Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad
1. Ijtihad Menurut bahasa
Ijtihad berasal dari bahasa arab yaitu

: yang berarti : sungguh-sungguh

kemudian menjadi y yang berarti kesungguhan yang sangat.


2. Ijtihad Menurut istilah
Imam Al-Syukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi :


y y

Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syari yang bersifat Amali


melalui cara istinbath.
Dalam definisi ini digunakan kata bazlu al-wasi untuk menjelaskan bahwa
ijtihad itu adlah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini
berarti bial usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguhsungguh,maka tidak dinamakan ijtihad.
Penggunaan kata syari berarti yang dihasilkan dalam ijtihad adalah hukum
syari. sebagai fasal (kata pemisah) dalam defenisi itu kata syari berarti
mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang
bersifat aqli, lughawi dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk menemukan yang
demikian itu tidak disebut ijtihad.
selanjutnya dalam defenisi itu juga disebut mengenai cara menemukan hukum
syari yaitu melalui istinbat yang pengrtian nya memungut atau mengeluarkan
sesuatu dari dalam kandungan lafaz. Hal itu berarti bahwa ijtihad adalah
memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut.

B. Perkembangan ijtihad
Persoalan utama dalam pembahasan perkembangan ijtihad adalah: semenjak
kapan ijtihad itu mulai berlaku (ada) apakah pada masa kini ini masih berlakudan
bagaimana kemungkinan berlakunya untuk masa mendatang. Kebenaran ijtihad pada
masa Nabi masih menjadi perbincangan dikalangan ulama.
1

1. Ijtihad Pada Masa Nabi


Para ulama berbeda pendapat apakah nabi pernah melakukan ijtihad, dan apakah
nabi boleh berijtihad. Hal ini timbul, diantaranya karna satu sisi ada firman allah
dalam surah al-Najm (53):3-4



Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Disisi lain nabi dalam kedudukannya sebagai manusia biasa berbicara dan
melakukan sesuatu yang tentu tidak mungkin keseluruhannya sebagai wahyu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi boleh dan mungkin saja melakukan
Ijtihad. Mereka berarguman berdasarkan dalil Al-quan.
Diantara dalil Al-quran yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam suara
Al-Hasyr (59):2:


Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai pandangan .

Para ulam memahami ayat ini sebagai dalil melakukan ijtihad. Perintah
melakukan ijtihad dalam ayat ini berlaku secara umum yang berlaku untuk umat juga
untuk nabi yang dikenai titah allah dalam ayat ini. Mereka mengemukakan contoh
kasus ijtihad nabi dengan mengetengahkan asbabub nuzul (kasus yang menyebabkan
turunnya) surah al-Anfal: (8):67:

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi.
Dalam ayat ini Allah mencela Nabi karena meninggalkan tawanan perang badar
dengan uang tebusan. Kasus ini muncul waktu menghadapi tawanan perang badar.
2

Pada waktu nabi menanyakan pendapat abu bakar, abu bakar mengemukakan
pendapat supaya tawanan itu ditaahan saja dan tidak dibunuh dengan harapan berguna
bagi islam. Umar bin Khattab mengemukakan pendapat agar tawanan itu dibunuh saja
karena mungkin akan merugikan islam. Selanjutnya Nabi berfikir untuk
mempertimbangkan langkah yang harus diambil, kemudian mengambil kesimpulan
untuk menahan saja tawanan tersebut sebagaimana yang disarankan Abu Bakar.
Ternyata yang terjadi kemudian tawanan itu merugikan islam hingga Nabi menyesal
dan menangis bersama Abu Bakar. Dalam peristiwa inilah datangnya teguran Allah
tersebut.
2. Ijtihad Sahabat Pada Masa Nabi
Alasan sahabat berijtihad untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi, adalah karena
terpaksa untuk menetapkan ketentuan hukumnya sedangkan untuk menghubungi dan
meminta jawaban dari Nabi terlalu lama (memakan waktu) jika tempatnya jauh.
Adapun sahabat yang berijtihad dalam menetapkan hukum bagi kasus yang terjadi di
tempat yang dekat nabi, adalah karena ada rasa aman, seandainya salah pun tentu
akan segera dibetulkan nabi.
Diantara ijtihad yang dilakukan sahabat sewaktu nabi masih hidup di tempat yang
dekat nabi umpamanya amr bin Ash yang bertayamum padahal waktu itu ada air,
karena ia merasa khawatir jika berwudhu dengan air akan sakit, sebab cuaca sangat
dingin. Tindakan ini dilakukan Amr bin Ash karena ia menemukan kesukaran untuk
berwudhu memakai air karena cuaca dingin sebagaiman kesukaran berwudhu karena
tidak ada air. Ia juga mengetahui ada ayat al-Quran yang menerangkan: bila tidak
bertemu air tayamumlah. Apa yang dilakukan Amr bin Ash tersebut segera diketahui
Nabi. Ternayata nabi tidak melarang tindakan nya itu.
Ijtihad sahabat untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi adalah umpamanya yang
terjadi pada serombongan sahabat ketika melakukan perjalan dalam peristiwa ahzab.
Nabi menyuruh mereka untuk sholat ashar dikampung Bani-Quraizhah. Sewaktu
dalam perjalanan, mereka memasuki waktu ashar sebagian diantara mereka berhenti
dan melakukan sholat ashar dan tidak mau menanggukan shlat ashar nya. Sedangkan
yang sebagian lagi tidak mau berhenti untuk sholat dan terus melanjutkan perjalanan
hingga sampai di kampung Bani-Quraizhah waktu malam, baru melakukan sholat
ashar di sana

Dalam cerita tersebut, kedua kelompok sahabat itu telah melakukan ijtihad.
Kelompok pertama memahami suruhan Nabi itu menurut arti dan jiwanya sedangkan
kelompok yang kedua memahaminya menurut lahir (teks)-Nya. Apa yang dilakukan
oleh kedua kelompok ini dibenarkan Nabi.
3. Ijtihad Pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat pelaksanaan ijtihad oleh para sahabat semakin banyak terjadi.
Penyebab terjadinya ijtihad itu adalah karena masalah yang menuntut jawaban hukum
semakin banyak sebab semakin maju dan berkembangnya kehidupan sosial yang
memunculkan masalah baru yang memerlikan jawaban hukum, sedangkan wahyu
sebagai sumber hukum sudah terhenti sama sekali. Baik wahyu yang tertulis (alQuran) maupun wahyu tidak tertulis.
Ijtihad pada masa sahabat, contohnya ketika nabi baru wafat, timbul masalah siapa
yang akan menjadi pemimpin umat pengganti kedudukan beliau. Nabi sendiri tidak
mendapat apa-apa dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin pun tidak
ada yang secara tegas dan jelas menerangkan nya terjadilah perbincangan yang
meluas dengan menggunakan akal (daya nalar) sebagai dalil. Hasil dari perbincangan
itu adalah penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin yang disebut Khalifah. Dasar
pemikiran Abu Bakar ini ialah karena ia pernah menggantikan kedudukan nabi
sebagai imam shlat jamaah pada saat nabi sakit. Kalau Abu Bakar pernah menjadi
imam sholat yang merupakan pemimpin hal keagamaan, tentu tepat pula untuk
menduduki jabatan khalifah sebagai pemimpin keduniaan.
4. Ijtihad Pada Masa Tabiin
Masa Tabiin adalah suatu masa sesudah sahabat. Dalam masa Tabiin ini islam
semakin luas wilayahnya, kehidupan masyarakat juga semakin maju dan kompleks.
Penganut islam pun bukan lagi orang-orang arab, tetapi sudah berbaur dengan bangsa
lain yang berbeda-beda bahasanya. Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan
umat islam akan sumber islam yaitu al-Quran dan sunnah yang berbahasa arab itu
tidak lagi sesempurna orang sebelumnya disamping itu masalah kehidupan yang
memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan
ijtihad.
Said ibn al-Musayyab sebagai mujtahid Tabiin banyak menghasilkan ijtihad yang
kelihatannya berbeda dengan apa yang diketahui sebelumnya. Seperti pendapatnya
yang mengatakan bahwa seorang istri yang ditalak tiga yang akan kembali kepada
4

suaminya yang pertama adalah cukup jika telah melakukan akad nikah dengan suami
kedua tidak perlu bercampur terlebih dahulu. Beliau berdalil dengan umumnya firman
Allah dalam surat Al-Baqarah (2);230:



Jika dia (suami) mentalak (talak tiga), maka tidak halal dia (istri) baginya hingga dia
kawin dengan suami lain.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama sahabat yang berpedoman kepada
hadits nabi yang menyatakan bahwa istri yang ditalak 3 itu baru boleh nikah lagi
dengan suami pertamanya bila dia telah bercampur dengan suami kedua dan tidak
cukup dengan akad nikah.
Said Ibn Al-Musayyab juga menfatwakan bolehnya seoarng yang sedang sujud
untuk membaca al-Quran asal tidak memegang mushaf al-Quran itu.
Masa tabiin ini dalam hal pelaksaan ijtihad dikenal sebagai masa perantara antara
masa sahabat dengan imam mujtahid, karena metode ijtihad yang dilakukan ulama
sahabat diperdalam dan dipolakan dalam masa tabiin ini. Hasil yang telah dicapai
masa tabiin inilah yang dikembangkan secara sistematis dan terstrukutr oleh para
imam mujtahid.
5. Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada
abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal
dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya
mujtahid-mujtahid

terkemuka

yang

kemudian

dikenal

sebagai

imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii,


dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
a. Imam abu hanifah (Imam Hanafi)
Nama lengkapnya ialah Numan bin Tsabit bin Zautha. Diahirkan
pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat
pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafii R.A.
Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Numan.
Imam Abu Hanifah adalah pemikir dibidang fiqh yang kemudian
5

hasil-hasil pemikirannya disebut dengan Mazhab Hanafi. Oleh


karena itu ia disebut sebagai pendiri Mazhab Hanafi. Ia dikenal
sebagai imam Ahlurrayi serta faqih dari Irak yang banyak
dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Imam Hanafi atau
Imam Abu Hanifah dikenal banyak menggunakan rayu, qiyas, dan
istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam
nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas
dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas)
tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka
dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai
sebagai

hadits

ahad.

Yang

menjadi

pedoman

Ijtihad

dalam

menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah


Al-Quran, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijmai.
Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Quran dan
sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan
metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber
tersebut.

b. Imam Maliki (Malik Ibn Anas)


Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin
Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Imam Malik
dikenal sebagai pelopor tebentuknya Mazhab Maliki. Mazhab Maliki
adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari
Imam Malik dan para penerusnya di masasesudah beliau meninggal
dunia. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli
hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam
kitabnya al-Muwaththa yang disusunnya atas permintaan Khalifah
Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Mamun.
Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun

dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung


pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini
juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab
fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan muridmuridnya sampai sekarang.
Dasar Ijtihad Imam Malik adalah Al-Quran, Sunnah Nabi SAW,
Ijma, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah
menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah,
Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zariah, dan Syaru Man Qablana.
Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun
oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi
menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat
hal, yaitu Al-Qur an, sunnah Nabi SAW, ijma, dan rasio. Alasannya
adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi
penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi
SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd azZariah, Istihsan, Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh,
qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih
mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas
c. Imam syafii
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Idris Asy SyafiI, seorang
keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun
150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang
menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafii yang pertama
ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafii
sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau
hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syiir ; kemudian
beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Prinsip dasar Mazhab Syafii dapat dilihat dalam kitab usul fiqh arRisalah. Dalam buku ini asy-Syafii menjelaskan kerangka dan
prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum
7

fariyyah (yang bersifat cabang). Dalam berijtihad menetapkan


hukum Islam, Imam asy-Syafii pertama sekali mencari alasannya
dari Al-Quran. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah
Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak
ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma
sahabat. Ijma yang diterima Imam asy-Syafii sebagai landasan
hukum hanya ijma para sahabat, bukan ijma seperti yang
dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid
pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya
ijma seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma tidak
juga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang
dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian
qiyas bagi Imam asy-Syafi i tidak seluas yang digunakan Imam Abu
Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara
meng-istinbat-kan hukum syara.
d. Imam Hanbali
Beliau adalah pendiri Mazhab Hanbali. Nama lengkapnya ialah
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau
lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad
bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke
berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain :
Siria,

Hijaz,

Yaman,

Kufah

dan

Basrsh.

Dan

beliau

dapat

menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya. Ia


terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan
pernah belajar fiqh Ahlurrayi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam
asy-Syafii.
6. Ijtihad Pada Masa sesudah Imam Mazhab
a. Masa Taklid.
Semangat dan kemerdekaan ijtihad yang marak mewarnai
aktifitas tasyri di berbagai periode sebelumnya, seolah-olah
lenyap dan diganti dengan semangat dan jiwa baru yang justru
menjadi titik awal kemunduran tasyri, yani taklid. Kalaupun

ditemukan, adanya hanya praktek ijtihad yang dilakukan oleh


tokoh-tokoh tasyri generasi ini, namun yang ada hanyalah
mujtahid muqoyyad atau mazhab. Mujtahid ini terbagi menjadi
dua bagian, yakni Mujtahid Takhrij (Mujtahid Asbab al- Wurud),
dan Mujtahid Tarjih (Mujtahid Fatwa).
b. Periode masa stagnasi dan kemunduran (656 -Abad 15 H/
1258-Abad 21M).
1. Periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri
Periode masa stagnasi, sebagai kelanjutan dari tradisi taklid
yang tumbuh pada masa sebelumnya , di susul kemudian
dengan

masa

kebangkitan

atas

kesadaran

umat

dari

ketertinggalan mereka di berbagai bidang. Masa stagnasi yang


berlangsung hingga kisaran abad ke 12 merupakan masa ketika
umat Islam hanya mengandalkan pemikiran imam-imam mazhab
terdahulu. Khudlari bik mengatakan, Tidak ada seorangpun
yang(pasca periode imam mazhab) yang mencapai skill mujtahid
kecuali hanya sedikit.
2. Periode masa kebangkitan
Munculnya tokoh-tokoh besar seperti, al-Nawawawy, Ibnu alTaimiyyah, dan al-Syaukany-tanpa menghilangkan rasa hormat
pada mereka, ternyata belum mampu membangkitkan ghairah
umat

untuk

bangkit

dari

keterpurukan

tersebut.

Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga


sekarang , yakni ketika intelektual Islam mulai melihat realitas
yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu
meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang
perlu ditinjau ulang. Hal itu dilakukan demi terciptanya rumusanrumusan hukum yang bisa
kekinian
perubahan

mulalah
dalam

menyesuaikan dengan realitas

diadakan

diskusi-diiskusi

mazhab-mazhab

fiqih.

membahas

Sehingga

muncul

beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn Abd alWahab, Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-

Banna,

Abu

al-Ala

al-Maududi,

Wahbah

al-Zuhaili,Yusuf

Qardhawi, dan lain sebagainya.

C. Dasar hukum ijtihad


Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad antara lain: ayat
surah an-Nissa ayat 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada al-Quran dan
Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti
hawanafsunya dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah denagn jalan ijtihad
dalam membahas kandungan ayat atau hadis yang barang kali tidak mudah untuk
dijangkau begitu saja atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang
disimpulkan dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum
sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam alQuran dengan persamaan Illatnya seperti dalam praktik Qiyas (analogi), atau dengan
10

meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang


dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan rasul-Nya seperti yang dimaksud
oleh ayat di atas.

D. Macam-macam ijtihad
Ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, adalah sebagai berikut:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkadang dalam
nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi
penunjukannya. Dalam hal ini, hukumannya tersurat dalam nash, namun tidak
memberikan penjelasan yang pasti. Ijtihad disini hanya memberikan
penjelasan hukum yang pasti dari nash itu. Umpamanya menetapkan
keharusan beriddah tiga kali suci terhadap istri yang dicerai dalam keadaan
tidak hamil dan pernah dicampuri, berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran
sutar Al-Baqarqh (2):228:

Istri-istri yang tertalak hendaknya beriddah tiga kali quru


Dalam ayat itu memang disebutkan batas waktu iddah yaitu tiga kali
quru, namun lafaz quru itu memiliki dua pengertian yang berbeda: bias
berarti suci, bias juga berarti haid. Ijtihad untuk menetapkan pengertian quru
dengan memahami beberapa petunjuk yang disebut Ijtihad bayani.
b. Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad untuk menggali dan memerapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang tidak ditemukan dalinya secara tersurat dalam nash baik
secara qathi maupun secara zhanni, juga tidak ada ijma yang telah
menerapkan hukumnya.
c. Ijtihad istilahi yaitu ijtihad yang menggali, menemukan dan merumuskan
hukum syari dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat nash baik qathi maupun zhanni, dan tidak
memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum
diputuskan dalam ijma.

E. Syarat-syarat ijtihad
a. Menguasai bahasa Arab
11

Ulama Ushul telah bersepakat, bahwa mujtahid disyaratkan


harus menguasai bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan
sebagai sumber syariat dalam bahasa Arab. Demikian juga
dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Quran,
juga tersusun dengan bahasa Arab.
b. Mengerti nasakh dan mansukh
Syarat ini telah ditentukan oleh

imam

Syafii

dalam

kitabnya ar-Risalah, sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan


berbahasa Arab. Persyaratan ini didasarkan kepada kedudukan
dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama syariat
yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang
terkandung di dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar
mengatakan

bahwa

Barangsiapa

menguasai

al-Quran,

sesungguhnya ia telah membawa missi kenabian(nubuwwah).


c. Mengerti Sunnah (Hadits)
Syarat ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama,
bahwa seorang mujtahid harus mengerti betul tentang sunnah,
baik

qauliyah

taqririyah

(perkataan),

filiyah

(perbuatan),

maupun

(ketetapan), minimal pada setiap pokok masalah

(bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi


pembidangannya.
d. Mengetahui letak ijma dan khilaf
Dengan mengetahui letak ijma yang telah disepakati para
ulama salaf, maka seorang mujtahid diharuskan juga mengetahui
ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi di antara fuqaha,
misalnya perbedaan pendapat serta metode antara ulama Fiqh di
Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid
secara

rasional

akan

mampu

membeda-bedakan

antara

pendapat yang shahih dengan yang tidak shahih, kaitan dekat


atau jauhnya dengan sumber al-Quran dan hadits. Imam Syafii
mewajibkan seorang mujtahid memiliki kemampuan demikian,
sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya ar-Risalah.
e. Mengetahui Qiyas
12

Imam syafii mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya


adalah

mengetahui

jalan-jalan

qiyas.

Bahkan,

dia

juga

mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri. Oleh


sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui perihal qiyas
yang benar. Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal
yang ditetapkan berdasar nash-nash sebagai sumber hukum
tersebut, yang memungkinkan seorang mujtahid memilih hukum
asal yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi sasaran
ijtihadnya.

F. Hukum melakukan ijtihad


Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ain (wajib dilakukan oleh setiap orang
yang mencukupi syarat-syarat tersebut). Bila mana terjadi pada dirinya sesuatu yang
membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkannya. Ia tidak
boleh bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu ain bila mana
seorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera
mendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan
menjelaskan hukumnya.
Bila untuk menetapkan hukum suatu kasus tersebut telah ada seorang mujtahid
yang tampil untuk berijtihad, maka mujtahid yang lain bebas dari kewajiban
berijtihad. Namun bila tidak ada seorang pun yang berijtihad, sehingga hukumnya
luput , maka semua mujtahid yang ada di situ berdosa, karena meninggalkan
kewajiban Kifayah.
Berijtihad hukumnya sunnah dalam dua hal:
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya.
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan
pertanyaan seseorang.
Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal yaitu:
1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qathiy) baik berupa ayat atau
hadis rasulullah, atau hadis ijtihad itu menyalahi ijma.
2. Berijtihad begi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang telah
dijelaskan pada bagian syarat-syarat seorang mujtahid.

13

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Ijtihad
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syari yang bersifat
Amali melalui cara istinbath.
2. Perkembangan Ijtihad
a. Ijtihad pada masa nabi
b. Ijtihad sahabat pada masa nabi
c. Ijrihad pada masa sahabat
d. Ijtihad pada masa tabiin
e. Ijtihad pada masa imam madzhab
f. Ijtihad pada masa setelah imam madzhab
3. Dasar hukum Ijtihad
Dalam Al-Quran surat An-nisa ayat :59
4. Macam-macam Ijtihad
a. Ijtihad bayani
b. Ijtihad qiyasi
c. Ijtihad Istilahi
5. Syarat- syarat Ijtihad
Menguasi bahasa Arab, mengerti nsakh dan mansukh, mengerti ijma
dan qiyas.
6. Hukum melakukan Ijtihad
Adakalanya fardhu ain, fardu kifayah, sunnah dan haram.

14

DAFTAR PUSTAKA
Syarikuddin, amir. 2001. Ushul fiqh jilid ke 2. Lagas wacana ilmu. Jakarta.

Zahrah, Abu, Muhammad, Prof., Ushul al-Fiqh (terjemah: Saefullah


Mashum,
Slamet Basyir, dan dkk), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Syafei Rahmat.2007.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia.

15

Anda mungkin juga menyukai