UKM
Beleid baru ini, kata Kismantoro, juga merupakan upaya pemenuhan hak bagi setiap warga
negara, termasuk pengusaha UKM, untuk ikut berpartisipasi membayar pajak. "Membayar
pajak juga merupakan hak. Karena itu, kita beri kemudahan," sambungnya. Saat ini, jumlah
UKM itu mencapai 50-60 juta di seluruh Indonesia. Namun, jumlah seluruh Wajib Pajak
(WP) secara baru 20 juta. Artinya, mayoritas UKM belum membayar pajak.
Mengenai target penerimaan dari PPh 1% omzet ini, Kismantoro mengaku pihaknya tidak
memasang target penerimaan. Alasannya, aturan ini dibuat bukan untuk menggenjot
penerimaan pajak, melainkan untuk mempermudah para pelaku UKM berpartisipasi
membayar pajak. "Kita tidak memikirkan potensi karena ide dasarnya bukan potensi
(penerimaan)," ucap dia. "Dengan kemudahan ini diharapkan akan meningkatkan partisipasi
WP yang masih kecil ini," tutupnya. (*/MA)
Namun, UKM di level yang kecil menuju menengah dinilai wajib untuk membayar pajak.
"Dari 500.000 UKM yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar itu di atas 70%," ungkapnya.
#Lebih jelasnya lagi dalam aturan final PP Nomor 46 itu, pemerintah memberlakukan pajak
sebesar 1% pada sektor UMKM. Adapun perhitunganya bukan berdasarkan pada keuntungan
yang diperoleh, melainkan total omzet pada akhir tahun.
Dari sini, pemerintah mengklaim bahwa PP Nomor 46 ini merupakan keberpihakan
pemerintah kepada UMKM.
Dengan lebih memudahkan perhitungan pajak serta tarif pajak yang lebih rendah daripada
tarif normal yang sesuai dengan Pasal 17 UU PPh, sehingga pemerintah menampik tuduhan
bahwa kebijakan tersebut tidak adil sebagaimana disebutkan oleh banyak pihak yang kontra
terhadap penerapan PP Nomor 46 itu.
Wajar saja jika kita melihat bahwa kebijakan tersebut cukup banyak menuai kontra dan juga
dikeluhkan oleh banyak pelaku UMKM. Ada kekhawatiran bahwa pemberlakuan pajak ini
akan mengganggu kondisi usaha UMKM ke depannya.
Serta upaya pemerintah untuk menggairahkan UMKM dan Koperasi dalam membuka sektor
tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan hanya menjadi harapan kosong.
Kekhawatiran ini pun cukup menguat jika kita melihat kondisi saat ini. Seperti kenaikan
harga BBM baru-baru ini yang memberikan dampak ekonomi dan sosial yang cukup tinggi.
Ditambah lagi dengan tantangan persaingan pasar bebas Asia dalam Masyarakat Ekonomi
Asean 2015 nanti yang juga akan memberikan kekhawatiran tersendiri bagi pelaku UMKM
kita saat ini.
Persoalan ini pun semakin rumit lagi, jika kita melihat tidak ada kebijakan soal jaminan
keberlangsungan pelaku UMKM atas beberapa kebijakan yang dulu juga sempat membuat
pelaku UMKM ketar-ketir seperti penaikan upah minimum regional (UMP), penaikan tarif
dasar listrik (TDL) serta penaikan BBM yang baru beberapa hari ini diberlakukan.
Artinya pemerintah seakan tutup mata serta hanya mengumbar janji akan memberikan
kompensasi terhadap pelaku UMKM terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat
kenaikan tersebut.
Inilah yang dikeluhkan oleh Ketua Forum UMKM di DIY Prasetyo Atmosutidjo. Ia
mengatakan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM telah membuat harga
bahan baku naik.
Sementara sampai saat ini belum ada kejelasan kompensasi apa yang akan diterima pelaku
usaha. Meski nya pemerintah fokus masa lah ini, jangan malah menerapkan pajak bagi
UMKM. (okezone.com, 12/6/2013).
Inilah permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah sebelum memberlakukan aturan
tersebut. PP Nomor 46 ini harus bisa memberikan rasa keadilan bagi pelaku UMKM di negeri
ini.
PAJAK DAN KEADILAN
Dalam pemberlakuan PP Nomor 46 tahun 2013 ini dalih pemerintah adalah sebagai bentuk
untuk memudahkan UMKM dan kebijakan ini dikatakan sudah memenuhi azas keadilan.
Namun seyogyanya pemerintah juga harus mengingat dalam UU No 20 tahun 2008
mengamanahkan kepada pemerintah untuk mengembang kan UMKM agar terwujud struktur
usaha yang adil dan berimbang. Namun kenyataannya, dalam proporsi usaha UMKM dengan
usaha besar masih terdapat ketimpangan. Di mana proporsi UMKM mencapai 97% dan usaha
besar 2,1%.
Jika di lihat dari unit usaha besar pada tahun 2010 yang berjumlah sekitar 4.800 unit dengan
sumbangan terhadap PDB sekitar 43%. Hal ini berbeda dengan UMKM yang berjumlah
mencapai 53 juta unit, tetapi sumbangan terhadap PDB sebesar 56%.
Dengan kondisi demikian jika pemerintah memaksakan untuk menerapkan pajak bagi usaha
kecil sehingga akan semakin memperlebar ketimpangan antara UMKM dan usaha besar
dalam struktur perekonomian, maka hal ini disebut oleh Fahmy Radhi sebagai sebuah
pengingkaran terhadap UU No 20 tahun 2008. (Republika, 01/03/2012)
Selain itu, anggapan bahwa pemerintah yang telah memenuhi asas keadilan dalam kebijakan
ini patut kita pertanyakan kembali. Apalagi jika dikaitkan dengan kontribusi UMKM dalam
penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam mengatasi dampak krisis ekonomi.
Walaupun data menunjukkan bahwa sumbangan UMKM terhadap PDB lebih kecil, tetapi
kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja mencapai 99,4 juta tenaga kerja.
Sementara, usaha besar hanya mampu menyerap sekitar 2,8 juta pekerja (data Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2010). Oleh karena itu, kita semua berharap jika
pemerintah serius dalam memberikan dukungan terhadap UMKM tentu harus pula didukung
dengan kebijakan yang berpihak pula kepada mereka.
Jangan sampai pemberlakuan peraturan tersebut justru memberikangairah pertumbuhan
UMKM menurun. Sehingga tidak bisa dihindari lagi jika pengangguran dan kemiskinan akan
menjadi
bahaya laten bagi perekonomian Indonesia.
Selain itu semua pihak harus segera dapat memberikan solusi untuk memecahkan persoalan
ini jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara berbasis ekonomi kerakyatan dengan
UMKM sebagai pilar utamanya.
#Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Koperasi dan UKM tetap berkewajiban
mensosialisasi atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak
saha
Ini berbeda dengan penerapan ketentuan pajak sebelumnya sesuai UU No.36/2008 tentang
pajak penghasilan karena wajib pajak wajib menyelenggarakan pembukuan, katanya kepada
Bisnis hari ini, Kamis (22/8/2013).
Sosialisasi menjadi kebutuhan bagi pemerintah, mengingat masyarakat UMKM sangat
heterogen dan tingkat pemahaman terhadap perpajakan belum seragam. Oleh karena itu
sembari menunggu terbitnya aturan pendukung PP itu, Kementerian Koperasi dan UKM terus
mensosialisasikannya.
Dukungan lain berupa bantuan teknis perpajakan bagi koperasi dan UKM (KUMKM) juga
rutin dilaksanakan melalui agenda temu konsultasi dengan pembina dan pelaku usaha
maupun gerakan koperasi. Semua kegiatan itu untuk membahas kebijakan perpajakan
KUMKM dan permasalahanya.
Kepatuhan KUMKM membayar pajak yang akan mempengaruhi peningkatan pendapatan
pajak nasional. Apalagi jika didukung aparat pajak yang memiliki integritas melaksanakan
tugasnya di lapangan sesuai ketentuan yang berlaku.
PP Nomor 46 Tahun 2013 menegaskan KUMKM sebagai WP yang memiliki omzet di bawah
Rp.4,8 miliar. Sebab, selama ini KUMKM kesulitan dengan tata cara perhitungan pajak yang
harus disetor. Terutama yang berkaitan dengan PPh Pasal 29.
Namun demikian, PP Nomor 46 Tahun 2013 masih memerlukan aturan pendukung dalam
bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Surat Edaran Dirjen Pajak yang lebih teknis
untuk diterapkan,mengingat setiap WP mempunyai karakteristik usaha berbeda-beda.
Menurut Meliadi, pajak digunakan sebagai instrumen menarik dana dari masyarakat dan
dimasukkan sebagai anggaran (budgetair) yang digunakan untuk membiayai roda
pemerintahan dan pembangunan pemerintahan pusat maupun daerah.
Di samping mempunyai fungsi mengisi kas negara, pajak juga mempunyai fungsi mengatur
kehidupan masyarakat (regulerend) termasuk dipergunakan sebagai alat untuk mengatur
perekonomian negara, kata Meliadi Sembiring.
K UMKM sebagai pelaku usaha produktif yang memiliki penghasilan yang secara kuantitatif
jumlahnya besar, diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang sangat berarti bagi
penerimaan negara dan daerah
#Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print
<a href='http://ad.bisnis.com/www/delivery/ck.php?n=a66cfa2b&cb=8285'
target='_blank'><img src='http://ad.bisnis.com/www/delivery/avw.php?
zoneid=85&cb=8285&n=a66cfa2b' border='0' alt='' /></a>
TERKAIT
POPULER
PILIHAN REDAKSI
Kondisi kedua adalah jika WP badan tersebut belum beroperasi secara komersil atau omzet
WP badan melampaui Rp4,8 miliar meski belum genap satu tahun. Penentuan omset tersebut
didasarkan kepada penghasilan tahun sebelumnya.
Apabila dalam satu bulan di tahun berjalan omsetnya sudah melebihi batasan Rp4,8 miliar,
maka mulai tahun berikutnya WP tersebut tidak berhak menggunakan skema ini, jelas
Chandra.
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang P.S. Brodjonegoro membenarkan bahwa
Presiden telah menandatangani aturan tersebut. Benar dan seharusnya sudah ada di website,
katanya kepada Bisnis, Selasa malam (25/6/13).
Namun, berdasarkan pantauan Bisnis, aturan tersebut belum muncul baik di laman resmi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sekretariat Negara, maupun di
Sekretariat Kabinet.
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan Roni Bako mengatakan sumber pajak baru
tersebut tidak akan dapat membantu banyak Ditjen Pajak dalam mencapai target penerimaan
tahun ini.
Pajak UKM sih bagus, tapi saya rasa tidak akan banyak membantu karena definisi UKM
saja masih berbeda-beda antara Kementerian Koperasi dan perbankan. Penerapannya akan
sangat sulit, kata Roni kepada Bisnis.
Menurut Roni, untuk menggenjot PPh, Ditjen Pajak perlu lebih tegas dalam penagihannya
kalau perlu sampai pemaksaan. Kan sekarang sudah ada Undang-Undang penagihan dengan
surat paksa. Ditjen Pajak perlu memaksimalkan senjata itu, jelas Roni.
#BISNIS.COM, JAKARTAPelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) akan
dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 1% mulai bulan depan menyusul diterbitkannya
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013.
Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak Chandra Budi mengatakan
peraturan tersebut telah ditandatangani oelh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 12
Juni 2013.
Intinya, WP [wajib pajak] badan atau orang pribadi yang memiliki usaha yang omzetnya
kurang dari Rp4,8 miliar akan dikenakan pajak 1% dari omset setiap bulannya, kata Chandra
kepada Bisnis pada Selasa (25/6/13).
Chandra menjelaskan berdasarkan aturan yang akan berlaku efektif per 1 Juli 2013 itu, ada
dua kondisi yang memungkinkan UMKM dengan penghasilan di bawah Rp4,8 miliar per
tahun untuk terhindar dari PPh 1% tersebut.
Kondisi pertama adalah jika WP orang pribadi menggunakan prasarana yang dibongkar
pasang atau menggunakan sebagian atau seluruh fasilitas umum sebagai tempat usahanya,
seperti pedagang kaki lima.
Kondisi kedua adalah jika WP badan tersebut belum beroperasi secara komersil atau omzet
WP badan melampaui Rp4,8 miliar meski belum genap satu tahun. Penentuan omset tersebut
didasarkan kepada penghasilan tahun sebelumnya.
Apabila dalam satu bulan di tahun berjalan omsetnya sudah melebihi batasan Rp4,8 miliar,
maka mulai tahun berikutnya WP tersebut tidak berhak menggunakan skema ini, jelas
Chandra.
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang P.S. Brodjonegoro membenarkan bahwa
Presiden telah menandatangani aturan tersebut. Benar dan seharusnya sudah ada di website,
katanya kepada Bisnis, Selasa malam (25/6/13).
Namun, berdasarkan pantauan Bisnis, aturan tersebut belum muncul baik di laman resmi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sekretariat Negara, maupun di
Sekretariat Kabinet.
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan Roni Bako mengatakan sumber pajak baru
tersebut tidak akan dapat membantu banyak Ditjen Pajak dalam mencapai target penerimaan
tahun ini.
Pajak UKM sih bagus, tapi saya rasa tidak akan banyak membantu karena definisi UKM
saja masih berbeda-beda antara Kementerian Koperasi dan perbankan. Penerapannya akan
sangat sulit, kata Roni kepada Bisnis.
Menurut Roni, untuk menggenjot PPh, Ditjen Pajak perlu lebih tegas dalam penagihannya
kalau perlu sampai pemaksaan. Kan sekarang sudah ada Undang-Undang penagihan dengan
surat paksa. Ditjen Pajak perlu memaksimalkan senjata itu, jelas Roni.
#Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final dengan tarif 1 persenuntuk pendapatan tidak
melebihi 4.8 miliar setahunsudah diberlakukan sejak 1 Juli lalu dan katanya harus sudah
mulai dibayar paling lambat 15 Agustus ini. Namun sampai hari ini belum ada petunjuk
pelaksanaan yang jelas. Sosialisasipun belum kunjung dilakukan.
Di sisi lainnnya, menurut seorang Accounts Representative (AR) yang sempat penulis ajak
berbincang kemarin, sampai saat ini belum ada pemberitahuan untuk menunda. Artinya
tenggat waku 15 Agustus sampai saat ini belum berubah. Katanya, kemungkinan besar akan
disosialisasikan dalam minggu depan. Jika terlaksana, maka waktu yang tersisa akan sangat
sempit.
Sambil menunggu petunjuk teknis penghitungan, pembayaran dan pelaporan, yang katanya
akan diatur dengan peraturan menteri keuangan, mungkin ada baiknya jika wajib pajak tahu
informasi dasarnya terlebih dahulu.
Sebagai pemahaman awal, berikut ini adalah 8 hal yang perlu diketahui mengenai
Pengenaan PPh bersifat final dengan tarif 1 persen sesuai dengan PP No.46 Tahun 2013.
Simpulan: Total pendapatan PT ABC termasuk cabang melebihi 4.8 miliar, sehingga TIDAK
memenuhi kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
(c). Tahun fiskal 2012, data pendapatan Tuan Hartono Budhi, pemilik Minimarket UD
Kencana dan Toko Bangunan UD Makmur, adalah sbb:
Penjualan Minimarket UD. Kencana = Rp 2,100,000,000
Penjualan Toko Bangunan Minimarket = Rp 2,650,000,000
Pendapatan dari Pekerjaan Bebas = Rp 250,000,000
Total = Rp 5,000,000,000
Simpulan: Total pendapatan Tuan Hartono Budhi memang melebihi 4.8 miliar dalam satu
tahun fiskal. Namun karena pendapatan dari pekerjaan bebas tidak dihitung, jadinya belum
melewati Rp 4.8 miliar, sehingga memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh Final dengan tarif
1 persen.
Lebih jauh mengenai Jasa Sehubungan Dengan Pekerjaan Bebas, PP 46/2013 ini juga
merinci jasa pekerjaan apa saja yang tergolong sehubungan dengan pekeraan bebas
dan jasa apa yang tidak.
Yang disebut dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dalam hal ini adalah jasa
yang dihasilkan oleh seorang:
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan Zperagawati, pemain drama,
dan penari.
Olahragawan.
Agen iklan.
Perantara (makelar/calo).
Agen asuransi.
Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha.
Menurut AR yang sempat penulis ajak berbincang, untuk menentukan apakah WP memenuhi
atau tidak memenuhi kriteria peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar yang
dipersyarakatkan oleh PP 46/2013 ini, pihak Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan evaluasi
terhadap peredaran bruto WP terlebih dahulu.
Masalah yang membuat penentuan peredaran bruto ini akan menjadi sedikit rumit
adalah PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah tahun fiskal (1 Juli 2013), sementara batasan
peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar yang digunakan adalah total peredaran selama
satu tahun fiskal (alias 12 bulan). Belum lagi kalau WP terdaftar sebagai wajib pajak di
tengah-tengah tahun fiskal.
Nah, bagaimana caranya menentukan peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar?
Dalam evaluasi, peredaran bruto yang digunakan adalah sebagai berikut:
(a) Dalam hal tahun fiskal terakhir sebelum tahun fisakal berlakunya PP ini meliputi
kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka yang digunakan adalah: Jumlah
peredaran bruto tahun fiskal terakhir sebelum tahun fiskal berlakunya PP ini, lalu
disetahunkan (lihat contoh di bawah). Misalnya:
PT. Untung Abadi rnenggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai
Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai
dengan Desember 2013 adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto tahun 2013 yang
disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/5 = Rp 360,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp
4,800,000,000, rnaka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat
final sesuai ketentuan dalarn PP ini.
(b) Dalam hal WP terdaftar pada tahun fiskal yang sama dengan diberlakukannya PP
ini namun terjadi pada bulan sebelumnya, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran
bruto dari bulan saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PP ini, lalu
disetahunkan. Misalnya:
PT. Emas Permata terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya PP ini pada tahun fiskal yang
sama dengan tahun berlakunya PP ini. Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut
adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto selama 3 bulan yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/3 = Rp 600,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 bulan tersebut tidak melebihi Rp
4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya PP ini sampai
dengan akhir tahun fiskal bersangkutan, dikenai PPh bersifat final sesuai ketentuan dalam PP
ini.
(c) Dalam hal WP baru terdaftar sejak berlakunya PP ini, maka yang digunakan adalah:
Jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha, lalu
disetahunkan. Misalnya:
PT. Maju Selalu terdaftar sebagai WP baru pada bulan November 2014. Pada bulan
November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15,000,000. Penghasilan
bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah:
12/1 x Rp 15,000,000 = Rp 180,000,000
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib
Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh
di tahun 2014 dikenai PPh bersifat final sesuai dengan PP ini.
Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Misalnya: Pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya.
Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai PPh Final sesui ketentuan
dalam PP ini, melainkan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan sebagaimana biasanya.
Sedangkan WP Badan yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan ketentuan PP ini
adalah:
WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.8 miliar.
WP yang masuk kriteria ini TIDAK DIKENAKAN PPh Final sesuai dengan ketentuan dalam
PP ini, melainkan dikenakan PPh sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan
sebagaimana biasanya.
Tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tetap diperhitungkan sebagai
bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas. Misalnya: Jika PT. JAK
pada tahun fisal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan ketentuan PP ini, maka jangka
waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.
Kerugian pada suatu tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tidak
dapat dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Misalnya: Jika PT. JAK pada
tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan mengalami kerugian
berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan
dengan tahun fiskal berikutnya.
#Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 yang mengenakan tarif pajak 1 persen untuk usaha
kecil menengah (UKM) bermozet dibawah Rp 4.8 milyar belum bisa berjalan namun tidak
berarti mundur. Kapan disosialisasikan? bagaimana pelaksanaan teknisnya? Bagaimana jika
tak patuh?
Belum Bisa Berjalan Efektif Bukan Berarti Mundur
Meski telah diterbitkan 1 Juni lalu dan diharpkan berlaku efektif 1 Juli 2013, tarif pajak 1
persen untuk usaha kecil menengah (UKM) bermozet dibawah Rp 4.8 milyar belum bisa
berjalan efektif.
Hal itu diakui oleh Menteri Keuangan Chatib Basri karena kurang sosialisasi. Kepada
wartawan di Jakarta, Kamis (17/7/2013), Chatib mengatakan:
Butuh beberapa bulan untuk bisa mengimplementasikan aturan ini pajak bagi UKM.
Menkeu yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) ini mengaku
tak tahu kapan aturan ini akan diterapkan secara penuh. Hal ini mengingat, jumlah pengusaha
dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun sangat banyak.
Sementara, menurut Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak,
Kismantoro Petrus, sosialisasi saat ini masih bersifat internal, agar pegawai pajak mengerti
tentang pajak atas omzet tertentu tersebut.
Paling lambat mulainya minggu depan, seluruh internal pajak sudah tahu, ujarnya.
Ditjen Pajak, kata Kismantoro, akan terus melakukan sosialisasi dalam bulan ini dan
beberapa bulan ke depan, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini benarbenar terlaksana secara efektif.
Paling lambat mulainya minggu depan, seluruh internal pajak sudah tahu, katanya.
Dalam melakukan sosialisasi tersebut, Pemerintah akan bekerja sama dengan sejumlah
organisasi. termasuk asosiasi pengusaha seperti kamar Dagang Indonesia (KADIN).
Sementara untuk sosialisasi kepada masyarakat sudah dilakukan sejak aturan tersebut
dikeluarkan.
Meski saat ini belum berjalan, bukan bukan berarti pajak UKM ini mundur dari jadwal. UKM
beromzet Rp 4,8 milyar tetap diharuskan untuk memenuhi syarat dalam PP Nomor 46 Tahun
2013, yakni membayar pajak bulan Juli atau paling lambat 15 Agustus 2013.
Lalu bagaimana mekanisme pelakasanaan skema baru ini?
Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak UKM (PP No. 46 Tahun
2013)
Menurut Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak, Chandra Budi, sanksi tersebut
berupa denda 2 persen dari pajak terutang. Aturan ini pun sudah ada dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Semua
ungkapnya.
Sedangkan bagi UKM yang sudah terbiasa membayar pajak, kata dia, sangat menguntungkan.
Pasalnya, pelaku UKM tak perlu repot-repot menghitung omzet. Karena berapapun penjualan
bruto yang dihasilkan, pajak tetap berlaku 1%. (Net
- See more at: http://jurnalasia.com/2013/07/15/pajak-ukm-tuai-prokontra/#sthash.vanafNvF.dpuf
Foto: dok.detikFinance
Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyebutkan, terdapat beberapa
sektor usaha yang tidak terkena aturan pajak Usaha Kecil Menengah (UKM). Apa
saja?
Aturan pajak UKM ini tertuang dalam, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau
diperoleh wajib pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu atau yang dikenal
dengan Pajak untuk bisnis Usaha Kecil Menengah. UKM dengan tempat usaha
tetap dan beromzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan pajak 1% ini.
Kepala Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh
Orang Pribadi Direktorat Jenderal Pajak Goro Ekanto mengatakan, pedagangpedagang kecil seperti asongan atau pedagang kaki lima tidak akan dipungut
pajak ini.
"Di dalam PP itu, yang kecil-kecil tidak masuk sini, asongan, PKL dan lain-lain,
tapi kalau besar, maka kena PPh sesuai ketentuan umum PPh, terkenanya tarif
umum," ujar Goro di Gedung Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat
(28/6/2013).
Selain itu, lanjut Goro, usaha waralaba dan bisnis online juga tidak terkena
aturan pajak ini. Namun, bukan tidak terkena bayar, melainkan harus mengikuti
aturan PPh Pasal 17, di mana bisnis tersebut terkena tarif pajak normal.
"Kalau franchise (warlaba) kena ketentuan umum, online juga kena pasal 17.
Yaitu yang berpenghasilan Rp 50 juta kena pajak 5%, Rp 50-250 juta sebesar
15%, Rp 250-500 juta sebesar 25%, dan di atas Rp 500 juta kena 30%," jelas
Goro.
Tapi untuk usaha franchise dan penjual online dengan omzet di bawah Rp 4,8
miliar, Goro menyatakan dikenakan pajak 1%.
"Ya kalau franchise yang gerobak itu kena 1%, tapi kalau gerobaknya banyak
kena tarif PPh Normal, begitu juga yang online, kalau di bawah Rp 4,8 miliar,
kena tarif PPh 1 persen ini," tandasnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan, pengecualian
aturan ini untuk WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau
jasa yang dalam menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan misalnya
pedagangan makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya.
Kemudian, untuk WP badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang
dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto (omzet) melebihi Rp 4,8 miliar.
(nia/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk
BlackBerry, Android, iOS
UKM
Akan
Terkena
Pajak
Penghasilan
1%
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk memungut pajak penghasilan (PPh) bagi usaha kecil
menengah (UKM) akan segera terealisasi. Besarnya pajak mencapai 1% dari omzet bisnis.
Kini, Direktorat Jenderal (... Ditjen) Pajak tengah menyelesaikan aturan yang melandasi
kebijakan
tersebut.
Ditjen Pajak menyebutkan, aturan PPh untuk UKM ini kelak akan bernama pajak usaha
dengan omzet tertentu. Ini berbeda dengan yang berkembang selama ini, yakni pajak UKM.
Pasalnya, "Dalam UU Pajak tidak ada itu UKM, jadi istilahnya pajak tertentu dengan omzet
tertentu," kata Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak, Kamis (21/3).
Saat ini, draf Peraturan Pemerintah untuk pajak ini sudah kelar di Kementerian Hukum dan
HAM dan tinggal masuk ke meja Presiden untuk disetujui. "Pajak akan dikenakan 1% untuk
semua usaha yang omzetnya di bawah Rp 4,8 triliun," ujar Fuad.
Namun tak semua UKM kena pajak. Soalnya, pajak ini juga mewajibkan syarat lain yakni
bisnis tersebut harus berlokasi di tempat yang tetap (permanen). Jadi usaha asongan atau
mikro yang berada di pasar-pasar atau tidak memiliki usaha permanen bakal terbebas dari
pajak.
Ini sekaligus membantah pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Syarifuddin Hasan
yang sebelumnya sempat menyebut usaha omzet kurang dari Rp 300 juta juga akan kena
pajak
0,5%.
Sayang, Fuad belum bisa bercerita besarnya potensi pendapatan pajak yang bakal masuk ke
kas negara. Ia juga enggan menyebut jumlah usaha yang akan terkena pajak. Tentu, Ditjen
Pajak sudah memiliki data mengenai jumlah pengusaha yang akan terkena pajak itu dari
Kementerian
Koperasi
dan
UKM
serta
Badan
Pusat
Statistik
(BPS).
Gunadi, Pengamat Pajak asal Universitas Indonesia bilang, harus ada pengawasan yang ketat
agar aturan ini efektif. Soalnya, pembayaran PPh ini bersifat self assesment. Ini
memungkinkan
pengusaha
kecil
untuk
ogah
membayar
pajak.
Padahal, aturan ini menguntungkan pengusaha. Soalnya, besaran pajak ini lebih kecil
dibandingkan bila pengusaha harus membayar pajak orang pribadi yang mencapai 5% dari
keuntungan.
Ia juga mengingatkan, aturan ini rawan penyimpangan. Bisa saja, pengusaha melaporkan
omzetnya lebih kecil dari kondisi sebenarnya demi menekan beban pajak. Maka butuh tim
khusus untuk memastikan kebenaran nilai omzet yang dilaporkan.
#
Aturan Pajak UKM Baru, Kemudahan Atau Pembodohan?
By sissy
130108_PajakUKM_f
Dibawah peraturan baru ini, UKM dengan omzet Rp.300 juta-Rp.4,8 miliar akan
dikenakan PPN 1 % dan PPh 1%. Sedangkan UKM dengan omzet dibawah Rp.300
juta akan dikenakan PPh 0,5%. Harapan Dirjen pajak adalah peraturan baru ini
akan mempermudah UKM untuk melaporkan pajak mereka dan menambah
pemasukan dari pajak.
Peraturan ini disebutkan ditujukan untuk UKM yang tidak memiliki pembukuan
keuangan, tapi memiliki omzet milyaran. Bagi kamu-kamu yang kurang paham
istilah ekonomi atau keuangan, omzet biasa disebut sebagai profit bruto, adalah
keuntungan kotor yang belum dikurangi biaya operasional perusahaan. Nilai
omzet biasanya sangat besar, bisa mencapai beberapa kali lipat dari biaya
operasional. Tetapi, setelah dikurangi biaya operasional, profit netto atau profit
bersih mungkin hanya sekitar 10%-50% dari total biaya operasional.
Praktek pajak yang paling umum adalah pajak dikenakan pada profit netto dan
dilaporkan ke negera setiap setahun sekali. Masalahnya, di Indonesia kesadaran
mengenai pencatatan keuangan sangatlah rendah. Sangat sedikit UKM yang
memiliki akuntan atau manajer keuangan. Padahal, profit netto hampir tidak
mungkin diketahui jumlahnya apabila tidak dicatatkan dalam bentuk laporan
keuangan yang layak. Tampaknya celah inilah yang dimanfaatkan oleh Dirjen
Pajak.
dilain pihak pelaku UKM tidak ada yang paham juga mengenai pentingnya
manajemen keuangan dan pembukuan.
Bagi idGeekGirls peraturan ini membuat Dirjen pajak dan pemerintah menjadi
seperti guru yang malas. Apabila pemerintah benar-benar ingin memajukan UKM,
seperti yang mereka gembar-gemborkan selama ini, kenapa tidak membuat
pelatihan pembuatan laporan keuangan dan pajak saja?. Apabila semua UKM
memiliki kesadaran pencatatan keuangan, selain proses pajak jadi lebih mudah,
juga akan terbuka banyak sekali lowongan pekerjaan bagi para akuntan.
Lalu bagaimana dengan UKM yang sudah memiliki akuntan dan laporan
keuangan yang rapi?. Kalau tetap harus membayar pajak berdasarkan omzet,
rugi donk sudah membayar akuntan selama ini. Akuntan gajinya lumayan besar
lho. Pemerintah mau nggak ya ganti rugi gaji si akuntan?.
Selain itu, sepertinya sudah rahasia umum kalau banyak UKM yang bukan tidak
mau membayar pajak. Tapi mereka menanti kapan uang pajak itu memberikan
manfaat kepada mereka. Kalau jalan raya masih berlubang-lubang, banjir
dimana-mana setiap hujan besar dan kualitas institusi pendidikan masih buruk,
sepertinya wajar kalau lebih banyak orang yang malas membayar pajak.
#Sekilas Tentang PP Nomor 46 Tahun 2013
Posted on July 6, 2013 by Taripar Doly, SE, MM
Dengan terbitnya PP No 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 yang berlaku mulai
tanggal 1 Juli 2013 tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Maka harapannya
tidak ada lagi celah bagi wajib pajak yang dalam kegiatan usahanya memiliki
omset dibawah Rp. 4.8 Milyar dalam satu tahun pajak untuk tidak membayar
pajak karena sejak 1 Juli 2013 mereka akan dikenakan PPh Final sebesar 1% dari
jumlah omset mereka.
Dalam tulisan ini, walaupun belum keluar aturan teknis pelaksanaannya berupa
Peraturan Menteri Keuangan (PMK), maupun Peraturan turunan lainnya penulis
mencoba membedah dasar dan implementasi aturan ini dalam tulisan berjudul
Sekilas Tentang PP Nomor 46 Tahun 2013 semoga dapat memberi informasi
yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kriteria Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap dan Menerima penghasilan dari usaha, tidak
termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak).
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha
cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di bidang perpajakan.
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, dan penari;
olahragawan;
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
agen iklan;
pengawas atau pengelola proyek;
perantara;
petugas penjaja barang dagangan;
agen asuransi; dan
distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
a. Orang Pribadi
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. ( Contoh : Pedagang Kaki
Lima)
b. Badan
Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah sama dengan tahun
kalender. Namun demikian, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama
dengan tahun kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan tahun buku yang
didalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih dari 6 (enam) bulan
dari tahun buku tersebut.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan
berakhir pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun
Pajak 2013 karena memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari tahun 2013.
Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa
melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang
menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum
yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan
keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap
Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Contoh 1
Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik pada
tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen),
karena peredaran bruto CV Andik pada Tahun Pajak 2013 tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Contoh 2
Jika CV Andik, pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh
peredaran bruto sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas
penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik sampai dengan bulan
Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebesar 1% (satu persen).
Contoh 3
Jika CV Andik, pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014 memperoleh
peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh CV Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya),
dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh 4
Jika CV Andik, pada bulan Agustus 2014 memperoleh penghasilan dari usaha
penjualan gerabah sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan Agustus 2014
dihitung sebagai berikut:
Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, misalnya
penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah, meskipun peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang
bersangkutan dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetapi mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai pengenaan pajak
atas penghasilan tersebut.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian pada Tahun Pajak
2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada
Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahun Pajak 2015.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat fmal berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini
maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan Tahun
Pajak 2015.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini
dan mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut
tidak dapat dikompensasikan dengan Tahun Pajak berikutnya.
Peraturan Pemerintah ini sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan, dikenai
pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014.
Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November 2014
disetahunkan adalah: 12/1 x Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00Karena
penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib
Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Peraturan
Pemerintah ini.
Hal yang ditunggu adalah seperti apa aturan teknis pelaksanaannya yang
merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah ini, karena menurut penulis
banyak sekali permasalahan yang perlu dijelaskan dengan terbitnya aturan ini,
diantaranya :
Seperti apa formulir SPT Tahunan untuk kategori wajib pajak yang dimaksud
dalam aturan ini.
Bagaimana keterkaitan antara Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan mekanisme
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Walau Surat Setoran Pajak yang salah mencantumkan kode setoran/MAP
masih dapat dipindahbukukan namun diperlukan segera perubahan kode
setoran/MAP yang mendukung aturan ini.
Dan Banyak lainnya
Kesimpulan
Pemberlakuan aturan baru pengenaan pajak penghasilan (PPh) untuk usaha kecil
menengah (UKM) dimana pelaku UKM yang omzetnya hingga Rp 4,8 miliar wajib
membayar pajak hanya sebesar 1% per tahun, semantara omset di atas itu akan
berlaku PPh seperti biasanya.