Anda di halaman 1dari 37

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial., bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang
disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan
sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah
rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tandatanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang
tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

Pertambahan penduduk

Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an

Industrialisasi

Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan


(PDPI,2010)

II. Faktor Resiko


1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
a) Riwayat merokok
Perokok aktif
1

Perokok pasif
Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

Ringan : 0-200

Sedang : 200-600

Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja


3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
III. Patogenesis
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini adalah
merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada selsel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat.
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus
yang kental dan adanya peradangan.(Antonio et all, 2007)
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas seperti pada gambar 1.

Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi

(Sumber :Antonio et all, 2007)

Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni :
peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas,
dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim).
Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma.
(Corwin EJ, 2001)
Tabel 1. Patogenesis PPOK

(Sumber : PDPI,2010)

IV. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007,
dibagi atas 4 derajat :(Antonio et all, 2007)
2.4.1

Derajat I: PPOK ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara
ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin
tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2.4.2

Derajat II: PPOK sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 < 80%),
disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai
mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
2.4.3

Derajat III: PPOK berat

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP 1 / KVP
< 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat,
penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas
hidup pasien
2.4.4

Derajat IV: PPOK sangat berat

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP 1 / KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi)
atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung
kanan.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu
diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1
V. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
4

Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja


Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi

Suara napas vesikuler normal, atau melemah


Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh
Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan
ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi pada gagal napas kronik.
VI. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
Faal paru
1. Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( %).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
6

2. Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Darah rutin : Hb, Ht, leukosit
Radiologi
1.

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

2.

Pada emfisema terlihat gambaran :


- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

3.

Pada bronkitis kronik :


- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus
Faal paru
1. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

2. DLCO menurun pada emfisema


3. Raw meningkat pada bronkitis kronik
4. Sgaw meningkat
5. Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
Uji latih kardiopulmoner
1. Sepeda statis (ergocycle)
2. Jentera (treadmill)
3. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya
tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :


- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi : Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis
serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks
polos

- Scan ventilasi perfusi : Mengetahui fungsi respirasi paru


Elektrokardiografi :

- Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan


hipertrofi ventrikel kanan.
Ekokardiografi :

- Menilai funfsi jantung kanan


Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
VII. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding PPOK Adalah
i. Asma
ii. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah

penyakit

obstruksi saluran

napas

yang

ditemukan

pada

penderita

pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.


iii. Pneumotoraks
iv. Gagal jantung kronik
v. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed

lung.

vi. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.
vii. Adapun karakteristik dari Asma, PPOK, dan SOPT pada tabel 2

Tabel 2. Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

(Sumber : PDPI,2010)
VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
-

Mengurangi gejala

Mencegah eksaserbasi berulang

Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi

10

2. Obat obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi
atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan

11

keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat obatan

Macam obat dan jenisnya

Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja )

Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

Kapan oksigen harus digunakan

Berapa dosisnya

4. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen


12

Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

5. Tanda eksaserbasi :

Batuk atau sesak bertambah

Sputum bertambah

Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi


7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok
permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan

Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti
merokok

Segera berobat bila timbul gejala

Sedang

Menggunakan obat dengan tepat

Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

Program latihan fisik dan pernapasan

13

Berat

Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).
Macam - macam bronkodilator :
-

Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
-

Golongan agonis beta 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
-

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

14

Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
-

Lini I : amoksisilin
makrolid

Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat


Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik

15

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati

Tabel 3. Penatalaksanaan PPOK

16

(Sumber : PDPI,2010)
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ - organ lainnya.
a. Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
17

- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
b. Indikasi
-

Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain
Macam terapi oksigen :
-

Pemberian oksigen jangka panjang

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di
rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat
daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat
di rumah dibedakan :
-

Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak


Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama

bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan
nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia
yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan
18

menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter


digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai
saturasi oksigen di atas 90%.
c. Alat bantu pemberian oksigen :
-

Nasal kanul

Sungkup venturi

Sungkup rebreathing

Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas
darah pada waktu tersebut.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
a. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
-

Ventilasi mekanik dengan intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik
dan dapat digunakan selama di rumah.

Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure
(NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
-

Volume control

Pressure control
19

Bilevel positive airway pressure (BiPAP)

Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long
Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :
-

Analisis gas darah

Kualiti dan kuantiti tidur

Kualiti hidup

Analisis gas darah

b. Indikasi penggunaan NIPPV


-

Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal paradoksal

Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35

Frekuensi napas > 25 kali per menit

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping
harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi
akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
-

Penurunan berat badan

Kadar albumin darah

Antropometri
20

Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi
akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn
kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal
feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit
oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada
PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi
muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang
terjadi adalah :
-

Hipofosfatemi

Hiperkalemi

Hipokalsemi

Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
-

Memperbaiki fungsi paru

Memperbaiki mekanik paru

Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi

Memperbaiki kualiti hidup


21

Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :


1. Bulektomi
2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey (LVRS)
3. Transplantasi paru
Tabel 4. Algoritma PPOK

(Sumber : PDPI,2010)
IX. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
-

Gagal napas kronik

Gagal napas akut pada gagal napas kronik


22

2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
-

Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :

Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

Bronkodilator adekuat

Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur

Antioksidan

Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal napas kronik,
ditandai oleh :
-

Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

Sputum bertambah dan purulen

Demam

Kesadaran menurun

Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan
X. Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK
-

Hindari asap rokok


23

Hindari polusi udara

Hindari infeksi saluran napas berulang

2. Mencegah perburukan PPOK


-

Berhenti merokok

Gunakan obat-obatan adekuat

Mencegah eksaserbasi berulang

24

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI

Nama

: Tn. A

Umur

: 70 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Status pernikahan

: Menikah

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Ds. Kreyo, Klangenan

Tanggal masuk RS

: 19 Oktober 2015

Tanggal keluar RS

: 22 Oktober 2015

II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)


Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang dengan keluhan utama sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Sesak napas makin memberat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak napas tidak dipengaruhi oleh aktivitas pasien sehari-hari. Sesak napas
berkurang dalam keadaan bersandar atau sedang duduk. Sesak napas timbul ketika
berada di lingkungan berdebu dan penuh asap. Akibat sesaknya pasien mengeluh tidak
bisa tidur setiap harinya. Pasien biasanya tidur menggunakan 2 3 bantal. Pasien
mengeluh mulai batuk-batuk sejak kurang lebih 10 tahun sebelum masuk rumah sakit.

25

Setiap hari, pasien bisa mengalami batuk sebanyak 5-6x dan selalu
mengeluarkan dahak berwarna putih kental kira-kira 1 sendok makan. Saat batuk
pasien merasakan adanya sedikit nyeri dada atau rasa sakit pada dadanya. Pasien juga
mengeluh demam disertai nyeri kepala sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam yang dialami hilang timbul dan kadang bersamaan ketika pasien merasa
sesak. Nyeri kepala yang dirasakan pasien tidak menentu atau hilang timbul. Sering
lemas akibat sesak yang dialaminya.

Pasien mengaku mual dan nafsu makan

menurun
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat DM (-)

Riwayat Asma (-)

Riwayat Hipertensi (+) Sejak 10 tahun yang lalu namun jarang kontrol ke
dokter.

Riwayat Hemoroid (+)

Riwayat Alergi (-)

Riwayat Penyakit dalam keluarga


Riwayat kencing manis pada Ibu pasien
Riwayat penyakit lain yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat Riwayat Kehidupan Pribadi, Sosial, dan Kebiasaan
Pasien adalah seorang petani sering menghirup asap dan debu. Pasien
mempunyai riwayat merokok selama 40 tahun satu bungkus per hari dan sudah
berhenti 7 tahun terakhir dan tidak memiliki riwayat minum minuman beralkohol.
Riwayat Pengobatan
Saat sesak dan batuk hanya membeli obat batuk OBH di warung
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat ataupun jenis makanan tertentu disangkal oleh pasien.
26

Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di rumah padat penduduk, penuh dengan asap dan debu.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status generalis
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tekanan darah

: 160/110 mmHg (Hipertensi Derajat II JNC VII)

Nadi

: 86 x/menit

Suhu

: 37,3 C

Pernapasan

: 30 x/menit

Tinggi badan

: 158 cm

Berat badan

: 45 kg

Kesan Gizi

: Kurang (BMI = 18,02)

Keadaan Spesifik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi dan jaringan parut (-), pigmentasi masih dalam
batas normal, keringat umum dan lokal (+), turgor tidak menurun.
Kelenjar Getah Bening
Kelenjar getah bening submandibula, leher, axilla dan inguinal tidak ada
pembesaran.
Kepala
27

Normocephal, ekspresi biasa, rambut rontok (-).


Mata
Eksopthalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), conjunctiva palpebra
pucat (+) pada kedua mata, sklera ikterik (-) pada kedua mata, pupil isokhor, reflek
cahaya normal, pergerakan bola mata ke segala arah baik, lapangan pandang luas.
Hidung
Septum nasal normal, lapisan mukus normal, epistaksis (-), pernapasan cuping
hidung (-)
Telinga
Kedua meatus akustikus dalam keadaan normal, lubang telinga cukup bersih,
tophi(-), nyeri tekan proc. mastoideus (-), selaput pendengaran tidak ada kelainan.
Mulut
Bibir simetris, pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), rhagaden(-), stomatitis (-),
atropi papil (-), sianosis (-).
Leher
Pembesaran

kelenjar

tiroid

(-),

JVP

meningkat,

hipertrofi

M.

Sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk (-)


Dada
Paru-paru
Inspeksi

: statis & dinamis simetris kanan sama dengan kiri

Palpasi

: fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi

: sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, tetapi suara nafasnya
melemah, expirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki +/+

28

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS 5 LMCS

Perkusi

: batas atas jantung atas ICS 2, batas kanan LS Dextra, atas kiri LMC
sinistra

Auskultasi

: HR 110 x/menit, Bunyi Jantung reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: Cembung, lemas

Palpasi

: Nyeri tekan (+) di epigastrium, Hepar/Lien sulit dinilai

Perkusi

: Shifting dulness (+), undulasi (+)

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal


Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas
Ekstremitas atas

: nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+), jaringan parut
(-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat (+), jari tabuh (-)
turgor kembali lambat (-)

Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), gerakan bebas, pitting edema (+), jaringan parut
(-), pigmentasi normal, telapak kaki pucat (+), jari tabuh (-), turgor
kembali lambat (-)

29

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratoium
Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Leukosit

19.890

4000 - 11000r/uL

Eritrosit

4.71juta

4.4 6 juta/uL

Hb

13.3

13,0-18,0 g/dL

Ht

38,5 %

39,0-54,0 %

Trombosit

424.000

150-440 ribu/uL

MCV

81,8

80-100

MCH

28.2

26-34 pg

MCHC

34,5

33 37 g/dL

BASOFIL

1,2

0 1%

NEUTROFIL

85,0

50 70 %

GDS

101

70 140 mg

2. Hasil EKG

30

3. Hasil Rontgen
Lembar Expertise :
Klasifikasi Aorta
Cor tidak membesar
Pulmo : Hili normal
Corakan paru bertambah
Tidak terdapat perebercakan lunak
Kesan : Tidak tampak TB paru aktif
Atherosklerosis aorta
Tidak tampak pembesaran jantung
Skoliosis vertebra torachalis

V. RESUME

31

Seorang laki-laki Tn. A usia 70 tahun datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan
keluhan utama sesak nafas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas
yang dirasakan makin lama makin memberat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak yang dirasakan oleh pasien tidak dipengaruhi oleh aktivitas pasien sehari-hari,
berkurang jika pasien dalam keadaan bersandar atau sedang duduk, timbul ketika
sedang berada di lingkungan berdebu dan penuh asap. Pasien juga mengeluh febris
disertai chepalgia sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Febris yang dialami hilang
timbul dan kadang bersamaan ketika pasien merasa dyspnoe, sedangkan chepalgia yang
dirasakan pasien tidak menentu atau hilang timbul. Pasien juga mengeluh batuk batuk
sejak 10 tahun sebelum masuk rumah sakit namun tidak pernah diperiksakan ke dokter.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang. Tekanan darah
pasien 160/110 dimana merupakan hipertensi derajat II menurut JNC7. Pasien tampak
dyspnoe dengan RR 30x/menit. Konjungtiva pasien anemis. Pada perkusi paru
ditemukan suara redup pada basal hemithoraks dextra. Dan pada asukultasi terdengar
wheezing pada basal di kedua lapang paru. Pada inspeksi leher terlihat vena jugularis
yang tampak berdenyut, dinding dada pasien yang tampak cembung (barrel chest), dan
mulut pasien yang tampak mencucu (pursed lips). Dari hasil perkusi thorax, batas
jantung kiri bergeser ke kiri sehingga terletak di 3 cm dari Midclav ke V sebelah kiri.

VI. DAFTAR MASALAH


1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis Eksaserbasi Akut
2. Congestif Heart Failure
VII. PEMBAHASAN KASUS
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Anamnesis
Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan utama pasien adalah sesak sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dirasakan makin lama makin
memberat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dirasakan oleh
pasien tidak dipengaruhi oleh aktivitas pasien sehari-hari. Sesak berkurang jika
32

pasien dalam keadaan bersandar atau sedang duduk. Pasien juga mengaku
sesaknya timbul ketika sedang di lingkungan berdebu dan penuh asap. Dari
riwayat kebiasaan pasien mengaku perokok berat sejak 40 tahun yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan batuk disertai dahak yang banyak sekitar 1 sendok makan
setiap kali batuk
Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik auskultasi paru didapatkan suara wheezing
pada saat ekspirasi, Dinding dada yang sedikit mencembung (Barrel chest) dan
pernafasan tambahan lewat mulut dengan mencucu (Pursed lips), vocal fremitus
kanan lebih besar daripada kiri
Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil pemeriksaan penunjang yaitu hematologi didapatkan
leukositosis dan dari foto thorax AP didapatkan Corakan bronkovaskular yang
bertambah.
2. Congestif Heart Failure
Anamnesis
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat hipertensi
yang sudah lama dan tidak terkontrol. Selain itu pasien juga sering mengeluhkan
lemas, batuk-batuk, dan sesak nafas. Sesak nafasnya timbul ketika pasien
berbaring (ortopnoe) dan berkurang pada saat bersandar atau duduk.
Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien yang
tinggi yaitu 160/110 (Hipertensi derajat II

menurut JNC VII) dan dari

pemeriksaan perkusi batas jantung diduga terdapat kardiomegali dimana batas


kiri jantung bergeser 3 cm dari midclav 5 kiri.
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Sanantionam

: dubia ad malam
33

Ad Fungsionam

IX.

: ad malam

FOLLOW UP
Tanggal

Subyektif

19/10/15

Sesak, batuk

Obyektif
berdahak putih,TD : 140/ 60

nafsu makan menurun, BAB


normal, BAK tersendat, sulit
tidur

Analisis
-PPOK

N : 111x/menit

-CHF

S : 36,5'C

-Hipertensi

RR : 26x/min

-CAD

Lab
L : 19,89 ribu/uL

34

20/10/2015

Sesak,batuk

dahak

warnaTD : 150/70

putih,nafsu makan menurun,

sakit

kepala, sulit tidur

21/10/2015

Sesak agak

-PPOK

N : 96x/min

-CHF

S : 37,2 C

-Hipertensi

RR : 24x/min

-CAD

berkurang, batukTD : 130/90

berkurang namun masih berdahak,


mual - , muntah - , nafsu makan

-PPOK

N : 90x/min

-CHF

sudah mulai normal, sulit tidur padaS : 36C


malam hari

RR : 27x/min

22/10/2015 Sesak masih dirasa , batuk berdahak,TD : 170/100


nafsu makan normal, gusi nyeri
sariawan

-Hipertensi
-CAD

-PPOK

N : 88x/min

-CHF

S : 36 C

-Hipertensi 35

RR : 28x/min

-CAD

DAFTAR PUSTAKA
1. Andika 2009. PPOK dan Nutrisi, PPOK dan Antibiotik, PPOK Eksaserbasi Akut.
Tersedia di: hhtp://www.andikacp.wordpress.com/2009/07/26/PPOK-eksaserbasiakut
2. Anonim

2008.

Konsensus

PPOK.

Tersedia

di:

http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-ppok
3. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, p. 16-19 Didapat
dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
4. BMJ.

ABC

of

COPD.2006.

[Cited]

17

Maret

2011.

Didapat

dari:

Tersedia

di:

http://www.bmj.com/content/332/7552/1261.full
5. Corwin EJ 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, p. 437-8.
6. DMI.

2006.Acuan

Penanganan

PPOK

Terkini.

www.kalbe.co.id/news/seminar/acuanpenangananppokterkini
7. Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et all 2011. Inhaled Corticosteroids in
Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Journal of

American Medical Association, p. 2408-2416.


8. Irwanto 2010. Penyakit Paru Obstruktif Kronis.. Didapat dari: hhtp://IrwantoFK04USK.blogspot.com/2010/08/Penyakit-Paru-Obstruktif-Kronik-PPOK.html
9. Rahajeng 2009. Penggunaan Rasional Antibitica Pada Pasien PPOK. . Didapat
dari:http://dokterblog.wordpress.com/2009/05/01/penggunaan-rasional-antibiotikpada-pasien-ppok/
10. Rani AA 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI, p. 105-8
11. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 9845.
12. Roberto RR et all 2007. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and
Prevention. USA. Tersedia di http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
13. Sin DD, McAlister FA, Paul SF, et all 2003. Management of chronic obstructive
pulmonary disease (COPD). Journal of American Medical Association, p 23022312.

36

14. Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta:. p. 1-18.
15. Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator therapy for COPD. New England Journal
Medicine. Diakses tgl 6 Agustus 2011.

37

Anda mungkin juga menyukai