SKABIES
Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK
Disusun Oleh :
Tsalasa Agustina
G4A014026
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2016
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
SKABIES
Disusun oleh :
Tsalasa Agustina
G4A014026
Maret 2016
Pembimbing,
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat
rahmat dan anugerah-Nya sehingga presentasi kasus dengan judul Skabies ini
dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1
Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RS. Margono Soekarjo.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun di luar lingkungan RS. Margono Soekarjo.
Penyusun
DAFTAR ISI
4
Halaman
BAB I LAPORAN KASUS............................................................................... 6
A. Identitas Pasien................................................................................... 6
B. Anamnesis.......................................................................................... 6
C. Pemeriksaan Fisik............................................................................... 6
D. Resume............................................................................................... 9
E. Diagnosis Banding.............................................................................. 10
F. Diagnosis Kerja.................................................................................. 10
G. Pemeriksaan penunjang...................................................................... 10
H. Terapi.................................................................................................. 10
I. Prognosis............................................................................................ 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 12
A. Definisi............................................................................................... 12
B. Epidemiologi...................................................................................... 12
C. Etiologi............................................................................................... 13
E. Patogenesis......................................................................................... 15
F. Gejala Klinis....................................................................................... 16
G. Diagnosis............................................................................................ 18
H. Terapi.................................................................................................. 21
I. Prognosis............................................................................................ 26
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 32
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Suku
Alamat
Pekerjaan
NO.RM
: An.M
: Laki-Laki
: 8 tahun
: Jawa
: Karang Gode 1/2
: Siswa SD
:-
B. Anamnesis
Keluhan utama
: Pasien datang ke
poliklinik Puskesmas
saat
malam
mengganggu
tidur
hari,
sehingga
pasien.
Untuk
ini
pasien
memeriksakan
diri
belum
ke
pernah
dokter
hanya
kemudian
pasien
mengeluhkan
pecah
dan
mengering
membentuk luka.
Riwayat Penyakit Dahulu
serupa.
Pasien
sehari-hari
mandi
menggunakan
sabun
dua
kali
sehari
batangan.
Pasien
: 36.3 C
Hidung
: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga: Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut
: Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-), kaku (+)
Tenggorokan : T1 T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax
: Simetris, retraksi (-)
Jantung
: BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru
: SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen
: Supel, datar, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
Status Dermatologis
Lokasi
: Regio manus dextra et sinistra
Efloresensi
: Papul hiperpigmentasi dan hipopigmentasi,
disertai
skuama halus.
tertular dari kakaknya yang memiliki keluhan serupa tetapi membaik dengan
obat apotik, kemudian pasien mengeluhkan adanya bintil bintil merah yang
terasa gatal di sekitar sela sela jari tangan kemudian pecah dan mengering
membentuk luka.
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat alergi
makanan, debu, maupun obat-obatan disangkal. Riwayat asma disangkal.
Riwayat keluarga yang mempunyai keluhan yang sama diakui yaitu diawali
oleh kakaknya kemudia ayah dan ibu. Riwayat alergi pada keluarga juga
disangkal. Pasien mempunyai kebiasaan mandi dua kali sehari menggunakan
sabun batangan. Pasien jarang mengganti sprei tempat tidur. Pasien dan kakak
pasien menggunakan handuk yang bersamaan selepas mandi. Pasien sering
tidur bersama orangtuanya dan kakaknya. Orangtua pasien apabila mencuci
pakaian selalu dicampur dengan baju pasien.
Pada
pemeriksaan
fisik
didapatkan
papul
hiperpigmentasi
dan
Permetrin 5%
Non Medikamentosa
: ad bonam
Quo ad sanationam
: ad bonam
10
I.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varian hominis beserta
produknya. Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig,
budukan, dan gatal agogo. (Handoko, 2009)
B. Epidemiologi
Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Daerah endemik skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia,
Kepulauan Karibia, India, dan Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa terdapat
lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terjangkit tungau scabies.
(Chosidow, 2006)
Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung
tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
ras, umur, ataupun kondisi sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi
adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat, sehingga penyakit
ini lebih sering di daerah perkotaan. Terdapat bukti menunjukkan insiden
kejadian berpengaruh terhadap musim di mana kasus skabies lebih banyak
didiagnosis pada musim dingin dibanding musim panas. Insiden skabies
semakin meningkat sejak dua dekade ini dan telah memberikan pengaruh
besar terhadap wabah di rumah-rumah sakit, penjara, panti asuhan, dan panti
jompo. (Johnston, 2005)
Skabies menduduki sepuluh besar penyakit utama di puskesmas dan
menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Banyak
faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan sosial
11
ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan dermografik seperti
keadaan penduduk dan ekologi. (Handoko, 2009)
C. Etiologi
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu
sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei dan Sarcoptes
scabiei varian hominis.
bagian
ujungnya sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina
berakhir dengan rambut (satae), sedangkan pada yang jantan pasangan kaki
ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.
(Burns, 2004)
Yang menjadi penyebab utama gejala-gejala pada skabies ini ialah
Sarcoptes scabiei betina. Tungau betina yang mengandung membuat
terowongan pada lapisan tanduk kulit dan meletakkan telur di dalamnya.
Setelah kopulasi yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadangkadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh
12
yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi, menggali terowongan dalam
stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50.
Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan
menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3
pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan pendek yang digalinya
(moulting pouches), tetapi dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang
kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi ada juga yang menyebutkan selama
8-17 hari. Studi lain menunjukkan bahwa lamanya siklus hidup dari telur
sampai dewasa untuk tungau jantan biasanya sekitar 10 hari dan untuk tungau
betina bisa sampai 30 hari. Tungau skabies ini umumnya hidup pada suhu
yang lembab dan pada suhu kamar (210C dengan kelembapan relatif 40-80%)
tungau masih dapat hidup di luar tubuh hospes selama 24-36 jam. (Beggs,
2005)
13
14
dengan tungau debu, enzim pencernaan pada kotoran adalah antigen yang
penting untuk menimbulkan respons imun terhadap tungau skabies.
(Murtiastutik, 2005)
D. Patogenesis
Reaksi alergi
yang
sensitif
terhadap
tungau
dan
produknya
sebelumnya
menunjukkan
keterlibatan
reaksi
15
ada 4 tanda utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies, antara lain
(Handoko, 2009)
1. Pruritus nokturnal
Pruritus nokturnal adalah rasa gatal terasa lebih hebat pada malam hari
karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang lebih lembab dan
panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita
menjadi gelisah. Pada infeksi inisial, gatal timbul setelah 3 sampai 4
minggu, tetapi paparan ulang menimbulkan rasa gatal hanya dalam waktu
beberapa jam. Studi lain menunjukkan pada infestasi rekuren, gejala dapat
timbul dalam 4-6 hari karena telah ada reaksi sensitisasi sebelumnya.
(Department Public Health USA, 2008)
2. Sekelompok orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga biasanya
mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu pula dalam sebuah pemukiman
yang padat penduduknya, skabies dapat menular hampir ke seluruh
penduduk. Di dalam kelompok mungkin akan ditemukan individu yang
hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh parasit sehingga tidak
menimbulkan keluhan klinis akan tetapi menjadi pembawa (carier) bagi
individu lain
3. Adanya terowongan (kunikulus)
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada
kemampuannya meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum
korneum. Oleh karena itu, tungau ini sangat menyukai bagian kulit yang
memiliki stratum korneum yang relatif lebih longgar dan tipis, seperti selasela jari tangan, telapak tangan bagian lateral, pergelangan tangan bagian
volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae
(wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria). Lesi yang timbul
berupa eritema, krusta, ekskoriasi, papul, dan nodul. Erupsi eritem atous
dapat tersebar di bagian badan sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen tungau. Bila ada infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf
(pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). (Amiruddin, 2003)
16
17
Kerokan kulit
Papul atau terowongan yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau
KOH 10%, lalu dilakukan kerokan kulit dengan mengangkat papul atau
atap terowongan menggunakan scalpel steril nomor 15. Kerokan
diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi,
diberi kaca penutup, lalu diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 20X
atau 100X dapat dilihat tungau, telur, atau fecal pellet.
Kuretase terowongan
18
Apusan kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas
objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek)
dan
Dermoskopi
Menurut Argenziano, pembesaran gambar menunjukkan struktur triangular
kecil berwarna gelap yang berhubungan dengan bagian anterior tungau
yang berpigmen dan suatu segmen linier di belakang segitiga yang
mengandung gelembung udara kecil, di mana kedua gambaran ini
19
Kerokan harus dilakukan pada lesi yang utuh (papul, terowongan) dan
tidak dilakukan pada tempat dengan lesi yang tidak spesifik.
Sebaiknya lesi yang akan dikerok diolesi terlebih dahulu dengan minyak
mineral agar tungau dan produknya tidak larut, sehingga dapat
menemukan tungau dalam keadaan hidup dan utuh.
G. Terapi
1) Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan umum meliputi edukasi kepada pasien sebagai berikut:
(Karthikeyan, 2005)
a Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
b Pengobatan skabisid topikal yang diberikan dioleskan di seluruh kulit,
c
20
serumah.
Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabisid.
Tidak boleh mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan setelah
2) Penatalaksanaan Khusus
Pengobatan skabies harus efektif terhadap tungau dewasa, telur dan
produknya, mudah diaplikasikan, nontoksik, tidak mengiritasi, aman untuk
semua umur, dan terjangkau biayanya. Pengobatan skabies dapat berupa
topikal maupun oral. Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan
di seluruh permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit kepala, lebih
difokuskan di daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit
sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan skabies
berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan skabisid
topikal. Steroid topikal, anti histamin, maupun steroid sistemik jangka
pendek dapat diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien
yang tidak membaik setelah pemberian terapi skabisid yang lengkap.
(Handoko, 2009)
a Krim Permetrin (Elimete, Acticin)
Suatu skabisid berupa piretroid sintesis yang efektif pada manusia
dengan toksisitas rendah, bahkan dengan pemakaian yang berlebihan
sekalipun. Permetrin bekerja dengan cara mengganggu polarisasi
dinding sel melalui ikatan dengan natrium sehingga menghambat
repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi paralisis parasite. Obat ini
ditoleransi dengan baik, diserap minimal oleh kulit, tidak diabsorbsi
sistemik, dimetabolisasi dengan cepat, serta dikeluarkan kembali
melalui keringat dan sebum. Oleh karena itu, obat ini merupakan terapi
pilihan lini pertama rekomendasi CDC untuk terapi tungau tubuh.
Penggunaan obat ini biasanya pada sediaan krim dengan kadar 1%
21
untuk terapi tungau pada kepala dan kadar 5% untuk terapi tungau
tubuh. Studi menunjukkan penggunaan permetrin 1% untuk tungau
daerah kepala lebih baik dari lindane karena aman dan tidak diabsorbsi
secara sistemik. (Cox, 2000)
Cara pemakaiannya dengan dioleskan pada seluruh area tubuh
dari leher ke bawah dan dibilas setelah 8-14 jam.mBila diperlukan,
pengobatan dapat diulang setelah 5-7 hari kemudian. Belum ada
laporan terjadinya resistensi yang signifikan tetapi
beberapa studi
oleh
pengobatan
sebelumnya.
Beberapa
penelitian
hari
berturut-turut,
kemudian
dibersihkan.
Keuntungan
23
Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang
merupakan bahan sintesis balsam Peru. Benzil benzoate bersifat
neurotoksik pada tungau skabies, efektif untuk semua stadium.
Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam dan
pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi
12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik dan
teratur dan secara kosmetik bisa diterima. Efek samping dari benzil
benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah dan
skrotum,
sehingga
menggunakan
penderita
secara
harus
berlebihan.
diingatkan
Penggunaan
untuk
tidak
berulang
dapat
(Murtiastutik, 2005)
Ivermectin
Ivermectin adalah
bahan
semisintetik
yang
dihasilkan
oleh
selama
Keterangan
jam, Terapi lini pertama di US dan
8-14
lotion
dibersihkan,
olesan
Crotamiton
laktasi.
Dioleskan selama 2 hari berturut- Memiliki efek anti pruritus tetapi
10% krim
Sulfur
lainnya.
Dioleskan selama 3 hari lalu Aman untuk anak <2 bulan dan
precipitatum
dibersihkan.
5-10%
tampak
kotor
dalam
dapat
menyebabkan dermatitis
pada
lotion
Ivermectin
wajah.
Dosis tunggal oral, bisa diulangi Memiliki efektifitas yang tinggi
200 ug/kgBB
dan
aman.
Dapat
digunakan
pada
kasus-kasus
25
H. Prognosis
Infestasi skabies dapat disembuhkan. Dengan memperhatikan pemilihan dan
cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor
prediposisi (antara lain higiene), maka penyakit ini dapat diberantas dan
memberikan prognosis yang baik. Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap
untuk beberapa tahun. Oleh karena manusia merupakan penjamu (hospes)
definitif, maka apabila tidak diobati dengan sempurna, Sarcoptes scabiei akan
tetap hidup tumbuh pada manusia. Pada individu yang immunokompeten,
jumlah tungau akan berkurang seiring waktu. (Handoko, 2009)
26
II.
PEMBAHASAN
lazim adalah penyebaran yang khas yaitu di sela-sela jari tangan. Pada umumnya,
diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan dua dari empat tanda kardinal. Pada
pasien ini didaptkan 3 tanda kardinal. Diagnosis definitif bergantung pada
identifikasi mikroskopis adanya tungau, telur atau fecal pellet dengan
menggunakan metode kerokan kulit KOH 10% atau tes tinta burowi. Pada pasien
ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut dikarenakan kurangnya persiapan alat,
dan penulis mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan tersebut.
Terapi seharusnya diberikan pada seluruh anggota keluarga beberapa jenis
obat topikal diantaranya adalah sulfur presipitatum 4-20%, emulso benzil benzoat
20-25%, gama benzena heksa klorida 1%, krotamiton 10% ataupermetrin
5%.untuk pasien diberikan krim scabisid yang mudah didapat dan tersedia di
puskesmas, selain itu isi dari scabisid adalah gama benzena heksa klorida 1%
dimana termasuk obat pilihan yang efektif karena dapat memetikan semua
stadium, mudah digunakan, dan jarang memberikan iritasi. Pemberianya cukup 1x
diolesi saat malam hari setelah mandi kurang lebih 24 jam. Jika masih ada gejala
dapat diulangi seminggu kemudian. Pasien juga diajurkan untuk mengganti
seluruh sprei , sarung bantal atau handuk yang ada dirumah dan mencucinya.
Scabies merupakan salah satu the great imitator sehingga memiliki
diagnosis banding yang cukup banyak , berikut diantaranya yang terdekat adalah
prurigo dan dermatitis.. Berikut alasan mengapa diagnosis banding tersebut dapat
disingkirkan. Prurigo merupakan erupsi papular kronik dan rekuren, paling sering
ditemukan pada orang dengan usia pertengahan. Keluhan yang dirasakan adalah
gatal setiap saat yang tidak memberat di malam hari. Penyebab pastinya adalah
belum diketahui secara pasti dan penelitian cenderung mengarah ke herediter. Lesi
yang sering timbul adalah dalam kelompok-kelompok seperti papul-papul,
vesikel-vesikel dan jaringan parut. Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis
dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen (detergen, asam,
basa, oli, sinar,suhu, bakteri, jamur) dan atau endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa effloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Dilihat dari segi effloresensi kedua penyakit
tersebut bila dibandngkan dengan scabies tentu sulit deibedakan. Menjadi mudah
dibedakan ketika dicocokan dengan perjalanan klinis penyakit melalui anamnesis.
28
29
III. KESIMPULAN
1. Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap tungau Sarcoptes scabiei varian hominis beserta produknya
2. Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei
sangat bervariasi. Dikenal ada 4 tanda utama atau tanda kardinal pada
infestasi skabies, antara lain pruritus nokturna, berkelompok, terowongan,
ditemukan tungau.
3. Pemeriksaan fisik pada pasien dilakukan inspeksi dan menemukan kanalikuli
atau kelainan kulit berupa papul, vesikel, urtika dan lain-lain.
4. Pemeriksaan penunjang pasien scabies dapat dilakukan kerokan kulit KOH
10% dan tes tinta burowi.
5. Terapi empirik untuk scabies adalah gama benzena heksa klorida 1%, sulfur
presipitatum, emulsi benzil-benzoas, krotamiton, permetrin.
30
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2003: 5-10.
Beggs J. dkk. Scabies Prevention And Control Manual. USA: Michigan
Department Of Community Health. 2005: 4-6, 10.
Burns DA. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals. In: Burns
T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.
USA: Blackwell publishing. 2004: 2. 37-47.
Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006: 354; 1718-27
Fox G. Itching And Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal Of Family
Practice. 2006: (55) 26-7, 30.
Handoko R. Skabies. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, ed. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi ke-5, cetakan ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2009: 119-22.
Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009: (22) 279-92
Johnston G, Sladden M. Scabies: Diagnosis and Treatment. British Med J. 2005:
17; 331(7517) / 619-22.
Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate Med J.
2005: (951) 7-11.
Leone P. Scabies and Pediculosis: An Update of Treatment Regiments and
General Review. Oxford Journals. 2007: (44) 154-9.
McCarthy J, Kemp D, Walton S, Currie B. Review Scabies: More Than Just An
Irritation.. Postgrad Medical Journal. 2004: (80) 382-6.
Miltoin O, Maibach HL. Scabies and Pediculosis. In: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine, 7th ed. USA: McGraw Hill. 2008: 2029-31.
Murtiastutik D. Skabies. Dalam: Buku Ajar Infeksi Menular Seksual, edisi ke-1.
Surabaya: Airlangga University Press. 2005: 202-8.
Sungkar S. Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan IDI. 2005: 1-25.
31
Ulrich HR, Currie BJ, Jager G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: A Ubiquitous
Neglected Skin Disease. PubMed J. 2006: (6) 769-77.
32