Anda di halaman 1dari 21

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan

fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai
beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (ureakreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri. Tergantung dari
keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme
tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan
hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai
organ tubuh lainnya. Diagnosis GGA berdasarkan pemeriksaan laboratorium
ditegakkan bila terjadi peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0,5 mg%
pada pasien dengan kadar kreatinin awal <2,5 mg% atau meningkatkan >20%
bila kreatinin awal >2,5mg%.
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut
(GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang
nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens.
Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas
kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat
terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat
meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam,
meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi
diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif.
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam
48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25
mol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5
mL/kg/hr selama >6 jam. Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang
menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa
metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan.
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan LFG dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu hal
tersebut dikatakan sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional
yang seragam sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang
digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Atas dasar hal
tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para
nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah
ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat
membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian
istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi
gangguan ginjal.
Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1)
kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja
perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis
penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang
sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului
peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr

serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker)


penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja.
2.3 ETIOLOGI
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI,
yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara
langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
(AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari
tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal

I. Hipovolemia
-

Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular

Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,


obstruksi
-

usus

Kehilangan darah

Kehilangan cairan ke luar tubuh

Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase),


melalui saluran
kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik),
melalui kulit
-

(luka bakar)

II. Penurunan curah jantung


-

Penyebab miokard: infark, kardiomiopati

Penyebab perikard: tamponade

Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal

Aritmia

Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


-

Penurunan resistensi vaskular perifer

Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis


berlebihan
(contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat,
antihipertensi)

Vasokonstriksi ginjal

Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,


takrolimus,
-

amphotericin B

Hipoperfusi ginjal lokal

Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal


-

Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen

Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis,


hipertensi
kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi
maligna),
penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX2inhibi
tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis,
hiperkalsemia,
sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras)
-

Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen

Penggunaan penyekat ACE, ARB

Stenosis a. renalis

V. Sindrom hiperviskositas
AKI Renal

Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

I. Obstruksi renovaskular
Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis,
emboli,
diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis
(trombosis,
-

kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal


-

Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)


-

Iskemia (serupa AKI prarenal)

Toksin

Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik,

kemoterapi,
pelarut organik, asetaminofen), endogen
(rabdomiolisis, hemolisis,
-

asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial


Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi
(bakteri,
viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia,
sarkoidosis),
-

idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular


Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir,
metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI pascarenal

I. Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan,
kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
-

Striktur, katup kongenital, fimosis

2.4 KLASIFIKASI
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari
3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2
kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat
pada tabel 2. (Roesli R, 2007).
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Kategori

Peningkatan kadar
SCr

Penurunan LFG

Kriteria UO

Risk

>1,5 kali nilai dasar

>25% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam,
>6 jam

Injury

>2,0 kali nilai dasar

>50% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam,
>12 jam

Failure

>3,0 kali nilai dasar

>75% nilai dasar

<0,3 mL/kg/jam,
>24 jam

Loss

Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4


minggu

End stage

Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3


Bulan

2.5 PATOFISIOLOGI
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri
dari kapsula Bowman yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri
ke duktus pengumpul.

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah (9):

Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen

Timbal balik tubuloglomerular.

Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi otoregulasi. (Sudoyo dkk, 2007)

AKI Pra Renal


Pada AKI pra renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan
hipovolemi, akan terjadi penurunan tekanan darah yang mengaktivasi
baroreseptor kardiovaskularyang selanjutnya mengaktivasi sistim saraf simpatis,
sistim renin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung serta perfusi ginjal. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh
refleks miogenik, prostaglandin, dan nitrit oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol
afferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotendin-II dan ET-1. Pada hipoperfusi
ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu

dimana arteriol afferen mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan


peningkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut pre renal atau acute
kidney injury fungsional belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. (Sudoyo
dkk, 2007)
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis intrarenal
menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai
macam obat seperti ACE inhibitor, NSAID terutama pada pasien-pasien berusia di
atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2mg/dL sehingga dapat
terjadi acute kidney injury pre renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung.
Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang
merupakan resiko AKI pra rena; seperti penyempitan pembuluh darah ginjal
(penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis
intrarenal. (Sudoyo dkk, 2007)

AKI Renal
Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan
nekrosis tubular akut (NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan vaskular dan
tubular
Kelainan vaskular
Pada kelainan vaskular terjadi:
1.
Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus yang
menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan
gangguan otoregulasi.
2.
Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel
endotel vaskular ginjal yang mengakibatkan peningkatan angiotensin II dan ET-1
serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitrit oxide yang berasal dari
endotelial NO-sintase.
3.
Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor (TNF) dan
interleukin-18 (IL-18), yang selanjutnya meningkatkan ekspresi dari intraseluler
adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan
perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses di atas secara bersamasama menyebabkan vasokontriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan
GFR. (Sudoyo dkk, 2007)

Patofisiologi acute kidney injury di renal.

Kelainan Tubular
Pada kelainan tubular terjadi:
1.
Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sostolik
phospholipase A2 serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan
sitoskeleton. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan basolateral Na +/K+ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di tubulus
proksimalis serta terjadi pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut
mengakibatkan peningkatan umpan tubuloglomerular.
2.
Peningkatan NO yang berasal dari inducable NO sintase, caspases, dan
metalloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan
nekrosis dan apoptosis sel.
3.
Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama
debris seluler akan membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalm hal ini
pada thick assending limb diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang
disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang kemudian berubah
menjadi polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan adanya
natrium yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik THP
bersama sel epitel tubulus yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik, maupun
yang apoptopik, mikrovili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan
membentuk silinder-silinder yang akan menyebabkan obstruksi tubulus ginjal.
4.
Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari
cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi peritubuler.

Keseluruhan proses tersebut di atas secara bersama-sama yang akan


menyebabkan penurunan LFG.(Sudoyo dkk, 2007)

AKI Post Renal


Merupakan 10% dari kejadian keseluruhan AKI. AKI post renal disebabkan oleh
obstruksi intrarenal dan ekstra renal. (Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi intrarenal
Terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein
(mioglobin dan hemoglobin)(Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi ekstrarenal
Dapat terjadi pada pelvus ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu,
nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal,
fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat)
dan uretra (striktura). (Sudoyo dkk, 2007)
AKI post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak
berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi
peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal
ini disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxaneA2 dan A-II.Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
menetap. Fase ke-3 atau fase kronik,ditandai oleh aliran ginjal yang makin
menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa
minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50%dari normal dan setelah 2
minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai
terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang
menyebabkan fibrosis interstisial ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)

Batu pada ginjal

2.6 PENDEKATAN DIAGNOSIS


Anamnesis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada penyakit
ginjal kronik (PGK). Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua
keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI,
pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit
(pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya
dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun
dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik
dan penyakit ginjal polikistik. (Kasper et al, 2005) Upaya pendekatan diagnosis
harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan
komplikasi.

Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan urine
output dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan
penggunaan OAINS, ACE inhibitor dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous
pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati
kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI
renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak
memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat
nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam
urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda
yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi
maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra
atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung
kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan
obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun
iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong
adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat
dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.
(Sudoyo dkk, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandungcast hialin yang
transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,
walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau

penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis
tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy brown granular
cast pada nefritis interstitial.

Gambaran muddy brown granular cast

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan
pada penentuan tipe AKI.

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga

mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)


terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin
x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang
dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada
seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang
menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa.
Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah
mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada
beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan
mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini
dengan fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula
menunjukkan hasil kurang dari 1%. (Schrier, Poole, Mitra; 2004)
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah
pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50
cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya
dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal.
Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan
angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. (Kasper et al, 2005)
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan.
Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang
memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.
(Kasper et al, 2005)

Peranan Penanda Biologis


Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr serum, LFG
dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain:
1)
Sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan
latihan fisik yang berat
2)
Tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan
ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomerulus atau tubulus)
3)
Tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat
dibandingkan penurunan LFG dan tidak baik dipakai sebagai parameter
pemulihan.
Penghitungan LFG menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan
perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang
stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat ditangkap oleh
rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh
faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan
keadaan tersebut menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada
saat ini, yang dapat berpengaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata laksana
sehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita.

Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI
secara dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan
penyebab AKI, menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis
AKI. Penanda biologis dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada
umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein
tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger isoform 3), penanda
kerusakan tubulus (cystatin C, a-1 mikroglobulin,retinol-binding protein, NAG).
(Han et al, 2008; Coca et al, 2008)
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa:

IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan


penyebab AKI

NGAL, IL-18, GST-p , dan g-GST merupakan penanda potensial diagnosis


dini AKI

NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian


setelah AKI. (Coca et al, 2008)
Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel
pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum ada penanda
biologis yang beredar di Indonesia. (Roesli, 2007)
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan
kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah
dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)

2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat
kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.
Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik
dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi
yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai
upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi
kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis,
diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah:
a.
Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak
dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau
dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30
menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
b.
Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian

cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara


tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan
terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap
oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat
menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik,
menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4
jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin,
pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sjabani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal,
LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga
tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar
plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis
secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh
darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa
ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis
renal seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia
miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lainlain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan
pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis,
dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas.
Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok,
sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal
(Robert Sinto, 2010).

Komplikasi dan Penatalaksanan


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif,
sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Robert, 2010)

TERAPI PENGGANTI GINJAL


Yang dimaksud Terapi Pengganti Ginjal (TPG) adalah usaha untuk menggantikan
fungsi ginjal penderita yang telah menurun dengan menggunakan ginjal buatan
(dialisis/hemofiltrasi). Pada TPG seperti dialysis atau hemofiltrasi yang dapat
diganti hanya fungsi eksokrin dan fungsi pengaturan cairan dan elektrolit, serta
ekskresi sisa-sisa metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi
pengaturan tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal maupun
integritas tulang tidak dapat digantikan oleh jenis terapi ini. Indikasi TPG pada
penderita gagal ginjal akut sangat berbeda bila dibandingkan dengan indikasinya
pada gagal ginjal terminal. Indikasi TPG pada gagal ginjal akut adalah untuk

mempertahankan homeostasis tubuh (live or organ saving) dengan melakukan


perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostasis yang terjadi, disamping
dapat menghindari terjadinya overhidrasi akibat pengobatan. Sedangkan pada
gagal ginjal terminal adalah untuk menggantikan fungsi ginjal secara permanent.
Dibawah ini daftar indikasi TPG untuk penderita gagal ginjal akut:
Kriteria awal untuk pasien kritis dewasa yang memerlukan terapi pengganti
ginjal:

Oliguria (output urin 200ml/12 jam)

Anuria (output urin <50 ml/12 jam)

Hiperkalemia (K+ >6,5 mmol/L)

Asidemia berat (pH <7,1)

Azotemia (urea >30 mmol/L)

Organ signifikan (edema paru)

Ensefalopati uremia

Perikarditis uremia

Neuropati/miopati uremia

Disnatremia berat (Na >160 atau <15 mmol/L)

Hipertermi

Overdosis obat dengan toksin dialysis.

Adanya salah satu gejala pada tabel diatas sudah dapat menjadi indikasi untuk
melakukan TPG.Adanya dua atau lebih gejala menjadi indikasi kuat untuk segera
melakukan TPG.
Ada berbagai jenis TPG yang dapat digunakan untuk penderita gagal ginjal akut
kritis. Dewasa ini CRRT (Continous Renal Replacement Therapy) dan SLED
(Sustained Low Efficiency Dialysis) adalah teknik TPG yang paling sering
digunakan. Masing-masing TPG mempunyai indikasi yang spesifik, derajat
kesulitan dalam teknik, monitoring yang berbeda, serta perbedaan dalam biaya
pengobatan yang dibutuhkan.
Berdasarkan prinsip translokasi ion ada 2 jenis TPG, yaitu:

Dialisis (Hemodialisis, dialysis peritoneal), prinsip dasarnya adalah


osmosis/ dialysis, dibutuhkan cairan dialisat.

Dialysis peritoneal
Dialysis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penanganan pasien GGA, menggunakan membran peritoneum yang bersifat
semipermeabel.

Prinsip dasar dialisis peritoneal


Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai kateter peritoneum untuk dipasang
pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak
dalam kavum douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan ke dalam
kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bentindak
sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum
peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa
metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin lain yang dalam
keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan
tertimbun dalam plasma darah karena kadarnya yang tinggi akan melalui difusi
melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari
sana akan dikeluarkan oleh tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat
yang sudah di keluarkan diganti dengfan cairan dialisat baru.
Cairan dialisat adalah cairan yang mengandung elektrolit dengan kadar seperti
dalam plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat : natrium,
kalsium, magnesium, klorida, laktat glukosa. Pada umumnya cairan dialisat tidak
mengandung kalium karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang
tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal.

Indikasi dialisis peritoneal


1.
dialisis peritoneal pencegahan : dilakukan setelah diagnosis GGA
ditegakkan
2.
a.

dialisis peritoneal dilakukan ats indikasi :


indikasi klinis : keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata

b.
indikasi biokimiawi : ureum darah > 200 mg % ; kalium < 6 mEq/ L ;
HCO3 < 10-15 mEq/ L ; pH < 7,1
Keuntungan dialysis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara
teknis lebih sederhana, cukup aman, serta cukup efisien dan tidak memerlukan
fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan disetiap rumah sakit.

Filtrasi (CRRT) prinsip dasarnya adalah filtrasi/konveksi, dibutuhkan cairan


substitusi.
CRRT merupakan terapi penggati ginjal yang berkesinambungan.
Prinsip dasar CRRT
Membuang (translokasi) zat- zat dengan kadar yang berlebihan keluar tubuh.
Zat-zat ini dapat berupa yang terlarut dalam darah (solute), seperti toksin
ureum, kalium, dll. Atau zat peralutnya yaitu air atau serum darah (solution). Di
dalam proses CRRT tranlokasi terjadi di dalam ginjal buatan (dialyzer), yang
terdiri dari 2 kompartemen atau ruangan, yaitu kompartemen darah dan
kompartemen dialisa. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran

semipermeabel. Perbedaan tekanan antara kedua kompartemen disebut trans


membran pressure (TMP). Darah dari dalam tubuh akan dialirkan ke
kompartemen darah, sedang cairan dialisat dialirkan ke kompartemen dialisat.
Translokasi dapat terjadi dengan mekanisme difusi atau ultrafiltrasi.

2.8 PROGNOSIS
Kematian biasanya disebabkan karena penyakit penyebab, bukan gagal ginjal itu
sendiri. Prognosis buruk pada pasien lanjut usia dan bila terdapat gagal organ
lain. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30%-50%), perdarahan
terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal napas 10%, dan
gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan sebagainya.
( Price & Wilson. 2005)

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam
48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25
mol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5
mL/kg/hr selama >6 jam. Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang
menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa
metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan.
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI,
yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara
langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
(AKI pascarenal,~5%).
Gejala klinis dari AKIyang tampak adalah adanya oligouri , anuria, high output
renal failure BUN, dan kreatinin serum yang meningkat. Tujuan utama dari
pengelolaan AKI adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,
mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi

metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal
ginjalnya sembuh secara spontan.

DAFTAR PUSTAKA
1.
Bagshaw SM, George C, Bellomo R. 2008. A Comparison of The RIFLE and
AKIN Criteria For Acute Kidney Injury in Critically Ill Patients. Nephrol Dial
Transplant
2.
Coca SG, Parikh CR. 2008. Urinary Biomarkers for Acute Kidney Injury:
Perspectives on Translation. Clin J Am Soc Nephrol.
3.
Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.
2005. Harrisons Principle of Internal Medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill
4.
Lattanzio MR and Kopyt NP. 2009. Acute Kidney Injury: New Concepts in
Definition, Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment. University of Maryland
Medical Center in Baltimore and Nephrology Hypertension Associates of the
Lehigh Valley
5.
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
6.
Roesli R. 2007. Kriteria RIFLE Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk
Menegakkan Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Ginjal
Hipertensi
7.
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure:
Definitions, Diagnosis, Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
8.
Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
9.
Sudoyo AW dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI

Anda mungkin juga menyukai