Anda di halaman 1dari 8

HIFEMA

Grading
Grade I:
Grade II:
Grade III:
Grade IV:

Lapisan darah menempati kurang dari 1/3 COA


Darah mengisi 1/3 COA
Lapisan darah mengisi sampai dengan kurang dari seluruh COA
Bekuan darah total, sering disebut sebagai black ball atau 8-ball hyphema

Penatalaksanaan
Analgesik yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri adalah asetaminofen
dengan atau tanpa kodein, tergantung derajat nyerinya. Efek antiplatetet aspirin cenderung
meningkatkan terjadinya perdarahan ulang pada pasien hifema traumatik dan harus dihindari.
NSAID dengan aktivitas analgesik seperti asam mefenamat dan naproxen, memiliki efek
antiplatelet yang merusak ini.
Elevasi kepala 30-45o mempermudah terjadinya pengendapan hifema di inferior COA
dan memudahkan klasifikasi hifema. Pengendapan hifema di

inferior mempercepat

peningkatan visus, evaluasi dini pada polus posterior, dan pembersihan sudut COA yang lebih
baik.
Berbagai obat topikal telah direkomendasikan untuk mengobati pasien dengan hifema
traumatik, termasuk skilopegik untuk iridosiklitis traumatik dan miotik untuk meningkatkan
luas permukaan iris sehingga meningkatkan resorpsi hifema. Kortikosteroid dan estrogen
telah direkomendasikan dengan hasil yang bertentangan. Salah satu rekomendasi penggunaan
obat topikal adalah penggunaan steroid topikal setelah hari ketiga atau keempat mungkin
menguntungkan untuk mengurangi iridosiklitis dan untuk mencegah terjadinya periferal
sinekia anterior dan sinekia posterior. Atropin topikal (1%) diindikasikan pada hifema yang
menempati lebih dari 50% COA, untuk mencegah terjadinya blok pupil.
Antifibrinolitik ACA diberikan secara sistemik untuk menurunkan kejadian
perdarahan sekunder. ACA menghambat bekuan lisis dengan mencegah pengikatan plasmin
dengan lisin. Plasmin berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin dan, faktor pembekuan
darah lainnya.

ACA merupakan inhibitor kompetitif yang menghambat

plasmin dan

merupakan aktivator plasminogen. Pemberian ACA oral dengan dosis 100mg/kgBB setiap 4
jam dalam waktu 5 hari, menunjukkan penurunan kejadian perdarahan sekunder yang
signifikan. Pemberian sistemik ACA harus diberikan pada perdarahan yang menempati 75%
dari COA, karena bekuan dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama di COA. ACA tidak
boleh diberikan pada wanita hamil dan pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal.
Pemberian topikal lebih baik karena lebih efektif dan mengurangi efek samping dibandingkan
dengan pemberian oral. Asam traneksamat juga memiliki sifat antifibrinolitik. Asam
traneksamat dapat menyebabkan gangguan penglihatan sehinga menyulitkan evaluasi

penglihatan pasien. Pemberian t-PA telah dipertimbangkan untuk hifema yang tidak bisa
secara spontan dibersihkan atau berhubungan dengan tekanan introkular malignan.
Untuk mengatasi peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan pemberian
antiglaukoma topikal, seperti timolol (antagonis reseptor beta), latanoprost (analog
prostaglandin), serta brimonidin (agonis reseptor 2 tipe perifer). Kesemua agen ini bertujuan
untuk mengurangi produksi akuous humor dan dapat membantu menurunkan tekanan
intraokular. Apabila masih tinggi, dapat diberikan inhibitor enzim karbonat-anhidrase (CAI)
topikal.. Tekanan yang belum terkontrol mengindikasikan pemberian CAI sistemik (melalui
oral), yakni asetazolamid dengan dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis. Hal ini
terutama digunakan apabila tekanan masih di atas 22 mmHg. Pilihan terakhir apabila tekanan
masih tinggi adalah pemberian agen osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10%
2 kali sehari atau 3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol per
oral.
Indikasi pasien rawat inap:
1. Pasien dengan hifema grade II atau lebih, sebab berpotensi terjadinya perdarahan
2.
3.
4.
5.

sekunder
Pasien dengan sickle cell trait
Trauma tembus okuli
Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan
Pasien yang memiliki riwayat glaukoma
Perlu dilakukan pemantauan secara intensif seperti visus, tekanan intraokular, serta

resolusi hifema. Selain itu perlu pula diamati apakah terdapat indikasi bedah pada pasien.
Pasien akan menjalani pembedahan apabila terdapat:
1. Corneal blood staining
2. Riwayat sickle cell trait, dengan tekanan intraokular di atas 24 mmHg, lebih dari 24
jam
3. Hifema dengan derajat lebih dari 50% COA selama 9 hari atau lebih. Hal ini perlu
dilakukan pembedahan agar tidak terjadi sinekia anterior, meskipun sudah
mendapatkan terapi medik secara maksimal
4. Hifema total, dengan tekanan intraokular lebih dari 50 mmHg selama 4 hari atau lebih
meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal
5. Hifema total atau hifema dengan derajat >75% COA, dengan tekanan intraokular
lebih dari 25 mmHg selama lebih dari 6 hari, meskipun sudah mendapatkan terapi
medik secara maksimal
Komplikasi

Komplikasi hifema traumatik bisa berkaitan langsung dengan retensi darah di COA.
Empat komplikasi yang paling sering terjadi adalah sinekia posterior, periferal sinekia
anterior, pewarnaan kornea, dan atrofi optik.
Sinekia Posterior
Sinekia posterior dapat terjadi pada pasien dengan hifema traumatik. Komplikasi ini
terjadi sekunder dari iritis atau iridosiklitis. Akan tetapi, komplikasi ini jarang terjadi pada
pasien yang diterapi secara medis. Sinekia posterior lebih sering terjadi pada pasien yang
menjalani evakuasi pembedahan hifema.
Periferal Sinekia Anterior
Periferal sinekia anterior biasanya muncul pada pasien yang diterapi secara medis di
mana hifema yang ada menetap dalam periode yang lebih lama di COA, biasanya selama 9
hari atau lebih. Patogenesis sinekia periferal anterior bisa terjadi karena iritis kronis akibat
trauma awal atau iritis kimiawi, yang menghasilkan darah di COA. Penyebab lainnya, adanya
bekuan darah pada sudut bilik menyebabkan terjadinya trabecular meshwork fibrosis yang
dapat menutup sudut.
Pewarnaan Kornea/Cornea Bloodstaining
Pewarnaan kornea terutama terjadi pada pasien dengan hifema total dan dihubungkan
dengan peningkatan tekanan intraokular. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan
pewarnaan kornea; semua faktor-faktor ini mempengaruhi intregitas endotel:
-

Kondisi awal endotel kornea; viabilitas menurun pada keadaan trauma dan usia lanjut
Trauma bedah pada endotel
Bekuan dengan jumlah yang besar mengalami kontak dengan endotel
Peningkatan tekanan intraokular yang berkepanjangan
Pewarnaan kornea dapat terjadi dengan tekanan intraokular yang rendah atau normal.

Pewarnaan kornea lebih sering terjadi pada pasien dengan total hifema yang berlangsung
sekurangnya selama 6 hari, diikuti peningkatan tekanan intraokular lebih dari 25 mmHg.
Proses penyembuhan pewarnaan kornea membutuhkan waktu beberapa bulan. Secara umum,
pewarnaan kornea terbentuk di sentral kemudian menyebar ke perifer pada endotel kornea.
Proses penyembuhan pewarnaan kornea diawali dari perifer ke sentral, kebalikan dari proses
pembentukannya.
Atrofi Optik
Atrofi optik dapat terjadi pada fase akut maupun pada periode peningkatan transien
tekanan

intraokular,

atau

peningkatan

kronik

tekanan

intraokular.

Atrofi

optik

nonglaukomatos pada pasien dengan hifema terjadi mungkin karena trauma awal atau periode
transien peningkatan tekanan intraokular. Diffuse optic pallor (not glaucomatous cupping)

adalah hasil periode transien peningkatan tekanan intraokular yang nyata. Pallor terjadi
dengan tekanan konstan 50 mmHg/lebih selama 5 hari, atau 35 mmHg/lebih selama 7 hari.
TRAUMA KIMIA
Grading :
Trauma kimia akut dinilai dinilai dalam 4 grade untuk merencanakan tatalaksana yang
tepat serta indikasi penentuan prognosis. Penilaian ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan
kornea dan keparahan iskemik limbus. Selain itu, penilaian juga dilakukan untuk menilai
patensi dari pembuluh darah limbus superfisial dan profunda.
Grade I
: Kornea jernih dan tidak ada iskemia limbus (prognosis sangat baik)
Grade II
: Kornea berkabut dengan iris yang masih terlihat dan terdapat kurang dari 1/3
(120o) iskemia limbus (prognosis baik)
Grade III
: Epitel kornea hilang total, stroma berkabut dengan gambaran iris tidak jelas
dan terdapat iskema limbus (prognosis kurang)
Grade IV
: Kornea opak dan sterdapat lebih dari iskemia limbus (prognosis sangat
buruk)
Kriteria lain yang perlu dinilai adalah seberapa luas hilangnya epitel pada kornea dan
konjungtiva, perubahan iris, keberadaan lensa, dan tekanan intra okular.
Penatalaksanaan
Irigasi merupakan hal yang krusial untuk meminimalkan durasi kontak mata dengan
bahan kimia, dan untuk menormalisasi pH pada saks konjungtiva yang harus dilakukan
sesegera mungkin. Larutan normal salin harus digunakan untuk mengirigasi mata selama 1530 menit samapi pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa hendaknya dilakukan
irigasi lebih lama, paling sedikit 2000 ml dalam 30 menit, semakin lama semakin baik. Jika
perlu dapat diberikan anestesi topikal, larutan natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik. Irigasi
dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan irigasi dengan kontak lensa (lensa yang
terhubung dengan sebuah kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran yang konstan).
Double eversi pada kelopak mata dilakukan untuk memindahkan material yang
terdapat pada bola mata. Selain itu, tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya
perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks.
Debridemen pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga dapat terjadi reepitelisasi pada kornea.
Trauma kimia ringan (grade 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian steroid topikal
jangka pendek, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari. Tujuan utama terapi pada
trauma kimia berat untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah
terjadinya ulkus kornea.
Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis

kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu, steroid hanya diberikan secara inisial
dan di tappering off setelah 7-10 hari.
Asam askorbat mengembalikan keadaan jaringan skorbutik dan meningkatkan
penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea.
Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan
sampai dosis 2 gr.
Asam Sitrat menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi respon inflamasi. Natrium
sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam selama 10 hari. Tujuannya untuk mengeliminasi
fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari setelah trauma.
Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil, dan
mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik
(doksisiklin 100 mg).
Pembedahan segera yang sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus,
mengembalikan populasi sel limbus, dan mengembalikan kedudukan forniks. Beberapa
prosedur dapat digunakan untuk pembedahan:
-

Pengembangan kapsul tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk mengembalikan

vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea.


Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dari donor

(allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.


Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis

Pembedahan lanjut menggunakan beberapa prosedur:


-

Pemisahan conjungtival bands dan simblefaron


Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva
Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata
Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Semakin lama semakin baik, hal ini untuk

memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.


Keratoprostesis dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat, karena hasil dari
graft konvensional sangat buruk.

Komplikasi
1. Simblefaron. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga

kornea dan penglihatan terganggu.


2. Kornea keruh, edema, neovaskuler
3. Sindroma mata kering
4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.
Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH cairan akuos dan
menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-

lahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi
katarak traumatik.
5. Glaukoma sudut tertutup
6. Entropion dan phthisis bulbi

TRAUMA TEMBUS
Langkah-langkah yang harus dilakukan:
1. Lindungi mata dengan pelindung mata setiap saat
2. Lakukan CT Scan otak dan orbita untuk menyingkirkan kemungkinan IOFB
3. UBM bisa dibutuhkan untuk melokalisasi ruptur posterior atau untuk menyingkirkan
adanya benda asing di dalam bola mata yang tidak terlihat oleh CT Scan. UBM tidak
boleh dilakukan pada pasien dengan ruptur anterior karena berisiko terjadi ekstrusi isi
bola mata.
4. Pasien puasa makan dan minum
5. Bedrest dan hindari posisi membungkuk dan Valsava manuver
6. Antibiotik sistemik harus diberikan dalam waktu 6 jam setelah injuri. Untuk orang
dewasa diberikan cefazolin 1 gr iv tiap 8 jam atau vankomisin 1 gr iv tiap 12 jam.
Juga diberikan siprofloksasin 400 mg per oral/iv (generasi ke-4 fluorokuinolon seperti
gatifloksasin 400 mg atau moksifloksasin 400 mg). Untuk anak-anak di bawah 12
tahun diberikan cefazolin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari iv dibagi 3 dosis dan
gentamisin 2 mg/kg iv tiap 8 jam. Pemberian antibiotik harus dikurangi jika fungsi
ginjal terganggu.
7. Berikan tetanus toxoid p.r.n
8. Berikan antiemetik (proklorperazin 10 mg iv tiap 8 jam) untuk mual dan muntuk,
untuk mencegah Valsava.
9. Pertimbangkan anti nyeri sebelum dan sesudah operasi
10. Rencanakan pembedahan sesegera mungkin.
Tatalaksana bedah:
1. Laserasi kornea kecil tidak membutuhkan penjahitan karena sering sembuh secara
spontan atau dengan bantuan lensa kontak verban lembut.
2. Laserasi kornea ukuran medium biasanya membutuhkan jahitan, terutama jika kornea
datar. COA yang datar dapat kembali seperti semula apabila kornea telah dijahit, jika
tidak harus diberikan solusi garam yang seimbang. Bandage contact lens post-operatif
bisa juga berguna selama beberapa hari untuk memastikan COA tetap di dalam.
3. Laserasi kornea dengan inkarserasi iris. Tatalaksana bergantung dari durasi dan
luasnya inkarserasi. Kebocoran kecil dari inkarserasi yang baru terjadi dapat
digantikan oleh kontriksi pupil dengan intrakameral asetilkolin. Inkarserasi iris yang

besar harus dilakukan absisi, terutama jika sudah beberapa hari iris tampak non-viabel
dengan risiko terjadi endoftalmitis.
4. Laserasi kornea dengan kerusakan lensa diterapi dengan menjahit laserasi dan
memindahkan lensa mengguna phacoemulsification atau dengan vitreus cutter apabila
vitreus terlibat. Implamantasi utama dari lensa intraokular sering dihubungkan dengan
visual outcome yang baik dan insiden komplikasi postoperatif yang rendah.
5. Laserasi sklera anterior yang tidak melewati bagian posterior insersi otot ekstaorikular
mempunyai prognosis yang lebih baik daripada lesi yang lebih posterior dan
melibatkan retina. Luka pada sklera anterior dapat berhubungan dengan komplikasi
serius seperti prolaps uvea dan inserkaserasi vitreus. Inserkaserasi vitreus meskipun
dengan manajemen yang tepat, dapat menimbulkan traksi vitreo-retina dan ablasio
retina. Setiap usaha harus dilakukan untuk mereposit jaringan uvea viabel yang
terekspos dan memotong vitreus yang prolaps.
6. Laserasi sklera posterior sering berhubungan dengan kerusakan retina meskipun
laserasinya sangat superfisial. Selama perbaikan, sangat penting untuk menghindari
terjadinya tekanan yang berlebihan dan traksi pada mata untuk mencegah atau
meminimalkan kehilangan isi bola mata. Hal ini juga berguna sebagai profilaksis
terhadap robekan retina.
Perbaikan sekunder segmen posterior trauma, jika mungkin dilakukan 10-14 hari
setelah perbaikan awal. Hal ini memberikan waktu tidak hanya bagi penyembuhan luka tetapi
juga untuk perkembangan pemisahan vitreus posterior yang memfasilitasi vitrektomi yang
baik. Tujuan utama perbaikan sekunder adalah:
-

Untuk menjernihkan keopakan media seperti katarak dan perdarahan vitreus untuk

meningkatkan visus.
Untuk menstabilkan interaksi vitreoretina yang abnormal dan mencegah sekuele
jangka panjang seperti ablasio retina traksional.

Sumber:
1. Sheppard

JD.

Hyphema.

diakses

dari

http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview, tanggal 13 Agustus


2015.
2. Kanski JJ. Chemical injury in clinical opthalmology: a systemic approach.
London: Elsevier; 2003.p.677-80.

3. Ehlers JP, Shah CP, ed. Ruptured globe and penetrating ocular injury in the wills
eye manual. 5th edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.p.39-41.
4. Kanski JJ. Penetrating trauma in clinical opthalmology: a systemic approach.
London: Elsevier; 2003.p.671-4.

Anda mungkin juga menyukai