BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari sel itu berasal.
Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus
Leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan.
Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari
sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi.
Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu
fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti ini akan
menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan
perdarahan. (Hematologi Klinik Ed. 2.106).
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik
pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal
akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan
menimbulkan gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses
neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk
hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik (Anonim,
2011)
Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri
myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain lain). Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh
kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada
anak (15%). (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV.1234).
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penyebab dan perjalaan penyakit AML
2. Untuk mengetahui cara pengobatan dan penatalaksanaan secara
komprehensifpada penderita AML
3. Untuk mengetahui pencegahan penyakit AML
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi dan Fisiologi Darah
1. Pengertian
Darah adalah cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi
mentransportasikan oksigen, karbohidrat dan metabolit; mengatur keseimbangan
asam dan basa; mengatur suhu tubuh dengan cara konduksi (hantaran), membawa
panas tubuh dari pusat produksi panas (hepar dan otot) untuk mendistribusikan ke
seluruh tubuh; dan pengaturan hormone dengan membawa dan menghantarkan
kelenjar ke sasaran.
2. Fungsi Darah
Bekerja dari sistem transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan
kimia, oksigen dan zat kimia yang diperlukan untuk tubuh supaya fungsi
normalnya dapat dijalankan dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil
buangan lainnya.
Sel darah merah mengantarkan oksigen ke jaringan dan menyingkirkan
sebagian dari karbon dioksida. Sel darah putih menyediakan banyak baha
pelindung dan arena gerakan fagositosis dari beberapa sel maka melindungi tubuh
dari serangan bakteri.
Plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan jaringan;
menyegarkan cairan jaringan karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima
makanannya. Dan merupakan kendaraan untuk mengangkut bahan buangan ke
berbagai organ exkretorik untuk dibuang. Hormon dan enzim diantarkan dari
organ ke organ dengan perantaraan darah (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Ed. IV.1234).
3. Komponen Darah
1) Sel darah merah
Jika dilihat di bawah mikroskop, bentuk darah merah seperti saluran bikokaf
tersebut mempunyai inti, warnanya kuning kemerah-merahan, sifatnya kenyal
sehingga bias berubah bentuk sesuai dengan pembuluh darah.Sel darah merah atau
eritrosit berupa saluran kecil , cebung pada kedua sisinya sehingga dilihat dari
samping tampak seperti dua buah bulan sabit yang saling bertolak belakang.
Granulosit
Granulosit merupakan
Neutrofil .
Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh
bakteri ,sangat fagositik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi
untuk menyerang dan menghancurkan bakteri, virus atau agen penyebab infeksi
lainnya. Neutrofil mempunyai inti sel yang berangkai dan kadang-kadang seperti
Eosinofil.
Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat
saat terjadi alergi atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma
yang kasar dan besar. Sel granulanya berwarna merah sampai merah jingga.
Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam
sebelum bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 812 hari dari jangka hidupnya. Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit
dari neutrofil, hanya 2-4% dari jumlah sel darah putih.
-
Basofil.
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang
dari 1% dari jumlah sel darah put ih. Basofil memiliki sejumlah granula
sitoplasma yang bentuknya tidak beraturan dan berwarna keunguan sampai
hitam.Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk
meningkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu
mencegah pembekuan darah intravaskular.
b. Agranulosit
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit
terdiri dari limfosit dan monosit.
-
Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil,
berkisar 20-35% dari sel darah put ih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas.
Limfosit memiliki inti yang bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran
sitoplasma yang sempit berwarna biru. Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T
dan limfosit B. Limfosit T bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam
timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar
kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi
suportif yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen
darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, Ed. IV.1234).
C. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya
menjadi faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa
kimia yang banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara
berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu
radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari
penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada
orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah
trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down.
Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.
Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan
anemia Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi
dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah
komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma
multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang
paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor.
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
-
Nagasaki, Jepang.
-
Faktor
leukemogenik.
Terdapat
beberapa
zat
kimia
yang
telah
case control
Ga
mbar.2. Hematopoiesis
Sel ganas pada AML myeloblast tersebut. Dalam hematopoiesis normal,
myeloblast merupakan prekursor belum matang myeloid sel darah putih, sebuah
myeloblast yang normal secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa
putih. Namun, dalam AML, sebuah myeloblast tunggal akumulasi perubahan
genetik yang "membekukan" sel dalam keadaan imatur dan mencegah
diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak menyebabkan leukemia, namun ketika
seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang
mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya adalah pertumbuhan tidak
terkendali dari klon belum menghasilkan sel, yang mengarah ke entitas klinis
AML.
Sebagian besar keragaman dan heterogenitas AML berasal dari kenyataan
bahwa transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di
sepanjang jalur diferensiasi. Skema klasifikasi modern untuk AML mengakui
bahwa karakteristik dan perilaku dari sel leukemia (dan leukemia) mungkin
tergantung pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.
Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien
dengan AML, jenis kelainan kromosom sering memiliki makna prognostik. Para
translokasi kromosom yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor
transkripsi yang mengubah sifat dapat menyebabkan "penangkapan diferensiasi."
Sebagai contoh, pada leukemia promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi
menghasilkan protein fusi PML-RAR yang mengikat ke reseptor unsur asam
retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan menghambat
diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil AML dari kenyataan bahwa,
sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk menggantikan atau
mengganggu perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini
menyebabkan neutropenia, anemia, dan trombositopenia (Permono dan Ugrasena,
2005).
E. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk
sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada
jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliput i perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan
10
11
menimbulkan gangguan
infiltrasi
gingival,
pada
laboratorium
disseminated
intravascular
12
G. Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Pada stadium praleukemia, gejala lebih
tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang dapat memperlihatkana gambaran normal.
Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan oleh anemia aplastik,
trombositopenia (ATP,ITP,demam berdarah, atau penyakit infeksi lain). Bila pada
pemeriksaan fisis ditemukan splenomegali maka diagnosis lebih terarah pada
leukemia akut. Trombositopenia biasa tidak menunjukkan kelainan lain dalam
darah tepi kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi menunjukkan
granulositopenia dan retikulositopenia diagnosis lebih condong pada anemia
aplastik atau leukemia akut. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang
2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.
Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli
hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan
klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi
FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia
yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel
darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal.
Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia,
tingkat-tingkat platelet mungkin rendah, menyebabkan perdarahan dan memar,
dan tingkat sel darah putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi dari sumsum tulang mungkin
dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum
berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari
sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum
tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk melihat
apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang
13
mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum
tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow cytometry penting
lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia
(menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika
(untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika
molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker).
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan,
diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)},
CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal
tap/lumbar puncture.
Kelainan hematologis:
-
Jumlah
limfoblas
dapat
sampai
100%.
Juga
didapatkan
14
Pemeriksaan lain
Kelainan imunologis dapat diperiksa dengan immunophenotyping.
Pemeriksaan
biopsy limpa akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal
dari jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp
cell (IKA FK UNHAS 2009).
I. Dignosis banding
Leukemia mieloblastik akut harus dibuat diagnosa banding dan semua
leukemia akut dan anemia aplastik. Apabila ditemukan Auer body maka
diagnosabandin g tidak sulit ditegakkan, oleh karena kelainan ini patogonomis
15
Guglielmo
2.
3.
4.
5.
16
leukemia
mielositik
kronik
(LMK),
mielosis
eritremik
(ME),
17
b.
didapatkan pada orang dewasa. LMA merupakan leukemia yang mengenai sel
stem hemopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid.
c.
Down dibandingkan dengan anak normal. Ratio ALL dan AML pada anak dengan
sindrom Down sama dengan ratio anak normal. Pada anak dengan sindrom Down
yang memiliki ALL, pencapaian keberhasilan terapi akan sama dengan anak
normal, Namun demikian, anak dengan Down syndrome lebih sensitive terhadap
methotrexate dan antimetabolit lain dimana akan menimbulkan toksisitas jika
dosis nya tidak diawasi dan diatur dengan baik. Pada AML, pasien dengan
sindrom Down memiliki keberhasilan terapi yang lebih baik, dengan angka
harapan hidup > 80% dibandingkan dengan anak tanpa sindrom Down. Terdapat
10% dari neonatus dengan sindrom Down mendapatkan transient leukemia atau
myeloproliveratove syndrome yang ditandai dengan leukosit yang meninggi,
terdapat
sel
blast
pada
darah
perifer,
anemia,
trombositopenia,
dan
dengan
transient
leukemia
atau
myeloproliveratife
memerlukan
pemantauan yang ketat karena 20-30% dapat jatuh pada kondisi leukemia
megakarositik.
d.
berlebihan sel myeloid yang relative matang. LGK didapatkan 2-3% kasus pada
anak-anak. Sekitar 99% dari kasus khas dengan translokasi kromosom yang
disebut dengan kromosom Philadelphia. Sebagian besar penderita LGK akan
meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu
produksi berlebihan sel muda leukosit biasanya berupa mieloblast/promielosit,
disertai produksi neutrofil, trombosit, dan sel darah merah yang kurang (Bleyer,
2007).
18
J. Penatalaksanaan
Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan
PCR (Packed red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam
diatasi dengan transfusi konsetrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan
antibiotika yang adekwat. Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya
dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari
1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Untuk pasien
usia di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara C 5
hari. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis
dan hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir mimggu ketiga. Apabila
tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat parsiil maka terapi harus diganti
dengan regimen lain.
Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai
tahap konsolidasi. Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan
Ara C 1-5. Refimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.Apabila
keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat terjadi
remisi lengkap. (Hematologi Klinik Ed. 2.113).
Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan
daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus
kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan
dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedangkan bila diberikan
sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. (Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV.1238).
Modalitas pengobatan leukemia :
-
Radioterapi
Radioterapi umumnya dilakukan untuk mencegah dan mengobati
penyebaran sel leukemia ke otak. Saat ini pengobatan radioterapi pada leukemia
mulai ditinggalkan oleh banyak ahli karena efek samping yang begitu besar dan
kuat seperti gangguan intelektual, timbulnya second malignancy, dan mengganggu
tumbuh kembang anak. Sehingga sebagian besar protocol pengobatan leukemia
tidak lagi menggunakan radioterapi. Berhasil tidaknya pengobatan radioterapi
19
tergantung dati factor sensitivitas sel kanker, efek samping yang timbul,
pengalaman radioterapi, serta pasien yang kooperatif.
-
Kemoterapi
Kemoterapi pada penderita leukemia mempunyai peran penting karena
Pembedahan
Merupakan salah satu modalitas dalam penanganan penderita kanker. Pada
umumnya pembedahan dilakukan pada penderita dengan tumor padat yang masih
dini atau untuk pengobatan paliatif dekompresif, tetapi pembedahan tidak dapat
digunakan pada keganasan hematologi (Permono, 2011).
Pengelolaan medik penderita leukemia mempunyai beberapa prinsip yang
menyangkut beberapa aspek antara lain:
-
penjelasan tentang
diagnosis
serta
perlunya
pemberian
kemoterapi,
b. memberikan penjelasan tentang lama pengobatan, macam obat (termasuk
harga obat) serta jadwal pemberian kemoterapi, serta persiapan yang
diperlukan setiap akan masuk sitostatika
20
sumsum tulang pada akhir masa induksi (minggu ke 6) yang mencapai remisi
dimana kita hanya menemukan jumlah limfoblas dalam sumsum tulang kurang
dari 5%. Pada umumnya sitostatika memberikan efek samping berupa
mielosupresi (anemia, leucopenia, trombositopenia), mual, muntah, stomatitis,
rambut rontok, nyeri otot. Efek samping yang sifatnya selektif untuk masingmasing obat misalnya :
a. Metotreksat: Adriamisin: kardiomopat, meilodupresi, mual, muntah, alopesia
b. Asparaginase
e. Sitarabin
21
sel leukemia sampai tidak terdeteksi secara klinis maupun laboratorium (limfoblas
sumsum tulang <5%) yang ditandai dengan holangnya gejala klinis dan gambaran
darah tepi menjadi normal. Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar
6 minggu dengan angka remisi rata-rata 97%.
Tahap induksi menggunakan kortikosteroid (prednisone atau dexamethason),
vinkristin, L_Asparaginase. Pada tahap ini diberikan :
-
c. Rumat /maintenance
Tidak seperti keganasan yang lain pada LLA diperlukan waktu yang panjang
untuk mempertahankan kesembuhan. Hal ini ditujukan untuk membunuh sel blas
dan
memelihara
sel
sumsum
tulang
yang
normal
disamping
untuk
22
d.
Reinduksi
Reinduksi dimaksudkan untuk mencapai remisi yang biasanya dilakukan
setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obatan seperti pada induksi selama 10-14
hari. Reinduksi diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obatobat rumat dihentikan. Sistemik:
-
23
Granulositopenia.
Pada pasien leukemia dengan penurunan kekebalan tubuh, infeksi dapat pula
disebabkan oleh kuman yang biasanya tidak pathogen seperti Streptococcus
faecalis dan Staphylococcus epidermidis. Pencegahan terhadap infeksi yang
sangat rentan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang termudah
adalah memberikan pengertian pada penderita dan keluarganya agar selalu
mencuci tangan, mandi setiap hari dan menghindari kontak dengan orang yang
sedang sakit. Profilaksis antibiotic untuk mencegah pneumoni akibat pneumocitys
carinii dapat dilakukan dengan pemberian trimetoprim/sulfametaksol selama 3
hari berturut-turut dalam seminggu. Penanganan ini biasanya dilakukan sebelum
pemakaian sitostatika. Pada kunjungan awal penderita biasanya datang dengan
anemia dan panas badan, usaha pertama adalah menaikkan kadar hemoglobin
dengan pemberian transfusi darah. Panas badan umumnya dianggap disebabkan
oleh infeksi (Reksodiputro, 1993).
K.Komplikasi
Dua macam komplikasi yang sering bersifat fatal yaitu perdarahan
serebelar dan infeksi. Komplikasi yang jarang terjadi adalah keluhan akibat
tekanan oleh suatu tumor leukemia.
L.Prognosis
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan
hidup lama (30-40 % angka kesembuhan keseluruhan). Penderit yang mengalami
relaps setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi
dengan CST allogenetik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi
atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih baik (Pramono dkk, 2006).
24
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang
sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum
tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga type sel
darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan
infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oxygen kedalam tubuh) dan
platelet (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).
Sampai saat ini penyebab penyakit leukemia belum diketahui secara pasti, akan
tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya
leukemia : Radiasi, Leukemogenik, Herediter, Virus.
Sistem Terapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia
adalah kombinasi antara Chemotherapy (kemoterapi) dan pemberian obat-obatan
yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal dalam
bone marrow. Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala dan tanda
yang
telah
ditampakkan
oleh
tubuh
penderita
dengan
monitor
yang
komprehensive.
3.2.Saran
Leukemia salah satu penyakit yang berbahaya, sehingga harus diwaspadai
dengan cermat, maka sangatlah penting untuk mencegah penyakit ini dengan cara
menghindari faktor resiko dan menjaga pola hidup sehat sedini mungkin.
25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Bab II.Tinjauan Pustaka. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] :
Available
from:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20969/4/Chapter%20II.pdf
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unhas. Standar Pelayanan Medik Kesehatan
Anak. Makassar : SMF Anak RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo. 2009. p.197.
Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1996.
Bleyer A. David G. Tubergen. The Leukemias in Nelson Textbook of Pediatrics.
Kliegman,ed. Philadelpia : Elseiver.2007. c495.
Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi
4.Jakarta: EGC, 2005
Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar HematologiOnkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005
Permono Bambang, Mia R. Pengelolaan Medik Anak dengan Leukemia dan
Kemungkinan Perawatan di RS Kabupaten. [online] 2011 [cited 2011
Januari 14] : Available from www.pediatrik.com/pkb/06102202252403ie136.pdf.
Permono, Bambang, Sutaryo, Ugrasena IDG, Endang W, Maria A. Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. 2005. Jakarta: IDAI
Reksodiputro,A.Haryanto. Total Protected Environment Untuk Mencegah Infeksi
Nosokomial di Ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM FKUI in
Cermin Dunia Kedokteran no.83. Jakarta : PT.Midas Surya Grafindo.
1993.p18
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilmu Kesehatan Anak ed.1. Jakarta : Info Medika Jakarta. 1985. p469.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta,
2006.
Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit
Alumni : Bandung. 1997.
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003