Penyakit infeksi bakteri yang menular dan disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis
yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi.
Penularannya melaui droplet.
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di
paru/berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Kuman Tuberkulosis
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.
Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang
gelap dan lembab.
Risk Factor
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic),
seperti tuberkulosis, maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
Patofisiologi
Kuman Droplet nuclei terhirup menempel pada saluran nafas menetap di
jarignan paru membentuk sarang (Ghon).
Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian
paru menjadi TB milier.
Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara
membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks
primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang
masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang
terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.
Dx:
1. Anx
Batuk, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif (sputum). Keadaan lanjut dapat terjadi
batuk darah.
Sesak napas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltratnya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Nyeri dada timbul bila infiltrate radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis.
Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan.
2. Pmx F
Dapat ditemukan konjungtiva anemis, demam, badan kurus, berat badan menurun.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apex paru, bila
dicurga adanya infiltrate yang luas, maka pada perkusi akan didapatkan suara
redup, auskultasi bronchial dan suara tambahan ronki basah, kasar, dan nyaring.
Tetapi bila infiltrate diliputi penebalan pleura maka suara nafas akan menjadi
vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang luas akan ditemukan perkusi
hipersonor atau tympani.
3. Pmx P
Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada
pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di
daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus
menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarangsarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan
dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat
maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut
tuberkuloma.
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang
sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan
emfisema.
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di
bawah ini:
Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau
hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai
penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka
pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak
ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan
dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita
tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan
pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA
negatif rontgen positif
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana bisa
dilihat di bawah ini:
Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu
(SPS)
Hasil BTA
+++
++ + - -
Hasil BTA
+--
Periksa Rontgen
Dada
Hasil
Mendukung
TB
Hasil BTA
---
Beri Antibiotik
Spektrum Luas
Hasil Tidak
Mendukung
TB
Tidak Ada
Perbaikan
Ada
Perbaikan
Hasil BTA
---
Hasil BTA
+++
++ + - -
Hasil
Mendukun
g TB
TB BTA
Negatif
Rontgen
Positif
Hasil
Rontgen
Negatif
Bukan
TBC,
Penyakit
Lain
positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
sesuai TB aktif
Pasien yang pada pemeriksaan sputum tidak ditemukan BTA
tetapi pada biakannya positif
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit
mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih
tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain
juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer,
gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun.
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes
tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium
patogen lainnya.
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini
adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,
akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat
limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis Ekstraparu
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Tx
Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di mana obat
bersifat membunuh kumankuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan
aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat
(metabolismenya kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil
yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka
kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai sifat
bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih
berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid
mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati
urutan lebih bawah.
Kemoterapi TB
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Jenis OAT
Sifat
Isoniazid (H)
Bakterisid
terkuat
Keterangan
Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang.
Mekanisme
kerjanya
adalah
menghambat cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin (R)
bakterisid
Pirazinamid (Z)
bakterisid
Streptomisin (S)
bakterisid
Etambutol (E)
bakteriostatik
Fase lanjutan
2 EHRZ (SHRZ)
6 HE
2 EHRZ (SHRZ)
4 HR
2 EHRZ (SHRZ)
4 H 3 R3
pulmonal berat
II
III
IV
Kambuh,
dahak
positif;
pengobatan gagal; pengobatan
setelah terputus
2 SHRZE / 1 HRZE
5 H3R3E3
2 SHRZE / 1 HRZE
5 HRE
2 HRZ atau
2H3R3Z3
6 HE
2 HRZ atau
2H3R3Z3
2 HR/4H
2 HRZ atau
2H3R3Z3
2 H3R3/4H
TIDAK DIPERGUNAKAN
(merujuk ke penuntun WHO guna
pemakaian obat lini kedua yang
diawasi pada pusat-pusat spesialis)
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program penanggulangan
tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I: 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama 2 bulan
obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan
menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6
HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang
dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II: 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E, setiap
hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA
menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif
pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir
bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan
dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan,
yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara harian
maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien:
Jenis
Isoniazid (H)
Dosis
Rifampisin (R)
harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
harian = intermiten : 10 mg/kgBB
Pirazinamid (Z)
harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat kombinasi dosis
tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk menggantikan paduan obat
tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket
dengan tujuan memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan
sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet.
Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini
dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT
untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Dosis Paduan OAT KDT Kategori I: 2(RHZE)/4(RH)3
Berat badan
30 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 4KDT
38 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
55 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
> 71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT
Selama 2 Minggu
30 37 kg
2 tab 4KDT
38 54 kg
3 tab 4KDT
4 tab 4KDT
5 tab 4KDT
30 37 kg
2 tablet 4KDT
38 54 kg
3 tablet 4KDT
55 70 kg
4 tablet 4KDT
71 kg
5 tablet 4KDT
Ringan
Berat
Isoniazid (H)
Hepatitis, ikhterus
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)
Reaksi hipersensitifitas:
demam, mual dan kemerahan
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol,
seperti:
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer
dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
Hasil pengobatan tuberkulosis
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita
tuberkulosis paru dibedakan menjadi:
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali atau
lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu
selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up dengan
hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya
sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terkhir masih
positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari
pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan
sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab
kematiannya.
Evaluasi pengobatan
Terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu
selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara
klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang,
batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991)
menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan
6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan
sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan
biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan
pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain
yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
Komplikasi