Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

CEDERA KEPALA

Disusun oleh :
Maria Ellsa Primayana
406148082
Pembimbing :
dr. Suryo Aji, Sp.B
dr. Adi Purnomo, Sp.B

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Bhayangkara Semarang
Periode 9 November 2015- 14 Januari 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Cedera

kepala

merupakan

salah

satu

penyebab

kematian

dan

kecacatan yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah


kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan
produktif.
Trauma kepala adalah trauma mekanik yang mengenai calvaria dan
atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya baik secara langsung
ataupun

tidak

langsung,

dimana

kerusakan

tersebut

bersifat

non-

degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar


sehingga

timbul

gangguan

fisik,

kognitif

maupun

psikososial

serta

berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran, baik


permanen ataupun temporer (PERDOSSI, 2006).
Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun di
Amerika Serikat. Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala tertinggi
pada kelompok umur 15-45 tahun dengan insidens sebanyak 32,8/100.000.
Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 : 1. Penyebab utama
terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di mana
pada setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera.
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma capitis
adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Insiden
trauma kepala karena kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di RS,
40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu
perawatan. Trauma kapitis memiliki dampak emosi, psikososial, dan ekonomi
yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan
rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit
membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang.
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat
besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini.
Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma

kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan dan berat
dalam jumlah yang sama. Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini
belum ada. Yang ada barulah data dari beberapa rumah sakit (sporadis).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

2.2 ANATOMI
Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1.

Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit Kepala memiliki
banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

2.

Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis cranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis cranii berbentuk
tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior, fossa
media, dan fossa posterior. Fossa anterior adalah tempat lobus frontalis, fossa media adalah

tempat lobus temporalis, dan fossa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan
cerebellum.
3.

Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak
melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menujusinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteriarteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fossa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang
disebut arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarakhnoid.

4.

Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak. Cerebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Falx Cerebri yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer cerebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medulla oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang

terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Cerebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak, dan juga kedua
hemisfer serebri.
5.

Liquor Cerebrospinal
Liquor cerebrospinal dihasilkan oleh Plexus Choroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral menuju foramen monro menuju
ventrikel III kemudian menuju aquadustus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya LCS
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medulla spinalis. LCS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui vili arakhnoid.

6.

Tentorium
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruang infratentorial (berisi fossa cranii
posterior).

2.3. EPIDEMIOLOGI & ETIOLOGI


Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan
teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok
usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh
kaum laki-laki.

2.4. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera kepala primer merupakan
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena

mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan
yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak
difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal,
kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang
secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara
makroskopis.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan
lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio coup, diseberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan (countercoup).

Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala sekunder
dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder terhadap
otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga
beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen
intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
2.5. KLASIFIKASI
Berdasarkan ATLS cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:
A. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi
yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan
kontak pada protuberans tulang tengkorak. Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Gambar. Mekanisme Cedera Tertutup


B. Cedera tembus, disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:
A. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa
benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :
i.
Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
ii.
Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas (kubah/ atap tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
iii.
Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
B. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.

Gambar. Lesi Intrakranial


a.

Komosio Serebri (geger otak)


Geger otak berasal dari benturan kepala
yang menghasilkan getaran keras

atau

menggoyangkan

otak,

menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak, termasuk kemungkinan


kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran, sakit kepala berat,
hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah,
pandangan ganda.
b.

Kontusio Serebri (memar otak)


Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan
oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar
dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah
dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung
berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde,
amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada
daerah yang luka dan luasnya lesi:
Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan

intracranial yang dapat menyebabkan kematian.


Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat CheyneStokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas
dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan

kaku dalam sikap fleksi)


Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran
menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar,

refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur),


regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).
c.

Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
retaknya tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun
pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak
jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama
pada regio parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif
perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera
kepala dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus
dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif
yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan
gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung
dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukkan intervallucid yang klasik atau
keadaan dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meninggal (talk and die). Keputusan perlunya suatu tindakan operatif
memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah
saraf.

Gambar. Perdarahan Epidural


d. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira
30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus venosus
tempat vena tadi bermuara. Namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh
arteri pada permukaan otak.

Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak


dan kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih
buruk daripada perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan
ini hanya dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang cepat dan
penatalaksanaan medikamentosa yang agresif.

Gambar. Perdarahan Subdural


Subdural hematom dibagi menjadi:
1.

Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak
berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan
cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah. Gejala klinis dari subdural hematom
akut tergantun dari ukuran hematom dan derajat kerusakan parenkim

otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologis


yang sering muncul adalah :

Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan


kesadaran

2.

Dilatasi pupil ipsilateral hematom

Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya

Hemiparesis kontralateral

Papiledema

Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih
dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada
hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran

isi

intrakranial

dan

peningkatan

intrakranial

yang

disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus


atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak.
3.

Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan
dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi
perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10
hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa.

Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke


dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling
sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT
scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap
secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
e.

Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang
memisahkan antara membrana arachnoid dan piamater). Selain karena
trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara spontan akibat aneurisma
(Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala yang
timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (thunderclap
headache), penurunan kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku
kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi
dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul.
Defisiensi neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang
melihat kebawah, keluar serta tidak mampu mengangkat kelopak mata di
sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan perdarahan berasal dari
a.communicating posterior.

Sebagai

respons

terhadap

perdarahan,

pelepasan

adrenalin

akan

meningkatkan tekanan darah dan aritmia. Sebanyak 85% perdarahan


subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral, kebanyakan terletak di
sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi
arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera
otak juga dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur
tulang sekitar atau kontusio intraserebral.

Gambar. Perdarahan Subarachnoid pada CT-Scan


f.

Kontusio dan Perdarahan Intraserebral


Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri
meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam
pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan
perdarahan subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak
dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan
intraserebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja
dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk

g.

perdarahan intraserebral.
Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi yang merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena

ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai
amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwaperistiwa sebelum dan sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah
cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran.
Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran
biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel.
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih
kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang
terjadi, namun pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis
untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat,
pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera
aksonal difusi (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera
otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan
tersebut sering terjadi bersamaan.
h.

Hematoma Intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di
dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio
berat.Gejala-gejala yang ditemukan adalah :

Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang

meningkat.
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari
arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang
arteri serebri media yang tidak normal.

Gambar. Hematom Intraserebral pada gambaran CT-Scan


i.

Fraktur Basis Cranii


Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk
rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam
keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak
amnesia retrogad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak
frakturnya
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes),
rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai
anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah
vena (A-V shunt).

c. Fraktur fossa posterior


Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat
melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika.
3. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:
a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio
Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Skor GCS 9-12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak

c. Cedera Kepala Berat (CKB)


Skor GCS < 8
Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas

2.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis


Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002), antara lain:
A. Glasgow Coma Scale (GCS)
Dinilai dengan respon mata, verbal dan motorik (Eyes, Verbal, Movement).
1.

Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan
Atas perintah
Rangsangan nyeri

4
3
2


2.

Kemampuan komunikasi (V)

3.

Tidak bereaksi

Orientasi baik
Jawaban kacau
Kata-kata tidak berarti
Mengerang
Tidak bersuara

5
4
3
2
1

Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah


Reaksi setempat
Menghindar
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak bereaksi

6
5
4
3
2
1

Catatan :
1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak
dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi, skor
GCS maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T.
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C (eye
closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen
motoriknya.
Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan
neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan
yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat
darurat, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Tingkat kesadaran
Kekuatan fungsi motorik
Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta (lebih dari
50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoons eyes
(ekhimosis periorbital), atau Battles sign (ekhimosis retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung
(bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome).
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan
ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak jelas
dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian
kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat terjadi
secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf,
pembuluh darah).

B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir
untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon
yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
C. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

Tabel. Nervus Cranialis dan Fungsinya.


D. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan memar. Kedalaman laserasi dan
ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan dan memar.
2.7. Diagnosis
1 .
a.
b.
c.
2 .
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

3 .

Anamnesis
Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
Pemeriksaan neurologis:
Kesadaran berdasarkan GCS
Tanda-tanda vital
Otorrhea/rhinorrhea
Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
Gangguan fokal neurologis
Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
Refleks patologis
Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, dolls eye phenomen
Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic hyperventilation,

apneusitic breath, ataxic breath


j. Gangguan fungsi otonom
k. Funduskopi
Pemeriksaan penunjang:

a. Foto polos kepalaAP/lateral


b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur linier, impresi,
terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa gambaran
kontusio, gambaran edema otak, gambaran perdarahan(hiperdens), hematoma
epidural, hematoma subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan
sebelum 6 jamdari saat terjadinya trauma
f. EEG: Dapat digunakan untuk mencari lesi

2.8. Penatalaksanaan
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah
dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)
berdasarkan urutan:
1.

Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan seperti
berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang collar cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera
orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika
tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera
dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Memasang oksimeter nadi
untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi
bahkan terancam atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg
serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh
ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Menghentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Memperhatikan adanya
cedera intra abdomen atau dada mengukur dan mencatat frekuensi denyut jantung dan

tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg besar dan memberikan larutan
koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan
2.

cepat status umum dan neurologi.


Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien
stabil.
E : Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu,
analisa gas darah dan elektrolit
Urin: perdarahan (+/-)
Radiologi
Foto polos kepalaAP/lateral
CT scan kepala
Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
F : Manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Konsensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:


a. Lanjutkan penanganan ABC
b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sedar (pantauan
dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15). Dijaga jangan terjadi
kondisi sebagai berikut:
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara:
1. Elevasi kepala 30

2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam-1jam, drip cept,
dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam
dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan
24 jam dari pemberian pertama.
4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
d.

Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure
pada kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi
intrakranial selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC

e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.


Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut, yaitu:
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
3.
4.
5.
6.

tanda fokal neurologis semakin berat


Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak


8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN


Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 14-15)
1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan,
kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal
Observasi atau dirawat di RS
1. CT scan tidak ada
2. CT scan abnormal
Semua cedera tembus
3. Riwayat hilang kesadaran
4. Kesadaran menurun
Sakit kepala sedang-berat
Intoksikasi alkohol/obat-obatan
Fraktur tengkorak
5. Rhinorea-otorea
6. Cedera penyerta yang bermakna
7. Tak ada keluarga di rumah
8. Tidak mungkin kembali ke RS segera
9. Amnesia

Dipulangkan dari RS
1. Tidak memenuhi kriteria rawat
2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG


Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu
menuruti perintah-perintah sederhana (GCS: 9-13).
1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akandipulangkan
Bila kondisi membaik (90%)
1. Pasien dapat pulang
2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik
Bila kondisi memburuk (10%)
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT


Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena
kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE
Primary Survey dan resusitasi
Secondary Survey dan riwayat AMPLE 22

Re-evaluasi neurologic
Respon buka mata
Reaksi Cahaya pupil
Respon motorik
Refleksokulosefalik (Doll's eyes)
Respon verbal
RefleksOkulovestibuler (Test Kalori)
Obat-obatan
Manitol
Antikonvulsan
Hiperventilasisedang
TesDiagnostik (sesuaiurutan)
CT Scan (semuapenderita)
Ventrikulografiudara
Angiogram

2.9. Prognosis
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala
ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik.
Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah
sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik
dan atau CT-scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita
mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.
Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang
sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai
resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

BAB III
PENUTUP
Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan mulai
dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak, duramater, vaskuler
otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik, fungsi kognitif dan
psikosial baik temporer maupun permanen. Trauma Kapitis dapat terjadi akibat benturan
langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma
Kapitis dibagi menjadi Trauma Capitis primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera kepala sekunder merupakan
proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)

Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala
ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10% penderita dengan cedera kepala
sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Penderita yang tergolong dalam cedera
kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan
resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.

Daftar Pustaka
1.

IT Maria.Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.Perhimpunan

2.

Dokter Saraf Indonesia (PERDO).Jakarta,2011.hal 2-3.


PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.

3.
4.

PERDOSSI. Jakarta.
Advance Trauma Life Support, hal 196-2352.
Greenberg Michael I. 2008. Text-atlas of emergency medicine. Penerbit Erlangga. Jakarta, hal

5.
6.

44-51.
Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon LearningSystem LLC, 2003
Diunduh dari http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact, 19

7.

Agustus 2014.
Diunduh dari

8.

november 2013.
Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge University

9.

Press. Cambridge.2009
Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf,

Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.


10. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
11. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 199125

19

12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd
edition. New York: McGraw Hill, 1996.

Anda mungkin juga menyukai