Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI KASUS

SKABIES

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh :
Tsalasa Agustina

G4A014026

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2016
1

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

SKABIES

Disusun oleh :
Tsalasa Agustina

G4A014026

Telah dipresentasikan pada


Tanggal,

Maret 2016

Pembimbing,

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat
rahmat dan anugerah-Nya sehingga presentasi kasus dengan judul Skabies ini
dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1

dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK selaku dosen pembimbing.

Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RS. Margono Soekarjo.

Rekan-rekan Co-Assisten Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas


semangat dan dorongan serta bantuannya.

Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun di luar lingkungan RS. Margono Soekarjo.

Purwokerto, Maret 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
4

Halaman
BAB I LAPORAN KASUS............................................................................... 6
A. Identitas Pasien................................................................................... 6
B. Anamnesis.......................................................................................... 6
C. Pemeriksaan Fisik............................................................................... 6
D. Resume............................................................................................... 9
E. Diagnosis Banding.............................................................................. 10
F. Diagnosis Kerja.................................................................................. 10
G. Pemeriksaan penunjang...................................................................... 10
H. Terapi.................................................................................................. 10
I. Prognosis............................................................................................ 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 12
A. Definisi............................................................................................... 12
B. Epidemiologi...................................................................................... 12
C. Etiologi............................................................................................... 13
E. Patogenesis......................................................................................... 15
F. Gejala Klinis....................................................................................... 16
G. Diagnosis............................................................................................ 18
H. Terapi.................................................................................................. 21
I. Prognosis............................................................................................ 26
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 32

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Suku
Alamat
Pekerjaan
NO.RM

: An.M
: Laki-Laki
: 8 tahun
: Jawa
: Karang Gode 1/2
: Siswa SD
:-

B. Anamnesis
Keluhan utama

: Gatal di kedua telapak tangan

Riwayat Penyakit Sekarang

: Pasien datang ke

poliklinik Puskesmas

Cilongok dengan gatal di sela sela jari


kanan yang dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu. Keluhan dirasakan sepanjang hari dan
memberat

saat

malam

mengganggu

tidur

hari,

sehingga

pasien.

Untuk

mengurangi rasa gatal biasanya pasien


hanya meminta ibunya untuk menaburkan
bedak lalu rasa gatal sedikit berkurang,
selama

ini

pasien

memeriksakan

diri

belum
ke

pernah

dokter

hanya

membeli bedak di apotik akan tetapi gatal


tidak kunjung sembuh. Awalnya pasien
tertular dari kakaknya yang memiliki
keluhan serupa tetapi membaik dengan obat
apotik,

kemudian

pasien

mengeluhkan

adanya bintil bintil merah yang terasa


gatal di sekitar sela sela jari tangan
kemudian

pecah

dan

mengering

membentuk luka.
Riwayat Penyakit Dahulu

: Riwayat keluhan yang sama disangkal


Riwayat sakit kulit disangkal

Riwayat alergi (makanan seperti udang,


ikan laut, telur, debu, maupun obat-obatan)
disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat DM dan hipertensi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

: Riwayat menderita keluhan yang sama


diakui (ibu, ayah dan kakak)
Riwayat alergi (makanan seperti udang,
ikan laut, telur, debu, maupun obat-obatan)
disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit DM dan hipertensi
disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

: Pasien tinggal dengan kedua orang tuanya


dan satu kakanya yang semuanya memiliki
keluhan

serupa.

Pasien

sehari-hari

merupakan siswa SD. Pasien mempunyai


kebiasaan

mandi

menggunakan

sabun

dua

kali

sehari

batangan.

Pasien

jarang mengganti sprei tempat tidur. Pasien


dan kakak pasien menggunakan handuk
yang bersamaan selepas mandi. Pasien
sering tidur bersama orangtuanya dan
kakaknya. Orangtua pasien apabila mencuci
pakaian selalu dicampur dengan baju pasien
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Vital Sign
Nadi
: 86 x/menit
RR
: 19 x/menit
Suhu

: 36.3 C

Status Generalis : Dalam Batas Normal


Kepala
: Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
7

Hidung
: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga: Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut
: Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-), kaku (+)
Tenggorokan : T1 T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax
: Simetris, retraksi (-)
Jantung
: BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru
: SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen
: Supel, datar, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
Status Dermatologis
Lokasi
: Regio manus dextra et sinistra
Efloresensi
: Papul hiperpigmentasi dan hipopigmentasi,

disertai

skuama halus.

Gambar 1.1 UKK pasien


D. Resume
Pasien, laki-laki, 8 tahun dengan gatal pada kedua tangan. Keluhan ini
sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluhan gatal dirasa
setiap saat memberat di malam hari sehingga mengganggu tidur. Keluhan
gatal semakin memberat kemudian timbul perubahan bentuk fisik pada kedua
tangan. pasien belum pernah memeriksakan diri ke dokter hanya membeli
bedak di apotik akan tetapi gatal tidak kunjung sembuh. Awalnya pasien
8

tertular dari kakaknya yang memiliki keluhan serupa tetapi membaik dengan
obat apotik, kemudian pasien mengeluhkan adanya bintil bintil merah yang
terasa gatal di sekitar sela sela jari tangan kemudian pecah dan mengering
membentuk luka.
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat alergi
makanan, debu, maupun obat-obatan disangkal. Riwayat asma disangkal.
Riwayat keluarga yang mempunyai keluhan yang sama diakui yaitu diawali
oleh kakaknya kemudia ayah dan ibu. Riwayat alergi pada keluarga juga
disangkal. Pasien mempunyai kebiasaan mandi dua kali sehari menggunakan
sabun batangan. Pasien jarang mengganti sprei tempat tidur. Pasien dan kakak
pasien menggunakan handuk yang bersamaan selepas mandi. Pasien sering
tidur bersama orangtuanya dan kakaknya. Orangtua pasien apabila mencuci
pakaian selalu dicampur dengan baju pasien.
Pada

pemeriksaan

fisik

didapatkan

papul

hiperpigmentasi

dan

hipopigmentasi, disertai skuama halus.


E. Diagnosis Banding
- Prurigo
- Dermatitis
F. Diagnosis Kerja
Skabies
G. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, usulan pemeriksaan penunjang
adalah kerokan kulit dan tes tinta burowi.
H. Terapi
Medikamentosa

Sulfur presipitatum 2-5% 3-4 hari

Emulsi benzil benzoat 20-25%

Gama Benzena Heksa Klorida 1%

Permetrin 5%

Non Medikamentosa

1. Edukasi kepada pasien dan keluarga bahwa penyakit ini dsebabkan


oleh infeksi parasit dimana penyakit ini berhubungan dengan higienitas
yang rendah. Diterangkan juga bahwa penyakit ini sangat menular.
2. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
3. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
4. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan
teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Tungau akan mati
pada suhu 130o.
5. Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga
serumah.
6. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan
yang sama dan ikut menjaga kebersihan.
I. Prognosis
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam

10

I.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varian hominis beserta
produknya. Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig,
budukan, dan gatal agogo. (Handoko, 2009)
B. Epidemiologi
Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Daerah endemik skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia,
Kepulauan Karibia, India, dan Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa terdapat
lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terjangkit tungau scabies.
(Chosidow, 2006)
Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung
tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
ras, umur, ataupun kondisi sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi
adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat, sehingga penyakit
ini lebih sering di daerah perkotaan. Terdapat bukti menunjukkan insiden
kejadian berpengaruh terhadap musim di mana kasus skabies lebih banyak
didiagnosis pada musim dingin dibanding musim panas. Insiden skabies
semakin meningkat sejak dua dekade ini dan telah memberikan pengaruh
besar terhadap wabah di rumah-rumah sakit, penjara, panti asuhan, dan panti
jompo. (Johnston, 2005)
Skabies menduduki sepuluh besar penyakit utama di puskesmas dan
menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Banyak
faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan sosial

11

ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan dermografik seperti
keadaan penduduk dan ekologi. (Handoko, 2009)
C. Etiologi
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu
sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei dan Sarcoptes
scabiei varian hominis.

Sarcoptes scabiei termasuk kedalam filum

Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes. Pada


manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis (Handoko, 2009). Tungau
ini khusus menyerang dan menjalani siklus hidupnya dalam lapisan tanduk
kulit manusia. Selain itu terdapat S. scabiei yang lain, yakni varian animalis.
Sarcoptes scabiei varian animalis menyerang hewan seperti anjing, kucing,
lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan, beruang dan monyet. Sarcoptes
scabiei varian hewan ini dapat menyerang manusia yang pekerjaannya
berhubungan erat dengan hewan tersebut di atas, misalnya peternak, gembala,
dll. Gejalanya ringan, sementara, gatal kurang, tidak timbul terowonganterowongan, tidak ada infestasi besar dan lama serta biasanya akan sembuh
sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi yang bersih. (Sungkar, 2005)
Secara morfologik tungau ini berukuran kecil, berbentuk oval,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen,
berwarna putih kotor dan tidak bermata. Ukuran betina berkisar antara 330450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240
mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2
pasang kaki di depan yang berakhir dengan penghisap kecil di

bagian

ujungnya sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina
berakhir dengan rambut (satae), sedangkan pada yang jantan pasangan kaki
ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.
(Burns, 2004)
Yang menjadi penyebab utama gejala-gejala pada skabies ini ialah
Sarcoptes scabiei betina. Tungau betina yang mengandung membuat
terowongan pada lapisan tanduk kulit dan meletakkan telur di dalamnya.
Setelah kopulasi yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadangkadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh
12

yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi, menggali terowongan dalam
stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50.
Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan
menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3
pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan pendek yang digalinya
(moulting pouches), tetapi dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang
kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi ada juga yang menyebutkan selama
8-17 hari. Studi lain menunjukkan bahwa lamanya siklus hidup dari telur
sampai dewasa untuk tungau jantan biasanya sekitar 10 hari dan untuk tungau
betina bisa sampai 30 hari. Tungau skabies ini umumnya hidup pada suhu
yang lembab dan pada suhu kamar (210C dengan kelembapan relatif 40-80%)
tungau masih dapat hidup di luar tubuh hospes selama 24-36 jam. (Beggs,
2005)

13

Gambar 2.1 Siklus Hidup Sarcoptes Scabiei


Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-bagian
tubuh mana yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis dan
lembab, seperti di lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar payudara,
area sekitar pusar, dan penis. Pada bayi karena seluruh kulitnya tipis, pada
telapak tangan, kaki. Wajah dan kulit kepala juga dapat diserang. Tungau
biasanya memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah kulit.
Selama makan, mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan
arah horizontal. beberapa studi menunjukkan tungau skabies khususnya yang
betina dewasa secara selektif menarik beberapa lipid yang terdapat pada kulit
manusia, di antaranya asam lemak jenuh odd-chain-length (misalnya
pentanoic dan lauric) dan tak jenuh(misalnya oleic dan linoleic) serta
kolesterol dan tipalmitin. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa lipid
yang terdapat pada kulit manusia dan beberapa mamalia dapat mempengaruhi
baik insiden infeksi maupun distribusi terowongan tungau di tubuh. Tungau
dewasa meletakkan baik telur maupun kotoran pada terowongan dan analog

14

dengan tungau debu, enzim pencernaan pada kotoran adalah antigen yang
penting untuk menimbulkan respons imun terhadap tungau skabies.
(Murtiastutik, 2005)
D. Patogenesis
Reaksi alergi

yang

sensitif

terhadap

tungau

dan

produknya

memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap


timbulnya gatal. Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera
memberikan gejala pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer
serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respons imun terhadap tungau
maupun sekret yang dihasilkan terowongan di bawah kulit. Sarcoptes scabiei
melepaskan

substansi sebagai respon hubungan antara tungau dengan

keratinosit dan sel-sel Langerhans ketika melakukan penetrasi ke dalam kulit.


(Hicks, 2009)
Hasil penelitian

sebelumnya

menunjukkan

keterlibatan

reaksi

hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen


tungau dengan Imunoglobulin E pada sel mast yang berlangsung di epidermis
menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan antibodi
IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan gejala
sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papulpapul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan
jumlah sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang
menyerupai dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi
tungau dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika, dan
lainnya. Di samping lesi yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei secara
langsung, dapat pula terjadi lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri. Akibat
garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta
hingga terjadinya infeksi sekunder. (Harahap, 2000)
E. Gejala Klinis
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes
scabiei sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan
gambaran klinis berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik. Dikenal

15

ada 4 tanda utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies, antara lain
(Handoko, 2009)
1. Pruritus nokturnal
Pruritus nokturnal adalah rasa gatal terasa lebih hebat pada malam hari
karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang lebih lembab dan
panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita
menjadi gelisah. Pada infeksi inisial, gatal timbul setelah 3 sampai 4
minggu, tetapi paparan ulang menimbulkan rasa gatal hanya dalam waktu
beberapa jam. Studi lain menunjukkan pada infestasi rekuren, gejala dapat
timbul dalam 4-6 hari karena telah ada reaksi sensitisasi sebelumnya.
(Department Public Health USA, 2008)
2. Sekelompok orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga biasanya
mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu pula dalam sebuah pemukiman
yang padat penduduknya, skabies dapat menular hampir ke seluruh
penduduk. Di dalam kelompok mungkin akan ditemukan individu yang
hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh parasit sehingga tidak
menimbulkan keluhan klinis akan tetapi menjadi pembawa (carier) bagi
individu lain
3. Adanya terowongan (kunikulus)
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada
kemampuannya meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum
korneum. Oleh karena itu, tungau ini sangat menyukai bagian kulit yang
memiliki stratum korneum yang relatif lebih longgar dan tipis, seperti selasela jari tangan, telapak tangan bagian lateral, pergelangan tangan bagian
volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae
(wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria). Lesi yang timbul
berupa eritema, krusta, ekskoriasi, papul, dan nodul. Erupsi eritem atous
dapat tersebar di bagian badan sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen tungau. Bila ada infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf
(pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). (Amiruddin, 2003)

16

Lesi yang patognomonik adalah terowongan yang tipis dan kecil


seperti benang, berstruktur linear kurang lebih 1-10 mm, berwarna putih
abu-abu, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang
merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum.
Terowongan ini terlihat jelas kelihatan di sela-sela jari, pergelangan
tangan, dan daerah siku. Akan tetapi, terowongan tersebut sukar ditemukan
di awal infeksi karena aktivitas menggaruk pasien yang hebat. (Miltoin,
2008)
4. Menemukan Sarcoptes scabiei
Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh
kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa,
maupun skibala (fecal pellet) yang merupakan poin diagnosis pasti. Akan
tetapi, kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan karena hampir
sebagian besar penderita pada umumnya datang dengan lesi yang sangat
variatif dan tidak spesifik. Pada kasus skabies yang klasik, jumlah tungau
sedikit sehingga diperlukan beberapa lokasi kerokan kulit. Teknik
pemeriksaan ini sangat tergantung pada operator pemeriksaan, sehingga
kegagalan menemukan tungau sering terjadi namun tidak menyingkirkan
diagnosis scabies. (Ulrich, 2006)
F. Diagnosis
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus
nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel, dan pustul di tempat
predileksi, distribusi lesi yang khas, terowongan-terowongan pada predileksi,
adanya penyakit yang sama pada orang-orang sekitar. Terowongan terkadang
sulit ditemukan, dan petunjuk yang lazim adalah penyebaran yang khas. Pada
umumnya, diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan dua dari empat tanda
kardinal. Diagnosis definitif bergantung pada identifikasi mikroskopis adanya
tungau, telur atau fecal pellet. Seringkali tungau tidak dapat dapat ditemukan
ditemukan walau terdapat lesi skabies nodula yang klasik di genitalia, atau
ruam yang khas dengan riwayat gatal-gatal pada anggota keluarga yang lain.
Infestasi skabies sering disertai infeksi sekunder sehingga erupsi kulit tidak
khas lagi dan menyulitkan pemeriksaan. Karena sulitnya menemukan tungau,

17

maka Lyell menyatakan diagnosis skabies harus dipertimbangkan pada setiap


penderita dengan keluhan gatal yang menetap walaupun dengan cara ini
dikatakan perevalensi skabies menjadi lebih tinggi dari yang sebenarnya.
(Murtiastutik, 2005)
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskop, yang dapa dilakukan dengan beberapa cara antara
lain: (Amiruddin, 2003)
1

Kerokan kulit
Papul atau terowongan yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau
KOH 10%, lalu dilakukan kerokan kulit dengan mengangkat papul atau
atap terowongan menggunakan scalpel steril nomor 15. Kerokan
diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi,
diberi kaca penutup, lalu diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 20X
atau 100X dapat dilihat tungau, telur, atau fecal pellet.

Mengambil tungau dengan jarum


Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan ke
dalam terowongan yang utuh (pada titik yang gelap, kecuali pada orang
kulit hitam pada titik yang putih), digerakkan secara tangensial ke ujung
lainnya, kemudian dikeluarkan. Tungau akan memegang ujung jarum dan
dapat diangkat keluar. Tungau terlihat pada ujung jarum sebagai parasit
yang sangat kecil dan transparan.

Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)


Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari
telunjuk, dengan menjepit lesi menggunakan ibu jari dan telunjuk, puncak
lesi diiris dengan scalpel steril nomor 15 dilakukan sejajar dengan
permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi
perdarahan dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek
lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop. Dapat pula
diperiksa dilakukan pewarnaan HE pada sediaan.

Kuretase terowongan

18

Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak


papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan
di gelas objek dan ditetesi minyak mineral.
5

Tes tinta Burowi (Burrow ink test)


Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan 20-30 menit, kemudian
dihapus dengan kapas alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat
sebagai garis gelap yang karakteristik, berbelok-belok, karena akumulasi
tinta di dalam terowongan. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada
anak dan pada penderita yang nonkooperatif.

Uji Tetrasiklin topikal


Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah
dikeringkan selama 5 menit kemudian hapus larutan tersebut dengan
isopropyl-alkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui stratum
korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu wood,
sebagai garis linier berwarna kuning keemasan sehingga tungau dapat
ditemukan.

Apusan kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas
objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek)

dan

diperiksa dengan mikroskop.


8

Biopsi plong (punch biopsy)


Biopsi berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau
telur. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah tungau hidup pada
penderita dewasa hanya sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil
dari lesi yang meradang.

Dermoskopi
Menurut Argenziano, pembesaran gambar menunjukkan struktur triangular
kecil berwarna gelap yang berhubungan dengan bagian anterior tungau
yang berpigmen dan suatu segmen linier di belakang segitiga yang
mengandung gelembung udara kecil, di mana kedua gambaran ini

19

menyerupai jet with contraildan dianggap sebagai bentuk terowongan


beserta telur dan fecal pellet.
10 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Dilaporkan juga oleh Bezold bahwa penggunaan PCR untuk membuktikan
adanya skabies pada penderita yang secara klinis menunjukkan ekzema.
Dari berbagai cara pemeriksaan di atas, kerokan kulit merupakan cara
yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan.
Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang
berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit
diketahui. Apusan kulit mudah dilakukan tetapi memerlukan waktu lama
karena dari satu lesi harus dilakukan 6 kali pemeriksaan sedangkan
pemeriksaan dilakukan pada hampir seluruh lesi. Tes tinta Burowi dan uji
tetrasiklin jarang memberikan hasil positif karena biasanya penderita datang
pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan
tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki tinta atau salep.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar berhasil melakukan
pemeriksaan kerokan kulit, antara lain sebagai berikut: (Amiruddin, 2003)
1

Kerokan harus dilakukan pada lesi yang utuh (papul, terowongan) dan
tidak dilakukan pada tempat dengan lesi yang tidak spesifik.

Sebaiknya lesi yang akan dikerok diolesi terlebih dahulu dengan minyak
mineral agar tungau dan produknya tidak larut, sehingga dapat
menemukan tungau dalam keadaan hidup dan utuh.

Kerokan dilakukan pada lesi di daerah predileksi.


Kerokan harus dilakukan di superfisial karena tungau terdapat dalam
stratum korneum dan menghindari terjadinya perdarahan.

G. Terapi
1) Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan umum meliputi edukasi kepada pasien sebagai berikut:
(Karthikeyan, 2005)
a Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
b Pengobatan skabisid topikal yang diberikan dioleskan di seluruh kulit,
c

kecuali wajah, sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur.


Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.

20

Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan


teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Tungau akan mati

pada suhu 130o.


Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga

serumah.
Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabisid.
Tidak boleh mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan setelah

seminggu walaupun gatal masih dirasakan sampai 4 minggu kemudian.


Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan
yang sama dan ikut menjaga kebersihan.

2) Penatalaksanaan Khusus
Pengobatan skabies harus efektif terhadap tungau dewasa, telur dan
produknya, mudah diaplikasikan, nontoksik, tidak mengiritasi, aman untuk
semua umur, dan terjangkau biayanya. Pengobatan skabies dapat berupa
topikal maupun oral. Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan
di seluruh permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit kepala, lebih
difokuskan di daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit
sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan skabies
berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan skabisid
topikal. Steroid topikal, anti histamin, maupun steroid sistemik jangka
pendek dapat diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien
yang tidak membaik setelah pemberian terapi skabisid yang lengkap.
(Handoko, 2009)
a Krim Permetrin (Elimete, Acticin)
Suatu skabisid berupa piretroid sintesis yang efektif pada manusia
dengan toksisitas rendah, bahkan dengan pemakaian yang berlebihan
sekalipun. Permetrin bekerja dengan cara mengganggu polarisasi
dinding sel melalui ikatan dengan natrium sehingga menghambat
repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi paralisis parasite. Obat ini
ditoleransi dengan baik, diserap minimal oleh kulit, tidak diabsorbsi
sistemik, dimetabolisasi dengan cepat, serta dikeluarkan kembali
melalui keringat dan sebum. Oleh karena itu, obat ini merupakan terapi
pilihan lini pertama rekomendasi CDC untuk terapi tungau tubuh.
Penggunaan obat ini biasanya pada sediaan krim dengan kadar 1%

21

untuk terapi tungau pada kepala dan kadar 5% untuk terapi tungau
tubuh. Studi menunjukkan penggunaan permetrin 1% untuk tungau
daerah kepala lebih baik dari lindane karena aman dan tidak diabsorbsi
secara sistemik. (Cox, 2000)
Cara pemakaiannya dengan dioleskan pada seluruh area tubuh
dari leher ke bawah dan dibilas setelah 8-14 jam.mBila diperlukan,
pengobatan dapat diulang setelah 5-7 hari kemudian. Belum ada
laporan terjadinya resistensi yang signifikan tetapi

beberapa studi

menunjukkan adanya resistensi permetrin 1% pada tungau kepala


namun dapat ditangani dengan pemberian permetrin 5%. Permetrin
sebaiknya tidak digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan atau
pada wanita hamil dan menyusui namun studi lain mengatakan bahwa
obat ini merupakan drug of choice untuk wanita hamil dengan
penggunaan yang tidak lebih dari 2 jam. Dikatakan bahwa permetrin
memiliki angka kesembuhan hingga 97,8% jika dibandingkan dengan
penggunaan ivermectin yang memiliki angka kesembuhan 70%. Tetapi
penggunaan 2 dosis ivermectin selama 2 minggu memiliki keefektifan
sama dengan permetrin. Efek samping yang sering ditemukan adalah
rasa terbakar, perih dan gatal, sedangkanyang jarang adalah dermatitis
kontak derajat ringan sampai sedang. (Leonne, 2007)
b Gamma benzene heksaklorida (Lindane)
Lindane merupakan pilihan terapi lini kedua rekomendasi CDC.
Dalam beberapa studi memperlihatkan keefektifan yang sama dengan
permetrin. Studi lain menunjukkan lindane kurang unggul dibanding
permetrin. Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus,
dan selaput lender, kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan
konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau. Lindane
dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses. Lindane
memiliki angka penyembuhan hingga 98% dan diabsorbsi secara
sistemik pada penggunaan topikal terutama pada kulit yang rusak. (Mc
Carthy, 2004)
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan
tidak berwarna. Sediaan obat ini biasanya sebanyak 60 mg. Pemakaian
22

secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh tubuh dari leher ke


bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau lotion. Setelah
pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1 minggu.
Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang menetas dan tidak
musnah

oleh

pengobatan

sebelumnya.

Beberapa

penelitian

menunjukkan penggunaan Lindane selama 6 jam sudah efektif.


Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta
tidak menggunakan konsentrasi lain selain 1%. (Fox, 2006)
Salah satu kekurangan obat ini adalah absorbsi secara sistemik
terutama pada bayi, anak, dan orang dewasa dengan kerusakan kulit
yang luas. Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas
SSP, kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun
jarang terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan
lindane yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor,
disorientasi, kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan
c

pernapasan, koma, dan kematian.


Presipitat Sulfur
Sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama digunakan, sejak
25 M. Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk salep (2% -10%) dan
umumnya salep konsentrasi 6% dalam petrolatum lebih disukai. Cara
aplikasi salep sangat sederhana, yakni mengoleskan salep setelah
mandi atau malam hari ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam selama
tiga

hari

berturut-turut,

kemudian

dibersihkan.

Keuntungan

penggunaan obat ini adalah harganya yang murah dan mungkin


merupakan satu-satunya pilihan di negara yang membutuhkan terapi
massal. (Karthikeyan, 2005)
Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk
hidrogen sulfida dan asam pentationida (CH2S5O6) yang bersifat
germisida dan fungisida. Secara umum sulfur bersifat aman bila
digunakan oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif
dalam konsentrasi 2,5% pada bayi. Kerugian pemakaian obat ini
adalah bau tidak enak, meninggalkan noda yang berminyak, mewarnai
pakaian, dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. (Murtiastutik, 2005)
d Benzil benzoate

23

Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang
merupakan bahan sintesis balsam Peru. Benzil benzoate bersifat
neurotoksik pada tungau skabies, efektif untuk semua stadium.
Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam dan
pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi
12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik dan
teratur dan secara kosmetik bisa diterima. Efek samping dari benzil
benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah dan
skrotum,

sehingga

menggunakan

penderita

secara

harus

berlebihan.

diingatkan

Penggunaan

untuk

tidak

berulang

dapat

menyebabkan dermatitis alergi. Kontraindikasi obat ini yaitu wanita


hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun. Tapi
benzil benzoate lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted
skabies. Di negara-negara berkembang dimana sumber daya yang
terbatas, benzil benzoate digunakan dalam pengelolaan skabies sebagai
e

alternatif yang lebih murah. (Karthikeyan, 2005)


Krim Crotamiton (Eurax)
Crotamiton atau crotonyl-n-ethyl-o-toluidine digunakan sebagai krim
10% atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.
Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama
lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian dari
leher ke bawah selama 2 malam kemudian dicuci setelah aplikasi
kedua. Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan
jangka panjang. Beberapa ahli beranggapan bahwa crotamiton krim ini
tidak memiliki efektivitas yang tinggi terhadap skabies. Kualitas krim
ini di bawah permetrin dan setara dengan benzyl benzoate dan sulfur.
Crotamiton 10% dalam krim atau losion, tidak mempunyai efek
sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi, dan anak kecil.

(Murtiastutik, 2005)
Ivermectin
Ivermectin adalah

bahan

semisintetik

yang

dihasilkan

oleh

Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotik


makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotik,
diketahui aktif melawan ekto dan endo parasit. Digunakan untuk
24

pengobatan penyakit filariasis terutama oncocerciasis. Diberikan


secara oral, dosis tunggal, 200 ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk
skabies. Digunakan pada umur lebih dari 5 tahun. Juga dilaporkan
secara khusus tentang formulasi ivermectin topikal efektif untuk
mengobati skabies. Ivermectin merupakan pilihan terapi lini ketiga
rekomendari CDC. Efek samping yang sering adalah kontak dermatitis
dan nekrolisis epidermal toksik. Penggunaan ivermectin tidak boleh
pada wanita hamil dan menyusui. (Fox, 2006)
Jenis Obat
Dosis
Permetrin 5% Dioleskan
krim
Lindane

selama

Keterangan
jam, Terapi lini pertama di US dan

8-14

diulangi selama 7 hari.


kehamilan kategori B.
1% Dioleskan selama 8 jam setelah itu Tidak dapat diberikan pada anak

lotion

dibersihkan,

olesan

kedua umur 2 tahun kebawah, wanita

diberikan 1 minggu kemudian.

selama masa kehamilan, dan

Crotamiton

laktasi.
Dioleskan selama 2 hari berturut- Memiliki efek anti pruritus tetapi

10% krim

turut, diulangi dalam 5 hari.

Sulfur

lainnya.
Dioleskan selama 3 hari lalu Aman untuk anak <2 bulan dan

precipitatum

dibersihkan.

efektifitas tidak sebaik topikal

wanita hamil dan laktasi, tetapi

5-10%

tampak

kotor

dalam

pemakaiannya dan data efisiensi


Benzyl

obat in masih kurang.


Dioleskan selama 24 jam lalu Efektif
namun

benzoat 10% dibersihkan.

dapat

menyebabkan dermatitis

pada

lotion
Ivermectin

wajah.
Dosis tunggal oral, bisa diulangi Memiliki efektifitas yang tinggi

200 ug/kgBB

selama 10-14 hari.

dan

aman.

Dapat

digunakan

bersama bahan topikal lainnya.


Digunakan

pada

kasus-kasus

skabies berkrusta dan skabies


resisten.
Tabel 2.1 Pengobatan Topikal Skabies

25

H. Prognosis
Infestasi skabies dapat disembuhkan. Dengan memperhatikan pemilihan dan
cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor
prediposisi (antara lain higiene), maka penyakit ini dapat diberantas dan
memberikan prognosis yang baik. Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap
untuk beberapa tahun. Oleh karena manusia merupakan penjamu (hospes)
definitif, maka apabila tidak diobati dengan sempurna, Sarcoptes scabiei akan
tetap hidup tumbuh pada manusia. Pada individu yang immunokompeten,
jumlah tungau akan berkurang seiring waktu. (Handoko, 2009)

26

II.

PEMBAHASAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varian hominis beserta produknya.
Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig, atau budukan.
(Handoko, 2009). Skabies menduduki sepuluh besar penyakit utama di puskesmas
dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Banyak
faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan sosial
ekonomi yang rendah, dan higiene yang buruk.
Yang menjadi penyebab utama gejala-gejala pada skabies ini ialah
Sarcoptes scabiei betina. Tungau betina yang mengandung membuat terowongan
pada lapisan tanduk kulit dan meletakkan telur di dalamnya. Setelah kopulasi yang
terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup
beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina.
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes
scabiei sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran
klinis berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik. Dikenal ada 4 tanda
utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies, antara lain pruritus nokturnal,
menyerang berkelompok, kanalikuli, dan ditemukan tungau. Pada anamnesis
pasien mengeluhkan gatal pada kedua tangan sejak sebulan yang lalu dan
memberat dimalam hari. Keluhan ini juga dirasakan pada kedua orangtuanya dan
kakanya. Pasien jarang mengganti sprei tempat tidur. Pasien dan kakak pasien
menggunakan handuk yang bersamaan selepas mandi. Pasien sering tidur bersama
orangtuanya dan kakaknya. Orangtua pasien apabila mencuci pakaian selalu
dicampur dengan baju pasien.
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus
nokturna dan pemeriksaan fisik berupa temuan erupsi kulit berupa papul, dan
pustul di tempat predileksi, distribusi lesi yang khas, terowongan-terowongan
pada predileksi, adanya penyakit yang sama pada orang-orang sekitar. Pada pasien
ini terowongan sulit ditemukan tetapi dikuatkan dengan adanya petunjuk yang
27

lazim adalah penyebaran yang khas yaitu di sela-sela jari tangan. Pada umumnya,
diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan dua dari empat tanda kardinal. Pada
pasien ini didaptkan 3 tanda kardinal. Diagnosis definitif bergantung pada
identifikasi mikroskopis adanya tungau, telur atau fecal pellet dengan
menggunakan metode kerokan kulit KOH 10% atau tes tinta burowi. Pada pasien
ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut dikarenakan kurangnya persiapan alat,
dan penulis mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan tersebut.
Terapi seharusnya diberikan pada seluruh anggota keluarga beberapa jenis
obat topikal diantaranya adalah sulfur presipitatum 4-20%, emulso benzil benzoat
20-25%, gama benzena heksa klorida 1%, krotamiton 10% ataupermetrin
5%.untuk pasien diberikan krim scabisid yang mudah didapat dan tersedia di
puskesmas, selain itu isi dari scabisid adalah gama benzena heksa klorida 1%
dimana termasuk obat pilihan yang efektif karena dapat memetikan semua
stadium, mudah digunakan, dan jarang memberikan iritasi. Pemberianya cukup 1x
diolesi saat malam hari setelah mandi kurang lebih 24 jam. Jika masih ada gejala
dapat diulangi seminggu kemudian. Pasien juga diajurkan untuk mengganti
seluruh sprei , sarung bantal atau handuk yang ada dirumah dan mencucinya.
Scabies merupakan salah satu the great imitator sehingga memiliki
diagnosis banding yang cukup banyak , berikut diantaranya yang terdekat adalah
prurigo dan dermatitis.. Berikut alasan mengapa diagnosis banding tersebut dapat
disingkirkan. Prurigo merupakan erupsi papular kronik dan rekuren, paling sering
ditemukan pada orang dengan usia pertengahan. Keluhan yang dirasakan adalah
gatal setiap saat yang tidak memberat di malam hari. Penyebab pastinya adalah
belum diketahui secara pasti dan penelitian cenderung mengarah ke herediter. Lesi
yang sering timbul adalah dalam kelompok-kelompok seperti papul-papul,
vesikel-vesikel dan jaringan parut. Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis
dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen (detergen, asam,
basa, oli, sinar,suhu, bakteri, jamur) dan atau endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa effloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Dilihat dari segi effloresensi kedua penyakit
tersebut bila dibandngkan dengan scabies tentu sulit deibedakan. Menjadi mudah
dibedakan ketika dicocokan dengan perjalanan klinis penyakit melalui anamnesis.

28

Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus nokturna


dan pemeriksaan fisik berupa temuan erupsi kulit berupa papul, dan pustul di
tempat predileksi, distribusi lesi yang khas, terowongan-terowongan pada
predileksi, adanya penyakit yang sama pada orang-orang sekitar, dan ditemukan
tungau mealui pemerikasaan kerokan.

29

III. KESIMPULAN
1. Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap tungau Sarcoptes scabiei varian hominis beserta produknya
2. Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei
sangat bervariasi. Dikenal ada 4 tanda utama atau tanda kardinal pada
infestasi skabies, antara lain pruritus nokturna, berkelompok, terowongan,
ditemukan tungau.
3. Pemeriksaan fisik pada pasien dilakukan inspeksi dan menemukan kanalikuli
atau kelainan kulit berupa papul, vesikel, urtika dan lain-lain.
4. Pemeriksaan penunjang pasien scabies dapat dilakukan kerokan kulit KOH
10% dan tes tinta burowi.
5. Terapi empirik untuk scabies adalah gama benzena heksa klorida 1%, sulfur
presipitatum, emulsi benzil-benzoas, krotamiton, permetrin.

30

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2003: 5-10.
Beggs J. dkk. Scabies Prevention And Control Manual. USA: Michigan
Department Of Community Health. 2005: 4-6, 10.
Burns DA. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals. In: Burns
T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.
USA: Blackwell publishing. 2004: 2. 37-47.
Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006: 354; 1718-27
Fox G. Itching And Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal Of Family
Practice. 2006: (55) 26-7, 30.
Handoko R. Skabies. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, ed. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi ke-5, cetakan ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2009: 119-22.
Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009: (22) 279-92
Johnston G, Sladden M. Scabies: Diagnosis and Treatment. British Med J. 2005:
17; 331(7517) / 619-22.
Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate Med J.
2005: (951) 7-11.
Leone P. Scabies and Pediculosis: An Update of Treatment Regiments and
General Review. Oxford Journals. 2007: (44) 154-9.
McCarthy J, Kemp D, Walton S, Currie B. Review Scabies: More Than Just An
Irritation.. Postgrad Medical Journal. 2004: (80) 382-6.
Miltoin O, Maibach HL. Scabies and Pediculosis. In: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine, 7th ed. USA: McGraw Hill. 2008: 2029-31.
Murtiastutik D. Skabies. Dalam: Buku Ajar Infeksi Menular Seksual, edisi ke-1.
Surabaya: Airlangga University Press. 2005: 202-8.
Sungkar S. Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan IDI. 2005: 1-25.

31

Ulrich HR, Currie BJ, Jager G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: A Ubiquitous
Neglected Skin Disease. PubMed J. 2006: (6) 769-77.

32

Anda mungkin juga menyukai