Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diagnosis dan intervensi komunitas
Diagnosis dan intervensi komunitas adalah suatu kegiatan untuk
menentukan adanya suatu masalah kesehatan di komunitas atau masyarakat
dengan cara pengumpulan data di lapangan dan kemudian melakukan intervensi
sesuai dengan permasalahan yang ada. Diagnosis dan intervensi komunitas
merupakan

suatu

prosedur

atau

keterampilan

dari

ilmu

kedokteran

komunitas.Dalam melaksanakan kegiatan diagnosis dan intervensi komunitas


perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran adalah komunitas atau sekelompok
orang sehingga dalam melaksanakan diagnosis komunitas sangat ditunjang oleh
pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat (epidemiologi, biostatistik, metode
penelitian, manajemen kesehatan, promosi kesehatan masyarakat, kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan gizi).
2.2

Konsep Perilaku

2.2.1. Pengertian Perilaku


Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan dan aktivitas
organisme yang bersangkutan. Pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari
manusia sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain :
berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal (internal
activity)seperti berfikir, persepsi, dan emosi juga merupakan prilaku manusia.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,
maupun secraa tidak langsung (Notoatmodjo, 2011).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2011),
merumuskan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan anatara perangsang
(stimulus) dan tanggapan dan respon.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2011) :
1. Responden respon atau reflexive response
Responden respon ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsanganrangsangan tertentu. Perangsangan-perngsangan yang semacam ini disebut
1

dengan eliciting stimulusi karena menimbulkan respon-respon yang relatif


tetap. Sebagai contoh makanan yang lezat menimbulkan keluarnya air liur.
Responden respon ini mencangkup juga emosi respon atau emotional
behavior. Emotional

behaviorini timbul

karena

hal yang kurang

mengenakkan yang bersangkutan, misalnya menangis karena sedih atau


sakit.
2. Instrumen respon atau Operant response
Instrumen respon ialah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti
oleh

perangsangan

tertentu.

Perangsangan

ini

disebut

reinforcing

stimulus/reinforcerkarena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat


respon yang telah dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu rangsangan
mengikuti atau memperkuat suatu perilaku tertentu yang telah dilakukan.
Sebagai contoh seorang anak belajar kemudia memperoleh suatu hadiah
maka ia akan menjadi lebih giat belajar dengan kata lain responnya akan
menjadi lebih inntensif / lebih kuat lagi.
2.2.2

Prosedur Pembentukan Perilaku


Untuk membentuk suatu jenis respon atau perilaku ini perlu diciptakan adanya

suatu kondisi tertntu yang disebut operant conditioning.Prosedur pembentukan perilaku


dalam operant conditioning ini menurut skinner adalah sebagai berikut :
1. Melakukan indentifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer berupa hadiah-hadiah bagi perilaku yang akan terbentuk .
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen
tersebut disusun dalam urutan yang tepat menuju kepada terbentuknya perilaku
yang dimaksud.
3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagian tujuantujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing
komponen tersebut.
4. Melakukan pembentukan perilaku yang menggunakan urutan komponen yang
telah tersusun. Sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.
2.3 Perilaku Kesehatan
2.3.1 Pengertian Perilaku Kesehatan.
2

Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2011) adalah suatu respon


seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit
atau penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan.
Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan
sikap) maupun bersifat aktif (tindakan nyata atau praktis). Sedangkan stimulus
terdiri dari empat unsur pokok yakini : sakit, dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan dan lingkungan
2.2.3 Klasifikasi Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2011) ini mencakup :
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit.
Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia
berespon baik secraa pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsikan
penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun aktif
(tindakan yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut).
Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit yakni :
a.

Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan


kesehatan (health promotion behavior) misalnya makanan bergizi,
olahraga, dsb.

b. Perilaku pencegahan penyakit ( health prevention behavior) misalnya


tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk, imunisasi.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behavior) misal mengobati sendiri penyakitnya atau mencari
pengobatan ke puskesma, rs, dukun, dsb.
d. Perilaku

sehubungan

dengan

pemulihan

kesehatan

(health

rehabilitation behavior) misal melakukan diet, mematuhi anjuran


dokter dalam rangka pemulihan kesehatan.
2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan moderen
maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas
kesehatan, cara pelayanan, petugas kesehatan, obat-obatan.
3

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior)


Perilaku terhadap makanan adalah respon seseoramg terhadap makanan
sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Unsur-unsur yang terkandung
didalamnya zat gizi, pengolahan makanan, dsb.
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan.
Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respon seseorang
terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku ini
mencakup air bersih, pembuangan air kotor, limbah, rumah yang sehat,
pembersihan sarang-sarang nyamuk.
Menurut Becker (1979), seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2011), mengajukan
klasifikasi prilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) :
1. Perilaku kesehatan (health behavior)
2. Perilaku sakit (sick behavior)
3. Perilaku peran sakit (the sick behavior)
2.2.4. Domain Perilaku
Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967,
teori ini lebih memperhatikan hubungan antara kepercayaan yang berhubungan dengan
perilaku &norma, sikap, tujuan, dan perilaku. Pada tahun 1967, TRA mengalami
perkembangan (oleh Fishbein) yaitu sebuah usaha untuk mengerti/ memahami
hubungan antara sikap dan perilaku. Banyak studi sebelumnya dari hubungan ini yang
menemukan secara relative korespondensi yang rendah diantara sikap-sikap dan
perilaku, serta beberapa teori yang bertujuan menghapuskan sikap sebagai sebuah
factor yang mendasari perilaku (Fishbein, 1993; Abelson, 1972; Wicker, 1969).
Theory of Reasoned Action mengambil sebuah rangkaian sebab musabab yang
menghubungkan kepercayaan yang berhubungan dengan perilaku dan keyakinan norma
untuk tujuan yang berhubungan dengan perilaku dan tingkah laku, melalui sikap dan
norma subjektif. Ukuran dari komponen model dan hubungan sebab musabab diantara
komponen yang ditentukan dengan jelas (Ajzen dan Fishbein, 1980).Semua tipe ukuran
menggunakan 5 atau 7 titik skala.
Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan untuk
kepentingan pengukuran hasil, ketiga domain itu diukur dari :
1. Pengetahuan (knowlegde)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak
mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan
terhadap masalah yang dihadapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang :
a) Faktor Internal
Merupakan faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat dan
kondisi fisik.
b) Faktor Eksternal
Merupakan faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, atausarana.
c) Faktor pendekatan belajar
Merupakan faktor yang berhubungan dengan upaya belajar, misalnya strategi
dan metode dalam pembelajaran.
Ada enam tingkatan domain pengetahuan yaitu :
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) terhadap suatu materi
yang telah dipelajari sebelumnya.
2) Memahami (Comprehension)
Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya
4) Analisis
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
dan ada kaitannya dengan yang lain.
5) Sintesa
Sintesa menunjukkan suatu kemampuan

untuk

meletakkan

atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru.


6) Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi / objek.
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap
mempunyai tiga komponen pokok :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
5

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)


Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara
lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai
beberapa tingkatan :
a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
b. Respon terpimpin (guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.
c. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mancapai praktik tingkat tiga.
d. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik.Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara langsung yakni dengan wawancara
terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu
(recall).

Pengukuran

juga

dapat

dilakukan

secara

langsung,

yakni

dengan

mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.


6

Menurut penelitian Rogers (1974) seperti dikutip Notoatmodjo (2003),


mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang
tersebut terjadi proses berurutan yakni :
1. Kesadaran (awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek).
2. Tertarik (interest)
Dimana orang mulai tertarik pada stimulus.
3. Evaluasi (evaluation)
Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya.Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Mencoba (trial)
Dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5. Menerima (Adoption)
Dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus.
2.2.5. Asumsi Determinan Perilaku
Menurut Spranger, membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai
kebudayaan. Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang
dominan pada diri orang tersebut.Secara rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan
refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,
motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.
Namun demikian realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan
tersebut dipengaruhi oleh faktor lain diantaranya adalah pengalaman, keyakinan,
sarana/fasilitas, sosial budaya dan sebagainya.
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat
kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes). Faktor
perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :
1. Faktor-faktor perdisposisi (predisposing factors):
Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang
dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan lain
sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk perilaku kesehatan
misalnya: pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan

kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu
sendiri dan janinnya. disamping itu kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem
nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu tersebut untuk periksa
kehamilan. Misalnya orang hamil tidak boleh di suntik (periksa hamil termasuk
suntik anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat.Faktor-faktor ini
terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut
faktor pemudah.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors):
1

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas


kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, temapat pembuangan sampah,
tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan sebagainya.
Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit,
poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan
sebagainya. Untuk berprilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana
pendukung, misalnya: perilaku pemeriksaaan kehamilan. ibu hamil yang mau
periksa hamil tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat perikksa hamil saja,
melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat
periksa hamil, misalnya : puskesmas, polindes, bidan praktek, ataupun rumah sakit.
fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku
kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors):


Faktor-faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh
agama (toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan.termasuk juga disini
undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah
yang terkait dengan kesehatan. untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang
bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja,
melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh
agama, para petugas, lebih-lebih pada petugas kesehatan. disamping itu undangundang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut seperti
perilaku periksa hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas periksa hamil, juga
diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil
periksa hamil.
2.4 Demam Berdarah
8

Penyakit menular yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirosis group A
dan B yang bermasalah di Indonesia adalah Demam Berdarah Dengue (DBD),
Chikungunya dan Japanese Encephalitis (JE). Ketiga penyakit tersebut sama-sama
ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk tetapi mempunyai beberapa perbedaan antara lain
jenis/spesies nyamuk penularnya, pola penyebaran, gejala penyakit, tata laksana
pengobatan maupun upaya pencegahannya.
Penyakit DBD mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1968 di Surabaya dan
Jakarta, dan setelah itu jumlah kasus DBD terus bertambah seiring dengan semakin
meluasnya daerah endemis DBD. Penyakit ini tidak hanya sering menimbulkan KLB
tetapi juga menimbulkan dampak buruk sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang
terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota
keluarga, dan berkurangnya usia harapan penduduk.
Pada tiga tahun terakhir (2008-2010) jumlah rata-rata kasus dilaporkan sebanyak
150.822 kasus dengan rata-rata kematian 1.321 kematian. Situasi kasus DBD tahun
2011 sampai dengan Juni 2011 dilaporkan sebanyak 16.612 orang dengan kematian
sebanyak 142 orang (CFR=0,85%). Dari jumlah kasus tersebut, proporsi penderita DBD
pada perempuan sebesar 50,33% dan laki-laki sebesar 49,67% . Disisi lain angka
kematian akibat DBD pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.
Situasi ini perlu diatasi dengan segera agar indikator kinerja/target pengendalian
DBD yang tertuang dalam dokumen RPJMN yaitu IR DBD pada tahun 2014 adalah
51/100.000 penduduk, serta ABJ sebesar 95% dapat dicapai. (Kemenkes RI, 2011)
2.5 Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah
2.5.1 Pengertian Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah
Target pengendalian DBD tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian
Kesehatan 2010-2014 dan KEPMENKES 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan
Minimal yang menguatkan pentingnya upaya pengendalian penyakit DBD di Indonesia
hingga ketingkat Kabupaten/Kota bahkan sampai ke desa. Melalui pelaksanaan program
pengendalian penyakit DBD diharapkan dapat berkontribusi menurunkan angka
kesakitan, dan kematian akibat penyakit menular di Indonesia.
Pengendalian DBD yang tepat adalah pemutusan rantai penularan yaitudengan
pengendalian vektornya, karena vaksin dan obat masih dalam prosespenelitian. Vektor
DBD sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, hal ini disebabkan oleh adanya
9

perubahan iklim global, kemajuan teknologi transportasi,mobilitas penduduk,


urbanisasi, dan infrastruktur penyediaan air bersih yang
kondusif untuk perkembangbiakan vektor DBD, serta perilaku masyarakat yang belum
mendukung upaya pengendalian.
Pengendalian

vektor

terpadu

atau

dikenal

sebagai

Integrated

Vector

Management (IVM) adalah pengendalian vektor yang dilakukan denganmenggunakan


kombinasi beberapa metode pengendalian vektor, berdasarkanpertimbangan keamanan,
rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya sertakesinambungannya.(Kemenkes RI,
2011)
2.5.2

Metode Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah

Beberapa metode pengendalian vektor antara lain dengan:


1. Kimiawidengan insektisida dan larvasida,
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisidamerupakan
salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakatdibanding dengan
cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadiumdewasa dan pra-dewasa.
Karena insektisida adalah racun, makapenggunaannya harus mempertimbangkan
dampak terhadap lingkungan danorganisme bukan sasaran termasuk mamalia.
Disamping itu penentuan jenisinsektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan
syarat yang penting untukdipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi
insektisida yangberulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi
seranggasasaran.
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah :
a

Sasaran dewasa (nyamuk) adalah :


Organophospat (Malathion, methyl pirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine,
lamda-cyhalotrine, cyflutrine,Permethrine& S-Bioalethrine). Yang ditujukan
untuk stadium dewasa yangdiaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging
dan pengabutan dingin/ULV

Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).

2. Biologi dengan menggunakan musuh alamiseperti predator, bakteri dll,


Pengendalian

vektor

biologi

menggunakan

agent

biologi

seperti

predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor
DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang, tampalo,
10

gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga
berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk
pengendalian vektor DBD.
Jenis pengendalian vektor biologi :
Parasit : Romanomermes iyengeri
Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis
Golongan insektisida biologi untuk pengendalian DBD (Insect Growth
Regulator/IGR dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk stadium
pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.
Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk
di masa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin synthesis
selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae dan
nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia
(nilai LD50 untuk keracunan akut pada methoprene adalah 34.600 mg/kg ).
Bacillus thruringiensis (BTi) sebagai pembunuh jentik nyamuk/larvasida yang
tidak menggangu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila digunakan dalam
air minum pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah menghancurkan jentik
nyamuk tanpa menyerang predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTi
cenderung secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian
yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar matahari
3. Managemen

lingkungan

seperti

mengelola

ataumeniadakan

habitat

perkembangbiakan nyamuk yang terkenal dengan 3 M plus ataugerakan PSN


(pengendalian sarang nyamuk), Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, saranaprasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap
tersedianya habitat perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD.Nyamuk Aedes
aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan
yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya
pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan
atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan
memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot, memelihara ikan predator,
menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan
lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan
rumah dll)
11

4. Penerapan peraturan perundangan


5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengendalian vektor.
Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan
memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di
masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus.
Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus
dilakukan secara luas/serempak dan terus menerus/berkesinambungan.Tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat beragam sering menghambat suksesnya
gerakan ini.Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/ individu untukmelakukan
kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat untuk mau secara
terus menerus menggerakkan masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan promosi
kesehatan, penyuluhan di media masa, serta reward bagi yang berhasil
melaksanakannya.
2.5.2.1 Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD)
dalam bentuk kegiatan 3 M plus
Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan
Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3
M plus.
Sasaran tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD :

Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari

Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA)

Tempat penampungan air alamiah


PSN DBD dilakukan dengan cara 3M-Plus, 3M yang dimaksud yaitu:

Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak


mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)

Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan,


dsb (M2)

Memanfaatkan /mendaur ulang barang-barang bekas yang dapatmenampung


air hujan (M3).
Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:
12

Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya
yang sejenis seminggu sekali.

Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak

Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain(dengan


tanah, dll)

Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulitdikuras atau


di daerah yang sulit air

Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air

Memasang kawat kasa

Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar

Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai

Menggunakan kelambu

Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk

Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.

Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management)


Pengendalian vektor terpadu atau IVM adalah pengendalian vektor yang
dilakukan dengan menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor,
berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya serta
kesinambungannya. IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh
WHO untuk mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai
institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada
peningkatan peran serta sektor lain melalui kegiatan Pokjanal DBD, Kegiatan PSN anak
sekolah dll.
Alat Dan Bahan Pengendalian Vektor
Berdasarkan

Permenkes

Nomor

374/Menkes/Per/III/2010

tentang

Pengendalian Vektor, memuat pedoman pengendalian vektor terpadu (PVT), peralatan


dan bahan surveilans vektor serta peralatan dan bahan pengendalian vektor.
A Praktik pengendalian vektor dengan menggunakan mesin fog
Pengendalian vektor menggunakan mesin fog adalah metode penyemprotan
udara

berbentuk

asap

(pengasapan/fogging)

yang

dilakukan

untuk
13

mencegah/mengendalikan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di rumah


penderita/tersangka DBD dan lokasi sekitarnya serta tempat-tempat umum (TTU)
misalnya sekolah, kantor dll, yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan
penyakit DBD. Mesin penyembur insektisida dalam bentuk asap yang terbentuk dari
evaporasi bahan pembawa (minyak tanah/solar) akibat panas yang dihasilkan oleh
tenaga listrik atau pembakaran.
B Praktik Pengendalian Vektor dengan Menggunakan Mesin ULV
Pengendalian vektor menggunakan mesin ULV adalah metode penyemprotan
udara (aerial spraying) berbentuk kabut dengan volume yang sangat kecil (ultra low
volume) dan dilakukan di area yang cukup luas misalnya se RW, se Kelurahan, se
kecamatan atau bahkan seluruh wilayah kota yang sedang terjangkit penyakit
DBD.Mesin penyembur insektisida dalam bentuk kabut dingin dengan partikel yang
sangat kecil (Ultra Low Volume/ULV) dari pemecahan insektisida (pada Head
NOZZLE) oleh pusaran angin yang dihasilkan dari putaran blower.
Beberapa keuntungan ULV ground spraying application dibanding thermal
fogging yaitu:

Polusi udara lebih kecil. Untuk target area dan efektifitas yang sama penggunaan
pestisida (dosis) dapat lebih kecil dibanding operasional thermal foging (dapat
sampai 50%nya).

Mengurangi bahaya terhadap organisme bukan target.

Tidak ada bahaya kebakaran, karena ULV tidak memerlukan dorongan gas yang
panas

Tidak memberi dampak gangguan pada kesibukan kota dan keramaian lalu
lintas, karena fog ULV tidak mengganggu pengelihatan bila dibanding dengan
thermal fog

Biaya operasional dan penggunaan bahan-bahan lebih sedikit (efisien), namun


memberi dampak bila langsung mengenai cat minyak pada kayu dan cat mobil
pada jarak <3 meter.

C Insektisida Untuk Pengendalian Vektor DBD

14

Insektisida untuk pengendalian vektor DBD adalah insektisida yang digunakan


untuk pengendalian vektor DBD yang dilakukan di daerah endemis serta daerah
lainnya.(Kemenkes RI, 2011)
2.4 Kerangka Teori
Konsep yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori perilaku
Lawrence Green, yang menyatakan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu:

Gambar 2.1. Kerangka Teori Perilaku Lawrence Green

15

Perilaku petugas kesehatan

Sumber : (Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2011)

1.3 Kerangka Konsep


Berdasarkan teori sebelumnya, dapat dibuat suatu kerangka konsep yang
berhubungan dengan area permasalahan yang terjadi pada keluarga binaan di
Kampung Pangkalan Desa Pangkalan, Kabupaten Tangerang. Kerangka konsep ini
terdiri dari variabel independen dari kerangka teori yang dihubungkan dengan area
permasalahan.

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Perilaku Pengendalian Nyamuk DBD Di Keluarga


Binaan RT 01/ RW04 Kampung Pangkalan, Desa Pangkalan, Kecamatan Teluk
Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten

16

PERILAKU PENGENDALIAN NYAMUK


DEMAM BERDARAH

1.4 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah pengukuran atau pengamanan terhadap variabelvariabel yang bersangkutan serta mengembangkan instrumen (alat ukur)
(Notoatmodjo, 2011). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Definisi Operasional Diagnosis dan Intervensi Komunitas Area Masalah
Perilaku Merokok pada Keluarga Binaan di RT 01 RW 04 Kampung Pangkalan
Desa Pangkalan Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang Provinsi Banten

Variabe
l

Definisi
Operasional

Alat Ukur

Cara
Ukur

Skala
ukur

Hasil
Ukur

Variabel

1.

Perilaku
Pengendalian
Nyamuk
Demam
Berdarah

Kegiatan atau
aktivitas untuk
menurunkan
populasi
nyamuk
dengan
pencegahan
atau
pemberantasan
vektor nyamuk

Kuesi
oner

Wawa
ncara

Ordinal

2.

Pengetahuan

Segala sesuatu
yang
responden
ketahui

Kues
ioner

Waw Nomina
ancara l

Skor tiap
pilihan:
A=2, B=1, C=0
Baik : Bila
menjawab 1618 poin
Cukup : bila
menjawab 1215 poin
Kurang : bila
hanya
menjawab < 12
poin
Tiap jawaban
benar, skor : 2
Baik (Skor 812)
17

mengenai
pencegahan
nyamuk DBD

Buruk
(Skor <8)

3.

Sikap

Reaksi atau
respon
responden
terhadap
pengendalian
nyamuk DBD

Kues
ioner

Waw Ordinal
ancara

4.

Keyakinan

Sikap yang
ditunjukan
responden
setelah merasa
tahu mengenai
pencegahan
nyamuk DBD

Kues
ioner

Waw
ancara

5.

Lingkungan

Keadaan
sekitar
individu yang
berpengaruh
terhadap
pengendalian
nyamuk DBD

Kues
ioner

Wawa
ncara

6.

Sarana dan
Prasarana

Segala sesuatu
yang dapat
dipakai
sebagai alat
serta
penunjangnya
yang
memudahkan
pengendalian

Kues
ioner

Waw
ancara

Skor tiap
pilihan :
Sgt setuju=4
Setuju=3
Tidak Setuju=2
Sgt Tdk
setuju=1
Baik (Skor
>16)
Buruk (Skor
16)
Skor tiap
pilihan :
Sgt setuju=1
Setuju=2
Tidak Setuju=3
Sgt Tdk
setuju=4
Baik (Skor
>10)
Buruk (Skor
10)
Skor tiap
pilihan :
A = 2, B = 1, C
=0
Mempengaruhi
(Skor 4)
Tidak
Mempengaruhi
(Skor <4)
Skor tiap
pilihan :
A = 1, B = 0
Mendukung
(Skor 2)
Tidak
Mendukung
(Skor <2)

18

nyamuk DBD

19

Anda mungkin juga menyukai