Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

STRUMA

Dokter Pembimbing :
dr. Usman Wahid, Sp.B

Disusun oleh :
Sarah Eisya Putri (2010730161)

STASE BEDAH
BLUD RS SEKARWANGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014

STATUS PASIEN BEDAH

IDENTITAS
Nama

: Nn. AW

Usia

: 25 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Cisaat, Sukabumi

Pekerjaan

: Karyawan

Agama

: Islam

Masuk RS tanggal

: 03-10-2014

ANAMNESIS
Keluhan Utama

Benjolan di leher sejak 1 tahun SMRS.

Pasien datang dengan keluhan benjolan di leher sejak 1

Riwayat Penyakit
Sekarang

tahun

SMRS.

Benjolan

semakin

membesar,

tidak

nyeri,tidak ada gangguan menelan. Pasien mengeluh agak


sulit bernapas sejak 1 bulan SMRS. Tangan gemetar
disangkal. Jantung berdebar-debar disangkal. Penurunan
berat badan disangkal. Demam, pusing, mual muntah
disangkal. BAK dan BAB masih dalam batas normal.
Riwayat penyakit
Dahulu

Pasien belum pernah mengalami gejala seperti ini


sebelumnya.
Riwayat DM disangkal
Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat penyakit
Keluarga

Nenek pasien kanker di Omentum

Riwayat Pengobatan:

pasien pernah berobat ke dokter dan diberikan obat thyrax


(levothyroxin) selama 1 tahun, tetapi tidak ada perubahan
pada benjolan tersebut.

Riwayat Psikososial :

pasien mengatakan selalu mengkonsumsi garam yang


beryodium pada makanannya.
Rokok disangkal

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran

: Composmentis

Tanda- tanda Vital : TD : 120/70 mmHg


N : 88 X/menit
S : 36,4 OC
P : 22 X/menit
STATUS GENERALIS
Kepala

: normocepal, distribusi rambut merata

Mata

: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Hidung

: deviasi (-), sekret (-)

Mulut

: bibir kering (-), lidah kotor (-)

Leher

: tidak dilakukan

Thoraks
Paru
I : simetris, pergerakan dinding dada simetris
P : massa (-), nyeri tekan (-)
P : sonor pada seluruh lapang paru
A : vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung

I : Iktus cordis tidak terlihat


P : iktus cordis teraba
P : batas jantung normal
A : BJ1 & BJ2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
I : perut datar
P : tympani pd ke 4 kuadran abdomen
P : nyeri tekan (-), benjolan (-), h/l tidak teraba
A : peristaltik normal
Ekstremitas
Atas : akral hangat
Bawah : akral hangat
STATUS LOKALIS

Tidak dapat dinilai karena post operasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto Rontgen
-

Thoraks
- jantung tidak membesar, aorta dan kedua hilus baik
- trachea terdeviasi ringan ke kanan
- corakan broncho vaskular baik. Tak tampak infiltrat
- kedua sinus kostofrenikus dan diaphragma baik
- tulang-tulang costa baik
Kesan : jantung dan paru-paru tampak normal
Trachea terdeviasi ringan ke kanan

Jaringan lunak leher


- pada posisi AP . trachea tampak terdeviasi ringan ke kanan
- pada posisi lateral, tampak penebalan ringan jaringan lunak leher bawah
Kesan : suspect pembesaran kelenjar tiroid yang menyebabkan trachea terdeviasi
ringan ke kanan

RESUME :

Perempuan 25 th datang dengan keluhan benjolan di leher sejak 1 tahun SMRS.


Benjolan semakin membesar. Pasien mengeluh agak sulit bernapas sejak 1 bulan SMRS.
Pasien belum pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya. Nenek pasien kanker
Di omentum. Pasien pernah berobat ke dokter dan diberikan obat thyrax (levothyroxin)
selama 1 tahun, tetapi tidak ada perubahan pada benjolan tersebut. pasien mengatakan
selalu

mengkonsumsi

garam

yang

beryodium

pada

makanannya.

Kesadaran

Composmentis. Tanda- tanda Vital normal. Status generalis normal. Status lokalis tidak
dapat dinilai.hasil pemeriksaan penunjang rontgen thoraks, Trachea terdeviasi ringan ke
kanan. Rontgen leher, suspect pembesaran kelenjar tiroid yang menyebabkan trachea
terdeviasi ringan ke kanan.

DIAGNOSIS KERJA

Struma nodus non toksik

PENATALAKSANAAN

Insisi biopsi (jaringan di periksa ke PA)

DIAGNOSIS PASCA BEDAH : Lesi Folikuler

TINJAUAN PUSTAKA
STRUMA

Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma.
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De
Jong & Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin
berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal
dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut
timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami
desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai
duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih
menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya
abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual,
sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial
pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular
atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara
fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua
pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya
terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid.

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar
kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu
bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak.
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular.
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis
yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl.
Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan
ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga
penyebaran keganasan.
Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri
atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 m.
Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke
dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini
berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat
vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar
terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000).
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk
aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi
hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid.
Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon
tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya
menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin
(MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan
T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam


kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang.
Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid
(thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding
pre-albumine, TPBA).
Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4
endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3.
Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati,
ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed
T3, 3,3,5 triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme
pada tingkat seluler.
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang
menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan
terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap
rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid :


1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon
tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan
faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa
dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

1. Struma non toxic nodusa

Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejalagejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium
adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :

Obat

Propylthiouracil,

litium,

phenylbutazone,

aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan


resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak


cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin
dalam rumput liar.

4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar


tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanakkanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.

4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap

hormo

tiroid,

gonadotropin,

dan/atau

tiroid-stimulating

immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
2. Aktivasi reseptor TSH
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like
growth

factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.

4. Struma Toxic Diffusa


Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang
merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya.

Patofisiologi
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH,

TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin,


akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi,
atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan
hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini
terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk
inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise
yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar
hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan
lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang
diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik

Mengenai 1 lobus

Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan

Kadang Multilobaris

Fluktuasi (+)

2. Bentuk Noduler : Struma nodusa

Batas Jelas

Konsistensi kenyal sampai keras

Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma


tiroidea

3. Bentuk diffusa : Struma diffusa

batas tidak jelas

Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek

4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa

Tampak pembuluh darah

Berdenyut

Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa

Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein

Dari faalnya struma dibedakan menjadi :


1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :

Exopthalmus

Stelwag Sign : Jarang berkedip

Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli


waktu melihat ke bawah

Morbus Sign : Sukar konvergensi

Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi

Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup

4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus


5. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
1. Inspeksi

Benjolan

Warna

Permukaan

Bergerak waktu menelan

2. Palpasi

Permukaan, suhu

Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideus

STRUMA NON TOKSIK


Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme
disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan
di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma
multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar
berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin
tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya
bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos
(trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator.

Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma
nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus
(disfagia) atau trakea (sesak napas). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis
karena konsistensinya yang keras. Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara
parau.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher
sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah
bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita
datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada
kranium.
Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam
kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari
daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik).
Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai
peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit
yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai :

1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan
bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di
atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau
keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
o konsistensi
o mobilitas
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada
bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada
umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai
sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut
lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher,
umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi,
dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien
diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi

yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan
3 bentuk :
o nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. Dilakukan khusus pada keadaan
yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir
tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat
memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang
benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
interpretasi oleh ahli sitologi.

4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu
tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan

khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut


panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9 o C dan dingin apabila
<>o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya
panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan
pemeriksaan lain.
5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg)
serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataarata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Penatalaksanaan
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila
hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar
getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga
sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma
tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap

metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid
diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet
Dosis : 3x75 Ug/hari p.o
STRUMA TOKSIK
Struma difus toksik (Graves Disease)
Graves disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Graves terjadi
akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang
aktivitas tiroid itu sendiri.
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang
berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas
simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat
semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata
diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa
(proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler.

Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan

pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik,
sama seperti tirotoksikosis. Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan
didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas
subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang
berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Indikasi :
1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
5. Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid yang sering digunakan :
Obat
Karbimazol
Metimazol
Propiltourasil

Dosis awal (mg/hari)


30-60
30-60
300-600

Pemeliharaan (mg/hari)
5-20
5-20
5-200

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif


Indikasi :
1. pasien umur 35 tahun atau lebih
2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid

4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik


2. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid
dosis besar
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.
Struma nodular toksik
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummers disease. Paling sering
ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap
terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan,
lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien
tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.
Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot,
pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang
berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat
seperti yang terlihat pada penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak napas mungkin
dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosterna.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh
tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi
antitiroid biasanya tidak ditemukan.

Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala
tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak
efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini
membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi.Lab/UPF
Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo.Surabaya
Adediji., Oluyinka S.,2004.Goiter, Diffuse Toxic.eMedicine.www.emedicine.com
Davis, Anu Bhalla.2005, Goiter, Toxic Nodular. eMedicine.www.emedicine.com
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R.1998.Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.EGC.Jakarta

Djokomoeljanto, 2001.Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.Dalam :


Suyono, Slamet (Editor). 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI. Jakarta
Lee, Stephanie L.2004.Goiter, Non Toxic. eMedicine.www.emedicine.com
Mansjoer A et al (editor) 2001. Struma Nodusa Non Toksik. Kapita Selekta Kedokteran.,
Jilid 1, Edisi III.Media Esculapius.FKUI.Jakarta
Mulinda, James R., 2005.Goiter.eMedicine.www.emedicine.com
Sadler GP.Clark OH.van Heerden JA.Farley DR.1999.Thyroid and Parathyroid.In :
Schwartz.

SI.et

Hill.Newyork.

al.1999.Principles

of

Surgery. Vol

2.,

7th Ed.McGraw-

Anda mungkin juga menyukai