hadirnya pemerintah dan para investor terutama investasi
yang berhubungan dengan penggunaan lahan secara signifikan (luas) seperti perkebunan,
pertambangan, industri manufaktur, termasuk juga kehutanan. Insvestasi pada sektor tersebut
akan memberikan tekanan terhadap penggunaan lahan yakni tanah.
Pemerintah Provinsi Maluku terus berupaya mendorong peningkatan iklim investasi yang
bertujuan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja,
meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengurangi tingkat kemiskinan. Berbagai langkah
berupa pengembangan sistem informasi penanaman modal, penyederhanaan prosedur perizinan
dan pelayanan penanaman modal[3], diharapkan dapat meningkatkan tingkat investasi di
Maluku.
Penyederhanaan prosedur perizinan dan pelayanan penanaman modal merupakan bentuk
fasilitas yang harus diperoleh perusahaan penanam modal dari pemerintah, seperti yang
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Salah satu
bentuk kemudahan yang harus diperoleh perusahaan penanaman modal dari pemerintah adalah
berupa kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan untuk memperoleh hak atas tanah (pasal 21
butir a UU Penanaman Modal).
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dapat diberikan
dan diperpanajang sekaligus dan dapat diperbaharui kembali, berupa : Hak Guna Usaha (HGU)
yang dapat diberikan dengan jumlah 95(Sembilan puluh lima) dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 35
(tiga puluh lima) tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan
puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun, dan Hak Pakai dapat diberikan
dengan jumlah 70 (tujuh Puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan dapat diperpanjang
dimuka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 25(dua
puluh lima) tahun.
Dalam kaitannya dengan hak guna usaha, berdasarkan pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria
Tahun 1960 yang dimaksudkan dengan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang kuasai langsung oleh Negara. Pada kenyataannya di Maluku tidak hanya terdapat tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, tetapi terdapat juga hamparan tanah-tanah adat. Hamparan
tanah-tanah adat tersebut, dapat digolongkan ke dalam tiga golongan tanah adat yaitu tanah
negeri atau tanah hak petuanan, tanah dati yang dimiliki oleh kerabat atau persekutuan, dan tanah
pusaka yang merupakan milik perorangan. Ketiga golongan tanah tersebut masih diatur menurut
ketentuan-ketentuan hukum adat.
Kedudukan tanah-tanah adat di Maluku diperkuat dengan peraturan daerah (Perda) Provinsi
Maluku nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat
hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku, menyatakan bahwa salah satu
syarat agar seseorang dapat mengklaim hak-hak adat adalah memiliki hubungan historis dengan
wilayah. Masyarakat yang tidak memenuhi syarat tersebut masuk ke dalam desa administrative.
Perda Kabupaten Maluku Tengah No. 1 Tahun 2006 secara eksplisit menyatakan bahwa semua
tanah dimiliki secara adat. Hal ini berarti bahwa masyarakat di desa administrative tidak bias
mengklaim hak kepemilikan secara adat[4]. tanah-tanah tersebut dalam kenyataannya masih ada,
walaupun dalam kondisi yang hampir musnah, terdesak oleh kepentingan penyediaan lahan
untuk kepentingan pembangunan yang seharusnya
kemakmuran rakyat, tetapi berdampak terbalik terhadap keberadaan masyarakat hukum adat
yang menjadi terasing dan tersingkirkan dari wilayahnya sendiri, oleh karena kebijakan
pembangunan.
adalah
sebagai
lingkungan
kekuasaan
tanah itu sendiri. Namun kini istilah hak ulayat dipergunakan sebagai terjemahan
dari beshikkingsrecht[6].
Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul Miskenningan in het Adatrecht dan De
Indonesier en Zijn grond menyimpulkan 6 (enam) ciri-ciri dari hak ulayat , yaitu :
1.
dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan yang tumbuh dan hidup di atas tanah
ulayat;
2.
Hak individual diliputi oleh hak persekutuan. Mengenai hubungan antara hak
persekutuan dan hak perorangan ini, terkenal pendapat dari Ter Haar yang disebut
Teori Bola. Menurut teori ini hubungan antara hak persekutuan dan hak individual
adalah bersifat timbale balik, yang berarti semakin kuat hak individual atas sebidang
tanah, semakin lemah hak persekutuan atas tanah itu, dan sebaliknya semakin lemah
hak perseorang atas sebidang tanah, semakin kuat hak persekutuan atas tanah tersebut;
3.
bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum. Dan terhadap tanah
ini diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
4.
Orang asing yang mau menarik hasil dari tanah-tanah ulayat harus terlebih dahulu
minta izin dari kepala persekutuan, dan harus membayar uangpengakuan, dan setelah
panen harus membayar uang sewa.
5.
Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan
ulayat.
6.
Kehidupan masyarakat di Maluku sebagiannya tergantung dengan tanah. Tanah dengan segala
sumber dayanya adalah bagian yang tidak terlepas pisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari.
Ikatan spiritual dan cultural antara masyarakat adat dengan tanah inilah yang kemudian menjadi
ciri yang paling menonjol yang membedakan antara masyarakat adat dengan masyarakat yang
bukan masyarakat adat yang hanya memandang tanah hanya sebatas sebagai barang ekonomi
saja.
Sebagian besar tanah-tanah di maluku adalah tanah adat yang tunduk atau dikuasai oleh hak
petuanan dari desa atau negeri dimaksud. Batas-batas petuanan suatu negeri / desa adat di
Maluku biasanya bukan hanya dalam ruang lingkup tanah tempat tinggal atau kebun tempat
berusaha saja melainkan juga meliputi hutan, sungai dan segala hasil yang terdapat di dalamnya.
Pada umumnya batas-batas dari suatu wilayah petuanan sebuah desa adat ditandai dengan tanda
alam misalnya tanda batas alam berupa aliran sungai, gunung atau bukit, bebatuan, hutan, dll.
Penentuan batas wilayah petuanan sebuah desa pada awalnya ditetapkan oleh para leluhur atau
datuk-datuk lewat saniri negeri atau badan pemerintahan adat sebuah persekutuan adat di masa
lalu melalui suatu kesepakatan bersama antara persekutuan-persekutuan adat yang berbatasan .
Seiring dengan perkembangan jumlah jiwa anggota suatu persekutuan adat / negeri tanah-tanah
petuanan suatu negeri adat dalam perkembangan selanjutnya dikelola oleh anggota persekutuan
tersebut menjadi milik atau hak perorangan dimana hak penguasaan atau pengolahannya lebih
kuat dari hak petuanan.
Peranan persekutuan adat tidak hilang begitu saja walau secara perseorangan tanah tersebut telah
dikuasai oleh seseorang/keluarga/kelompok , pemerintah negeri dari persekutuan adat tersebut
masih memiliki peran untuk membatasi (mengatur) perbuatan hukum yang dilakukan oleh si
pemilik tanah tadi guna menjaga ketertiban sebagaimana diharapakan bahwa pembukaan atau
pengelolahan suatu tanah petuanan dapat menciptakan kemakmuran atau kesejahteraan bagi
anggota persekutuan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka sesungguhnya masyarakat hukum adat di Maluku,
memiliki suatu kewenangan terhadap tanah-tanah yang ada di dalam lingkungan dan pada
persekutuan tersebut. Wewenang tersebut berpangkal pada suatu hak penguasaan tanah ulayat
berdasarkan hak masyarakat hukum adat dengan mengelola tanah-tanah tersebut untuk
kepentingan bersama.
Wewenang masyarakat adat atas tanah dan sumber daya yang dimaksud umumnya mencakup;
1.
perbuatan hukum yang berkenan dengan tanah (jual beli, warisan dll).[8]
Kewenangan masyarakat adat tidak hanya terpaut pada obyek tanah, tetapi juga atas obyekobyek sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang,
bebatuan yang memiliki makna ekonomis); didalam tanah (bahan-bahan galian), dan juga
sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah yang
berada didalamnya.
Sebagai anggota persekutuan setiap individu mempunyai hak untuk mengumpulkan hasil-hasil
hutan seperti kayu, rotan dan sebagainya, memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang
persekutuan, mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar termasuk tanaman obat,
membuka tanah dan mengerjakan tanah-tanah itu terus menerus.
Pemanfaatan tanah oleh masyarakat adat di Maluku adalah untuk pemukiman, pekuburan serta
untuk bercocok tanam yaitu untuk areal perkebunan dengan komoditas utamanya meliputi
kelapa, cengkeh, pala, kakao dan jambu mete, untuk tanaman pangan, yang meliputi padi dan
tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dll.
Setiap orang yang ingin mendapatkan manfaat atas sebidang tanah-tanah adat yang berada dalam
wilayah persekutuan harus atas sepengetahuan dan seizin kepala masyarakat adat setempat
(dalam masyarakat adat Maluku disebut pamerentah/raja).
puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun, dan Hak Pakai dapat diberikan
dengan jumlah 70 (tujuh Puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan dapat diperpanjang
dimuka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 25(dua
puluh lima) tahun.
Dalam kaitannya dengan hak guna usaha, berdasarkan pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria
Tahun 1960 yang dimaksudkan dengan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang kuasai langsung oleh Negara. Pada kenyataannya di Maluku tidak hanya terdapat tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, tetapi terdapat juga hamparan tanah-tanah adat. Hamparan
tanah-tanah adat tersebut, dapat digolongkan ke dalam tiga golongan tanah adat yaitu tanah
negeri atau tanah hak petuanan, tanah dati yang dimiliki oleh kerabat atau persekutuan, dan tanah
pusaka yang merupakan milik perorangan. Ketiga golongan tanah tersebut masih diatur menurut
ketentuan-ketentuan hukum adat.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan tanah adat bagi orang diluar persekutuan masyrakat
hukum adat, hak ulayat mempunyai daya berlaku eksternal,artinya bahwa orang-orang asing
yang bukan anggota persekutuan baik para pendatang maupun juga yang berasal dari
persekutuan tetangga, dapat memanfaatkan tanah adat dengan lebih dahulu mendapatkan izin
dari kepala persekutuan dengan membayar sejumlah uang pengakuan terlebih dahulu dan sebuah
ganti rugi yang dibayar kemudian, yang didalamnya orang asing pada prinsipnya tidak dapat
memperoleh hak individual atas tanah yang lebih lama dari hak menikmatinya ialah satu periode
panen (hak menikmati), dan bahwa para pendatang dari luar ialah orang-orang nonpersekutuan
tidak diperkenankan mewarisi, mewariskan maupun membeli dan menerima gadai atas tanahtanah pertanian, bahkan memasuki daerah hak ulayat dapat saja dilarang secara hukum adat atau
diikat dengan persyaratan-persyaratan(terlepas dari pertanyaan apakah secara hukum tata Negara
hal tersebut masih dimungkinkan)[9].
Terhadap hal tersebut diatas, terdapat pemahaman yang berbeda antara pemerintah dengan
masyarakat hukum adat. Dalam hal pemanfaatan tanah adat untuk pembangunan Pada sektor
perkebunan misalnya, pemberian sejumlah uang dalam perspektif pemerintah diartikan sebagai
bentuk pelepasan hak. Artinya mayarakat adat melepaskan tanahnya kepada negara, negara
kemudian menerbitkan izin berupa HGU untuk perusahaan. Ketika HGU habis maka tanah akan
kembali ke dalam bentuk semula.
Semula disini tentu adalah tanah negara karena pemerintah bersandar kepada UUPA yang
mengatur bahwa HGU ada di atas tanah negara. Sementara dalam perspektif masyarakat hukum
adat, semula diartikan sebagai tanah ulayat. Hal ini dikerenakan pemberian sejumlah uang
dalam perspektif masyarakat hukum adat bukanlah pelepasan hak, melainkan hanyalan sebagai
suatu pertanda bahwa mereka hanyalah orang luar persekutuan sehingga ketika segala perizinan
yang dibebankan di tanah tersebut habis, maka tanah akan kembali kepada Mayarakat adat.
Di samping itu, pengelolaan tanah ulayat dan sumber-sumber agraria oleh pihak ketiga juga
sering menimbulkan masalah dalam proses pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan kesepakatankesepakatan yang dilahirkan seringkali tidak berpihak kepada masyarakat adat. Di samping itu,
aktivitas yang dilakukan oleh pihak ketiga kadangkala tidak sesuai dengan izin ataupun
kesepakatan yang telah dibuat, bahkan ada yang tidak memenuhi kesepakatan sama sekali.
Sehingga mengakibatkan kondisi masyarakat adat jauh dari kesan sejahtera.
Oleh karena itu diperlukan Peraturaan Daerah yang mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi
pengembangan investasi yang lebih berpihak pada masyarakat hukum adat sebagai pemegang
hak ulayat. Artinya bahwa investor dapat memnfaatkan tanah ulayat berdasarkan kesepakatan
dengan masyarakat hukum adat. selaku pemenga hak ulayat masyarakat hukum adat tidak harus
melepaskan haknya kepada pihak ketiga tetapi dapat bertindak salah satu pemegang saham
dengan prinsip bagi hasil. Namun tentunya kemampuan masyarakat untuk membuat perjanjianperjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan yang dapat merugikan masyarakat adat perlu
dikhawatirkan, sehingga disinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai fasilitator.
Pemerintah tidak lagi berperan sebagai pihak dalam perjanjian pemanfaatan tanah adat, tetapi
menjadi fasilitator sehingga perjanjian pemanfaatan tanah yang selama ini melibatkan investor
Negara dalam hal ini pemerintah dan masyarakat adat, dapat diubah menjadi investor langsung
kepada masyarakat hukum adat sebagai suatu badan hukum.
Hanya saja diperlukan suatu tindakan nyata dari negara untuk lebih mempertegas posisi tawar
masyarakat hukum adat, yang dilakukan dengan memperbanyak program-program yang lebih
memfasilitasi dan memberdayaan masyarakat hukum adat, serta penyusunan suatu Peraturan
Daerah yang mengatur tentang pemanfaatan tanah ulayat. Sehingga dapat meminimalisir
terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pihak ketiga
nagari,
bahkan
pengentasan
kemiskinanpun
dilakukanberbasis
nagari. Dalam
prakteknya coba lihat, adakah lembaga adat (Kerapatan Adat Nagari)dianggap sebagai sistem
perwakilan ? atau DPRnya nagari ? ternyata tidak pada hal yang dudukdi KAN itu adalah semua
kaum,
suku,
dannagari,
sedangkan
KAN,
LKAAM. Bagaimana negara memberipengakuan terhadap masyarakat adat sementara undangundangnya belum ada ? disatu sisi(UU HAM) memberi ruang kepada masyarakat adat mendapat
perlindungan negara, di sisi lainmasyarakat adat belum diakui negara sebab belum ada diatur
dalam UU. Karena kondisidemikian maka UU HAM memberi ruang kepada pemerintah
(propinsi, kabupaten, kota) untukdapat menerbitkan perda tentang pengakuan terhadap
masyarakat adat seperti KAN danNagari, apakah ini bukan sikap pemerintah yang mendua
B.
1.
1.
2.
III
ketentuan-ketentuan
konversi
UUPA
menyatakan:
Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini,
sejak saat tersebut menjadi hak-guna-usaha tersebut dalam Pasal 28 ayat 1 yang akan
berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pada dasarnya konversi hak erfpacht menjadi HGU tidak tepat dilakukan. Walaupun keduanya
merupakan hak untuk mengusahakan tanah, namun objek hak diatasnya tidaklah sama. Objek
hak erfpacht dalam Pasal 720 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah
barang tidak bergerak (tanah) hak milik. Sedangkan HGU diberikan diatas tanah negara.
Mengacu pada konsep Hak Menguasai Negara (HMN) seharusnya objek HGU tidak hanya tanah
negara. Negara harus tetap mengakui keberadaan hak-hak atas tanah masyarakat hukum adat
yang telah ada sebelum lahirnya ketentuan HGU.
Arogansi kebijakan negara menghilangkan hak-hak kepemilikan atas tanah yang diperjanjikan
dalam hak erfpacht. Tanah-tanah ini kemudian beralih hak secara sepihak menjadi tanah negara.
Sebab HGU hanya diberikan di atas tanah negara, sehingga berakhirnya HGU mengakibatkan
berakhir
dan
beralihnya
hak
atas
tanah
kepada
penguasaan
negara.
Berlakunya ketentuan tersebut, sengaja atau tidak telah menimbulkan benturan hukum dalam
masyarakat. Negara melalui pemerintah berpedoman pada ketentuan HGU, sedangkan
masyarakat hukum adat minangkabau tetap pada prinsipnya; kabau tagak, kubangan tingga.
Artinya setiap berakhirnya hubungan hukum atas tanah ulayat, serta merta mengembalikan
penguasaan ulayat kepada pemiliknya.
Peningkatan status hak atas tanah menjadi HGU bukan hanya syarat untuk mengusahakan tanah.
Pasal 33 UUPA memberikan alas hukum bagi HGU untuk dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan. Artinya telah terjadi penyimpangan dari pemberian hak semula yaitu
untuk melakukan pengusahaan atas tanah. HGU penting bagi swasta untuk mendapat tambahan
modal dengan membebaninya dengan hak tanggungan.