Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan eksotoksin bakteri Gram positif
Clostridium tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora. Spora banyak
terdapat di dalam tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan
jaringan melalui luka. Toksin mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot1.
Insidensi tahunan tetanus di dunia adalah 0,5-1 juta kasus dengan tingkat
mortalitas sekitar 45%. Di Amerika Serikat pada tahun 1947 dilaporkan terdapat 560
kasus, sedangkan antara 1998-2000 hanya 43 kasus per tahunnya. Penurunan tersebut
disebabkan oleh penemuan dan penggunaan imunisasi aktif terhadap tetanus. Di
negara berkembang tetanus banyak ditemukan pada populasi neonatus dan
merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi yang penting. Di negara maju tetanus
terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat bertani atau
berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat 2,3 . Lingkungan
tanah Indonesia yang kaya akan C. tetani dan angka mortalitas yang tinggi menuntut
dokter umum untuk menguasai pencegahan dan penanganan tetanus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot

yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab
medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau toksinnya
dengan atau tanpa riwayat trauma3,4.
2.2

Epidemiologi
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus

terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat
penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material
organik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani.
Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera
jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan.
Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia2,5.
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya
imunisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun
1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun
1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada
orang yang tidak pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap. Insiden
tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang yaitu 4:100.000.000.
Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara
bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia
neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis
residual jarang ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik,
misalnya peningkatan tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung5,6.
2.3

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua

bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil,
Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif
rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan
antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (2).

Gambar 1. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi
memiliki kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya
berupa basil. Endospora dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan
memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik drum.
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi
infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin
berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus
merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada
tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten
berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat
badan2.
2.4

Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat

anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan


ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah

diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan
tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka
bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai
untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang
bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis 1,2,3.
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih
penting, mungkin keduanya terlibat 4. Pada mekanisme pertama, toksin yang
berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf
motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang
berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.
Tetanospasmin

yang

merupakan

zincdependent

endopeptidase

memecah

vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu


ikatan peptide tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas
otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan
karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek,
sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin
di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom

menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan


peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel,
pemulihan

membutuhkan

tumbuhnya

terminal

saraf

yang

baru,

sehingga

memanjangkan durasi penyakit ini 1,3

Gambar 2. Mekanisme kerja tetanospasmin.


2.5

Manifestasi klinis
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%

penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi 3.

Selang waktu sejak

munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset.
Periode onset maupun periode inkubasi secara signif kan menentukan prognosis.
Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan
makin berat penyakitnya 1. Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias
rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi
kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek,
karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah
trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan
tonus otototot trunkal meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan
dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris 1,3,6,7.

Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat
terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest.
Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada;
selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang
mengancam nyawa

3,6

. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme

otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus
akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan
aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan
dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi

1.

. Tetanus berat berkaitan dengan hyperkinesia

sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya
mulai beberapa hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya
tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia
dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin.
Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang
tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat,
meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus

1,3

. Tetanus

dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus.
Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya 5,10.
a.

Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan

tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot
di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan
selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat
berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1% 2,5.
b.

Tetanus sefalik

Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar
6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot
nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah
otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva,
wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari
setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering),
disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III.
Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang
dilaporkan tinggi, yaitu 15-30% 2,3,11.

Gambar 3. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan
tetanus sefalik.
c.

Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus

general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat


spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher,
kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4C di
atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak
menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otototot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan
seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi
tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan5.
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh

merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara


intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik
sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode
relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan
(paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus
eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus
dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya,
pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme
paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme
tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi
autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa.
Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua
atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan
fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta
takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung 5.
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami
nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu,
yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah
berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak
diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi
dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular
junction yang baru 2.

(a)

(b)

(c)

d.

Gambar 4. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus
yang menangis akibat kontraksi otot yang nyeri.
Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali

pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses


pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun
obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor
utama dalam terjadinya tetanus neonatorum

14

. Gambaran klinis tetanus

neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai dengan


ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk
iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan
rigiditas, dan opistotonus (3).

2.6

Gambar 5. Tetanus neonatorum


Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis

dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah


pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara
berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris
yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.

Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara
umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas 5,8.
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya
sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa
isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah
menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis
dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80C selama 15
menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak
berspora sebelum media kultur diinokulasi 5.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan
cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot.
Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu
diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi
dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan.
Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat
dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus
diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap
protektif 5,9.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai
penentu prognosis 11.
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus
Parameter

Nilai

Masa inkubasi

< 48 jam
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
> 14 hari

5
4
3
2
1

Lokasi infeksi

Internal dan umbilikal


Leher, kepala, dinding tubuh
Ekstremitas atas

5
4
3
2

Ekstremitas bawah
Tidak diketahui
Status
imunisasi

Faktor
pemberat

10
8
Tidak ada
4
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 2
neonatus)
0
> 10 tahun yang lalu
10
< 10 tahun yang lalu
8
Imunisasi lengkap
4
2
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa
1
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa
Keadaan yang tidak mengancam nyawa
Trauma atau penyakit ringan
ASA derajat I

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan


didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan
dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus
sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I (ringan)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak


ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat)
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia
120 kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat)
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi
berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif
dan bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan.
Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal
sebagai skor Udwadia 17.
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada


distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat)
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat)
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar,
Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur
tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama (9).
Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus
Faktor prognostik
Masa inkubasi
Periode onset
Tempat masuk
Spasme
Demam
Takikardia

Skor 1
< 7 hari
< 2 hari
Umbilikus,
luka
bakar,
uterus, fraktur terbuka, luka
operasi,
injeksi
intramuskular
Ada
> 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit

Skor 0
7 hari atau tidak diketahui
2 hari
Penyebab lain dan penyebab
yang tidak diketahui
Tidak ada
< 38.4oC
Dewasa < 120 kali/menit
Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:

2.7

Skor 0-1
Skor 2-3
Skor 4
Skor 5-6

: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%


: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

Diagnosis banding
Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus.

Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat
menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan
pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan
spasme

otot,

tetapi

kesadaran

pasien

biasanya

berkabut.

Rabies

harus

dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus.
Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otototot pernapasan dan deglutition. Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis
banding tetanus dirangkum dalam tabel 5.
Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.
Penyakit
INFEKSI
Meningoensefalitis
Polio
Rabies
Lesi orofaring
Peritonitis
KELAINAN METABOLIK
Tetani
Keracunan striknin
Reaksi fenotiazin
PENYAKIT SISTEM SARAF
PUSAT
Status epileptikus

Gambaran diferensial
Demam, trismus ridak ada, penurunan
kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.
Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
spasme orofaring.
Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
tubuh tidak ada.
Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
hipokalsemia.
Relaksasi komplit diantara spasme.
Distonia,
menunjukkan
respon
dengan
difenhidramin.

Perdarahan atau tumor


(SOL)
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria
KELAINAN
MUSKULOSKELETAL
Trauma
2.8

Penurunan kesadaran.
Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
spasme.
Hanya lokal.

Penatalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber

tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang
(suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis
dimetabolisme 4,5,7.
1.

Membuang Sumber Tetanospasmin


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk

mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut

1,3,5

Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan


pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif
mengurangijumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. lini kedua dapat diberikan
penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif
terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak
berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani.
Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam
selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA)35,9

.
2.

Netralisasi toksin yang tidak terikat

Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum


berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000- 10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan
diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap immunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS
dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuscular dan
50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga

1,4,5

. Setelah penderita

sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid,
karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan 1,3,5.
3.

Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin

yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani
di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang3-5,11 . Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia
aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas
darah penting sebagai penuntun terapi 5. Penanganan jalan napas merupakan
prioritas. Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya
dapat mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan
tindakan suctioning yang sering.1 Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan
nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau
distres pernapasan. Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma,

dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses
ventilator 3.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya
mengalami spasme otot 5. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,10,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 23 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per
rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan 10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah
spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai
keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai
spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak
dijumpai gangguan pernapasan

. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari

barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,


penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom

1,3

Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat


ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan
setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi
dewasa

5,10

. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai

tambahan sedasi benzodiazepine.


Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine, dapat dipilih
pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation
(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena

efek samping simpatomimetik. 1 Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium


juga telah digunakan karena stabil pada jantung 3,10. Pasien tetanus berat sering kali
membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden
ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.1
Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan
masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi
meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi
adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan
otonom 3,6,7,10.
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan
fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan
demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard
serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian

6,7,11

. Tanda overaktivitas

simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat
dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasme otot.5,10 Henti
jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi
kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada
miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi
dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest,
dikatakan karena kerusakan langsung nucleus vagus oleh toksin tetanus

3,6,7

Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat


dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai
terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau
chlorpromazine

. Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk

mengendalikan spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg)
IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk
mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari
overdosis, dimonitor refl ek patella. Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi
berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan penambahan volume
intravascular membutuhkan inotropik.

Atropin dosis tinggi, lebih dari 100

mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia

. Tidak ada regimen terapi

yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom 11.


Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis
berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat
diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia,
gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya
tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis

3,9

. Nutrisi parenteral total

mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk


mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula
asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein

5,10

. Pada hari

pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan,


dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan
pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde
lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada risiko
aspirasi. Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga
banyak digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko
thromboemboli dan perdarahan harus dipertimbangkan.
2.9

Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari

toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi
sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus
dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta
ruptur tendon akibat spasme otot2,11. Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum
dalam tabel 6.
Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus
Sistem organ
Jalan napas
Respirasi

Kardiovaskular

Komplikasi
Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia),
komplikasi trakeostomi.
Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,

Renal
Gastrointestinal
Muskuloskeleta
l
Lain-lain

asistol, gagal jantung.


Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Stasis, ileus, perdarahan.
Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
spasme.
Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.

2.10 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk
menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring
yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat
mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas
menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada
kelompok usia neonatus dan > 60 tahun11.
2.11 Pencegahan
Tindakan pencegahan

merupakan

usaha yang

sangat penting dalam

menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif 11
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak
anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa
digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus
bervariasi menurut usia pasien.
Tabel 7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus
Bayi dan anak
normal.

Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.


Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan

injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak


normal sampai usia
7 tahun yang tidak
diimunisasi pada
masa bayi awal.

DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4


bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan
injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang


belum pernah
diimunisasi.

Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada


kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan
6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang


belum pernah
diimunisasi.

Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus


menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih
baik pada 2 trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak
pernah diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat,
neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus
immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga
harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi
luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa
memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan
tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk

membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap
tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.

Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on


Trauma (1995)
Tampilan klinis
Usia luka
Konfigurasi
Kedalaman
Mekanisme cidera

Luka rentan tetanus

Luka tidak rentan


tetanus

> 6 jam
Bentuk stellate, avulsi
> 1 cm
Misil, crush injury,
luka bakar, frostbite
Ada
Ada
Ada

< 6 jam
Bentuk linier, abrasi
1 cm
Benda tajam (pisau,
kaca)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tanda-tanda infeksi
Jaringan mati
Kontaminan (tanah,
feses, rumput, saliva,
dan lain-lain)
Jaringan
Ada
Tidak ada
denervasi/iskemik
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma
adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut
adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan
faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua
tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak
diketahui
Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma

Riwayat imunisasi
tetanus sebelumnya
(dosis)
Tidak diketahui atau <
3
3 dosis

TT
Ya

HTIG
Ya

Luka tidak rentan


tetanus
TT
HTIG
Ya
Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Luka rentan tetanus

(kecuali 5 tahun
sejak dosis
terakhir)

Tidak

(kecuali 10
tahun sejak
dosis terakhir)

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis
profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular.
Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan,
gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak
tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum
kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada
pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%).
ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi
reaksi yang potensial terhadap produk ini.

BAB III
KESIMPULAN
Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit
yang telah dikenal sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum berhasil
dieradikasi karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses
hewan. Tetanus dapat dicegah melalui pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid,
higiene persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat.
Skor Phillips masih merupakan pilihan dalam menentukan derajat keparahan
penyakit tetanus pada saat pasien masuk dan juga dapat digunakan untuk menilai
kemajuan perjalanan penyakit selama perawatan karena menilai banyak parameter
dan penilaian unsur-unsurnya bersifat objektif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati
S, (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI; 2007.
2. Hinfey PB. Tetanus. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/229594overview
3. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2000;69:292301.
4. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal
of Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
5. Ritarwan
K.
2004.
Tetanus.
(Online).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf,
6. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
7. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care Manual.
6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.
8. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain.
Vol.
6
No.
3.
[Internet].
2006
Available
from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.
9. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. [Internet].
2005.
Available
from:
http://www.update.anaesthesiologist.org/wpcontent/tetanus-areview.

10. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian


emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 . Available at: http://www.whqlibdoc.
who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.

11. Laksmi. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014

Anda mungkin juga menyukai