Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari sel itu berasal.
Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus
Leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan.
Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari
sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi.
Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu
fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti ini akan
menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan
perdarahan. (Hematologi Klinik Ed. 2.106).
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik
pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal
akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan
menimbulkan gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses
neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk
hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik (Anonim,
2011)
Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri
myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain lain). Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh
kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada
anak (15%). (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV.1234).
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penyebab dan perjalaan penyakit AML
2. Untuk mengetahui cara pengobatan dan penatalaksanaan secara
komprehensifpada penderita AML
3. Untuk mengetahui pencegahan penyakit AML

BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi dan Fisiologi Darah
1. Pengertian
Darah adalah cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi
mentransportasikan oksigen, karbohidrat dan metabolit; mengatur keseimbangan
asam dan basa; mengatur suhu tubuh dengan cara konduksi (hantaran), membawa
panas tubuh dari pusat produksi panas (hepar dan otot) untuk mendistribusikan ke
seluruh tubuh; dan pengaturan hormone dengan membawa dan menghantarkan
kelenjar ke sasaran.
2. Fungsi Darah
Bekerja dari sistem transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan
kimia, oksigen dan zat kimia yang diperlukan untuk tubuh supaya fungsi
normalnya dapat dijalankan dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil
buangan lainnya.
Sel darah merah mengantarkan oksigen ke jaringan dan menyingkirkan
sebagian dari karbon dioksida. Sel darah putih menyediakan banyak baha
pelindung dan arena gerakan fagositosis dari beberapa sel maka melindungi tubuh
dari serangan bakteri.
Plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan jaringan;
menyegarkan cairan jaringan karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima
makanannya. Dan merupakan kendaraan untuk mengangkut bahan buangan ke
berbagai organ exkretorik untuk dibuang. Hormon dan enzim diantarkan dari
organ ke organ dengan perantaraan darah (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Ed. IV.1234).
3. Komponen Darah
1) Sel darah merah
Jika dilihat di bawah mikroskop, bentuk darah merah seperti saluran bikokaf
tersebut mempunyai inti, warnanya kuning kemerah-merahan, sifatnya kenyal
sehingga bias berubah bentuk sesuai dengan pembuluh darah.Sel darah merah atau
eritrosit berupa saluran kecil , cebung pada kedua sisinya sehingga dilihat dari
samping tampak seperti dua buah bulan sabit yang saling bertolak belakang.

2) Sel darah putih


Bentuknya bening dan tidak berwarna ukurannya lebih besar dari pritosit,
bentuknya lebih besar 2X sel darah merah, tetapi juga bermacam-macam inti sel
dan banyak.
Sel polimorfonulitear dan monosit normal dibentuk hanya dalam sumsum
tulang, sebaliknya limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ
limfogen termasuk kelenjar limpa, limpa kelenjar timus forsit dan sisa limfoid
yang terletak dalam usus dan ditempat lain.
3) Trombosit
Trombosit adalah sel kecil kira-kira sepertiga ukuran sel darah merah.
Peranannya penting dalam penggumpalan darah.Trombosit merupakan bendabenda kecil yang mati. Bentuk dan ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat
dan ada yang lonjong, warnanya putih. Trombosit bukanlah sel melainkan
berbentuk keping-keping yang merupakan bagian-bagian terkecil dari sel besar.
Trombosit dibuat di susunan tulang, paru-paru dan limpa dengan ukuran kira-kira
2 4 miliron umur peredarannya sekitra 10 hari (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, Ed. IV.1234).
4) Leukosit
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh, yaitu
berfungsi melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah
put ih berkisar dari 4.000 sampai 10.000/mm3. Berdasarkan jenis granula dalam
sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah putih digolongkan menjadi 2 yaitu :
granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan agranulosit (leukosit mononuklear).
a.

Granulosit
Granulosit merupakan

leukosit yang memiliki granula sitoplasma.

Berdasarkan warna granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis


granulosit yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil.
-

Neutrofil .
Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh

bakteri ,sangat fagositik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi
untuk menyerang dan menghancurkan bakteri, virus atau agen penyebab infeksi
lainnya. Neutrofil mempunyai inti sel yang berangkai dan kadang-kadang seperti

terpisah- pisah, protoplasmanya banyak bintik-bintik halus (granula). Granula


neutrofil mempunyai afinitas sedikit terhadap zat warna basa dan memberi warna
biru atau merah muda pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna
merah muda. Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling banyak,
mencapai 60% dari jumlah sel darah putih. Neutrofil merupakan sel berumur
pendek dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari
dalam jaringan ikat, setelah itu neutrofil mati.
-

Eosinofil.
Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat

saat terjadi alergi atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma
yang kasar dan besar. Sel granulanya berwarna merah sampai merah jingga.
Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam
sebelum bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 812 hari dari jangka hidupnya. Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit
dari neutrofil, hanya 2-4% dari jumlah sel darah putih.
-

Basofil.
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang

dari 1% dari jumlah sel darah put ih. Basofil memiliki sejumlah granula
sitoplasma yang bentuknya tidak beraturan dan berwarna keunguan sampai
hitam.Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk
meningkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu
mencegah pembekuan darah intravaskular.
b. Agranulosit
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit
terdiri dari limfosit dan monosit.
-

Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil,

berkisar 20-35% dari sel darah put ih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas.
Limfosit memiliki inti yang bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran
sitoplasma yang sempit berwarna biru. Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T
dan limfosit B. Limfosit T bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam
timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar

getah bening. Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular


melalui pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika
dirangsang dengan semestinya, berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma yang
menghasilkan imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab atas respons
kekebalan hormonal.
- Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari sel
darah putih, memiliki waktu paruh 12-100 jam di dalam darah.Intinya terlipat atau
berlekuk dan terlihat berlobus, protoplasmanya melebar, warna biru keabuan yang
mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan. Monosit memiliki fungsi fagositik
dan sangat aktif, membuang sel-sel cedera dan mati, fragmen-fragmen sel, dan
mikroorganisme (Anonim, 2011).

Gambar 1. Sel darah putih


B. Definisi
Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri
mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara
cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum
tahun 1960 pengobatan LMA terutam bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun
yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini
banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan
pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik,

kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi
suportif yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen
darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, Ed. IV.1234).
C. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya
menjadi faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa
kimia yang banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara
berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu
radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari
penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada
orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah
trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down.
Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.
Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan
anemia Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi
dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah
komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma
multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang
paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor.
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
-

Radiasi. Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA. Leukemia


ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan

Nagasaki, Jepang.
-

Faktor

leukemogenik.

Terdapat

beberapa

zat

kimia

yang

telah

diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi leukemia yaitu Racun


lingkungan seperti benzena, Bahan kimia industri seperti insektisida, serta
obat untuk kemoterapi.
-

Herediter. Penderita sindrom Down memiliki insidens leukemia akut 20


kali lebih besar dari orang normal. Pada sebagian penderita dengan
leukemia, insiden leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan
untuk mendapat leukemia pada saudara kandung penderita naik 2-4 kali.
Selain itu, leukemia juga dapat terjadi pada kembar identik. Berdasarkan
penelitian Hadi, et al (2008) di Iran dengan desain

case control

menunjukkan bahwa orang yang memiliki riwayat keluarga positif


leukemia berisiko untuk menderita LLA (OR=3,75 ; CI=1,32-10,99)
artinya orang yang menderita leukemia kemungkinan 3,75 kali memiliki
riwayat keluarga positif leukemia dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita leukemia.
-

Virus. Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus


leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.

Beberapa kondisi perinatal merupakan factor risiko terjadiya leukemia pada


anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnatingius dkk (1995). Factor-faktor
tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen,
asfiksia, berat badan lahir > 4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan
Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alcohol
meningkatkan risiko terjadinyaleukemia pada bayi, terutama LMA (Permono
dan Ugrasena, 2005)
D. Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast
di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan
pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia,

leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah


lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia
akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termausk infeksi oportunis dari flora
normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang
terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem
syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

Ga
mbar.2. Hematopoiesis
Sel ganas pada AML myeloblast tersebut. Dalam hematopoiesis normal,
myeloblast merupakan prekursor belum matang myeloid sel darah putih, sebuah
myeloblast yang normal secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa
putih. Namun, dalam AML, sebuah myeloblast tunggal akumulasi perubahan
genetik yang "membekukan" sel dalam keadaan imatur dan mencegah
diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak menyebabkan leukemia, namun ketika
seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang
mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya adalah pertumbuhan tidak

terkendali dari klon belum menghasilkan sel, yang mengarah ke entitas klinis
AML.
Sebagian besar keragaman dan heterogenitas AML berasal dari kenyataan
bahwa transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di
sepanjang jalur diferensiasi. Skema klasifikasi modern untuk AML mengakui
bahwa karakteristik dan perilaku dari sel leukemia (dan leukemia) mungkin
tergantung pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.
Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien
dengan AML, jenis kelainan kromosom sering memiliki makna prognostik. Para
translokasi kromosom yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor
transkripsi yang mengubah sifat dapat menyebabkan "penangkapan diferensiasi."
Sebagai contoh, pada leukemia promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi
menghasilkan protein fusi PML-RAR yang mengikat ke reseptor unsur asam
retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan menghambat
diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil AML dari kenyataan bahwa,
sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk menggantikan atau
mengganggu perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini
menyebabkan neutropenia, anemia, dan trombositopenia (Permono dan Ugrasena,
2005).
E. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk
sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada
jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliput i perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan

10

seluruh kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan


kembali), delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih
mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap
menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah
put ih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan.
Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari
kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah
tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum
tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah
yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk
hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak (Anonim, 2011).
F. Gejala klinis
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak
selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA,
sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35%
mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang
signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu
sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai
pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang
diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan
infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana
telah disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau
petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis,
perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali
pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering dijumpai pada
kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan
daerah peri rektl, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada
pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100

11

ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat


aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi,
tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan
kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
meninbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.
Pembengkakkan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke
dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel
blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan
sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
Gejala klinik yang khas pada leukemia ialah pucat, panas, perdarahan
disertai splenomegali dan kadang-kadang hepatomegali serta limfadenopati.
Penderita yang menunjukkan gejala lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis
dapat didiagnosa sebagai leukemia. Pucat terjadi secara mendadak dan sebab
terjadinya sukar diterangkan serta perdarahan berupa ekimosis, peteki, epistaksis,
perdarahan gusi, dan sebagainya. Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat
splenomegaly (FKUI, 1985).
Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan biasanya terjadi
dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA dengan leukosit yang sangat
tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3 ) biasanya mengalami gangguan kesadaran, sesak
napas, nyeri dada dan priapismus. Selain itu

menimbulkan gangguan

metabolisme hiperurisemia dan hipoglikemia. Pada pasien LMA menunjukkan


gejala khas dibandingkan dengan LLA yaitu nodul subkutan atau blueberry muffin
lesion,

infiltrasi

gingival,

pada

laboratorium

disseminated

intravascular

coagulation (khususnya pada leukemia promielositik akut) dan terdapat massa


yang terpisah atau dikenal sebagai granulocityc sarcoma (Bleyer, 2007).

12

G. Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Pada stadium praleukemia, gejala lebih
tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang dapat memperlihatkana gambaran normal.
Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan oleh anemia aplastik,
trombositopenia (ATP,ITP,demam berdarah, atau penyakit infeksi lain). Bila pada
pemeriksaan fisis ditemukan splenomegali maka diagnosis lebih terarah pada
leukemia akut. Trombositopenia biasa tidak menunjukkan kelainan lain dalam
darah tepi kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi menunjukkan
granulositopenia dan retikulositopenia diagnosis lebih condong pada anemia
aplastik atau leukemia akut. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang
2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.
Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli
hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan
klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi
FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia
yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel
darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal.
Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia,
tingkat-tingkat platelet mungkin rendah, menyebabkan perdarahan dan memar,
dan tingkat sel darah putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi dari sumsum tulang mungkin
dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum
berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari
sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum
tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk melihat
apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang

13

mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum
tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow cytometry penting
lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia
(menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika
(untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika
molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker).
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan,
diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)},
CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal
tap/lumbar puncture.
Kelainan hematologis:
-

Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3.

Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 103 /mm3. Leukosit


yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.

Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang


mengandung badan auer suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.
Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif,

sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum


tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam darah tepi.
Jadi kadang-kadang ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi
sumsum tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas.
Kadan-kadang ditemukan Auer body dalam mieloblas. Kadang manifestasi
pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan mieloblas dalam
sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum fambaran
mieloblastiknya menjadi jelas benar (FKUI, 1985).
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi
dan pemeriksaan sumsum tulang.
a.

Pemeriksaan darah tepi


Pada LLA, pemeriksaan darah tepi menunjukkan anemia normositik

normokrom, kadang-kadang ditemukan normoblas. Pada hitung jenis terdapat


limfoblas.

Jumlah

limfoblas

dapat

sampai

100%.

Juga

didapatkan

14

trombositopenia, Rumple Leede positif, waktu perdarahan memanjang, dan


retikulositopenia.
b.

Pemeriksaan sumsum tulang


Kepastian diagnostic dari pemeriksaan BMP (Bone Marrow Punction)

yang menunjukkan pendesakan eritropoiesis, trombopoiesis, dan granulopoiesis.


Sumsum tulang didominasi oleh limfoblas. Hampir semua sel sumsum tulang
diganti sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke
sel yang matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari
sel berinti dalam sumsum tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi
merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang
lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada
penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah
megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari
30.000/mm3.
c.

Pemeriksaan lain
Kelainan imunologis dapat diperiksa dengan immunophenotyping.

Kelainan kromosom diperiksa dengan karyotyping. Pemeriksaan lain adalah


pencitraan foto thoraks AP dan lateral untuk melihat infiltrasi mediastinal. Pungsi
lumbal untuk mengetahui adanya infiltrasi ke cairan cerebrospinal. Jika pada
pemeriksaan cairan cerebrospinal terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan
protein maka hal ini berarti suatu leukemia meningial. Kelainan ini dapat terjadi
pada setiap saat dari perjalanan penyakit baik pada keadaan remisi maupun
keadaan kambuh. Untuk mencegahnya dilakukan pungsi lumbal dan pemberian
metotreksat intratekal secara rutin pada setiap penderita baru atau pada mereka
yang menunjukkan gejala tekanan intracranial yang meninggi.

Pemeriksaan

biopsy limpa akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal
dari jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp
cell (IKA FK UNHAS 2009).
I. Dignosis banding
Leukemia mieloblastik akut harus dibuat diagnosa banding dan semua
leukemia akut dan anemia aplastik. Apabila ditemukan Auer body maka
diagnosabandin g tidak sulit ditegakkan, oleh karena kelainan ini patogonomis

15

untuk leukemia mieloblastik akut.


Apabila tidak ditemukan Auer body maka harus dikerjakan reaksi
peroksidase dimana pada mieloblas pereksidase akan positif.
Anemia aplastik dengan mieloblastik akut yang alekemik di bedakan atas
dasar pemeriksaan sumsum tulang. Secara klinis endokarditis bakterialis mirip
leukemia mieloblastik akaut karena adanya febris, anemi, splenomegali, dan
ptechiae. Tentu adanya riwayat penyakit jantung, splenomegali yang lebih besar
dan tidak adanya kelainan pada gusi dapat membedakan kedua keadaan ini.
Anemia pernisiosa yang disertai splenomegali dan ptechiae dapat
menyerupai leukemia mieloblastik akut. Pada anemia pernisiosa biasanya pasien
tidak tampak sakit berat, terdapat ikterus dan tidak ada kelainan pada gusi.

Gambar 3. Auer Body pada AML


Berdasarkan morfologik sel terdapat 5 golongan besar leukemia, sesuai
dengan 5 macam sistem hemopoetik dalam sumsum tulang yaitu :
1.

Leukemia system eritropoetik : mielosis eritremika atau penyakit di

Guglielmo
2.

Leukemia system granulopoetik : leukemia granulositik atau mielositik

3.

Leukemia system trombopoetik : leukemia megakarositik

4.

Leukemia system limfopoetik : leukemia limfositik

5.

Leukemia RES : retikuloendoteliosis atau retikulosis berupa leukemia

monositik, leukemia plasmositik (penyakit kahler), histiositosis, dsb.

16

Di samping itu mungkin pula ditemukan proliferasi campuran dari 2


sistem hemopoetik seperti pada eritroleukemia yang merupakan leukemia system
granulopoetik dan eritropoetik. Bergantung pada perjalanan penyakitnya, dikenal
leukemia akut dan menahun, Dalam kepustakaan dikenal pula jenis subakut.
Berdasarkan pada jumlah leukosit dalam darah tepi, leukemia akut dapat dibagi
menjadi leukemia aluekemik (leukosit kurang dari 10.000/mm3), leukemia
subleukemik (leukosit 10.000-25.000/mm3), dan leukemia leukemik (leukosit
lebih dari 25.000/mm3).
Reaksi leukomoid adalah keadaan darah tepi yang menyerupai gambaran
leukemia tetapi pemeriksaan sumsum tulangnya menunjukkan gambaran yang
normal atau gambaran bukan leukemia. Keadaan ini terdapat pada infeksi
(tuberkolosis, pertusis, virus, protozoa), intoksikasi (eklampsia, kombutio, gagal
hati), tumor ganas yang bermetastasis ke sumsum tulang (karsinoma kolon,
karsinoma paru), perdarahan yang hebat, dan hemolisis akut.
Pada anak yang sering ditemukan ialah leukemia limfositik akut (LLA).
Jenis lain seperti leukemia mieloblastik akut (LMA), leukemia limfositik kronik
(LLK),

leukemia

mielositik

kronik

(LMK),

mielosis

eritremik

(ME),

eritroleukemia, dan retikulosis jarang ditemukan.


a.

Leukemia Limfoblastik Akut(4)


LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi

dan akumulasi sel-sel patologis dari system limfopoetik yang mengakibatkan


organomegali dan kegagalan organ. Insidens terjadinya LLA pada anak lebih
banyak pada usisa 2-6 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan
perempuan untuk semua umur. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pasien yang
memiliki kromosom abnormal seperti Down syndrome, Bloom syndrome, ataxia
telangiaectasia, dan Fanconi syndrome. ALL dapat didiagnosa dengan bone
marrow punction (BMP) yang menunjukan > 25% dari sel bone marrow adalah
limfoblast yang homogen, Untuk mengetahui tingkat ALL, diperlukan
pemeriksaan cairan CSF. Jika limfoblast ditemukan dan leukosit meningkat maka
kemungkinan terjadi meningeal leukemia yang memberikan prognosis yang
buruk.

17

b.

Leukemia Mielositik Akut


Di USA, AML terjadi 11% pada anak-anak. Namun, AML ini lebih sering

didapatkan pada orang dewasa. LMA merupakan leukemia yang mengenai sel
stem hemopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid.
c.

Down Syndrome dan Leukemia Akut serta Myeloproliferasi


Leukemia akut terjadi 14 kali lebih sering pada anak dengan sindrom

Down dibandingkan dengan anak normal. Ratio ALL dan AML pada anak dengan
sindrom Down sama dengan ratio anak normal. Pada anak dengan sindrom Down
yang memiliki ALL, pencapaian keberhasilan terapi akan sama dengan anak
normal, Namun demikian, anak dengan Down syndrome lebih sensitive terhadap
methotrexate dan antimetabolit lain dimana akan menimbulkan toksisitas jika
dosis nya tidak diawasi dan diatur dengan baik. Pada AML, pasien dengan
sindrom Down memiliki keberhasilan terapi yang lebih baik, dengan angka
harapan hidup > 80% dibandingkan dengan anak tanpa sindrom Down. Terdapat
10% dari neonatus dengan sindrom Down mendapatkan transient leukemia atau
myeloproliveratove syndrome yang ditandai dengan leukosit yang meninggi,
terdapat

sel

blast

pada

darah

perifer,

anemia,

trombositopenia,

dan

hepatosplenomegaly. Walaupun demikian, neonates hanya memerlukan transfuse


dan tidak dianjurkan untuk kemoterapi. Namun, neonates dengan Down syndrome
disertai

dengan

transient

leukemia

atau

myeloproliveratife

memerlukan

pemantauan yang ketat karena 20-30% dapat jatuh pada kondisi leukemia
megakarositik.
d.

Leukemia Granulositik Kronik


LGK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi

berlebihan sel myeloid yang relative matang. LGK didapatkan 2-3% kasus pada
anak-anak. Sekitar 99% dari kasus khas dengan translokasi kromosom yang
disebut dengan kromosom Philadelphia. Sebagian besar penderita LGK akan
meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu
produksi berlebihan sel muda leukosit biasanya berupa mieloblast/promielosit,
disertai produksi neutrofil, trombosit, dan sel darah merah yang kurang (Bleyer,
2007).

18

J. Penatalaksanaan
Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan
PCR (Packed red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam
diatasi dengan transfusi konsetrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan
antibiotika yang adekwat. Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya
dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari
1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Untuk pasien
usia di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara C 5
hari. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis
dan hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir mimggu ketiga. Apabila
tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat parsiil maka terapi harus diganti
dengan regimen lain.
Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai
tahap konsolidasi. Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan
Ara C 1-5. Refimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.Apabila
keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat terjadi
remisi lengkap. (Hematologi Klinik Ed. 2.113).
Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan
daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus
kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan
dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedangkan bila diberikan
sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. (Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV.1238).
Modalitas pengobatan leukemia :
-

Radioterapi
Radioterapi umumnya dilakukan untuk mencegah dan mengobati

penyebaran sel leukemia ke otak. Saat ini pengobatan radioterapi pada leukemia
mulai ditinggalkan oleh banyak ahli karena efek samping yang begitu besar dan
kuat seperti gangguan intelektual, timbulnya second malignancy, dan mengganggu
tumbuh kembang anak. Sehingga sebagian besar protocol pengobatan leukemia
tidak lagi menggunakan radioterapi. Berhasil tidaknya pengobatan radioterapi

19

tergantung dati factor sensitivitas sel kanker, efek samping yang timbul,
pengalaman radioterapi, serta pasien yang kooperatif.
-

Kemoterapi
Kemoterapi pada penderita leukemia mempunyai peran penting karena

dapat digunakan untuk mencapai kesembuhan (complete remission) dan mencapai


masa bebas penyakit (disease free survival). Berbagai penelitian tentang
kemoterapi dilakukan dengan tujuan berusaha mencari obat baru untuk
mengkombinasi beberapa macam obat agar kinerja obat lebih baik dengan efek
samping yang minimal dan dapat ditolerir oleh tubuh. Yang penting kita harus
memperhatikan efektifitas, keamanan, rasional, dan terjangkau daya beli.
-

Pembedahan
Merupakan salah satu modalitas dalam penanganan penderita kanker. Pada

umumnya pembedahan dilakukan pada penderita dengan tumor padat yang masih
dini atau untuk pengobatan paliatif dekompresif, tetapi pembedahan tidak dapat
digunakan pada keganasan hematologi (Permono, 2011).
Pengelolaan medik penderita leukemia mempunyai beberapa prinsip yang
menyangkut beberapa aspek antara lain:
-

Aspek kanker sendiri


Hal yang sangat penting harus diperhatikan adalah menegakkan diagnosis

pasti leukemia sebelum memberikan kemoterapi. Diagnosis penentu leukemia


dapat ditegakkan secara morfologik dengan melakukan aspirasi sumsum tulang.
Penentuan status medik penderita dengan melakukan anamnesis tentang umur,
melihat hasil pemeriksaan fisis tentang ada tidaknya organomegali serta
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui risk group, apakah tergolong resiko
standar (prognosis baik), intermediet atau resiko tinggi (prognosis buruk).
-

Aspek penderita dan orangtua

Yang dimaksud disini adalah :


a. memberikan

penjelasan tentang

diagnosis

serta

perlunya

pemberian

kemoterapi,
b. memberikan penjelasan tentang lama pengobatan, macam obat (termasuk
harga obat) serta jadwal pemberian kemoterapi, serta persiapan yang
diperlukan setiap akan masuk sitostatika

20

c. menjelaskan tentang kemungkinan timbulnya efek samping terapi baik jangka


pendek maupun jangka panjang.
d. Menjelaskan prosedur penanganan yang efektif
e. Jangan lupa pemberian informed consent
-

Aspek pengawasan terhadap efek samping obat


Keberhasilan pengobatan leukemia didasarkan pada hasil pemeriksaan

sumsum tulang pada akhir masa induksi (minggu ke 6) yang mencapai remisi
dimana kita hanya menemukan jumlah limfoblas dalam sumsum tulang kurang
dari 5%. Pada umumnya sitostatika memberikan efek samping berupa
mielosupresi (anemia, leucopenia, trombositopenia), mual, muntah, stomatitis,
rambut rontok, nyeri otot. Efek samping yang sifatnya selektif untuk masingmasing obat misalnya :
a. Metotreksat: Adriamisin: kardiomopat, meilodupresi, mual, muntah, alopesia
b. Asparaginase

: reaksi hipersensitif (urtika, menggigil, anafilaksis),

gangguan pembuluh darah, pancreatitis akut, hepatotoksis, penurunan


albumin, dan lipoprotein
c. Vinkristin

: neurotoksik (neuropati perifer motorik, sensorik, saraf

otonom), konstipasi, ileus paralitik, dan retensi cairan.


d. Merkaptopurin

: mielosupresi, gangguan fungsi hepar, mukositis.

e. Sitarabin

: mielosupresi, nausea, vomiting, mialgia, nyeri tulang dan

sendi, nyeri dada.


-

Aspek protokol pengobatan


Pengobatan Leukemia Akut dibagi dalam pengobatan suportif dan

spesifik. Pengobatan spesifik menggunakan obat-obat sitostatika dengan tujuan


membasmi sel leukemia (Permono, 2011) .
Untuk mencapai remisi dan mencegah kekambuhan maka prinsip
pengobatan yang dipakai adalah induksi remisi, kosolidasi atau intensifikasi,
rumatan, reinduksi, mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat, dan
pengobatan imunologik.
a. Induksi Remisi
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk memusnahkan semua atau
sebanyak mungkin sel leukemia agar terjadi remisi, terjadi penurunan jumlah sel-

21

sel leukemia sampai tidak terdeteksi secara klinis maupun laboratorium (limfoblas
sumsum tulang <5%) yang ditandai dengan holangnya gejala klinis dan gambaran
darah tepi menjadi normal. Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar
6 minggu dengan angka remisi rata-rata 97%.
Tahap induksi menggunakan kortikosteroid (prednisone atau dexamethason),
vinkristin, L_Asparaginase. Pada tahap ini diberikan :
-

VCR (vincristin) : 2mg/m2/minggu, intravena, diberikan 6 kali

ADR (adriamisin) : 40mg/m2/2 minggu intravena, diberikan 3 kali,


dimulai pada hari ketiga pengobatan

Prednison : 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu, kemudian


tapering off selama 1 minggu.

SSP :profilaksis : MTX (metotreksat) 10 mg/m2/minggu intratekal,


diberikan 5 kali dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama.
Radiasi cranial : dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir
(siklofosfamida).

b. Konsolidasi atau intensifikasi


Segera setelah penderita mengalami pemulihan baik klinis maupun
laboratories dan mencapai remisi komplit, terapi fase intensifikasi dapat dimulai.
Hal ini dilakukan atas dasar penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa apabila
terapi dihentikan setelah induksi remisi maka segera terjadi relaps. Tujuan dari
tahap ini adalah menurunkan keberadaan dan menghilangkan sel pokok (stem
cell) leukemia(6). Obat-obatan yang digunakan antara lain:
-

MTX : 25mg/m2/hari intravena, diberikan 3 kali, dimulai satu minggu


setelah VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :

6-MP (6-merkaptopurin) : 500mg/m2/hari peroral, diberikan 3 kali.

CPA (siklofosfamid) : 800mg/m2/kali diberikan sekaligus pada akhir


minggu kedua dari konsolidasi.

c. Rumat /maintenance
Tidak seperti keganasan yang lain pada LLA diperlukan waktu yang panjang
untuk mempertahankan kesembuhan. Hal ini ditujukan untuk membunuh sel blas
dan

memelihara

sel

sumsum

tulang

yang

normal

disamping

untuk

mempertahankan respon imum penderita. Pada umumnya pengobatan berlangsung

22

2 sampai 3 tahun. Maintenance dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir


(CPA) dengan:
-

6-MP : 65 mg/m2/hari peroral

MTX : 20 mg/m2/minggu peroral, dibagi dalam dua dosis (misalnya Senin


dan Kamis)

d.

Reinduksi
Reinduksi dimaksudkan untuk mencapai remisi yang biasanya dilakukan

setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obatan seperti pada induksi selama 10-14
hari. Reinduksi diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obatobat rumat dihentikan. Sistemik:
-

VCR : dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali.

Prednison : sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh dan 1


minggu kemudian tapering off

SSP : MTX intratekal : dosis sama dengan dosis profilaksis, diberikan 2


kali.

e. Pengobatan susunan saraf pusat


Apabila terapi pencegahan pada susunan saraf pusat tidak dilakukan pada
pengobatan LLA maka lebih dari 40% anak akan mengalami relaps susunan saraf
pusat. Beberapa pengobatan susunan saraf pusat telah dipakai, termasuk
pengobatan intratekal yaitu MTX pada waktu induksi dan radiasi cranial sebanyak
2.400-2500 rad. Radiasi tidak diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan Imunologik
Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang terbaru. Pengobatan
spesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG yang dimaksudkan agar
terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. BCG diberikan 2
minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml intrakutan,
diberikan pada 3 tempat masing-masing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali
dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat-obat rumat diteruskan
(Permono, 2011).
Penanganan Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan
penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat, serta kerentanan terhadap

23

infeksi. Pada leukemia didapatkan penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien


menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Faktor-faktor yang menyebabkan
meningkatnya resiko terhadap infeksi pada pasien leukemia dapat dibagi menjadi:
-

Gangguan pada integument. Keadaan ini dapat menyebabkan terbuka jalan


masuk bagi mikroorganisme pathogen misalnya erosi pada mukosa akibat
kemoterapi dan adanya luka jalur selang infuse atau kateter.

Gangguan pada satu atau lebih system kekebalan tubuh spesifik

Granulositopenia.

Pada pasien leukemia dengan penurunan kekebalan tubuh, infeksi dapat pula
disebabkan oleh kuman yang biasanya tidak pathogen seperti Streptococcus
faecalis dan Staphylococcus epidermidis. Pencegahan terhadap infeksi yang
sangat rentan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang termudah
adalah memberikan pengertian pada penderita dan keluarganya agar selalu
mencuci tangan, mandi setiap hari dan menghindari kontak dengan orang yang
sedang sakit. Profilaksis antibiotic untuk mencegah pneumoni akibat pneumocitys
carinii dapat dilakukan dengan pemberian trimetoprim/sulfametaksol selama 3
hari berturut-turut dalam seminggu. Penanganan ini biasanya dilakukan sebelum
pemakaian sitostatika. Pada kunjungan awal penderita biasanya datang dengan
anemia dan panas badan, usaha pertama adalah menaikkan kadar hemoglobin
dengan pemberian transfusi darah. Panas badan umumnya dianggap disebabkan
oleh infeksi (Reksodiputro, 1993).
K.Komplikasi
Dua macam komplikasi yang sering bersifat fatal yaitu perdarahan
serebelar dan infeksi. Komplikasi yang jarang terjadi adalah keluhan akibat
tekanan oleh suatu tumor leukemia.
L.Prognosis
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan
hidup lama (30-40 % angka kesembuhan keseluruhan). Penderit yang mengalami
relaps setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi
dengan CST allogenetik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi
atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih baik (Pramono dkk, 2006).

24

BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang
sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum
tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga type sel
darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan
infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oxygen kedalam tubuh) dan
platelet (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).
Sampai saat ini penyebab penyakit leukemia belum diketahui secara pasti, akan
tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya
leukemia : Radiasi, Leukemogenik, Herediter, Virus.
Sistem Terapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia
adalah kombinasi antara Chemotherapy (kemoterapi) dan pemberian obat-obatan
yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal dalam
bone marrow. Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala dan tanda
yang

telah

ditampakkan

oleh

tubuh

penderita

dengan

monitor

yang

komprehensive.
3.2.Saran
Leukemia salah satu penyakit yang berbahaya, sehingga harus diwaspadai
dengan cermat, maka sangatlah penting untuk mencegah penyakit ini dengan cara
menghindari faktor resiko dan menjaga pola hidup sehat sedini mungkin.

25

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Bab II.Tinjauan Pustaka. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] :
Available
from:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20969/4/Chapter%20II.pdf
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unhas. Standar Pelayanan Medik Kesehatan
Anak. Makassar : SMF Anak RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo. 2009. p.197.
Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1996.
Bleyer A. David G. Tubergen. The Leukemias in Nelson Textbook of Pediatrics.
Kliegman,ed. Philadelpia : Elseiver.2007. c495.
Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi
4.Jakarta: EGC, 2005
Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar HematologiOnkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005
Permono Bambang, Mia R. Pengelolaan Medik Anak dengan Leukemia dan
Kemungkinan Perawatan di RS Kabupaten. [online] 2011 [cited 2011
Januari 14] : Available from www.pediatrik.com/pkb/06102202252403ie136.pdf.
Permono, Bambang, Sutaryo, Ugrasena IDG, Endang W, Maria A. Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. 2005. Jakarta: IDAI
Reksodiputro,A.Haryanto. Total Protected Environment Untuk Mencegah Infeksi
Nosokomial di Ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM FKUI in
Cermin Dunia Kedokteran no.83. Jakarta : PT.Midas Surya Grafindo.
1993.p18
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilmu Kesehatan Anak ed.1. Jakarta : Info Medika Jakarta. 1985. p469.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta,
2006.
Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit
Alumni : Bandung. 1997.
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003

Anda mungkin juga menyukai