Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu yang paling atas
kubah tulang-tulang kartilago dan lobules hidung. Belahan bawah aperture
piriformis memisahkan hidung luar dan hidung dalam. Di sebelah dalam berupa
prosesus maksilaris disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan bagian
lamina perpendikularis tulang ethmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan
bagian dari prosesus maksilaris media yang meliputi premaksila anterior, kubah
kartilago dibentuk oleh kartilago lateral superior yang berfusi dengan tepi atas
kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus
hidung yang dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateral inferior. Lobules
menutup vestibulum nasi dan dibatasi disebelah medial oleh kolumela, di lateral
oleh ala nasi dan anterosuperior oleh ujung hidung. Jaringan lunak diantara
hidung luar dan dalam dibatasi di bagian inferior oleh Krista piriformis, medial
oleh septum nasi dan tepi bawah kartilago lateral superior sebagai batas lateral
dan superior.
Lamina perpendikularis yang membentuk bagian atas septum nasi melintas
kebawah dari lamina perpendikularis ossis ethmiodalis. Vomer, sebuah tulang
yang tipis dan merupakan lanjutan lamina perpendikularis ossis ethmoidalis

kebawah, membentuk bagian posterior septum inferior nasi. Bagian ini


berhubungan dengan lamina perpendikularis ossis ethmoidalis dan kartilago
septum nasi. Bagian hidung yang berupa tulang yang terdiri dari kedua tulang
nasalis, prosesus maksila dan pars nasalis tulang frontalis. Bagian tulang rawan
dan hidung terdiri dari dua kartilago nasi lateralis dan dua kartilago alares, dan
sebuah kartilago septum nasi.
Cavitas nasi yang dapat dimasuki lewat naresanterior berhubungan dengan
nasofaring melalui kedua choane (nares posterior). Atap cavitas nasi berbentuk
lengkung dan sempit kecuali pada ujungnya di sebelah posterior. Concha nasalis
superior, media, inferior membagi cavitas menjadi:
1. Meatus nasalis superior yaitu sebuah lorong yang sempit antara konka
nasalis superior dan media
2. Meatus nasalis media, bagian anterosuperior meatus nasalis medius ini
berhubungan dengan sebuah lubang yakni, infundibulum kedalam sinus
frontalis. Sinus maksilaris juga bermuara kedalam meatus nasalis
medialis.
3. Meatus nasalis inferior yaitu sebuah lubang lorong horizontal yang
terletak

inferolateral

terhadap

konka

nasalis

inferior.

Duktus

nasolakrimalis bermuara di sini


4. Hiatus semilunaris adalah sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran
dan merupakan muara sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior dan sinus
maksilaris.

Gambar1. Anatomi Hidung

Gambar 2: Anatomi Hidung


2.2 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid
kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan
kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi
udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada
atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel
anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas
konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara
kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus
paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang
dialirkan ke mukosa hidung.

Gambar 3: Anatomi Sinus Paranasal

2.2.1 Embriologi Sinus Paranasal


a. Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada usia 8
tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun
b. Sinus ethmoidalis sudah ada sejak anak lahir
c. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun
d. Sinus maxiilaris sudah ada sejak lahir dan mencapai ukuran maksimal (15
ml) pada saat dewasa

Gambar
4.

Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal


2.2.2 Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan
sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal
yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di
sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium
sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih
kearah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang
merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah
lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun.
Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun,

lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian
berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus
ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara
usia 15 dan 18 tahun.

Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke


fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar
antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os
etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis.
Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui
lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding
medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium
tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini
mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam

rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan
gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan
kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa
saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke
mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan
gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan rinosinusitis.
2) Rinosinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostium sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
rinosinusitis.
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadangkadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh

sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam
1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau
lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah
ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal
yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4
bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok
sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi
lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai
masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus

etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius,
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan rinosinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan rinosinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
2.2.5 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya
berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum
anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang
sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid
dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama
lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga
salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid


posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm.
Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak
sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons.
2.3. Komplek Osteo-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus ethmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan komplek osteo meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum ethmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula ethmoid dan sel-sel ethmoid anterior dengan ostiumnya
dan ostium sinus maksila.
2.4 Fungsi sinus paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah :
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur


kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

6. Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
2.5. Rinosinusitis
2.5.1 Definisi
Rinusinositis adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk
hidung

tersumbat/obstruksi/kongesti

atau

pilek

anterior/posterior):
-

Nyeri wajah
hilangnya penghidu.

Dan salah satu dari temuan nasoendoscopy:


- polip dan/atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau
- edema/obstruksi mukosa di meatus medius.
Dan atau
Gambaran tomografi computer :
- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal.

(sekret

hidung

Sesuai

anatomi

sinus

yang

terkena

dapat

dibagi

menjadi

rinorinosinusitis maksila, rinorinosinusitis etmoid, rinosinusitis frontal dan


rinosinusitis sphenoid. Bila peradangan ini mengenai beberapa sinus
disebut multisinus, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
panrinosinusitis. Dari ke empat rinosinusitis paranasal itu, sinus maksila
merupakan sinus yang paling sering terinfeksi.
2.5.2 Etiologi
Beberapa faktor etiologi rinosinusitis antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hurmonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan antomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, tonsil, infeksi gigi, serta kelainan imunologi.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
rinosinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rhinorinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid
dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. keadaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. Berikut nama bakteri,
virus dan jamur yang sering menginfeksi antra lain :

a. Bakteri

Streptococcus

pneumonia,

Haemophillus

influenza,

streptococcus group A, Staphylococcus aureus, Neisseri, Klebsiela,


Pseudomonas, Moraxella catarralis.
b. Bakteri Anaerob : Fusobakteri.
c. Visrus : Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus.
d. Jamur : Rhizopus, Rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamela,
Aspergilus, Fusarium.
2.5.3 Klasifikasi
Secara klinis rinosinusitis dibagi atas:
a. Rinosinusitis akut, bila infeksi beberapa hari ampai 4 minggu.
b. Rinosinusitis subakut, bila infeksi antar 4 minggu sampai 3 bulan.
c. Rinosinusitis kronis, bila infeksi lebih dari 3 bulan.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya rinosinusitis dibagi atas :
a. Rhinogenik (penyebab kelainan tau masalah di hidung), segala sesuatu
yang

menyebabkan

sumbatan

pada

hidung

dapat

menyebabkan

rinosinusitis. Contohnya rhinitis akut (influenza), polip, dan septum


deviasi.
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelinan gigi), yang sering
menyebabkan rinosinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas
(premolar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus
pneumoniae,

Hemophilus

influenza,

Steptococcus

viridians,

Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis.


2.5.4 Rinosinusitis Akut.
a) Rinosinusitis maksilaris
Rinosinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi
saluran nafas yang ringan. Faktor predisposisi lokal paling sering
ditemukan yaitu alergi hidung kronik, benda asing dan deviasi septum
nasi.

Deformitas

rahang

wajah,

terutama

palaktoskisis

dapat

menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak cenderung menderita

infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidensi yang lebih
tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10 %
infeksi rinosinusitis maksilaris akut.
Gejala : demam, malise dan nyeri kepala yang tidak jelas, wajah
terasa bengkak, penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak. Terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Secret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif dan nonproduktif
sering kali ada.
Gambaran radiologi : rinosinusitis maksilaris akut mula-mula
berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap
akiat mukosa yang bengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang
memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gabaran air-fluid level.
Terapi: dengan antibiotic spectrum luas seperti amoksilin,
ampisillin atau eritromisin plus sulfonamide, dengan alternative lain
berupa amoksisilin/klavulanat, sefaklor, sefuroksim dan trimetoprim
plus sulfonimade. Dekongenstan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat,
dan tetes hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat
digunakan selama beberapa hari pertama infeksi, namun kemudin harus
dihentikan. Kompres hangat pada wajah dan analgetik seperti aspirin
dan asetaminofen untuk meringankan gejala. Kegagalan penyembuhan
merupakan indikasi irigasi antrum.
Rinosinusitis maksilaris dengan asal geligi, penyebab tersering
adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong
kecil tulang diantara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat,

infeksi lain seperti abses apical atau penyakit periodontal dapat


menimbulkan kondisi serupa. Prinsip terapi pemberian antibiotic, irigasi
sinus dan koreksi gangguan geligi.
b) Rinosinusitis Etmoidalis
Rinosinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lzim pada anak,
seringkali bermanifetasi sebagai selulitis orbita. Pada dewasa, seringkali
bersama dengan rinosinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta
rinosinusitis frontalis.
Gejala : nyeri tekan diantara kedua mata dan diatas jembatan
hidung, drainase dan sumbatan hidungnya. Pada anak, dinding lateral
labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu
cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Terapi: pemberian antibiotik sistemik, dekongestn hidung, dan obat
semprot atau tetes vasokonstriktor topical. Komplikasi atau perbaikan
yang tidak memadai merupakan indikasi untuk etmoidektomi.
c) Rinosinusitis Frontalis
Rinosinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan
infeksi sinus etmoidalis anterior.
Gejala: nyeri berlokasi diatas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda
hingga menjelang malam. Pasien biasanya mengatakan bahwa dahi
terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan
supraorbita.
Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau
perkusi diatas daerah sinus yang terinveksi.

Terapi: pemberian antibiotik, dekongestn dan tetes

hidung

vasokonstriktor. Kegagalan penyembuhan segera atau timbulnya


komplikasi memerlukan drainase sinus frontalis dengan teknik trepanasi.
d. Rinosinusitis sfenoidalis
Rinosinusitis sfenoidalis akut terisolasi sangat jarang. Gejalanya
berupa nyeri kepala yang mengarah ke vertex cranium. Namun penyakit
ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinsitis dan oleh karena itu
gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lain.
2.5.4.1 Rinorinosinusitis akut pada dewasa
Diagnosis:
Berdasarkan gejala, gejala kurang dari 12 minggu, onset tiba-tiba
dari

dua

atau

lebih

gejal,

salah

satunya

termasuk

hidung

tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek: nyeri wajah/rasa tertekan di


wajah, penurunan penghidu dan riwayat alergi (bersin, ingus encer seperti
air, hidung gatal dan mata gatal serta berair).
Common cold/rinorinosinusitis viral akut didefinisikan sebagai lamanya
gejala kurang dari sepuluh hari, sedangkan rinorinosinusitis non-viral
akut didefinisikan sebagai perburukan gejala atau gejala menetap setelah
sepuluh hari dengan lama sakit <12 minggu.

Skema 1. Penatalaksanaan Rinorinosinusitis akut pada dewasa.


Keadaan yang harus segera dirujuk /di
rawat:
-edema periorbita
- pendorongn letak bola mata
- Penglihatan ganda
- oftalmoplegi
- penurunan visus
- nyeri frontal unilateral/bilateral
Steroid topikal
Antibiotic + steroid-topikal
bengkak daerah frontal
- tanda meningitis atau tanda fokal
Perbaikan dalam 48
Tidak ada perbaikan dalam
48
neurologi
jam
jam
*demam
> 38
C, nyeri
Teruskan
terapi
untuk hebat Rujuk ke dokter spesialis
7-14 hari

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/pilek:
- nyeri di wajah.
- penghidu terganggu.
Gejala
< 5 hari/membaik
Gejala menetap/memburuk
Pemeriksaan:
rinoskopi anterior
setelahnya
setelah 5 hari
Common cold
sedang
Berat *
Pengobatan simptomatik
Tidak ada perbaikan
setelah 14 hari
Rujuk ke dokter spesialis

2.5.4.2 Rinorinosinusitis pada anak


Diagnosis:
Gejala, onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya
termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek :
- Nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
- Penurunan/hilangnya penghidu
Pemeriksaan (jika dapat dilakukan)
- Pemeriksaan rongg hidung : edema, hiperemis, pus
- Pemeriksaan mulut: post nasal drip
- Singkirkan infeksi gigi geligi
Pemeriksaan nasoendoskopi
Skema 2. Pentalaksanaan rinorinosinusitis akut pada anak

Gejala tiba-tiba 2/lebih, yang satunya adalah sumbatan


hidung atau pilek disertai atau tanpa:
- nyeri di wajah.
- penghidu terganggu
Gejala
< 5 hari
atau(nasoendoskopi jika mungkin)
Gejala menetap/memburuk
Rinoskopi
nterior
sudah membaik
setelah 5 hari
Common cold
sedang
Gejala membaik

Asma, bronchitis
kronik

berat

Tidak toksik

tidak

ya

Antibiotik oral

Gejala membaik

Antibiotic oral amoksilin


(lini pertama)

Tidk ada perbaikn dalam


48 jam

Demam > 38 nyeri


hebat
Toksik, sakit
berat
Rawat di RS
antibiotic iv

Rawat di RS

2.5.5 Rinosinusitis Kronik


Gambaran patologi rinosinusitis kronik adalah komplek dan
ireversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau
pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenarasi,
metaplasia atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan
histologist yang sama. Pembentukan mikro abses dan jaringan granulasi
bersama-samadengan pembentukan jaringan perut. Secara menyeluruh
terdapatinfiltrasi sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan sub
mukosa.
Kegagalan mengobati rinosinusitis akut atau berulang secara adekuat
akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,
akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan secret sinus, dan oleh karena itu
menciptakan predisposisi infeksi. Sumatan drainase dapat pula ditimbulkan
perubahan struktur ostium sinus, oleh lesi dalam rongga hidung misalnya,
hipertrofi adenoid tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi.
Akan tetapi faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis
nasal yang timbul pada rhinitis alergi, polip dapat memenuhi rongga hidung
dan menyumbat total ostium sinus.
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hiper sekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat
menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi
lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus
seterusnya berulang.
2.5.6 Manifestasi Klinik

Gambaran klinis yang didapat berupa gejala sistemik dan gejala local.
Gejala sistemik ialah demam dan meras lesu. Gejala local pada idung yaitu
terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke
nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat rasa nyeri disalisinus yang terkena
serta kadang-kadang dirasakan juga di tempat lain karena nyeri alih
(referred pain). Pada rinosinusitis maxillaries nyeri dibawah kelopak mata
dan kadang-kadang menyebar kealveolus, sehingga terasa nyeri di gigi.
Nyeri alih dirasakan didahi dan didepan telinga.
Pada pemeriksaan akan didapatkan pembengkakan didaerah pipi dan
dikelopak mata bawah (pada rinosinusitis maxillaris akut). Pada rinoskopi
anterior akan tampak mukosa konkha hiperemis dan edema, dan tampak
mukopus di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip).
2.5.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Transiluminasi
Pemeriksaan ini merupakan

pemeriksaan

termudah,

meskipun

kebenarannya diragukan. Pemeriksaan dilakukan di kamar gelap,


memakai sumber cahaya pen light. Untuk memeriksa sinus maxillarus
lampu dimasukkan kedalam mulut dan bibir dikatupkan. Pada sinus
normal tampak gambaran bulan sabit yang terang di bawah mata, tetapi
bila ada rinosinusitis akan tampak suram atau gelap.
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi rinosinusitis maxillaris akut mula-mula penebalan
mukosa. Selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa

yang membengkak atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus.


Akhirnya terbentuk gambaran air fluid level yang khas.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi: kultur kuman dan uji resistensi sebaiknya
untuk pemeriksaan radiologi diambil secret dari meatus medius atau
meatus superior. Mungkin ditemukan bermcam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman pathogen, seperti:
Pneumococcus, Streptoccoccus, Staphylococcus, dan Haemophilus
Influenza. Selain itu mungkin ditemukan juga virus atau jamur. (1,2)
4. Pemeriksaan sinoskopi
Pada pemeriksaan sinsokopi dapat dilihat antrum (sinus maxillaris)
secara langsung sehingga dapat diketahui adanya perubahan mukosa.
2.5.8 Komplikasi
Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis akut atau pada
rinosinusitis kronis eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
osteomilitis dan abses subperiosteal, kelainan orbita berupa edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi rombosis sinus kavernosus, kelainan intra cranial berupa meningitis,
abses ekstradural atau subdural, abses otak, kelainan paru seperti bronchitis
kronis, bronkhiektasi dan asma bronchial.
2.5.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
yang lebih tepat dan dini. Tanda khasnya adalah adanya pus di meatus
medius (pada rinosinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada rinosinusitis etmoid posterior dan sphenoid). Pada

rhinorinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT.Scan.
Foto polos posisi Waters, PA dan Lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, batas udara cairan (air fluid level) atau penebalan
mukosa.
CT.Scan sinus merupakan gold standar diagnosa rinosinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung
dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnostic rinosinusitis kronis yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pre-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus. Pada pemeriksaan transluminasi sinus yang sakit
akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila, sedangkan sinoskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa
dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan
irigasi sinus untuk terapi.
2.5.10 Terapi
1. Therapy konservatif
a.
Antibiotik berspektrum luas.
Antibiotik ini diberikan sesuai dengan kultur dan uji sensivisitas,
misalnya amoksisilin, amplisisilin, eritronisin dan sulfonamide.

b.

Drainase dengan dekongestan dan tetes hidung poten seperti fenilefrin

(Neo-Syneprin) atau oksimetazolin dapat digunakan selama beberpa hari


pertama infeksi namun lemudian dihentikan.
c.
Kompres hangat pada wajah dan analgetik seperti aspirin dan
asetaminofen berguna untuk meringankan gejala.
2. Therapy pembedahan
Therapy pembedahan diperlukan apabila telah terjadi komplikasi ke
orbita atau intra cranial atau bila ada nyeri hebat karena ada sekret
tertahan atau sumbatan, dan dengan terapi konservatif tidak membaik.
Jenis pembedahannya yaitu:
a. Pembedahan radikal
Yaitu dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase
dari sinus yang terkena. Operasi pada sinus maxillaries adalah operasi
Caldwell-Luc.
b. Pembedahan Non radikal
Yaitu metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskop
yang disebut bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF). Prinsipnya
ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang
menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan
drainase sinus dapt lancar kembali melalui kostium alami. Dengan
demikian mukosa sinus akan kembali normal.
Skema 3. Pentalaksanaan Rinorinosinusitis kronik dengan atau
tanpa polip hidung pada dewasa

Gejala rinosinusitis kronik


Tersedia endoskopi
polip

Endoskopi tidak tersedia


Tidak ada polip

Pemeriksaan rinoskopi anterior


Steroid topical cuci hidung +
antihitnin
jiga terapi
alergi
Reevaluasi
Lanjutkan
perbaikan
setelah
4 minggu

Rujuk
Tidak ada
spesialis
perbaikan
THT

Rujuk dokter spesialis THT


jika operasi dipertimbangkan

Skema 4. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak


Gejala rinosinusitis kronik

Tidak berat

Eksaserbasi sering

Alergi +

Tidak perlu
pengobatan

Steroid topikal cuci


hidung antihistamin

Tidak ada penyakit


sistemik

Antibiotik 2-6
minggu

Evaluasi setelah 4
minggu

perbaikan

Lanjutkan terapi
seminimal mungkin

imunodefisiensi
kronik
Terapi penyakit
sistemik jika
mungkin

Tidak ada perbaikan

Tidak ada
perbaikan

Pertimbangkan
operasi

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rinosinusitis adalah radang atau infeksi dari satu atau lebih mukosa sinus
paranasal yang bisa di akibatkan oleh virus, bakteri dan jamur. Rinosinusitis
dibagi menjadi empat yaitu rhinosinusitis maksilaris yang disebabkan oleh
ekstraksi gigi molar, rinosinusitis etmoidalis seringkali bersama dengan
rinosinusitis maksilaris, rinosinusitis frontalis hampir selalu ersama-sama dengan
infeksi rinosinusitis etmoidalis, dan rinosinusitis sfenoidalis nyeri kepala yang
mengarah ke vertex cranium.
Rinosinusitis kronik memiliki gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik yaitu demam dan merasa lesu. . gejala lokal pada idung yaitu terdapat
ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring.
Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri disinus yang terkena serta kadang-kadang
dirasakan juga di tempat lain.

Anda mungkin juga menyukai