CEDERA KEPALA
Disusun oleh :
Maria Ellsa Primayana
406148082
Pembimbing :
dr. Suryo Aji, Sp.B
dr. Adi Purnomo, Sp.B
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera
kepala
merupakan
salah
satu
penyebab
kematian
dan
tidak
langsung,
dimana
kerusakan
tersebut
bersifat
non-
timbul
gangguan
fisik,
kognitif
maupun
psikososial
serta
kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan dan berat
dalam jumlah yang sama. Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini
belum ada. Yang ada barulah data dari beberapa rumah sakit (sporadis).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.
2.2 ANATOMI
Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1.
2.
Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis cranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis cranii berbentuk
tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior, fossa
media, dan fossa posterior. Fossa anterior adalah tempat lobus frontalis, fossa media adalah
tempat lobus temporalis, dan fossa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan
cerebellum.
3.
Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak
melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menujusinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteriarteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fossa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang
disebut arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarakhnoid.
4.
Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak. Cerebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Falx Cerebri yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer cerebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medulla oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang
terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Cerebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak, dan juga kedua
hemisfer serebri.
5.
Liquor Cerebrospinal
Liquor cerebrospinal dihasilkan oleh Plexus Choroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral menuju foramen monro menuju
ventrikel III kemudian menuju aquadustus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya LCS
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medulla spinalis. LCS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui vili arakhnoid.
6.
Tentorium
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruang infratentorial (berisi fossa cranii
posterior).
2.4. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera kepala primer merupakan
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan
yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak
difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal,
kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang
secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara
makroskopis.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan
lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio coup, diseberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan (countercoup).
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala sekunder
dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder terhadap
otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga
beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen
intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
2.5. KLASIFIKASI
Berdasarkan ATLS cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:
A. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi
yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan
kontak pada protuberans tulang tengkorak. Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
atau
menggoyangkan
otak,
Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
retaknya tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun
pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak
jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama
pada regio parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif
perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera
kepala dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus
dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif
yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan
gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung
dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukkan intervallucid yang klasik atau
keadaan dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meninggal (talk and die). Keputusan perlunya suatu tindakan operatif
memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah
saraf.
2.
Hemiparesis kontralateral
Papiledema
isi
intrakranial
dan
peningkatan
intrakranial
yang
Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang
memisahkan antara membrana arachnoid dan piamater). Selain karena
trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara spontan akibat aneurisma
(Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala yang
timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (thunderclap
headache), penurunan kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku
kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi
dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul.
Defisiensi neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang
melihat kebawah, keluar serta tidak mampu mengangkat kelopak mata di
sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan perdarahan berasal dari
a.communicating posterior.
Sebagai
respons
terhadap
perdarahan,
pelepasan
adrenalin
akan
g.
perdarahan intraserebral.
Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi yang merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena
ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai
amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwaperistiwa sebelum dan sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah
cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran.
Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran
biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel.
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih
kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang
terjadi, namun pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis
untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat,
pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera
aksonal difusi (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera
otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan
tersebut sering terjadi bersamaan.
h.
Hematoma Intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di
dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio
berat.Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat.
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari
arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang
arteri serebri media yang tidak normal.
Secara spontan
Atas perintah
Rangsangan nyeri
4
3
2
2.
3.
Tidak bereaksi
Orientasi baik
Jawaban kacau
Kata-kata tidak berarti
Mengerang
Tidak bersuara
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
Catatan :
1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak
dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi, skor
GCS maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T.
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C (eye
closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen
motoriknya.
Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan
neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan
yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat
darurat, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Tingkat kesadaran
Kekuatan fungsi motorik
Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta (lebih dari
50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoons eyes
(ekhimosis periorbital), atau Battles sign (ekhimosis retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung
(bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome).
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan
ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak jelas
dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian
kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat terjadi
secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf,
pembuluh darah).
B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir
untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon
yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
C. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
3 .
Anamnesis
Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
Pemeriksaan neurologis:
Kesadaran berdasarkan GCS
Tanda-tanda vital
Otorrhea/rhinorrhea
Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
Gangguan fokal neurologis
Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
Refleks patologis
Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, dolls eye phenomen
Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic hyperventilation,
2.8. Penatalaksanaan
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah
dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)
berdasarkan urutan:
1.
Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan seperti
berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang collar cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera
orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika
tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera
dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Memasang oksimeter nadi
untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi
bahkan terancam atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg
serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh
ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Menghentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Memperhatikan adanya
cedera intra abdomen atau dada mengukur dan mencatat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg besar dan memberikan larutan
koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan
2.
2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam-1jam, drip cept,
dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam
dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan
24 jam dari pemberian pertama.
4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
d.
Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure
pada kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi
intrakranial selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC
Dipulangkan dari RS
1. Tidak memenuhi kriteria rawat
2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu
Re-evaluasi neurologic
Respon buka mata
Reaksi Cahaya pupil
Respon motorik
Refleksokulosefalik (Doll's eyes)
Respon verbal
RefleksOkulovestibuler (Test Kalori)
Obat-obatan
Manitol
Antikonvulsan
Hiperventilasisedang
TesDiagnostik (sesuaiurutan)
CT Scan (semuapenderita)
Ventrikulografiudara
Angiogram
2.9. Prognosis
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala
ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik.
Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah
sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik
dan atau CT-scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita
mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.
Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang
sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai
resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan mulai
dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak, duramater, vaskuler
otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik, fungsi kognitif dan
psikosial baik temporer maupun permanen. Trauma Kapitis dapat terjadi akibat benturan
langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma
Kapitis dibagi menjadi Trauma Capitis primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera kepala sekunder merupakan
proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala
ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10% penderita dengan cedera kepala
sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Penderita yang tergolong dalam cedera
kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan
resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
PERDOSSI. Jakarta.
Advance Trauma Life Support, hal 196-2352.
Greenberg Michael I. 2008. Text-atlas of emergency medicine. Penerbit Erlangga. Jakarta, hal
5.
6.
44-51.
Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon LearningSystem LLC, 2003
Diunduh dari http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact, 19
7.
Agustus 2014.
Diunduh dari
8.
november 2013.
Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge University
9.
Press. Cambridge.2009
Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf,
19
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd
edition. New York: McGraw Hill, 1996.