PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad
1. Ijtihad Menurut bahasa
Ijtihad berasal dari bahasa arab yaitu
y y
B. Perkembangan ijtihad
Persoalan utama dalam pembahasan perkembangan ijtihad adalah: semenjak
kapan ijtihad itu mulai berlaku (ada) apakah pada masa kini ini masih berlakudan
bagaimana kemungkinan berlakunya untuk masa mendatang. Kebenaran ijtihad pada
masa Nabi masih menjadi perbincangan dikalangan ulama.
1
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Disisi lain nabi dalam kedudukannya sebagai manusia biasa berbicara dan
melakukan sesuatu yang tentu tidak mungkin keseluruhannya sebagai wahyu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi boleh dan mungkin saja melakukan
Ijtihad. Mereka berarguman berdasarkan dalil Al-quan.
Diantara dalil Al-quran yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam suara
Al-Hasyr (59):2:
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai pandangan .
Para ulam memahami ayat ini sebagai dalil melakukan ijtihad. Perintah
melakukan ijtihad dalam ayat ini berlaku secara umum yang berlaku untuk umat juga
untuk nabi yang dikenai titah allah dalam ayat ini. Mereka mengemukakan contoh
kasus ijtihad nabi dengan mengetengahkan asbabub nuzul (kasus yang menyebabkan
turunnya) surah al-Anfal: (8):67:
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi.
Dalam ayat ini Allah mencela Nabi karena meninggalkan tawanan perang badar
dengan uang tebusan. Kasus ini muncul waktu menghadapi tawanan perang badar.
2
Pada waktu nabi menanyakan pendapat abu bakar, abu bakar mengemukakan
pendapat supaya tawanan itu ditaahan saja dan tidak dibunuh dengan harapan berguna
bagi islam. Umar bin Khattab mengemukakan pendapat agar tawanan itu dibunuh saja
karena mungkin akan merugikan islam. Selanjutnya Nabi berfikir untuk
mempertimbangkan langkah yang harus diambil, kemudian mengambil kesimpulan
untuk menahan saja tawanan tersebut sebagaimana yang disarankan Abu Bakar.
Ternyata yang terjadi kemudian tawanan itu merugikan islam hingga Nabi menyesal
dan menangis bersama Abu Bakar. Dalam peristiwa inilah datangnya teguran Allah
tersebut.
2. Ijtihad Sahabat Pada Masa Nabi
Alasan sahabat berijtihad untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi, adalah karena
terpaksa untuk menetapkan ketentuan hukumnya sedangkan untuk menghubungi dan
meminta jawaban dari Nabi terlalu lama (memakan waktu) jika tempatnya jauh.
Adapun sahabat yang berijtihad dalam menetapkan hukum bagi kasus yang terjadi di
tempat yang dekat nabi, adalah karena ada rasa aman, seandainya salah pun tentu
akan segera dibetulkan nabi.
Diantara ijtihad yang dilakukan sahabat sewaktu nabi masih hidup di tempat yang
dekat nabi umpamanya amr bin Ash yang bertayamum padahal waktu itu ada air,
karena ia merasa khawatir jika berwudhu dengan air akan sakit, sebab cuaca sangat
dingin. Tindakan ini dilakukan Amr bin Ash karena ia menemukan kesukaran untuk
berwudhu memakai air karena cuaca dingin sebagaiman kesukaran berwudhu karena
tidak ada air. Ia juga mengetahui ada ayat al-Quran yang menerangkan: bila tidak
bertemu air tayamumlah. Apa yang dilakukan Amr bin Ash tersebut segera diketahui
Nabi. Ternayata nabi tidak melarang tindakan nya itu.
Ijtihad sahabat untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi adalah umpamanya yang
terjadi pada serombongan sahabat ketika melakukan perjalan dalam peristiwa ahzab.
Nabi menyuruh mereka untuk sholat ashar dikampung Bani-Quraizhah. Sewaktu
dalam perjalanan, mereka memasuki waktu ashar sebagian diantara mereka berhenti
dan melakukan sholat ashar dan tidak mau menanggukan shlat ashar nya. Sedangkan
yang sebagian lagi tidak mau berhenti untuk sholat dan terus melanjutkan perjalanan
hingga sampai di kampung Bani-Quraizhah waktu malam, baru melakukan sholat
ashar di sana
Dalam cerita tersebut, kedua kelompok sahabat itu telah melakukan ijtihad.
Kelompok pertama memahami suruhan Nabi itu menurut arti dan jiwanya sedangkan
kelompok yang kedua memahaminya menurut lahir (teks)-Nya. Apa yang dilakukan
oleh kedua kelompok ini dibenarkan Nabi.
3. Ijtihad Pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat pelaksanaan ijtihad oleh para sahabat semakin banyak terjadi.
Penyebab terjadinya ijtihad itu adalah karena masalah yang menuntut jawaban hukum
semakin banyak sebab semakin maju dan berkembangnya kehidupan sosial yang
memunculkan masalah baru yang memerlikan jawaban hukum, sedangkan wahyu
sebagai sumber hukum sudah terhenti sama sekali. Baik wahyu yang tertulis (alQuran) maupun wahyu tidak tertulis.
Ijtihad pada masa sahabat, contohnya ketika nabi baru wafat, timbul masalah siapa
yang akan menjadi pemimpin umat pengganti kedudukan beliau. Nabi sendiri tidak
mendapat apa-apa dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin pun tidak
ada yang secara tegas dan jelas menerangkan nya terjadilah perbincangan yang
meluas dengan menggunakan akal (daya nalar) sebagai dalil. Hasil dari perbincangan
itu adalah penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin yang disebut Khalifah. Dasar
pemikiran Abu Bakar ini ialah karena ia pernah menggantikan kedudukan nabi
sebagai imam shlat jamaah pada saat nabi sakit. Kalau Abu Bakar pernah menjadi
imam sholat yang merupakan pemimpin hal keagamaan, tentu tepat pula untuk
menduduki jabatan khalifah sebagai pemimpin keduniaan.
4. Ijtihad Pada Masa Tabiin
Masa Tabiin adalah suatu masa sesudah sahabat. Dalam masa Tabiin ini islam
semakin luas wilayahnya, kehidupan masyarakat juga semakin maju dan kompleks.
Penganut islam pun bukan lagi orang-orang arab, tetapi sudah berbaur dengan bangsa
lain yang berbeda-beda bahasanya. Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan
umat islam akan sumber islam yaitu al-Quran dan sunnah yang berbahasa arab itu
tidak lagi sesempurna orang sebelumnya disamping itu masalah kehidupan yang
memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan
ijtihad.
Said ibn al-Musayyab sebagai mujtahid Tabiin banyak menghasilkan ijtihad yang
kelihatannya berbeda dengan apa yang diketahui sebelumnya. Seperti pendapatnya
yang mengatakan bahwa seorang istri yang ditalak tiga yang akan kembali kepada
4
suaminya yang pertama adalah cukup jika telah melakukan akad nikah dengan suami
kedua tidak perlu bercampur terlebih dahulu. Beliau berdalil dengan umumnya firman
Allah dalam surat Al-Baqarah (2);230:
Jika dia (suami) mentalak (talak tiga), maka tidak halal dia (istri) baginya hingga dia
kawin dengan suami lain.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama sahabat yang berpedoman kepada
hadits nabi yang menyatakan bahwa istri yang ditalak 3 itu baru boleh nikah lagi
dengan suami pertamanya bila dia telah bercampur dengan suami kedua dan tidak
cukup dengan akad nikah.
Said Ibn Al-Musayyab juga menfatwakan bolehnya seoarng yang sedang sujud
untuk membaca al-Quran asal tidak memegang mushaf al-Quran itu.
Masa tabiin ini dalam hal pelaksaan ijtihad dikenal sebagai masa perantara antara
masa sahabat dengan imam mujtahid, karena metode ijtihad yang dilakukan ulama
sahabat diperdalam dan dipolakan dalam masa tabiin ini. Hasil yang telah dicapai
masa tabiin inilah yang dikembangkan secara sistematis dan terstrukutr oleh para
imam mujtahid.
5. Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada
abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal
dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya
mujtahid-mujtahid
terkemuka
yang
kemudian
dikenal
sebagai
hadits
ahad.
Yang
menjadi
pedoman
Ijtihad
dalam
Hijaz,
Yaman,
Kufah
dan
Basrsh.
Dan
beliau
dapat
masa
kebangkitan
atas
kesadaran
umat
dari
untuk
bangkit
dari
keterpurukan
tersebut.
mulalah
dalam
diadakan
diskusi-diiskusi
mazhab-mazhab
fiqih.
membahas
Sehingga
muncul
beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn Abd alWahab, Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-
Banna,
Abu
al-Ala
al-Maududi,
Wahbah
al-Zuhaili,Yusuf
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada al-Quran dan
Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti
hawanafsunya dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah denagn jalan ijtihad
dalam membahas kandungan ayat atau hadis yang barang kali tidak mudah untuk
dijangkau begitu saja atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang
disimpulkan dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum
sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam alQuran dengan persamaan Illatnya seperti dalam praktik Qiyas (analogi), atau dengan
10
D. Macam-macam ijtihad
Ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, adalah sebagai berikut:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkadang dalam
nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi
penunjukannya. Dalam hal ini, hukumannya tersurat dalam nash, namun tidak
memberikan penjelasan yang pasti. Ijtihad disini hanya memberikan
penjelasan hukum yang pasti dari nash itu. Umpamanya menetapkan
keharusan beriddah tiga kali suci terhadap istri yang dicerai dalam keadaan
tidak hamil dan pernah dicampuri, berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran
sutar Al-Baqarqh (2):228:
E. Syarat-syarat ijtihad
a. Menguasai bahasa Arab
11
imam
Syafii
dalam
bahwa
Barangsiapa
menguasai
al-Quran,
qauliyah
taqririyah
(perkataan),
filiyah
(perbuatan),
maupun
rasional
akan
mampu
membeda-bedakan
antara
mengetahui
jalan-jalan
qiyas.
Bahkan,
dia
juga
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Ijtihad
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syari yang bersifat
Amali melalui cara istinbath.
2. Perkembangan Ijtihad
a. Ijtihad pada masa nabi
b. Ijtihad sahabat pada masa nabi
c. Ijrihad pada masa sahabat
d. Ijtihad pada masa tabiin
e. Ijtihad pada masa imam madzhab
f. Ijtihad pada masa setelah imam madzhab
3. Dasar hukum Ijtihad
Dalam Al-Quran surat An-nisa ayat :59
4. Macam-macam Ijtihad
a. Ijtihad bayani
b. Ijtihad qiyasi
c. Ijtihad Istilahi
5. Syarat- syarat Ijtihad
Menguasi bahasa Arab, mengerti nsakh dan mansukh, mengerti ijma
dan qiyas.
6. Hukum melakukan Ijtihad
Adakalanya fardhu ain, fardu kifayah, sunnah dan haram.
14
DAFTAR PUSTAKA
Syarikuddin, amir. 2001. Ushul fiqh jilid ke 2. Lagas wacana ilmu. Jakarta.
15