Anda di halaman 1dari 28

I.

PENDAHULUAN

A. Judul
Produktivitas Primer dan Kualitas Air
B. Latar belakang
Sungai merupakan salah satu bentuk penampakan bumi berupa
perairan, dimana banyak masyarakat yang memanfaatkan air sungai untuk
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti untuk keperluan air minum, air untuk
mandi, mencuci, dan sebagainya. Namun, hingga saat ini kondisi sungai
semakin buruk jika dilihat secara kasat mata karena semakin tercemarnya
sungai-sungai akibat tindakan masyarakat sendiri. Kondisi sungai yang
semakin memprihatinkan akan berdampak buruk bagi kualitas air sungai,
dimana akan berdampak buruk pula bagi kesehatan masyarakat yang
memanfaatkan air sungai tersebut. Kualitas air sungai perlu dijaga agar dapat
bermanfaat baik bagi masyarakat, dimana air sungai tersebut harus sesuai
dengan standar yang telah ditentukan.
Produktivitas primer dan kualitas air yang akan diamati pada
percobaan ini adalah air sungai Babarsari. Pada percobaan ini akan dilakukan
pengukuran parameter fisikokimia sungai yang meliputi pengukuran
kecepatan arus, temperatur, pH, jelug, dan turbiditas. Selanjutnya, akan
dilakukan pula pengukuran DO dan CO aktual sungai dan pengukuran DO.
Pada percobaan ini, akan diamati dan dihitung pula indeks saprobitas yang
akan menentukan kualitas air sungai Babarsari tergolong aman atau tidak jika
dimanfaatkan masyarakat dengan didukung oleh parameter-parameter yang
akan diukur pula terhadap air sungai Babarsari.
C. Tujuan
1. Mengetahui dan mengukur produktivitas primer suatu perairan (Sungai
Babarsari)
2. Mengetahui dan mengukur kualitas air suatu perairan (Sungai Babarsari)
3. Mengetahui tingkat pencemaran pada suatu perairan (Sungai Babarsari)
berdasarkan Indeks Saprobitas.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Sungai merupakan perairan mengalir yang dicirikan oleh arus yang searah dan
relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1-1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi
oleh waktu, iklim, bentang alam (topografi dan kemiringan), jenis batuan dasar dan
curah hujan. Semakin tinggi tingkat kemiringan, semakin besar ukuran batuan dasar
dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin kuat dan kecepatan arus
semakin cepat. Sungai bagian hulu dicirikan dengan badan sungai yang dangkal dan
sempit, tebing curam dan tinggi, berair jernih dan mengalir cepat. Badan sungai
bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam atau landai badan air dalam,
keruh dan aliran air lambat (Mulyanto, 2007).
Menurut Michael (1994), beberapa parameter yang penting untuk kualitas air
yaitu antara lain :
1. Parameter fisik :
a. Suhu, Lapisan-lapisan suhu yang berada dalam habitat perairan, karena
permukaan air meluas pada awal saat air menjadi hangat. Perluasan ini
mengurangi rapatan dan membuat permukaan air menjadi lebih ringan daripada
air dibawahnya yang lebih dingin. Jadi air yang permukaannya hangat akan
membanjiri diatas air yang lebih dingin. Diantara kedua lapisan ini terdapat
wilayah peralihan yang tipis dinamakan termoklin. Air diatas termoklin
dinamakan epimilimnion sedangkan yang lebih dingin yaitu air yang terletak
dibawahnya disebut sebagai hipolimnion.
b. Kekeruhan atau turbiditas, Kekeruhan atau turbiditas, disebabkan oleh lumpur,
partikel tanah, potongan tanaman atau fitoplankton penembus sinar berkurang
dalam air yang keruh dan mempengaruhi kedalaman tempat tumbuh-tumbuhan
perairan. Dengan demikian, kekeruhan membatasi pertumbuhan organisme
yang menyesuaikan pada kedalaman air yang jernih.
2. Parameter kimia :
a. PH, Ion-ion hidrogen (asam) dan ion-ion hidroksi (basa) keduannya dihasilkan
dari pengionan air. Setiap perubahan konsentrasi salah satu ion ini akan

membawa perubahan dalam konsentrasi ion lainnya, karenanya suatu skala


bilangan PH digunakan untuk mengukur keasaman dan kebasaan air dan
bilangan tersebut menyatakan konsentrasi ion hidrogen secara tidak langsung.
PH didefenisikan sebagai logaritma dan resiprokal aktivitas ion hidrogen dan
secara matematis dinyatakan sebagai PH : log 1/H+ dimana H+ adalah
banyaknya ion hidrogen dalam mol/ liter larutan.
b. DO (oksigen terlarut), Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan
proses fotosintesis tumbuahan hijau. Oksigen dalam udara dengan diikuti
langsung atau agitasi permukaan air oleh angin dan arus oksigen hilang dari air
oleh adanya penguraian bahan organik aliran masuk air bawah tanah yang
miskin oksigen. Adanya besi dan kenaikan suhu, gelembung gas lain melalui air
juga secara efektif mengusir oksigen.
CO2 terlarut, Karbon dioksida bergabung secara kimiawi dengan air
membentuk asam karbonat yang mempengaruhi PH air. Asam karbonat (H 2CO3)
menghasilkan ion-ion hidrogen (H+) dan bikarbonat (HCO3-) sejumlah besar karbon
dioksida berada dalam bentuk larutan biasa, meskipun karbon dioksida sangat mudah
larut dalam air, sangat sedikit karbon dioksida berada dalam larutan biasa karena
jumlahnya dalam udara diatmosfir sangat sedikit. Selain itu, dekomposisi bahan
organik dan pernafasan tumbuhan air dan hewan memberi timbangan pada karbon
dioksida yang sudah ada.
Menurut Siahaan dkk., (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air
sungai antara lain:
1. Suhu air
Suhu air sungai merupakan faktor pembatas bagi organisme akuatik. Hal ini
berpengaruh pada distribusi organisme akuatik.
2. pH
pH air sungai berkisar 4-9. Kisaran pH yang cocok untuk organisme akuatik tidak
sama tergantung pada jenis organisme tersebut. Perubahan pH menjadi hal yang
peka bagi sebagian besar biota akuatik. Organisme akuatik lebih menyukai pH

mendekati pH netral. Pada musim hujan, nilai pH cenderung lebih tinggi mungkin
akibat akumulasi senyawa karbonat dan bikarbonat sehingga air sungai lebih basa.
3. Kecepatan arus sungai
Kecepatan arus penting diamati sebab merupakan faktor pembatas kehadiran
organisme di dalam sungai. Kecepatan arus sungai berfluktuasi (0,09-1,4 m/detik)
yang semakin melambat ke hilir. Faktor gravitasi, lebar sungai dan material yang
dibawa oleh air sungai mempengaruhi kecepatan arus sungai.
4. Kecerahan / TSS
Kecerahan air sungai semakin ke hilir semakin rendah. Kecerahan air sungai
dipengaruhi oleh banyaknya materi tersuspensi yang ada di dalam air sungai.
Materi ini akan mengurangi masuknya sinar matahari ke air sungai. Kekeruhan air
sungai ditunjukkan oleh banyaknya material yang tersuspensi di dalam air sungai.
Sedimen tersuspensi dari daratan dibawa oleh aliran permukaan saat hujan turun.
5. N total dan P total
Kegiatan pertanian dan peternakan menjadi penyebab masuknya unsur N dan P ke
dalam sungai.
6. BOD dan COD
Nilai BOD dan COD air sungai dapat menunjukkan banyaknya pencemar organik
yang ada di dalam air sungai.
7. DO
Oksigen yang terlarut / DO dalam air sangat dibutuhkan untuk mendukung
kehidupan organisme akuatik. Sumber utama DO yaitu fotosintesis dan reaerasi
atmosfer. Konsentrasi DO apat menjadi indikator adanya pencemaran organik.
Menurut Anggrahini (1997), faktor-faktor dari dalam sungai yang dapat
mempengaruhi kecepatan arus sungai adalah:
1

Kedalaman sungai
Semakin dalam suatu sungai maka laju arus tinggi dan tekanannya rendah,
sedangkan jika kedalaman rendah maka kecepatan arus akan semakin rendah pula

dan tekanannya tinggi.


Permukaan dasar sungai
Jika gradien sungai lebih besar maka kecepatan arus sungai akan cepat, sedangkan
jika gradien sungai lebih kecil (landai) maka kecepatan sungai akan lambat.
Kapasitas (daya tampung sungai)

Kapasitas sungai dipengaruhi oleh curah hujan, banyak sedikitnya materi yang ada
di sungai dan lain-lain sehingga ketika kapasitas sungai berubah bukan
dipengaruhi akibat hal-hal tersebut maka timbal baliknya sungai akan
mempertahankan keadaan normal atau sungai tersebut akan mengalirkan alirannya
4

sesuai sifat aliran.


Lebar sempitnya serta panjang pendeknya sungai
Jika sungai lebar maka air dapat melewati sungai tanpa harus saling bertumbukan
sehingga arus sungai tidak deras/lambat, sedangkan bila kondisi sungai sempit
maka air akan terdesak dan akibatnya arus sungai akan deras. Panjang pendeknya

sungai akan mempengaruhi jalur aliran seperti berbelok-belok, lurus, dan lain-lain.
Debit aliran
Debit sungai adalah jumlah air yang mengalir pada jarak tertentu pada satuan
waktu tertentu. Debit sungai dipengaruhi oleh curah hujan yang tidak selalu tetap.
Bila debit bertambah, maka lebar dan kedalaman dari sungai akan bertambah besar

atau air mengalir lebih cepat, begitu pula sebaliknya.


Ada tidaknya delta sungai
Adanya delta mengakibatkan aliran arus sungai menjadi terhalang, akibatnya
aliran harus mencari jalur untuk mengalir sehingga akan mengurangi kecepatan

arus sungai.
Banyaknya muara sungai
Jika ada muara sungai maka arus sungai akan terbagi-bagi akibatnya arus air akan
berkurang kecepatannya ketika terbagi-bagi ke dalam muara sungai sehingga

kecepatan di hulu akan lebih deras daripada muara sungai.


Materi-materi pengisi sungai
Jika banyak materi sehingga kedalaman sungai rendah maka arus akan semakin
lambat, begitu pula sebaliknya. Jenis materi juga mempengaruhi kecepatan arus
sungai.
Menurut Makrup (2001), faktor-faktor dari luar yang dapat mempengaruhi

kecepatan arus sungai adalah:


1. Angin

Jika angin berhembus searah dengan arus air maka kecepatan arus air akan
bertambah tetapi jika angin berhembus berlawanan dengan arus air maka
kecepatan arus air akan berkurang.
2. Curah hujan
Jika curah hujan pada daerah sungai tinggu maka akan membuat debit air sungai
menjadi lebih besar dan membuat sungai meluap sehingga dapat mempengaruhi
kecepatan sungai.
Produktivitas primer adalah suatu proses pembentukan senyawa-senyawa
organik melalui proses fotosintesis. Nilai produktivitas primer dapat digunakan
sebagai indikasi tentang tingkat kesuburan suatu ekosistem perairan (Barus dkk.,
2008). Menurut Wetzel (1983), produktivitas primer adalah jumlah bahan organik
yang dihasilkan oleh organisme autotrof dengan bantuan cahaya matahari. Menurut
Smith (1992), dalam konsep produktivitas primer dikenal istilah Produktivitas Primer
Kotor (GPP) dan Produktivitas Primer Bersih (NPP). GPP adalah laju produksi
primer dari zat organik dalam jaringan tumbuhan yang digunakan untuk respirasi.
NPP adalah laju produktivitas primer zat organik dikurangi dengan yang digunakan
untuk proses respirasi. Respirasi adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk proses
respirasi. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity,
NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh
produsen untuk respirasi (Rs):
NPP = GPP Rs
Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energi
kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer,
produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% 90% dari produktivitas primer
kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil
bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang
mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik aktif.
Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energi persatuan luas persatuan waktu
(J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik) vegetasi yang

ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun


demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan
total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang
disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer
menunjukkan laju di

mana

organisme-organisme

mensintesis

biomassa baru.

Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar,
produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer
beberapa padang rumput yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).
Informasi mengenai produktivitas primer perairan penting diketahui
sehubungan dengan peranannya sebagai penyedia makanan (produsen) dalam
ekosistem perairan, serta perannya sebagai pemasok kandungan oksigen terlarut di
perairan (Clark, 1996). Tingkat produktivitas primer suatu perairan memberikan
gambaran apakah suatu perairan cukup produktif dalam menghasilkan biomassa
tumbuhan, terutama fitoplankton, termasuk pasokan oksigen yang dihasilkan dari
proses fotosintesis yang terjadi sehingga mendukung perkembangan ekosistem
perairan. Produktivitas perairan yang terlalu tinggi dpaat mengindikasikan telah
terjasi eutrofikasi, sedangkan yang terlalu rendah dapat memberikan indikasi bahwa
perairan tidak produktif atau miskin (Hariyadi dkk., 2000).
Plankton adalah organisme yang berkuran kecil yang hidupnya terombangambing oleh arus. Mereka terdiri dari makhluk yang hidupnya sebagai hewan
(zooplankton) dan sebagai tumbuhan (fitoplankton). Zooplankton ialah hewan-hewan
laut yang planktonik sedangkan fitoplankton terdiri dari tumbuhan laut yang bebas
melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis. Karena organisme
planktonik biasanya ditangkap dengan menggunakan jaring-jaring yang mempunyai
ukuran mata jarring yang berbeda, maka penggolongoan plankton dapat pula
dilakukan berdasarkan ukuran plankton. Penggolongan ini tidak membedakan
fitoplankton dari zooplankton, dan dengan cara ini dikenal lima golongan plankton,
yaitu : megaplankton ialah organisme plaktonik yang besarnya lebih dari 2.0 mm;
yang berukuran antara 0.2 mm-2.0 mm termasuk golongan makroplankton;

sedangkan mikroplankton berukuran antara 20 m-0.2 mm. Ketiga golongan inilah


yang biasanya tertangkap oleh jaring-jaring plankton baku. Dua golongan yang
lainnya: nanoplankton adalah organisme planktonik yang sangat kecil, yang
berukuran 2 m-0.2 mm; organisme planktonik yang berukuran kurang dari 2 m
termasuk golongan ultraplankton. Nanoplankton dan ultraplankton tidak dapat
ditangkap oleh jaring-jaring plankton baku.Untuk dapat menjaringnya diperlukan
mata jaring yang sangat kecil (Dianthani, 2003).
Ikan adalah makhluk hidup yang hidupnya diperairan dan juga ikan
merupakan parameter biologi yang dapat digunakan untuk meneliti parameter kualitas
air disuatu perairan. Jika disuatu perairan memiliki jenis ikan tertentu dalam jumlah
yang sedikit ini menunjukkan bahwa perairan itu tercemar atau kurang baik untuk
dilakukannya budidaya ikan, begitu pula sebaliknya, jika suatu perairan jumlahnya
yang terdapat didalamnya jumlah yang banyak dan beragam jenisnya, maka hal ini
menunjukkan bahwa perairan tersebut tidak mengalami pencemaran dan cocok untuk
pembudidayaan (Effendi, 2003).
Sistem saprobik merupakan sistem tertua yang digunakan untuk mendeteksi
pencemaran perairan dari bahan organik yang dikembangkan oleh Kolkwitz dan
Marsson (1908) in Nemerow (1991). Saprobitas menggambarkan kualitas air yang
berkaitan dengan kandungan bahan organik dan komposisi organisme di danau.
Komunitas biota bervariasi berdasarkan waktu dan tempat hidupnya. Dalam sistem
ini, suatu organisme dapat bertindak sebagai indikator dan mencirikan perairan
tersebut.
Sistem saprobik didasarkan pada zonasi yang berbeda yang mengalami
pengkayaan bahan organik yang dikarakteristikkan oleh tanaman (alga) dan hewan
(bentos) secara spesifik. Adanya pencemar organik yang masuk ke dalam danau terkait
dengan serangkaian waktu dan jarak aliran yang akan menciptakan kondisi lingkungan
yang bebeda di sepanjang danau dan menghasilkan suksesi komunitas akuatik yang
berbeda di danau (Nemerow 1991). Di sepanjang danau yang menerima limbah
tersebut, komunitas biota akan melakukan proses pemulihan kondisi kualitas air.

Menurut Basmi (1987), Indeks saprobitas adalah keadaan kualitas air yang
diakibatkan adanya penambahan bahan organik dalam suatu perairan yang biasanya
indikatornya adalah jumlah dan susunan spesies dari organisme didalam perairan
tersebut. Penggolongan kesuburan perairan beradasarkan kelimpahan plankton
(saprobitas) sebagai berikut:
Tabel 1. Range Indeks Saprobitas berdasarkan kelimpahan plankton
Kesuburan perairan
Kelimpahan plankton
Perairan Oligotrofik
< 2000 ind/L
Perairan Mesotrofik
2000-15000 ind/L
Perairan Eutrofik
>15.000 ind/L
Kolkwitz dan Marsson (1909) in Nemerow (1991) mengembangkan penilaian
atau penafsiran dalam penentuan sistem saprobik terhadap limbah organik, dan
kemudian membagi zona danau menjadi tiga zona berdasarkan karakteristiknya, yaitu:
1. Polisaprobik, merupakan zona perairan tercemar berat, kandungan bahan organik

sangat tinggi, kandungan oksigen terlarut rendah atau bahkan tidak ada sama
sekali, serta merupakan zona yang mengalami proses reduksi komunitas
(komunitas biota mengalami penurunan). Pada kondisi ini fitoplankton
didominasi oleh Euglenophyceae.
2. Mesosaprobik, merupakan zona perairan tercemar sedang, komponen bahan
organik lebih sederhana, kandungan oksigen lebih tinggi dibandingkan pada zona
polisaprobik. Di zona ini terjadi proses mineralisasi oleh bakteri (konversi bahan
organik menjadi bahan anorganik) yang hasilnya akan dimanfaatkan bagi
pertumbuhan alga dan hewan yang toleran pada zona ini.
3. Oligosaprobik, merupakan zona pemulihan, hanya terjadi pencemaran ringan
dengan kandungan oksigen normal dan proses mineralisasi berlangsung dengan
baik. Tumbuhan dan hewan dapat hidup baik di zona ini.
Klasifikasi oligosaprobik mencerminkan kualitas air bersih (berkaitan dengan
perairan yang tidak tercemar) yang menggambarkan proses mineralisasi berlangsung
dengan baik dan kandungan oksigen normal serta fitoplankton didominasi oleh

Desmidiaceae dan Chlorophyceae. Perairan -mesosaprobik merupakan perairan


tercemar ringan; fitoplankton didominasi oleh Chlorophyceae dan diatom, serta
Euglenophyceae mulai jarang/menghilang, dengan kandungan oksigen terlarut mulai
meningkat. Perairan -mesosaprobik merupakan perairan yang tercemar sedang;
fitoplankton didominasi oleh Euglenophyceae, alga biru, dan diatom. Perairan
polisaprobik mencerminkan perairan terpolusi berat; fitoplankton didominasi oleh
Euglenophyceae serta kandungan oksigen terlarut yang rendah (Nemerow, 1991).
Ciliata merupakan protista bersel satu yang permukaan tubuhnya di tumbuhi
rambut getar. Ciliata berasal dari kata cillium (rambut getar), sedangkan Ciliophora
bergerak menggunakan silia (rambut getar), sehingga ciliata dan ciliophora
merupakan hewan yang bergerak dengan menggunakan alat bantu rambut getar (cilia)
pada suatu fase hidupnya, yang digunakan sebagai alat gerak dan mencari makanan
(Imam, 1967).
Euglenophyta adalah organisme bersel satu yang mirip hewan karena tidak
berdinding sel dan mempunyai alat gerak berupa flagel sehingga dapat bergerak
bebas. Mirip tumbuhan karena memiliki klorofil dan mampu berfotosintesis. Hidup di
air

tawar,

dalam

tanah

dan

tempat

lembab,

contohnya:

Euglena.

Filum ini hidup dalam air tawar yang mengandung banyak bahan organik. Pada
permukaan perairan yang tidak bergerak, beberapa genus dari golongan Euglenacae
dapat membuat kista yang menutupi seluruh permukaan perairan dan berwarna hijau,
merah,kuning,

atau

warna

campuran

dari

ketiganya.

Euglena terdapat di air tawar, misal di sawah. Bentuk tubuh sel oval memanjang,
pada mulut sel terdapat cambuk atau flagel dan digunakan untuk bergerak. Dekat
mulut terdapat bintik mata (stigma) yang gunanya untuk membedakan gelap dan
terang. Di dalam sitoplasmanya terdapat butir kloroplas yang berisi klorofil. Oleh
karena

itu

Euglena

berwarna

hijau.

Contohnya

Euglena

viridis,

Euglena dapat membuat makanan sendiri dengan cara fotosintesis dan juga dapat
memakan zat-zat organik. Karena Euglena mampu melakukan fotosintesis maka
dikatakan hidup secara fotoautotrof. Di samping itu dikatakan juga sebagai heterotrof

karena memakan bahan organik yang tersedia. Cara berkembang biak yaitu dengan
membelah diri yang disebut pembelahan biner (Imam, 1967).
Chlorococcales (Protococcales) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sel-sel vegetatif tidak mempunyai bulu cambuk jadi tidak bergerak
2. Mempunyai 1 inti dan 1 kloroplas
3. Merupakan suatu koloni yang bentuknya bermacam-macam
4. Tidak lagi mengadakan pembelahan sel yang vegetatif.
5. Hidup sebagai plankton dalam air tawar, kadang-kadang juga pada kulit pohonpohon dan tembok-tembok yang basah
6. Ada yang hidup bersimbiosis dengan fungi sebagai Lichenes, bahkan ada yang
hidup dalam plasma binatang rendah, misalnya Chlorella vulgaris dalamInfusoria
dan Hydra.
Sistem reproduksinya ialah perkembangbiakan dilakukan dengan zoospora
yang mempunyai dua bulu cambuk, atau dengan spora yang tidak mempunyai bulu
cambuk yang dinamakan aplanospora.Perkembangbiakan denga isogami (antara lain
pada marga Pediastrum dan Hydrodictyon).
Ordo Chlorococcales terdiri dari beberapa famili / suku yaitu :
1. Suku Hydrodictyceae
Umumnya koloni, Dapat hidup di air tenang, maupun sedikit mengalir,
seluruhnya hidup di air tawar Contoh genus : Hydrodiction, Pediastrum,
Sorastrum.
contoh spesies : Pediastrum bonganum
2. Suku Chlorococcaceae
Menurut Imam (1967), Umumnya berbentuk kokus dan dalam koloni
berbentuk speris. Contoh genus : Chlorococcum dan neochloris.
Contoh Spesies : Chlorococcum humicale.
Kelas Diatomae (Ganggang kersik) adalah ganggang atau alga renik yang
termasuk dalam divisi thallophyta dan kelas diatomae atau bacillariophyta. Ganggang
jenis ini memiliki dua ordo, yakni centrales dan pennales. Keduanya dibedakan

berdasarkan bentuk fisiknya.Diatomae dari ordo centrales berbentuk silinder dan


hidup di laut, sementara diatomae dari ordo pennales berbentuk lonjong dan hidup di
air tawar. Diatomae adalah organisme bersel tunggal. Dinding selnya mengandung
pasir atau silikat (Si). Karena itu, ganggang ini juga dikenal sebagai ganggang
kersik. Susunan sel diatomae mirip sebuah kotak bertutup yang berwarna cokelat
pirang. Ganggang ini berkembang biak dengan cara membelah diri (Imam, 1967).
Kelas alga coklat-keemasan (chrysopyceae) pigmen yang dipunyai klorofil
(hijau) dan karoten (pigmen keemasan), hasil fotosintesis disimpan dalam bentuk
karbohidrat dan minyak, tubuhnya ada yang uniseluler, contohnya: Ochromonas
sedang ada pula yang multiseluler contohnya: Synura (Imam, 1967).

III.

METODE

A. Alat dan Bahan


Alat :
a. Tali rafia
b. Bola pingpong
c. Stopwatch
d. Termometer
e. pH meter
f. Gelas beker
g. Erlenmeyer
h. Mikroburet
1.
2.
a.
b.
c.
d.

Bahan :
Sampel air sungai Babarsari
Larutan MnSO4
Larutan KOH-KI
Larutan H2SO4

i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Turbidimeter
Siring
Penyaring
Botol terang
Botol gelap
Aluminium foil
Planktonet Botol flakon

Larutan Na2S2O3
Larutan NaOH
Larutan standar
Indikator amilum
Indikator PP
Formalin 4%

B. Cara Kerja
1. Pengukuran produktivitas primer
k. Botol gelap dan botol terang ukuran sama dimasukkan ke
dalam air, inkubasi selama 7 hari. Kandungan oksigen terlarut
dihitung. Selisih kandungan oksigen terlarut botol terang dan botol
gelap dihitung.
2. Identifikasi Fitoplankton dan Zooplankton
l. Air sungai diambil dengan ember 5 liter sebanyak 10 kali =
50 liter. Air sampel disaring dengan planktonnet yang di bawahnya
telah ditaruh botol flakon. Botol flakon ditetesi alkohol 70% sebanyak
2 tetes lalu dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Identifikasi
fitoplankton dan zooplankton dengan buku Fresh-water (Edmondson,
1959), hasil dicatat.
3. Indeks Saprobitas
m. Indeks saprobitas dihitung berdasarkan perbandingan
jumlah organisme dari kelompok Cilliata (Grup A), Euglenophyta
(Grup B), Chlorcoccales dan Diatomae (Grup C), Piridineae,
Chrysophyceae, dan Conjugatae (Grup D). Rumus Indeks saprobitas:
n.

Indeks Saprobitas=

C+3 DB3 A
A+ B+C+ D

4. Parameter Fisikokimia
o. Site sampling ditentukan, pH diukur dengan pH meter dan
suhu dengan thermometer. Kecepatan arus air diukur dengan
menggunakan bola pingpong yang dialirkan sesuai dengan aliran air,
waktu yang dibutuhkan gabus untuk bergerak sejauh 1 meter dicatat.
5. Oksigen Terlarut
p. Sampel air yang akan diukur diambil sebanyak 40 cc
dengan erlenmeyer. Ditambahkan MnSO4 sebanyak 8 tetes lalu
digoyang secara perlahan. Larutan KOH-KI ditambahkan sebanyak 8
tetes. Larutan H2SO4 pekat ditambahkan sebanyak 0,5 cc secara
perlahan melewati dinding erlenmeyer dan digoyang secara perlahan.

Air sampel ditambahkan hingga volume 50 cc dan didiamkan sela 10


15 menit. Campuran kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 hingga warna
berubah menjadi kuning jerami. Indikator amilum diteteskan sebanyak
8 tetes sehingga warna larutan menjadi biru. Titrasi dilanjutkan hingga
warna biru tepat hilang. Volume titran yang digunakan dicatat.
6. Karbon dioksida terlarut (DCO)
q. Sampel air sebanyak 20 cc dimasukkan ke dalam
erlenmyer. Indikator PP diteteskan sebanyak 3 tetes, apabila berwarna
merah maka tidak ada CO2 bebas dan percobaan dihentikan. Apabila
air sampel tetap (tidak timbul warna merah muda) dilanjutkan dengan
titrasi NaOH 0,002 hingga timbul warna merah muda. Volume NaOH
yang digunakan dicatat.
7. Pengukuran turbiditas
r. Turbidimeter dinyalakan dari OFF ke 20 NTU/200 NTU.
Larutan standar (0,5 NTU/5 NTU) dimasukkan ke dalam tabung
dengan menggunakan syringe. Tabung dimasukkan ke dalam
turbidimeter kemudian ditutup dan dibiarkan melakukan standarisasi.
Air sampel dimasukkan ke dalam tabung sampel dengan disaring
terlebih dulu. Tabung sampel dimasukkan ke turbidimeter kemudian
angka yang dibaca, satuan NTU (Nephelometric Turbidy Unit).
s.
t.
u.
v.
w.
x.
y.
z.
aa.
ab.
IV.
ac.
A. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN

ad.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mengenai
produktivitas primer dan kualitas air didapatkan hasil sebagai berikut:
ae. Tabel 2. Data Parameter Fisikokimia Sungai Babarsari (13 Mei
2016)
ah.
R

ag. Titik Sampling

af.

aj. S
t
a
s
i
u
n

ak. S
t
a
s
i
u
n

1
ao.

ap.

al.

am.

aq.

ar.

as.

at.

aw.

bf.

bd.

be.

bm.

bn.

bo.

bv.

bw.

ce.

cf.

cn.

co.

bx.

cg.

cp.
cq. Tabel 3. Nilai DO dan DCO2 Air Sungai Babarsari (13 Mei 2016)

cr.

cs. Titik Sampling

ct.

cv.

cy.
S

cz.
S

cu.

dl.

cw.

ds.

du.
eb.
ed.
ee.
ef.
eg.
eh.

Tabel 4. Nilai DO dan Produktivitas Primer Air Sungai Babarsari (20


Mei 2016)

ej. Titik Sampling


ep. S
t
a
s
i
u
n

ei.
K

eq. S
t
a
s
i
u
n

1
eu.

fd.

fn.

ev.

ew.

ex.

ey.

ez.

ek.

em.

el.

en.

fw.
G

fy.

gf.
R

gg.

gm.

gh.

go.
N

gq.

gu.

gv.

gw.

gx.
gy. Tabel 5. Indeks Saprobitas dan Tingkat Pencemaran Air Sungai
Babarsari (20 Mei 2016)

gz.

ha. Titik Sampling


hh. S
ta
si
u
n2

hg.
St

hl.

hm.

ho.

hp.

hq.

hz.

hb.
Tin

hd.
Tin

hc.
Sts

he.
Sts

hr.

hs.

ia.
1,9

ib.
2,4

ic.
B. Pembahasan
id.

Sungai merupakan perairan mengalir yang dicirikan oleh

arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1-1,0
m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, bentang alam
(topografi dan kemiringan), jenis batuan dasar dan curah hujan (Mulyanto,
2007). Pada percobaan produktivitas primer dan kualitas air sungai ini,
sungai yang akan diamati adalah sungai Babarsari. Sungai Babarsari
memiliki jelug yang tidak terlalu dalam sehingga dapat digunakan untuk
berjalan dari satu seberang ke seberang lainnya. Namun, dari segi

kebersihan, sungai ini terlihat agak kotor dan keruh dan juga terdapat
banyak bebatuan dan kerikil pada sekitar dan dasar sungai ini. Sungai
Babarsari ini tidak terpapar cukup sinar matahari karena adanya banyak
pepohonan yang menutupi air sungai Babarsari ini dari sinar matahari.
Agak banyak pula masyarakat yang melakukan aktivitas di sungai
tersebut, baik yang dilarang seperti MCK, maupun yang tidak dilarang
seperti memancing.
ie.
Produktivitas primer dan kualitas air sungai yang diteliti
adalah air sungai Babarsari di bagian rapid atau tengah sungai dan tepi
sungai, dimana sungai Babarsari ini tidak terlalu lebar sehingga jarak
antara sungai bagian rapid atau tengah dengan tepi sungai tidaklah jauh.
Pada percobaan ini akan dilakukan pengukuran parameter fisikokimia
sungai yang meliputi kecepatan arus, suhu, pH, dan jelug serta turbiditas.
Selanjutnya, akan dilakukan pula pengukuran DO dan CO secara aktual
dan

pengukuran

DO

seminggu

kemudian,

kemudian

dilakukan

pengamatan parameter biologis yaitu indeks saprobitas.


if.
Berdasarkan pengukuran parameter fisiko kimia sungai
yang telah dilakukan (tabel 2), diperoleh data kecepatan arus
sungai Babarsari di stasiun I (sub stasiun 1, sub stasiun 2, dan
sub stasiun 3) secara berturut-tururt adalah 0,4m/s, 2m/s, dan
2,7m/s, sedangkan pada stasiun II (sub stasiun 1, sub stasiun 2,
dan sub stasiun 3) secara berturut-turut adalah 0,36 m/s, 1m/s,
dan 2,35m/s. Berdasarkan data tersebut didapatkan rata-rata
kecepatan arus sungai stasiun I dan stasiun II secara berturutturut adalah 1,7 m/s dan 1,24 m/s. Berdasarkan rata-rata
kecepatan arus sungai stasiun I dan stasiun II dapat dilihat
bahwa arus sungai Babarsari di stasiun 1 lebih cepat
dibandingkan dengan arus sungai Babarsari stasiun 2. Pada
tabel 2 juga dilakukan pengukuran kedalaman sungai dan
diperoleh rata-rata kedalaman pada stasiun I dan stasiun II
adalah 0,30 m dan 0,43. Menurut Siahaan dkk., (2011)
Kecepatan arus sungai berfluktuasi (0,09-1,4 m/detik) yang

semakin melambat ke hilir. Faktor gravitasi, lebar sungai dan


material yang dibawa oleh air sungai mempengaruhi kecepatan
arus sungai. Hal ini sesuai dengan teori karena kecepatan arus
sungai berbanding lurus dengan kedalaman air sungai.
Kecepatan arus sungai stasiun II lebih cepat kecepatan arus
sungainya dibandingkan stasiun I yang kedalamannya lebih
ig.

dangkal.
Berdasarkan tabel 2 juga diperoleh hasil pengukuran suhu

air pada stasiun I (sub stasiun 1, sub stasiun 2, dan sub stasiun 3) secara
berturut-tururt adalah 29 C, 27 C, dan 26 C dan pada stasiun II (sub
stasiun 1, sub stasiun 2, dan sub stasiun 3) secara berturut-turut adalah 29
C, 29 C dan 28 C. Berdasarkan data tersebut didapatkan rata-rata suhu
pada stasiun I dan stasiun II adalah 27,33 C dan 28,67 C. Menurut Irianto
(2005), suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat
menyebabkan gangguan kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres
yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal.
Pada suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih
rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya
sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung
oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan menurunnya laju
pernafasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan
pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen. Menurut Victor dan
Fufeyin (1993), suhu air di permukaan berkisar antara 22-28 oC. Maka,
suhu air sungai Babarsari masih sesuai standar suhu air sungai pada
umumnya.
ih.

Pada pengukuran pH (tabel 2) diperoleh data pada stasiun I

(sub stasiun 1, sub stasiun 2, dan sub stasiun 3) secara berturut-turut


adalah 7,49; 7,50 dan 7,49. Pada stasiun II (sub stasiun 1, sub stasiun 2,
dan sub stasiun 3) secara berturut-turut adalah 7,51; 7,55; dan 7,55.
Berdasarkan data pengukuran pH didapatkan rata-rata pH pada stasiun I
dan II adalah 7,50 dan 7,54. Pada pengukuran turbiditas (tabel 2)
didapatkan rata-rata pada stasiun I dan II adalah 3,94 dan 3,95. Menurut

Sastrawijaya, (1991), Air yang mempunyai pH antara 6,7 8,6


mendukung populasi ikan di kolam. Jika kurang atau lebih dimungkinkan
karena ada pencemaran seperti pabrik bahan kimia, pupuk, kertas,
mentega, keju, dan lainnya. Setelah dilakukan pengukuran turbiditas
didapatkan rata-rata turbiditas stasiun I dan II adalah 3,94 dan 3,95.
Standar nilai turbiditas air sungai yaitu 5, jika nilai yang diperoleh di
bawah 5, kualitas air semakin baik. Jadi, berdasarkan hasil percobaan,
kualitas air di Sungai Babarsari baik pada stasiun 1 dan 2. Turbiditas
tergolong kedalam parameter fisik atau biasa disebut tingkat kekeruhan
sungai. Tingkat kekeruhan suatu perairan disebabkan antara lain oleh
adanya lumpur, banyaknya bahan-bahan organik seperti sampah, air
detergent buangan bekas cucian yang menurunkan populasi fitoplankton
yang berakibat rendahnya kualitas air tersebut. Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kualitas air sungai babarsari
bagus, karena sudah sesuai dengan teori.
ii.
DO (Dissolved Oxygen) merupakan jumlah oksigen yang
terlarut dalam air yang juga merupakan faktor penting kualitas air sungai.
Berdasarkan pengukuran DO yang telah dilakukan (tabel 3). Setelah
dilakukan praktikum pada tanggal 13 Mei 2016 didapatkan hasil rata-rata
DO pada stasiun I dan stasiun II adalah 4,67 ppm dan 6,47 ppm. Menurut
Supriharyono (1978), ada penggolongan kualitas air berdasarkan
kandungan oksigen terlarut yang dapat dilihat pada tabel 6 dan 7.
ij. Tabel 6. Penggolongan Kualitas Air Berdasarkan Kandungan
Oksigen Terlarut
ik.
il. Kandungan Oksigen Terlarut
im.
K
io.

>8, atau pernah terjadi, walaupun dalam


jangka waktu yang sangat pendek

ip.
Sa

ir. 6

is.
Ba

iu. 4

iv.
Kr

jd.

ix. 2

iy.
B

ja. < 2

jb.
Sa

jc. Tabel 7. Penggolongan Pencemaran Air Berdasarkan


Kandungan Oksigen Terlarut
je. Kandungan
jf. Kualitas Air
Oksigen
Terlarut
jh. >6,5
ji. Tidak tercemar /
tercemar sangat
ringan
jk. 4,5 6,5
jl. Tercemar ringan
jn. 2,0 4,4
jo. Setengah tercemar /
sedang
jq. < 2,0
jr. Tercemar berat
js.
jt.
Berdasarkan data kadar DO yang diperoleh, dapat dilihat

bahwa kualitas air sungai Babarsari masih dalam taraf baik, dimana airnya
belum tercemar atau tercemar sangat ringan.
ju.
Chemical Oxygen Demand (DCO) merupakan jumlah
oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi buangan
dalam air melalui reaksi kimia. Bahan organik tersebut
dapat berasal dari alam maupun aktivitas rumah tangga
dan

industri.

Menurut

Effendi

(2003),

perairan

yang

memiliki nilai DCO kurang dari 20 mg/L termasuk perairan


tidak

tercemar.

Sedangkan

untuk

perairan

yang

96

tercemar mempunyai nilai DCO lebih dari 200 mg/L dan


pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L. DCO
yang diperoleh adalah rata-rata pada stasiun I dan II adalah 1,25 ppm dan
0,28 ppm. Sehingga, hasil yang diperoleh pada setiap stasiun tidak
tercemar.
jv.

Berdasarkan data DO awal, DO botol terang dan gelap yang

telah diperoleh pada air sungai Babarsari, maka dapat diperoleh hasil
produktivitas primer bersih rata-rata DO pada botol terang pada stasiun I

dan II adalah 4,33 ppm dan 5,28 ppm, sedangkan pada botol gelap pada
stasiun I dan II adalah 4,15 ppm dan 5,48 ppm. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin rendah nilai produktivitas primer bersih maka semakin
buruk pula kualitas air tersebut karena pencemarannya juga berkurang
seiring dengan berkurangnya nilai produktivitas primer bersih.
jw.
Indeks saprobitas dilakukan untuk menentukan kualitas air
sungai berdasarkan polutan yang terdapat dalam air berupa senyawa
beracun atau nutrien. Penentuan indeks saprobitas dilakukan dengan cara
identifikasi zooplankton dan fitoplankton yang terdapat dalam sungai,
kemudian dilanjutkan dengan perhitungan indeks saprobitas dengan
rumus:
jx.

Indeks saprobitas=

C+ 3 DB3 A
A+ B+C + D

jy. Maka, indeks saprobitas yang diperoleh dengan cara


perhitungan dengan rumus di atas pada stasiun 1 adalah 1,96;
stasiun 2 adalah 1,28. Menurut Anggoro (1983), kisaran indeks
saprobitas yaitu:
jz. Tabel 8. Kisaran Indeks Saprobitas
ka. Indeks Saprobitas
kb. Tingkat Pencemaran
kc. 1,0 1,5
kd. Sangat ringan
ke. 1,5 2,5
kf. Ringan
kg. 2,5 3,5
kh. Sedang
ki. 3,5 4,5
kj. Berat
kk.
Berdasarkan kisaran indeks saprobitas tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa air sungai Babarsari tergolong cukup aman karena
tingkat pencemarannya ringan. Hasil pengamatan indeks saprobitas ini
sesuai dengan hasil pengamatan kadar DO, dimana juga menunjukkan
bahwa kualitas air sungai Babarsari tergolong baik.
kl.
Berdasarkan produktivitas primer bersih (NPP) yang
didapatkan pada stasiun I dan II adalah -1,59 dan -1,19. Menurut
Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi
produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon
yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik
aktif. Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energi persatuan luas

persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering


organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per
satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu
ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof
fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut
biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer
menunjukkan laju di

mana

organisme-organisme

mensintesis

biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman


tegakan

yang

sangat

besar,

produktivitas

primernya

mungkin

sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput


yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).
km. Pada saat dilakukan pengukuran pad tanggal 13 Mei 2016
di Sungai Babarsari dilakukan praktikum pukul 07.30 wib, dan cuaca yang
cukup cerah, dilingkungan sekitar terdapat banyaknya batu-batu dan
sampah disekitar sungai. Berikut adalah denah Sungai babarsari beserta
keterangannya :

ko.

kn.
Gambar 1. Denah lokasi Praktikum Produktivitas Primer

dan Kualitas Air


kp.

kq.
kr.
ks.
kt.
ku.
kv.
kw.
kx.
ky.
kz.
la.
lb.
lc.
ld.
le.
lf.
V.

KESIMPULAN

lg.
lh.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan

simpulan sebagai berikut :


1. Setelah dilakukan pengukuran NPP didapatkan hasil NPP pada stasiun I
adalah 1,59 dan pada stasiun II adalah 1,19.
2. Nilai DO awal sungai stasiun I adalah 4,67 ppm dan pada stasiun II adalah
6,47 ppm. Nilai DCO pada stasiun I adalah 1,25 ppm dan pada stasiun II
adalah 0,28 ppm. Berdasarkan data kadar DO yang diperoleh, dapat dilihat
bahwa kualitas air sungai Babarsari masih dalam taraf baik, dimana airnya
belum tercemar atau tercemar sangat ringan.
3. Indeks saprobitas yang diperoleh dengan cara perhitungan dengan rumus
di atas pada stasiun 1 adalah 1,96; stasiun 2 adalah 1,28. Berdasarkan
kisaran indeks saprobitas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa air
sungai Babarsari tergolong cukup aman karena tingkat pencemarannya
ringan.
li.
lj.
lk.
ll.
lm.
ln.

lo.
lp.
lq.
lr.
ls.
lt.
lu.
lv.
lw. DAFTAR PUSTAKA
ly.
lz.
ma.
mb.

lx.
Anggrahini. 1997. Hidrologi Saluran Terbuka. CV. Citra Media,
Surabaya.
Barus, T. A., Sinaga, S. S. dan Tarigan, R. 2008. Produktivitas Primer
Fitoplankton dan Hubungannya dengan Faktor Fisik-Kimia Air di
Perairan Parapat, Danau Toba. Jurnal Biologi Sumatera. 3 (1): 11-16.
Basmi, J. 2000. Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. IPB,
Bogor.
Clark, J. R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis
Publishers, Washington DC.
mc.Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
md. Dianthani, D. 2003. Identifikasi Jenis Plankton Di Perairan
Muara Badak
Kalimantan Timur. Program Pasca Sarjana /S3. Institut Pertanian

mf.

mi.
mj.
mk.
ml.
mm.

me.
Bogor.
Hariyadi, S., Adiwilaga, E. M., Prartono, T., Hardjoamidjojo, S. dan
Damar, A. 2000. Produktivitas Primer Estuari Sungai Cisadane pada
Musim Kemarau. Limnotek. 17 (1): 49-57.
mg. Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada
University Press.
mh. Yogyakarta
Makrup, L. 2001. Dasar-Dasar Analisis Aliran di Sungai dan Muara. UII
Press, Yogyakarta.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan
Laboratorium. Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Mulyanto, H. R. 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Nybakken, J. W. 1982. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis.
Gramedia, Jakarta.
Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

mn.

Siahaan, R., Indrawan, A., Soedharma, D. dan Prasetyo, L. B. 2011.


Kualitas Air Sungai Cisadane, Jawa Barat, Banten. Jurnal Ilmiah Sains.
11 (2): 268-276.

mo.

Smith, R.L. (1992). Elements of Ecology. 3rd Ed. Harpercollins Pub., New
York.

mp.

Wetzel, R. G. 1983. Limnology. Saunders College Publishing, United


States of America.
mq. Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2002. Biologi
(terjemahan), Edisi
mr.
kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta.
ms. Nemerow, N. L. 1991. Stream, Lake, Estuary, and Ocean
Pollution. Second
mt.
Edition. Van Nostrand Reinhold. New York. Sladecek, U. 1979.
Continental System For The Assessment of River Quality. p 3- 3-27. In
James, A. dan L. Evison. Botanical Indicator of Water Quality. John Wiley
and Sons Ltd. Chicester. New York. Brisbane. Toronto.
mu.

Anda mungkin juga menyukai