Anda di halaman 1dari 33

Ini Alasan Ditjen Pajak Kenakan PPh 1% Omzet untuk

UKM

Created on Friday, 28 June 2013 17:50


Published Date
Jakarta, GATRAnews - Baru-baru ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengumumkan
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP No.46/2013) yang menetapkan
Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 1% omzet untuk usaha beromzet antara Rp0 - 4,8 miliar per
tahun. Apa alasan pemberlakuan aturan ini?

Ditjen Pajak mengungkapkan, sebanyak 57,94% Pendapatan Domestik Bruto (PDB)


Indonesia ditopang Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Namun, kontribusi UKM terhadap
penerimaan pajak masih sangat rendah, hanya 0,7%. "57,94% kontribusi perekonomian
nasional berasal dari UKM. Tapi kontribusinya (terhadap pajak) masih sangat kecil, baru
0,7%," kata Direktur P2Humas Pajak Kismantoro Petrus dalam konferensi pers di Kantor
Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (28/6).

Beleid baru ini, kata Kismantoro, juga merupakan upaya pemenuhan hak bagi setiap warga
negara, termasuk pengusaha UKM, untuk ikut berpartisipasi membayar pajak. "Membayar
pajak juga merupakan hak. Karena itu, kita beri kemudahan," sambungnya. Saat ini, jumlah
UKM itu mencapai 50-60 juta di seluruh Indonesia. Namun, jumlah seluruh Wajib Pajak
(WP) secara baru 20 juta. Artinya, mayoritas UKM belum membayar pajak.

Mengenai target penerimaan dari PPh 1% omzet ini, Kismantoro mengaku pihaknya tidak
memasang target penerimaan. Alasannya, aturan ini dibuat bukan untuk menggenjot
penerimaan pajak, melainkan untuk mempermudah para pelaku UKM berpartisipasi
membayar pajak. "Kita tidak memikirkan potensi karena ide dasarnya bukan potensi
(penerimaan)," ucap dia. "Dengan kemudahan ini diharapkan akan meningkatkan partisipasi
WP yang masih kecil ini," tutupnya. (*/MA)

#BISNIS.COM, JAKARTA-Pengenaan pajak penghasilan terhadap usaha kecil dan


menengah (UKM) berdasarkan omset dinilai memberatkan. Pasalnya, meski memiliki omzet
yang besar, UKM relatif memiliki keuntungan yang rendah.
Pemerintah berencana mengenakan PPh pada industri dengan omzet Rp300 juta-4,8 miliar
sebesar 1% dari nominal omset tahunan. Aturan tersebut tengah difinalisasi dan akan
diterbitkan pada tahun ini.
Anggota Komite Ekonomi Nasional Sandiaga S. Uno mengatakan meski menyederhanakan
penghitungan pajak, pengenaan PPh berdasarkan omzet akan memberatkan UKM.
"Memang jadi lebih sederhana perhitungannya, tapi jadi berat buat mereka. Karena UKM itu
kadang-kadang omsetnya tinggi, tapi profit-nya rendah," ujarnya saat ditemui dalam diskusi
buku 'Managing Indonesia's Transformation: an Oral History', Sabtu (1/6/2013).
Selain menyusun regulasi dan menarik setoran pajak, paparnya, pemerintah khususnya
Direktorat Jenderal Pajak harus menggandeng UKM dalam rangka sosialisasi kewajiban
membayar pajak dan edukasi pembukuan.
"Yang harus juga dilihat itu bagaimana UKM dididik untuk menyusun pembukuannya.
Fungsi DJP itu kan bukan hanya mengoleksi setoran pajak, tapi juga edukasi untuk
memberdayakan sektor usaha".
Sandiaga mengaku setuju apabila UKM di level mikro dan kecil
dibebaskan dari kewabijan PPh berbasis omset.

Namun, UKM di level yang kecil menuju menengah dinilai wajib untuk membayar pajak.
"Dari 500.000 UKM yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar itu di atas 70%," ungkapnya.

#Lebih jelasnya lagi dalam aturan final PP Nomor 46 itu, pemerintah memberlakukan pajak
sebesar 1% pada sektor UMKM. Adapun perhitunganya bukan berdasarkan pada keuntungan
yang diperoleh, melainkan total omzet pada akhir tahun.
Dari sini, pemerintah mengklaim bahwa PP Nomor 46 ini merupakan keberpihakan
pemerintah kepada UMKM.
Dengan lebih memudahkan perhitungan pajak serta tarif pajak yang lebih rendah daripada
tarif normal yang sesuai dengan Pasal 17 UU PPh, sehingga pemerintah menampik tuduhan
bahwa kebijakan tersebut tidak adil sebagaimana disebutkan oleh banyak pihak yang kontra
terhadap penerapan PP Nomor 46 itu.

Wajar saja jika kita melihat bahwa kebijakan tersebut cukup banyak menuai kontra dan juga
dikeluhkan oleh banyak pelaku UMKM. Ada kekhawatiran bahwa pemberlakuan pajak ini
akan mengganggu kondisi usaha UMKM ke depannya.
Serta upaya pemerintah untuk menggairahkan UMKM dan Koperasi dalam membuka sektor
tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan hanya menjadi harapan kosong.
Kekhawatiran ini pun cukup menguat jika kita melihat kondisi saat ini. Seperti kenaikan
harga BBM baru-baru ini yang memberikan dampak ekonomi dan sosial yang cukup tinggi.
Ditambah lagi dengan tantangan persaingan pasar bebas Asia dalam Masyarakat Ekonomi
Asean 2015 nanti yang juga akan memberikan kekhawatiran tersendiri bagi pelaku UMKM
kita saat ini.
Persoalan ini pun semakin rumit lagi, jika kita melihat tidak ada kebijakan soal jaminan
keberlangsungan pelaku UMKM atas beberapa kebijakan yang dulu juga sempat membuat
pelaku UMKM ketar-ketir seperti penaikan upah minimum regional (UMP), penaikan tarif
dasar listrik (TDL) serta penaikan BBM yang baru beberapa hari ini diberlakukan.
Artinya pemerintah seakan tutup mata serta hanya mengumbar janji akan memberikan
kompensasi terhadap pelaku UMKM terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat
kenaikan tersebut.
Inilah yang dikeluhkan oleh Ketua Forum UMKM di DIY Prasetyo Atmosutidjo. Ia
mengatakan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM telah membuat harga
bahan baku naik.
Sementara sampai saat ini belum ada kejelasan kompensasi apa yang akan diterima pelaku
usaha. Meski nya pemerintah fokus masa lah ini, jangan malah menerapkan pajak bagi
UMKM. (okezone.com, 12/6/2013).
Inilah permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah sebelum memberlakukan aturan
tersebut. PP Nomor 46 ini harus bisa memberikan rasa keadilan bagi pelaku UMKM di negeri
ini.
PAJAK DAN KEADILAN
Dalam pemberlakuan PP Nomor 46 tahun 2013 ini dalih pemerintah adalah sebagai bentuk
untuk memudahkan UMKM dan kebijakan ini dikatakan sudah memenuhi azas keadilan.
Namun seyogyanya pemerintah juga harus mengingat dalam UU No 20 tahun 2008
mengamanahkan kepada pemerintah untuk mengembang kan UMKM agar terwujud struktur
usaha yang adil dan berimbang. Namun kenyataannya, dalam proporsi usaha UMKM dengan
usaha besar masih terdapat ketimpangan. Di mana proporsi UMKM mencapai 97% dan usaha
besar 2,1%.
Jika di lihat dari unit usaha besar pada tahun 2010 yang berjumlah sekitar 4.800 unit dengan
sumbangan terhadap PDB sekitar 43%. Hal ini berbeda dengan UMKM yang berjumlah
mencapai 53 juta unit, tetapi sumbangan terhadap PDB sebesar 56%.

Dengan kondisi demikian jika pemerintah memaksakan untuk menerapkan pajak bagi usaha
kecil sehingga akan semakin memperlebar ketimpangan antara UMKM dan usaha besar
dalam struktur perekonomian, maka hal ini disebut oleh Fahmy Radhi sebagai sebuah
pengingkaran terhadap UU No 20 tahun 2008. (Republika, 01/03/2012)
Selain itu, anggapan bahwa pemerintah yang telah memenuhi asas keadilan dalam kebijakan
ini patut kita pertanyakan kembali. Apalagi jika dikaitkan dengan kontribusi UMKM dalam
penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam mengatasi dampak krisis ekonomi.
Walaupun data menunjukkan bahwa sumbangan UMKM terhadap PDB lebih kecil, tetapi
kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja mencapai 99,4 juta tenaga kerja.
Sementara, usaha besar hanya mampu menyerap sekitar 2,8 juta pekerja (data Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2010). Oleh karena itu, kita semua berharap jika
pemerintah serius dalam memberikan dukungan terhadap UMKM tentu harus pula didukung
dengan kebijakan yang berpihak pula kepada mereka.
Jangan sampai pemberlakuan peraturan tersebut justru memberikangairah pertumbuhan
UMKM menurun. Sehingga tidak bisa dihindari lagi jika pengangguran dan kemiskinan akan
menjadi
bahaya laten bagi perekonomian Indonesia.
Selain itu semua pihak harus segera dapat memberikan solusi untuk memecahkan persoalan
ini jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara berbasis ekonomi kerakyatan dengan
UMKM sebagai pilar utamanya.
#Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Koperasi dan UKM tetap berkewajiban
mensosialisasi atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak

penghasilan (PPh) atas penghasilan u


yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

saha

Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, Meliadi Sembiring,


menjelaskan Peraturan Pemerintah (PP) tersebut semakin mudah bagi pelaku usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM) karena perhitungannya dikenakan atas omzet per bulan, dan
langsung dikalikan dengan tarif 1% final.

Ini berbeda dengan penerapan ketentuan pajak sebelumnya sesuai UU No.36/2008 tentang
pajak penghasilan karena wajib pajak wajib menyelenggarakan pembukuan, katanya kepada
Bisnis hari ini, Kamis (22/8/2013).
Sosialisasi menjadi kebutuhan bagi pemerintah, mengingat masyarakat UMKM sangat
heterogen dan tingkat pemahaman terhadap perpajakan belum seragam. Oleh karena itu
sembari menunggu terbitnya aturan pendukung PP itu, Kementerian Koperasi dan UKM terus
mensosialisasikannya.
Dukungan lain berupa bantuan teknis perpajakan bagi koperasi dan UKM (KUMKM) juga
rutin dilaksanakan melalui agenda temu konsultasi dengan pembina dan pelaku usaha
maupun gerakan koperasi. Semua kegiatan itu untuk membahas kebijakan perpajakan
KUMKM dan permasalahanya.
Kepatuhan KUMKM membayar pajak yang akan mempengaruhi peningkatan pendapatan
pajak nasional. Apalagi jika didukung aparat pajak yang memiliki integritas melaksanakan
tugasnya di lapangan sesuai ketentuan yang berlaku.
PP Nomor 46 Tahun 2013 menegaskan KUMKM sebagai WP yang memiliki omzet di bawah
Rp.4,8 miliar. Sebab, selama ini KUMKM kesulitan dengan tata cara perhitungan pajak yang
harus disetor. Terutama yang berkaitan dengan PPh Pasal 29.
Namun demikian, PP Nomor 46 Tahun 2013 masih memerlukan aturan pendukung dalam
bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Surat Edaran Dirjen Pajak yang lebih teknis
untuk diterapkan,mengingat setiap WP mempunyai karakteristik usaha berbeda-beda.
Menurut Meliadi, pajak digunakan sebagai instrumen menarik dana dari masyarakat dan
dimasukkan sebagai anggaran (budgetair) yang digunakan untuk membiayai roda
pemerintahan dan pembangunan pemerintahan pusat maupun daerah.
Di samping mempunyai fungsi mengisi kas negara, pajak juga mempunyai fungsi mengatur
kehidupan masyarakat (regulerend) termasuk dipergunakan sebagai alat untuk mengatur
perekonomian negara, kata Meliadi Sembiring.
K UMKM sebagai pelaku usaha produktif yang memiliki penghasilan yang secara kuantitatif
jumlahnya besar, diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang sangat berarti bagi
penerimaan negara dan daerah
#Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print
<a href='http://ad.bisnis.com/www/delivery/ck.php?n=a66cfa2b&cb=8285'
target='_blank'><img src='http://ad.bisnis.com/www/delivery/avw.php?
zoneid=85&cb=8285&n=a66cfa2b' border='0' alt='' /></a>
TERKAIT

SYARIEF HASAN: UMKM Akan Dikenai Pajak 1% Dari Omzet

Realisasi Pajak Masih 42,3% dari Target

Percepatan Pembayaran Restitusi Pajak Sulit Dikabulkan

POPULER

Ini Kiat Sukses 5 Pengusaha Top-3

Seperti Apa Prospek Properti 2014? Ini Prediksinya

Obama Di-shutdown, IHSG Malah Rebound 1,4% ke 4.376,7

PILIHAN REDAKSI

Tiket Kereta Api Didiskon 28% Selama Oktober, Ini Syaratnya

SBY Instruksikan Para Menteri tak Tanggapi Isu Politik

Berencana Rights Issue, Saham Chandra Asri Melemah 1,92%

BISNIS.COM, JAKARTAPelaku usaha


mikro kecil dan menengah (UMKM) akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 1%
mulai bulan depan menyusul diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013.
Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak Chandra Budi mengatakan
peraturan tersebut telah ditandatangani oelh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 12
Juni 2013.
Intinya, WP [wajib pajak] badan atau orang pribadi yang memiliki usaha yang omzetnya
kurang dari Rp4,8 miliar akan dikenakan pajak 1% dari omset setiap bulannya, kata Chandra
kepada Bisnis pada Selasa (25/6/13).
Chandra menjelaskan berdasarkan aturan yang akan berlaku efektif per 1 Juli 2013 itu, ada
dua kondisi yang memungkinkan UMKM dengan penghasilan di bawah Rp4,8 miliar per
tahun untuk terhindar dari PPh 1% tersebut.
Kondisi pertama adalah jika WP orang pribadi menggunakan prasarana yang dibongkar
pasang atau menggunakan sebagian atau seluruh fasilitas umum sebagai tempat usahanya,
seperti pedagang kaki lima.

Kondisi kedua adalah jika WP badan tersebut belum beroperasi secara komersil atau omzet
WP badan melampaui Rp4,8 miliar meski belum genap satu tahun. Penentuan omset tersebut
didasarkan kepada penghasilan tahun sebelumnya.
Apabila dalam satu bulan di tahun berjalan omsetnya sudah melebihi batasan Rp4,8 miliar,
maka mulai tahun berikutnya WP tersebut tidak berhak menggunakan skema ini, jelas
Chandra.
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang P.S. Brodjonegoro membenarkan bahwa
Presiden telah menandatangani aturan tersebut. Benar dan seharusnya sudah ada di website,
katanya kepada Bisnis, Selasa malam (25/6/13).
Namun, berdasarkan pantauan Bisnis, aturan tersebut belum muncul baik di laman resmi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sekretariat Negara, maupun di
Sekretariat Kabinet.
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan Roni Bako mengatakan sumber pajak baru
tersebut tidak akan dapat membantu banyak Ditjen Pajak dalam mencapai target penerimaan
tahun ini.
Pajak UKM sih bagus, tapi saya rasa tidak akan banyak membantu karena definisi UKM
saja masih berbeda-beda antara Kementerian Koperasi dan perbankan. Penerapannya akan
sangat sulit, kata Roni kepada Bisnis.
Menurut Roni, untuk menggenjot PPh, Ditjen Pajak perlu lebih tegas dalam penagihannya
kalau perlu sampai pemaksaan. Kan sekarang sudah ada Undang-Undang penagihan dengan
surat paksa. Ditjen Pajak perlu memaksimalkan senjata itu, jelas Roni.
#BISNIS.COM, JAKARTAPelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) akan
dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 1% mulai bulan depan menyusul diterbitkannya
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013.
Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak Chandra Budi mengatakan
peraturan tersebut telah ditandatangani oelh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 12
Juni 2013.
Intinya, WP [wajib pajak] badan atau orang pribadi yang memiliki usaha yang omzetnya
kurang dari Rp4,8 miliar akan dikenakan pajak 1% dari omset setiap bulannya, kata Chandra
kepada Bisnis pada Selasa (25/6/13).
Chandra menjelaskan berdasarkan aturan yang akan berlaku efektif per 1 Juli 2013 itu, ada
dua kondisi yang memungkinkan UMKM dengan penghasilan di bawah Rp4,8 miliar per
tahun untuk terhindar dari PPh 1% tersebut.

Kondisi pertama adalah jika WP orang pribadi menggunakan prasarana yang dibongkar
pasang atau menggunakan sebagian atau seluruh fasilitas umum sebagai tempat usahanya,
seperti pedagang kaki lima.
Kondisi kedua adalah jika WP badan tersebut belum beroperasi secara komersil atau omzet
WP badan melampaui Rp4,8 miliar meski belum genap satu tahun. Penentuan omset tersebut
didasarkan kepada penghasilan tahun sebelumnya.
Apabila dalam satu bulan di tahun berjalan omsetnya sudah melebihi batasan Rp4,8 miliar,
maka mulai tahun berikutnya WP tersebut tidak berhak menggunakan skema ini, jelas
Chandra.
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang P.S. Brodjonegoro membenarkan bahwa
Presiden telah menandatangani aturan tersebut. Benar dan seharusnya sudah ada di website,
katanya kepada Bisnis, Selasa malam (25/6/13).
Namun, berdasarkan pantauan Bisnis, aturan tersebut belum muncul baik di laman resmi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sekretariat Negara, maupun di
Sekretariat Kabinet.
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan Roni Bako mengatakan sumber pajak baru
tersebut tidak akan dapat membantu banyak Ditjen Pajak dalam mencapai target penerimaan
tahun ini.
Pajak UKM sih bagus, tapi saya rasa tidak akan banyak membantu karena definisi UKM
saja masih berbeda-beda antara Kementerian Koperasi dan perbankan. Penerapannya akan
sangat sulit, kata Roni kepada Bisnis.
Menurut Roni, untuk menggenjot PPh, Ditjen Pajak perlu lebih tegas dalam penagihannya
kalau perlu sampai pemaksaan. Kan sekarang sudah ada Undang-Undang penagihan dengan
surat paksa. Ditjen Pajak perlu memaksimalkan senjata itu, jelas Roni.
#Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final dengan tarif 1 persenuntuk pendapatan tidak
melebihi 4.8 miliar setahunsudah diberlakukan sejak 1 Juli lalu dan katanya harus sudah
mulai dibayar paling lambat 15 Agustus ini. Namun sampai hari ini belum ada petunjuk
pelaksanaan yang jelas. Sosialisasipun belum kunjung dilakukan.
Di sisi lainnnya, menurut seorang Accounts Representative (AR) yang sempat penulis ajak
berbincang kemarin, sampai saat ini belum ada pemberitahuan untuk menunda. Artinya
tenggat waku 15 Agustus sampai saat ini belum berubah. Katanya, kemungkinan besar akan
disosialisasikan dalam minggu depan. Jika terlaksana, maka waktu yang tersisa akan sangat
sempit.
Sambil menunggu petunjuk teknis penghitungan, pembayaran dan pelaporan, yang katanya
akan diatur dengan peraturan menteri keuangan, mungkin ada baiknya jika wajib pajak tahu
informasi dasarnya terlebih dahulu.
Sebagai pemahaman awal, berikut ini adalah 8 hal yang perlu diketahui mengenai
Pengenaan PPh bersifat final dengan tarif 1 persen sesuai dengan PP No.46 Tahun 2013.

1. Siapa Yang Dikenakan PPh Final Sesuai PP ini?


Pada dasarnya, semua wajib pajakbaik perorangan maupun badan (kecuali yang berbentuk
Badan Usaha Tetap/BUTdengan peredaran bruto yang memenuhi kriteria di bawah ini
dikenakan PPh Final sesuai PP 46:
Wajaib pajak Non-BUT yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto
tidak rnelebihi Rp 4.8 miliar dalam 1 tahun fiskal.
Apa itu peredaran bruto? Dalam bahasa dagang umum sering disebut omzet, sedangkan
dalam akuntansi disebut pendapatan (revenue) saja.

2. Bagaimana Caranya Menentukan Peredaran Bruto?


Sudah disebutkan di atas bahwa WP yang dikenakan PPh Final sesuai dengan PP 46/2013 ini
adalah Pendapatan bruto tidak melebihi 4.8 miliar.
Pertanyaannya: bagaimana caranya menentukan besarnya peredaran bruto yang akan
dijadikan dasar perhitungan?
Menurut PP ini, pendapatan yang dihitung sebagai dasar untuk menentukan 4.8 miliar adalah
semua pendapatan termasuk pendapatan perusahaan cabang (bila ada), namun TIDAK
TERMASUK pendapatan yang telah dikenakan PPh final dan pendapatan yang berupa jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Misalnya:
(a) Data pendapatan (revenue) PT. JAK pada tahun fiskal 2012 nampak sebagai
berikut:
Penjualan = Rp 4,778,000,000
Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 25,000,000
Total = Rp 4,803,000,000
Simpulan: Dilihat dari totalnya, pendapatan PT. JAK sudah di atas 4.8 miliar. Namun karena
yang 25 juta berupa pendapatan jasa giro dan telah dikenakan PPh final oleh pihak bank,
maka peredaran bruto yang diperhitungkan hanya Rp 4,778,000,000, sehingga masuk kriteria
wajib pajak yang dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen, sesuai dengan PP 46/2013 ini.
(b) Tahun fiskal 2012, data pendapatan PT. ABC yang berkantor pusat di Tangerang
memiliki data pendapatan sebagai berikut:
Penjualan di Kantor Pusat = Rp 2,800,000,000
Penjualan di Cabang Daan Mogot = Rp 1,200,000,000
Penjualan di Cabang Pal Merah = Rp 1,795,000,000
Total = Rp 5,795,000,000

Simpulan: Total pendapatan PT ABC termasuk cabang melebihi 4.8 miliar, sehingga TIDAK
memenuhi kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
(c). Tahun fiskal 2012, data pendapatan Tuan Hartono Budhi, pemilik Minimarket UD
Kencana dan Toko Bangunan UD Makmur, adalah sbb:
Penjualan Minimarket UD. Kencana = Rp 2,100,000,000
Penjualan Toko Bangunan Minimarket = Rp 2,650,000,000
Pendapatan dari Pekerjaan Bebas = Rp 250,000,000
Total = Rp 5,000,000,000
Simpulan: Total pendapatan Tuan Hartono Budhi memang melebihi 4.8 miliar dalam satu
tahun fiskal. Namun karena pendapatan dari pekerjaan bebas tidak dihitung, jadinya belum
melewati Rp 4.8 miliar, sehingga memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh Final dengan tarif
1 persen.
Lebih jauh mengenai Jasa Sehubungan Dengan Pekerjaan Bebas, PP 46/2013 ini juga
merinci jasa pekerjaan apa saja yang tergolong sehubungan dengan pekeraan bebas
dan jasa apa yang tidak.
Yang disebut dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dalam hal ini adalah jasa
yang dihasilkan oleh seorang:

Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.

Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan Zperagawati, pemain drama,
dan penari.

Olahragawan.

Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.

Pengarang, peneliti, dan penerjemah.

Agen iklan.

Pengawas atau pengelola proyek.

Perantara (makelar/calo).

Petugas penjaja barang dagangan.

Agen asuransi.

Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan


langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Pendapatan jasa di atas TIDAK DIPERHITUNGKAN dalam menentukan apakah peredaran


bruto WP melebihi atau tidak melebihi 4.8 miliar.
Sedangkan pendapatan yang diperhitungkan dalam menentukan peredaran bruto
tidak melebihi 4.8 miliar adalah penadapatan yang berupa:

Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, honorarium,


penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain
sebagainya.

Penghasilan dari usaha dan kegiatan.

Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha.

Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Menurut AR yang sempat penulis ajak berbincang, untuk menentukan apakah WP memenuhi
atau tidak memenuhi kriteria peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar yang
dipersyarakatkan oleh PP 46/2013 ini, pihak Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan evaluasi
terhadap peredaran bruto WP terlebih dahulu.
Masalah yang membuat penentuan peredaran bruto ini akan menjadi sedikit rumit
adalah PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah tahun fiskal (1 Juli 2013), sementara batasan
peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar yang digunakan adalah total peredaran selama
satu tahun fiskal (alias 12 bulan). Belum lagi kalau WP terdaftar sebagai wajib pajak di
tengah-tengah tahun fiskal.
Nah, bagaimana caranya menentukan peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar?
Dalam evaluasi, peredaran bruto yang digunakan adalah sebagai berikut:
(a) Dalam hal tahun fiskal terakhir sebelum tahun fisakal berlakunya PP ini meliputi
kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka yang digunakan adalah: Jumlah
peredaran bruto tahun fiskal terakhir sebelum tahun fiskal berlakunya PP ini, lalu
disetahunkan (lihat contoh di bawah). Misalnya:
PT. Untung Abadi rnenggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai
Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai
dengan Desember 2013 adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto tahun 2013 yang
disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/5 = Rp 360,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp
4,800,000,000, rnaka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat
final sesuai ketentuan dalarn PP ini.

(b) Dalam hal WP terdaftar pada tahun fiskal yang sama dengan diberlakukannya PP
ini namun terjadi pada bulan sebelumnya, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran
bruto dari bulan saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PP ini, lalu
disetahunkan. Misalnya:
PT. Emas Permata terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya PP ini pada tahun fiskal yang
sama dengan tahun berlakunya PP ini. Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut
adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto selama 3 bulan yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/3 = Rp 600,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 bulan tersebut tidak melebihi Rp
4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya PP ini sampai
dengan akhir tahun fiskal bersangkutan, dikenai PPh bersifat final sesuai ketentuan dalam PP
ini.
(c) Dalam hal WP baru terdaftar sejak berlakunya PP ini, maka yang digunakan adalah:
Jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha, lalu
disetahunkan. Misalnya:
PT. Maju Selalu terdaftar sebagai WP baru pada bulan November 2014. Pada bulan
November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15,000,000. Penghasilan
bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah:
12/1 x Rp 15,000,000 = Rp 180,000,000
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib
Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh
di tahun 2014 dikenai PPh bersifat final sesuai dengan PP ini.

3. Siapa Yang Tidak Dikenakan PPh Final Sesuai PP ini?


WP orang pribadi (WPO) yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan PP ini adalah
mereka yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya:

Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan

Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Misalnya: Pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya.
Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai PPh Final sesui ketentuan
dalam PP ini, melainkan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan sebagaimana biasanya.

Sedangkan WP Badan yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan ketentuan PP ini
adalah:

WP Badan yang belum beroperasi secara komersial; atau

WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.8 miliar.

WP yang masuk kriteria ini TIDAK DIKENAKAN PPh Final sesuai dengan ketentuan dalam
PP ini, melainkan dikenakan PPh sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan
sebagaimana biasanya.

4. Berapa Besarnya Tarif PPh Final Yang Dikenakan?


Besarnya tarif PPH Final adalah 1% (satu persen).

5. Bagaimana Caranya Meghitung PPh Final Sesuai PP 46


ini?
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan, sesuai dengan PP 46/2013 ini, adalah jumlah
peredaran bruto setiap bulan. Sedangkan besarnya PPh final dihitung dengan cara mengalikan
DPP dengan 1 persen.
Misalnya:
Menggunakan contoh (a) sebelumnya, dimana PT. JAK telah diketahui memiliki peredaran
bruto Rp 4,778,000,000 (artinya belum melebihi 4.8 miliar setahun). Jika pendapatan PT JAK
di bulan Juli 2013 sebesar Rp 315,000,000, sementara ada pendapatan jasa giro sebesar Rp
5,000,000 di dalamnya, maka:
PPh Final = DPP x Tarif
PPh Final = (Rp 315,0000,000 Rp 5,000,000) x 1%
PPh Final = Rp 310,000,000 x 1%
PPh Final = Rp 3,100,000
Apa yang terjadi jika pada suatu bulan ternyata pendapatan WP telah melebihi 4.8 miliar?
Misalnya: Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh pihak DJP pada tahun 2013, peredaran
bruto PT. XYZ belum mencapai 4.8 miliar, sehingga mulai Januari 2014 dikenakan PPh Final
tarif 1 persen. Nah, apa yang terjadi jika total pendapatan kumulatif PT. XYZ di bulan Juni
2014 ternyata telah melebihi 4.8 miliar?
Menurut PP 46/2013 ini, PT. XYZ tetap dikenakan PPh Final tarif 1 persen hingga tahun
fiskal 2014 berakhir. Baru akan dikenakan PPh sesuai dengan UU PPh di tahun fiskal
berikutnya, yakni 2015.

6. Bagaimana Dengan Pajak Yang Terutang dan Dibayar


di Luar Negeri?
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh WP tetap DAPAT DIKREDITKAN terhadap PPh yang terutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.

7. Apakah Bisa Melakukan Kompensasi Kerugian?


WP yang dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan menyelenggarakan pembukuan, dapat
melakukan kompensasi kerugian (Lost Carry Forward) dengan penghasilan yang TIDAK
DIKENAKAN PPh Final, dengan ketentuan sebagai berikut:

Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturut-turut sampai


dengan 5 (lima) tahun fiskal. Misalnya: Jika PT. JAK mengalami kerugian pada tahun
fiskal 2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada
tahun fiskal 2011 sampai dengan 2015.

Tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tetap diperhitungkan sebagai
bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas. Misalnya: Jika PT. JAK
pada tahun fisal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan ketentuan PP ini, maka jangka
waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.

Kerugian pada suatu tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tidak
dapat dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Misalnya: Jika PT. JAK pada
tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan mengalami kerugian
berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan
dengan tahun fiskal berikutnya.

8. Bagaimana Penghitungan, Penyetoran, dan


Pelaporannya?
Dalam PP ini belum diatur secara rinci. Katanya, akan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Sayangnya, penulis belum menemukan peraturan tersebut
sampai saat artikel ini dipublikasikan.
Begitu tersedia, JAK sudah pasti akan publikasikan di sini. Peraturan Pemerintah No 46
Tahun 2013 ini sangat penting untuk diketahui oleh WP, orang accounting, terlebih-lebih
konsultan pajak, mengingat jumlah WP jenis UKM (berpenghasilan tidak melebihi 4.8 miliar)
terhitung mayoritas di negeri kita.
Jika sampai dengan tanggal 15 Agustus belum ada sosialisai maupun petunjuk penghitungan,
pembayaran dan pelaporan, JAK berharap pemerintah (DJP dalam hal ini) mau sedikit lebih
bijak dengan menunda pemberlakuan PP 46/2013 ini. Bagaimanapun juga, sejak rencana
pemberlakuan peraturan ini sudah banyak memperoleh penolakan, khususnya dari UKM,
karena dianggap memberatkan. Jangan sampai sudah berat masih harus ditindih dengan
penerapan aturan yang belum cukup jelas. Semoga.

#Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 yang mengenakan tarif pajak 1 persen untuk usaha
kecil menengah (UKM) bermozet dibawah Rp 4.8 milyar belum bisa berjalan namun tidak
berarti mundur. Kapan disosialisasikan? bagaimana pelaksanaan teknisnya? Bagaimana jika
tak patuh?
Belum Bisa Berjalan Efektif Bukan Berarti Mundur

Meski telah diterbitkan 1 Juni lalu dan diharpkan berlaku efektif 1 Juli 2013, tarif pajak 1
persen untuk usaha kecil menengah (UKM) bermozet dibawah Rp 4.8 milyar belum bisa
berjalan efektif.
Hal itu diakui oleh Menteri Keuangan Chatib Basri karena kurang sosialisasi. Kepada
wartawan di Jakarta, Kamis (17/7/2013), Chatib mengatakan:
Butuh beberapa bulan untuk bisa mengimplementasikan aturan ini pajak bagi UKM.
Menkeu yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) ini mengaku
tak tahu kapan aturan ini akan diterapkan secara penuh. Hal ini mengingat, jumlah pengusaha
dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun sangat banyak.
Sementara, menurut Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak,
Kismantoro Petrus, sosialisasi saat ini masih bersifat internal, agar pegawai pajak mengerti
tentang pajak atas omzet tertentu tersebut.
Paling lambat mulainya minggu depan, seluruh internal pajak sudah tahu, ujarnya.
Ditjen Pajak, kata Kismantoro, akan terus melakukan sosialisasi dalam bulan ini dan
beberapa bulan ke depan, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini benarbenar terlaksana secara efektif.
Paling lambat mulainya minggu depan, seluruh internal pajak sudah tahu, katanya.
Dalam melakukan sosialisasi tersebut, Pemerintah akan bekerja sama dengan sejumlah
organisasi. termasuk asosiasi pengusaha seperti kamar Dagang Indonesia (KADIN).
Sementara untuk sosialisasi kepada masyarakat sudah dilakukan sejak aturan tersebut
dikeluarkan.
Meski saat ini belum berjalan, bukan bukan berarti pajak UKM ini mundur dari jadwal. UKM
beromzet Rp 4,8 milyar tetap diharuskan untuk memenuhi syarat dalam PP Nomor 46 Tahun
2013, yakni membayar pajak bulan Juli atau paling lambat 15 Agustus 2013.
Lalu bagaimana mekanisme pelakasanaan skema baru ini?

Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak UKM (PP No. 46 Tahun
2013)

Petunjuk teknis pelakasanaan PP No 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas


Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak (WP) yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu, segera akan diterbitkan dan disosialisasikan.
Menurut Direktur Pelayanan Penyuluhan dan Humas DJP, Kismantoro Petrus, tata cara
pembayaran dan pelaporannya dijelaskan dalam peraturan menteri keuangan (PMK). Namun
ia sempat memberi bocoran.
Pengusaha harus mencatat penjualannya per hari hingga sebulan, maka di bulan berikutnya
dia sudah tahu omzet di bulan sebelumnya berapa, jadi tinggal bayar 1 persen dari omzet
bulan sebelumnya, papar Kismantoro
Dari penjelasan di atas sekilas nampak bahwa, teknis pembayaran dan pelaporan Pajak UKM
ini mirip dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dilaporkan secara bulanan, hanya saja
tidak disertai pencantuman Faktur Pajak.
Sebenarnya sama seperti pembayaran PPh biasa. SPP diisi, lalu setor pajak ke bank persepsi
bisa melalui transfer ATM atau langsung, Kismantoro menjelaskan.
Lebih jauh dia membeberkan, dengan skema baru ini, pelaporan PPh UKM beromzet
dibawah 4.8 Milyar tidak perlu disertai Laporan Laba Rugi. Dengan kata lain, UKM tidak
lagi mengenal istilah Laba atau Rugi kaitannya dengan kewajiban pajak.
Jika ada alasan kerugian, masih menurut Kismantoro, tetap tidak akan berpengaruh
mengingat pajak diberikan berdasarkan putaran uang yang selama digunakan untuk
menjalankan usahanya, BUKAN LABA/RUGI OPERASI.
Skema baru ini juga menghilangkan hak WP UKM untuk mengkompensasikan kerugian di
tahun fiskal berikutnya (lost carry foreward). Jikapun WP UKM memilih untuk membuat
laporan keuangan dan terlihat kerugian, tetap saja pengusaha tersebut dikenakan PPh 1 persen
dari omzet atau Penjualan.
Jika mau mengklaim kerugiannya, pengusaha harus memiliki omzet di atas Rp 4,8 miliar
pada akhir tahun, tegas Kismantoro.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah per Juni 2013, saat ini
ada 55,2 juta UKM atau 99,98 persen dari total unit usaha di Indonesia.
Sementara itu, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mewanti-wanti bahwa, bagi para wajib pajak
yang terkena PP No 46 Tahun 2013 dan enggan membayar siap-siap terkena sanksi
menunggak pajak.

Menurut Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak, Chandra Budi, sanksi tersebut
berupa denda 2 persen dari pajak terutang. Aturan ini pun sudah ada dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

#PPh Badan UKM Akan Dihitung Dari Omset (Baik atau


Buruk?)
Selama ini pajak penghasilan badansemua jenis, dalam sekala berapapundihitung dari
laba (profit). Tetapi Dirjen Pajak yang baru berencana menghitung kewajiban PPh badan
untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berdasarkan omzetnya, bukan labanya. Persisnya,
UKM dengan omzet Rp 300 juta hingga 4 milyar akan dikenakan pajak di bawah 3%.
Cara menghitungnya beda, jadi PPh badan 25% dari profit tapi kalau ini kita cuma bilang
berapa persen terhadap omzet, kecil. Bahkan nggak sampai 5%, di bawah, mungkin di bawah
3%, untuk omzet sekitar 4-an miliar. Rp 300 juta-Rp 4 miliar ini desainnya, tapi finalnya
belum tahu, nanti kan ada rapat-rapat lagi. UKM ya menengah ya bertahap, ujar Fuad
Rahmany (Dirjen Pajak) di Jakarta, Rabu kemarin (20/7/2011), seperti dikutip oleh
DetikFinance.
Jika persepsi saya tidak keliru, berarti setiap perusahaan yang membukukan penjualan Rp
300 juta 4 milyar (atau 25 juta 333,333,000 per bulan) dikenakan pajak berdasarkan
omsetnya, meskipn perusahaan tersebut tidak untung. Apakah ini lebih baik atau lebih buruk?
Sebelum lebih lanjut, rasanya ada yang kurang dari informasi ini, yaitu: Bagimana dengan
UKM yang penghasilannya di bawah 300 juta, apakah tidak bebas pajak samasekali atau
menggunakan cara penghitungan yang lama (25% x laba bersih)?
Jika bebas pajak tentunya itu akan sangat baik, terutama untuk mereka yang baru mulai
merintis usaha. Di awal-awal operasi, UKM biasanya tidak ada penjualan, jikapun ada
biasanya sangat rendah.
Kita akan berikan kemudahan untuk UKM, PP-nya sudah dirancang sebenarnya, lagi dalam
proses, kemudahan, misalkan dalam pengisian SPT-nya jauh lebih mudah, tarifnya hitungnya
lebih gampang, ujar Pak Dirjen, seperti dikutip oleh DetikFinance di headline yang sama.
Oh, saya pikir akan dibebaskan samasekali. Sambil menunggu informasi lebih lanjut, ayo kita
berhandai-handai untuk UKM yang beromzet 300 juta 4 M, seperti apa hasilnya?
Dalam opersional yang normal saya rasa ini masih bagus bagi UKM. Kita ambil yang
omzetnya Rp 300 juta. Mini market misalnya, membukukan penjualan Rp 25 juta x 12 = 300
juta. Jika tarif PPh Badan untuk UKM ini 3% misalnya, maka pajaknya adalah Rp 9 juta,
terlepas apakah perusahaan itu membukukan laba atau rugi.
Sedangkan jika menggunakan sistim penghitungan yang lama, dengan asumsi biaya sebesar
70% dari penjualan, maka kewajiban Pajak penghasilan badannya:

= [Penjualan (70% x 300 juta)] x 25%


= [300 juta 210 juta] x 25%
= Rp 90 juta x 25%
= Rp 22,500,000
Sehingga untuk UKM yang membukukan omzet Rp 300 juta, perbadingan antara sistim
penghitungan lama dengan yang akan diberlakukan adalah:
Perhitungan Lama : Perhitungan Lama
Rp 9,000,000
: Rp 22,500,000
Sangat bagus menurut saya. Memang, ada kalanya perusahaan mengalami kebengkakan
biaya, sehingga bahkan tidak sedikit yang melaporkan SPT dengan laba negative, alias
merugi. Disamping itu hitung-hitungan penentuan kewajiban pajaknya juga menjadi sangat
sederhana. Lain daripada itu, saya pikir ini akan bisa mengurangi peluang terjadinya
permainan oknum pegawai pajak, khususnya di wilayah UKM.
Menurut Pak Dirjen, rencana pemberlakuan sistim perhitungan baru ini lahir karena
banyaknya pengusaha UKM besar selama ini tidak bayar pajak.
Banyak usaha-usaha yang dilaksanakan Orang Pribadi bukan badan, itu menengah. Padahal
omzetnya gede, banyak ya kayak gitu. Harus adil, banyak yang belum bayar, ujar Fuad
Rahmany.
Tetapi menurut saya, ini akan menimbulkan beberapa pengaruh yang cukup serius terhadap
perlakuan akuntansi, khususnya untuk perusahaan UKM kelompok ini. Adapun perlakuan
akuntansi yang saya maksudkan adalah perlakuan akuntansi pajak penghasilannya. Termasuk
bentuk Laporan Laba Ruginyapun akan berubah pastinya.
Dengan sistim lama, Earning Before Tax (Laba sebelum pajak) dihitung setelah penjualan
dikurangi Harga Pokok Penjualan (HPP) dan Biaya-biaya. Dengan sistim yang baru itu nanti,
dihitung sebelum HPP dan biaya-biaya. Nah ini kan terbalik. Well, belum banyak yang saya
pikirkan mengenai hal ini. Pastinya saya akan kupas ini hingga ke hal yang paling rinci,
setelah ada informasi lebih lengkap dan lebih pasti. Yang jelas jika ini benar-benar
diberlakukan, dunia tax planning akan semakin berat dalam menyusun strategi, terutama di
sektor kerajinan dan retailyang banyak memiliki barang persediaan. Yang jelas, bagi UKM
ini kabar baik, patut disukuri, sekaligus salut kepada Pak Dirjen yang baru.

Semua

Pajak UKM Tuai Pro-Kontra


Senin, 15 Juli 2013 | 04:07:08
Jakarta | Jurnal Asia
Rencana pemerintah mengutip pajak sebesar 1 persen dari omset UKM (Usaha Kecil
Menengah) per tahun dinilai tidak tepat. Pro kontra akan rencana tersebut pun
bermunculan. Mereka yang mendukung menanggap UKM akan jadi lebih terjangkau
akses perbankan. Namun di sisi lain, pengutipan itu akan mematikan UKM.
Ketua PBNU Maksum Mahfud di gedung PBNU, akhir pekan kemarin, menilai, kebijakan
tersebut akan mematikan usaha kecil yang telah banyak membantu perekonomian.
Sektor UKM telah banyak membantu menciptakan tenaga kerja yang selama ini tidak
terserap di sektor formal. Jika ada pajak, dikhawatirkan menjadi beban yang memberatkan,
katanya.
Kebijakan ini, mirip dengan rencana Pemda DKI Jakarta beberapa waktu lalu untuk
memajaki warung tegal (warteg) yang mendapat tentanghan keras dari masyarakat hingga
dibatalkan.
Ia tidak sepakat dengan argumentasi pemerintah, penarikan pajak merupakan upaya agar
sektor UKM tersebut terdorong untuk masuk sektor formal, alih-alih akan mematikan usaha
mereka.
Para pekerja di sektor informal rata-rata belum digaji secara layak, mereka bertahan karena
tidak ada pilihan lain. Pemerintah sebaiknya tidak memberi beban tambahan para pengusaha
UKM
yang
telah
berjasa
menciptakan
lapangan
kerja,
tandasnya.
Upaya mendorong UKM masuk sektor formal, katanya, lebih efektif dengan memberikan
insentif seperti pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga murah. Mereka yang
berminat, tentu secara sukarela akan membentuk badan usaha sebagai syarat memperoleh
pinjaman bank. Nantinya akan terseleksi sendiri, mana UKM yang dikelola dengan baik
atau
tidak,
yang
mampu
masuk
sektor
formal,
paparnya.
Faktanya memang, banyak Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang menjerit dengan
kebijakan pemerintah yang mengenakan pajak 1 persen per Juli 2013 tersebut. Alasannya tak
lain
pajak
tersebut
menambah
beban
biaya
mereka.
Namun di lain pihak, dukungan akan pajak 1 persen tersebut juga mengalir. Pasalnya, pajak
UKM yang ditetapkan pemerintah sendiri adalah untuk usaha yang beromzet Rp1-Rp 4,8
miliar
per
tahun.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Handaka Santosa
mengungkapkan niat pemerintah memberlakukan aturan pajak 1% bagi UKM sangat baik.
Karena sisi baiknya UKM jadi lebih terjangkau akses perbankan (bankable).
Tujuan keluar aturan pajak 1% agar UKM punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
lebih
bankable,
tukasnya,
Minggu
(14/7).
Lebih jauh Handaka mengatakan, kepemilikan NPWP dapat memudahkan pelaku UKM
untuk memperoleh kredit dari perbankan demi mengembangkan usahanya. Jadi kalau UKM
mau buka lima cabang atau outlet di pusat belanja atau di manapun, bisa pinjam kredit ke
bank. Kalau belum punya NPWP atau bayar pajak, bank takut memberikan pinjaman,

ungkapnya.
Sedangkan bagi UKM yang sudah terbiasa membayar pajak, kata dia, sangat menguntungkan.
Pasalnya, pelaku UKM tak perlu repot-repot menghitung omzet. Karena berapapun penjualan
bruto yang dihasilkan, pajak tetap berlaku 1%. (Net
- See more at: http://jurnalasia.com/2013/07/15/pajak-ukm-tuai-prokontra/#sthash.vanafNvF.dpuf

#Ini Dia Bisnis Yang Tidak Kena Pajak UKM


Ramdhania El Hida - detikfinance
Jumat, 28/06/2013 17:17 WIB

Foto: dok.detikFinance
Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyebutkan, terdapat beberapa
sektor usaha yang tidak terkena aturan pajak Usaha Kecil Menengah (UKM). Apa
saja?
Aturan pajak UKM ini tertuang dalam, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau
diperoleh wajib pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu atau yang dikenal
dengan Pajak untuk bisnis Usaha Kecil Menengah. UKM dengan tempat usaha
tetap dan beromzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan pajak 1% ini.
Kepala Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh
Orang Pribadi Direktorat Jenderal Pajak Goro Ekanto mengatakan, pedagangpedagang kecil seperti asongan atau pedagang kaki lima tidak akan dipungut
pajak ini.

"Di dalam PP itu, yang kecil-kecil tidak masuk sini, asongan, PKL dan lain-lain,
tapi kalau besar, maka kena PPh sesuai ketentuan umum PPh, terkenanya tarif
umum," ujar Goro di Gedung Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat
(28/6/2013).
Selain itu, lanjut Goro, usaha waralaba dan bisnis online juga tidak terkena
aturan pajak ini. Namun, bukan tidak terkena bayar, melainkan harus mengikuti
aturan PPh Pasal 17, di mana bisnis tersebut terkena tarif pajak normal.
"Kalau franchise (warlaba) kena ketentuan umum, online juga kena pasal 17.
Yaitu yang berpenghasilan Rp 50 juta kena pajak 5%, Rp 50-250 juta sebesar
15%, Rp 250-500 juta sebesar 25%, dan di atas Rp 500 juta kena 30%," jelas
Goro.
Tapi untuk usaha franchise dan penjual online dengan omzet di bawah Rp 4,8
miliar, Goro menyatakan dikenakan pajak 1%.
"Ya kalau franchise yang gerobak itu kena 1%, tapi kalau gerobaknya banyak
kena tarif PPh Normal, begitu juga yang online, kalau di bawah Rp 4,8 miliar,
kena tarif PPh 1 persen ini," tandasnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan, pengecualian
aturan ini untuk WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau
jasa yang dalam menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan misalnya
pedagangan makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya.
Kemudian, untuk WP badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang
dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto (omzet) melebihi Rp 4,8 miliar.
(nia/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk
BlackBerry, Android, iOS

#UKM Akan Terkena Pajak Penghasilan 1%

UKM

Akan

Terkena

Pajak

Penghasilan

1%

JAKARTA. Rencana pemerintah untuk memungut pajak penghasilan (PPh) bagi usaha kecil
menengah (UKM) akan segera terealisasi. Besarnya pajak mencapai 1% dari omzet bisnis.
Kini, Direktorat Jenderal (... Ditjen) Pajak tengah menyelesaikan aturan yang melandasi
kebijakan
tersebut.

Ditjen Pajak menyebutkan, aturan PPh untuk UKM ini kelak akan bernama pajak usaha
dengan omzet tertentu. Ini berbeda dengan yang berkembang selama ini, yakni pajak UKM.
Pasalnya, "Dalam UU Pajak tidak ada itu UKM, jadi istilahnya pajak tertentu dengan omzet
tertentu," kata Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak, Kamis (21/3).
Saat ini, draf Peraturan Pemerintah untuk pajak ini sudah kelar di Kementerian Hukum dan
HAM dan tinggal masuk ke meja Presiden untuk disetujui. "Pajak akan dikenakan 1% untuk
semua usaha yang omzetnya di bawah Rp 4,8 triliun," ujar Fuad.
Namun tak semua UKM kena pajak. Soalnya, pajak ini juga mewajibkan syarat lain yakni
bisnis tersebut harus berlokasi di tempat yang tetap (permanen). Jadi usaha asongan atau
mikro yang berada di pasar-pasar atau tidak memiliki usaha permanen bakal terbebas dari
pajak.
Ini sekaligus membantah pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Syarifuddin Hasan
yang sebelumnya sempat menyebut usaha omzet kurang dari Rp 300 juta juga akan kena
pajak
0,5%.
Sayang, Fuad belum bisa bercerita besarnya potensi pendapatan pajak yang bakal masuk ke
kas negara. Ia juga enggan menyebut jumlah usaha yang akan terkena pajak. Tentu, Ditjen
Pajak sudah memiliki data mengenai jumlah pengusaha yang akan terkena pajak itu dari
Kementerian
Koperasi
dan
UKM
serta
Badan
Pusat
Statistik
(BPS).
Gunadi, Pengamat Pajak asal Universitas Indonesia bilang, harus ada pengawasan yang ketat
agar aturan ini efektif. Soalnya, pembayaran PPh ini bersifat self assesment. Ini
memungkinkan
pengusaha
kecil
untuk
ogah
membayar
pajak.
Padahal, aturan ini menguntungkan pengusaha. Soalnya, besaran pajak ini lebih kecil
dibandingkan bila pengusaha harus membayar pajak orang pribadi yang mencapai 5% dari
keuntungan.
Ia juga mengingatkan, aturan ini rawan penyimpangan. Bisa saja, pengusaha melaporkan
omzetnya lebih kecil dari kondisi sebenarnya demi menekan beban pajak. Maka butuh tim
khusus untuk memastikan kebenaran nilai omzet yang dilaporkan.
#
Aturan Pajak UKM Baru, Kemudahan Atau Pembodohan?

By sissy

January 8, 2013News StartUp2 Comments

130108_PajakUKM_f

Sore kemarin, rekan-rekan start-up idGeekGirls dihebohkan oleh sebuah berita


bahwa Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak akan mengubah peraturan pajak Usaha
Kecil Menengah (UKM) yang menurut iDrjen pajak Fuad Rahmany:

Perhitungan pajak bagi UKM dihitung bukan berdasarkan keuntungan yang


diperoleh, melainkan total omzet pada akhir tahun. Yang punya usaha tetap akan
dikenakan pajak penghasilan sebesar satu persen

Dibawah peraturan baru ini, UKM dengan omzet Rp.300 juta-Rp.4,8 miliar akan
dikenakan PPN 1 % dan PPh 1%. Sedangkan UKM dengan omzet dibawah Rp.300
juta akan dikenakan PPh 0,5%. Harapan Dirjen pajak adalah peraturan baru ini
akan mempermudah UKM untuk melaporkan pajak mereka dan menambah
pemasukan dari pajak.

Peraturan ini disebutkan ditujukan untuk UKM yang tidak memiliki pembukuan
keuangan, tapi memiliki omzet milyaran. Bagi kamu-kamu yang kurang paham
istilah ekonomi atau keuangan, omzet biasa disebut sebagai profit bruto, adalah
keuntungan kotor yang belum dikurangi biaya operasional perusahaan. Nilai
omzet biasanya sangat besar, bisa mencapai beberapa kali lipat dari biaya
operasional. Tetapi, setelah dikurangi biaya operasional, profit netto atau profit
bersih mungkin hanya sekitar 10%-50% dari total biaya operasional.

Praktek pajak yang paling umum adalah pajak dikenakan pada profit netto dan
dilaporkan ke negera setiap setahun sekali. Masalahnya, di Indonesia kesadaran
mengenai pencatatan keuangan sangatlah rendah. Sangat sedikit UKM yang
memiliki akuntan atau manajer keuangan. Padahal, profit netto hampir tidak
mungkin diketahui jumlahnya apabila tidak dicatatkan dalam bentuk laporan
keuangan yang layak. Tampaknya celah inilah yang dimanfaatkan oleh Dirjen
Pajak.

Sebenarnya, peraturan baru ini memang menguntungkan UKM karena awalnya


pengusaha UKM dikenakan pajak 25% dari profit netto. Tapi bisa dibilang,
peraturan ini seperti mengajarkan UKM untuk potong jalur pintas. Pada akhirnya
pemerintah mendapatkan pemasukan pajak yang kecil-kecil tapi banyak, tetapi

dilain pihak pelaku UKM tidak ada yang paham juga mengenai pentingnya
manajemen keuangan dan pembukuan.

Bagi idGeekGirls peraturan ini membuat Dirjen pajak dan pemerintah menjadi
seperti guru yang malas. Apabila pemerintah benar-benar ingin memajukan UKM,
seperti yang mereka gembar-gemborkan selama ini, kenapa tidak membuat
pelatihan pembuatan laporan keuangan dan pajak saja?. Apabila semua UKM
memiliki kesadaran pencatatan keuangan, selain proses pajak jadi lebih mudah,
juga akan terbuka banyak sekali lowongan pekerjaan bagi para akuntan.

Lalu bagaimana dengan UKM yang sudah memiliki akuntan dan laporan
keuangan yang rapi?. Kalau tetap harus membayar pajak berdasarkan omzet,
rugi donk sudah membayar akuntan selama ini. Akuntan gajinya lumayan besar
lho. Pemerintah mau nggak ya ganti rugi gaji si akuntan?.

Selain itu, sepertinya sudah rahasia umum kalau banyak UKM yang bukan tidak
mau membayar pajak. Tapi mereka menanti kapan uang pajak itu memberikan
manfaat kepada mereka. Kalau jalan raya masih berlubang-lubang, banjir
dimana-mana setiap hujan besar dan kualitas institusi pendidikan masih buruk,
sepertinya wajar kalau lebih banyak orang yang malas membayar pajak.
#Sekilas Tentang PP Nomor 46 Tahun 2013
Posted on July 6, 2013 by Taripar Doly, SE, MM

Dengan terbitnya PP No 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 yang berlaku mulai
tanggal 1 Juli 2013 tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Maka harapannya
tidak ada lagi celah bagi wajib pajak yang dalam kegiatan usahanya memiliki
omset dibawah Rp. 4.8 Milyar dalam satu tahun pajak untuk tidak membayar
pajak karena sejak 1 Juli 2013 mereka akan dikenakan PPh Final sebesar 1% dari
jumlah omset mereka.

Adapun dikenakan pajak bersifat Final dengan pertimbangan perlunya


kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik
bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan
perkembangan ekonomi dan moneter. Serta bertujuan memberikan kemudahan
kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha
yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan,
penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang.

Dalam tulisan ini, walaupun belum keluar aturan teknis pelaksanaannya berupa
Peraturan Menteri Keuangan (PMK), maupun Peraturan turunan lainnya penulis
mencoba membedah dasar dan implementasi aturan ini dalam tulisan berjudul
Sekilas Tentang PP Nomor 46 Tahun 2013 semoga dapat memberi informasi
yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Penjelasan PP Nomor 46 Tahun 2013

Objek PPh Ketentuan ini

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kriteria Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap dan Menerima penghasilan dari usaha, tidak
termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak).

Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha
cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di bidang perpajakan.

Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,


penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas


seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya;
penghasilan dari usaha dan kegiatan;
penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha;dan
penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:

tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, dan penari;
olahragawan;
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
agen iklan;
pengawas atau pengelola proyek;
perantara;
petugas penjaja barang dagangan;
agen asuransi; dan
distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Pengecualian Atas Ketentuan Ini

a. Orang Pribadi

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. ( Contoh : Pedagang Kaki
Lima)

b. Badan

Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:

Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau


Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Masa Atau Tahun Pajak

Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah sama dengan tahun
kalender. Namun demikian, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama
dengan tahun kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan tahun buku yang
didalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih dari 6 (enam) bulan
dari tahun buku tersebut.

Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan
berakhir pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun
Pajak 2013 karena memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari tahun 2013.

Contoh penentuan peredaran bruto:

Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di


beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang
dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai
berikut:

Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;


Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00.

Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Rajesh sebagai


dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar
Rp730.000.000,00 (Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 + Rp400.000.000,00).

Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa
melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang
menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum
yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan
keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap
Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Contoh penentuan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final:

Contoh 1

CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah yang berdasarkan pembukuan atau


catatan pada Tahun Pajak 2013 (Januari 2013 sampai dengan Desember 2013),
memiliki peredaran bruto sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik pada
tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen),
karena peredaran bruto CV Andik pada Tahun Pajak 2013 tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh 2

Jika CV Andik, pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh
peredaran bruto sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas
penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik sampai dengan bulan
Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebesar 1% (satu persen).

Contoh 3

Jika CV Andik, pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014 memperoleh
peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh CV Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya),
dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh 4

Jika CV Andik, pada bulan Agustus 2014 memperoleh penghasilan dari usaha
penjualan gerabah sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan Agustus 2014
dihitung sebagai berikut:

Pajak Penghasilan yang bersifat final = 1% x Rp50.000.000,00 = Rp500.000,00

Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, misalnya
penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah, meskipun peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang
bersangkutan dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetapi mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai pengenaan pajak
atas penghasilan tersebut.

Contoh perlakuan kompensasi kerugian:

Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian pada Tahun Pajak
2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada
Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahun Pajak 2015.

Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat fmal berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini
maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan Tahun
Pajak 2015.

Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini
dan mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut
tidak dapat dikompensasikan dengan Tahun Pajak berikutnya.

Contoh penentuan peredaran bruto

Penentuan peredaran bruto sebagai dasar dikenainya Pajak Penghasilan dengan


Peraturan Pemerintah ini, dalam hal:

Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 (dua belas) bulan;


Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun
berlakunya Peraturan Pemerintah ini pada bulan sebelum bulan berlakunya
Peraturan Pemerintah ini; dan
Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, untuk
Tahun Pajak pertama,

adalah sebagai berikut:

PT Maju Jaya menggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar


sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan
Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah). Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah: Rp
150.000.000,00 x 12/5 = Rp 360.000.000,00. Karena peredaran bruto
disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014
dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).Peredaran bruto selama 3
(tiga) bulan yang disetahunkan adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3 =
Rp600.000.000,00Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan
tersebut tidak melebihi Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah), maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya

Peraturan Pemerintah ini sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan, dikenai
pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014.
Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November 2014
disetahunkan adalah: 12/1 x Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00Karena
penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib
Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Peraturan
Pemerintah ini.

Hal- Hal Yang Menarik Dari Ketetentuan Ini

Hal yang ditunggu adalah seperti apa aturan teknis pelaksanaannya yang
merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah ini, karena menurut penulis
banyak sekali permasalahan yang perlu dijelaskan dengan terbitnya aturan ini,
diantaranya :

Mungkinkan ada keterkaitan pencabutan subsidi BBM dengan aturan ini,


menurut pendapat penulis tidaklah elok mengeluarkan aturan jenis ini ditengah
gejolak perekonomian yang hampir smaput akibat kenaikan BBM, bukankah
pencabutan subsidi juga akan mengurangi biaya negara? Bahkan saya melihat
ada kekurang sinergian pemerintah dan DJP dalam hal ini.
Bagaimana kelanjutan atas peraturan tentang Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (WP OPPT) yang notabene merupakan Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang eceran yang memiliki
1 (satu) atau lebih tempat usaha, yang melakukan kegiatan usaha berupa:
-penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
-penyerahan jasa, melalui suatu tempat usaha. Dimana hal ini sepenuhnya
bagian dari pengusaha yang dimaksud dalam ketentuan PP 46 ini, adapun aturan
dimaksud adalah seperti PMK nomor 208/PMK.03/2009.
Bagaimana kelanjutan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Kredit Pajak (Mis:
PPh Pasal 22 yang telah dipungut), maupun penggunaan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
Seperti apa bentuk pengawasan terkait kebenaran pelaporan, penghitungan
dasar penentuaan penghasilan bruto atas subjek pajak dalam aturan ini, dan apa
antisipasi Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi Pengusaha UKM yang
sudah diatas 4,8 M jika menurunkan omsetnya.

Seperti apa formulir SPT Tahunan untuk kategori wajib pajak yang dimaksud
dalam aturan ini.
Bagaimana keterkaitan antara Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan mekanisme
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Walau Surat Setoran Pajak yang salah mencantumkan kode setoran/MAP
masih dapat dipindahbukukan namun diperlukan segera perubahan kode
setoran/MAP yang mendukung aturan ini.
Dan Banyak lainnya

Kesimpulan

Pemberlakuan aturan baru pengenaan pajak penghasilan (PPh) untuk usaha kecil
menengah (UKM) dimana pelaku UKM yang omzetnya hingga Rp 4,8 miliar wajib
membayar pajak hanya sebesar 1% per tahun, semantara omset di atas itu akan
berlaku PPh seperti biasanya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak A. Fuad Rahmany menyatakan, Buruh-buruh


pabrik yang berpendapatan jauh lebih rendah saja sudah membayar pajak. Lalu,
apakah adil bila UKM tidak mau bayar pajak, padahal omset mereka miliaran
dalam setahun?. Satu hal yang sering dilupakan, berdasarkan ketentuan
perpajakan, PPh tidak mengenal pengecualian dalam pemungutannya, kecuali
jika jumlah penghasilan Wajib Pajak dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Lebih lanjut, Dirjen Pajak menjelaskan, UKM harusnya dikenakan pajak
25% dari laba, tapi kami hanya patok 1% (dari omset). Karena sasaran kami
bukan di pinggir-pinggir jalan tapi yang ada di Tanah Abang ataupun Mangga
Dua. Pernyataan ini semakin memperjelas arah kebijakan yang memang
ditujukan untuk memberikan kemudahan dan insentif bagi Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.

Sementara itu Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat


(Humas) Ditjen Pajak Kismantoro Petrus mengatakan, aturan pajak UKM 1% ini
berlaku mulai Juli 2013 ini, dan setoran akan mulai dilakukan pada awal Agustus
2013. Jadi (pengusaha) catat penjualannya dari 1 Juli sampai akhir Juli, sehari
berapa, dijumlah (sebulan) baru dikali 1 persen, ujar Kismantoro di Kantor Pusat
Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (4/7/2013). Kemudian, lanjut
Kismantoro, pengusaha UKM bersangkutan harus mengisi Surat Setoran Pajak
(SSP) di kantor-kantor pajak terdekat. SSP diisi, lalu setor pajaknya ke bank
persepsi, transfer melalui ATM juga bisa. Tapi kalau cash atau tunai lewat ATM
sedang dirintis karena untuk yang recehan kan belum bisa, ujarnya.

Berdasarkan hitung-hitungan disebuah tabloid dikatakan potensi dari aturan ini


akan mengerek tambahan penerimaan pajak tahun ini. Dengan asumsi produk
domestik bruto secara nominal Rp 9.270 triliun tahun ini dan omzet UKM
mencapai 30% dari PDB, maka tarif final 1% dari omzet akan menghasilkan
penerimaan hingga Rp 27,8 triliun.
- See more at: http://www.nusahati.com/2013/07/sekilas-tentang-pp-nomor-46tahun-2013/#sthash.xlIypbym.dpuf
# Pajak UKM 1 persen
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai menerapkan pajak sebesar 1
persen bagi Usaha Kecil Menegah (UKM). Pengenaan pajak tersebut, mulai
diterapkan pada awal Juli kemarin.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mendukung pengenaan pajak terhadap UKM
sebesar 1 persen. Menurutnya, dengan dikenakan pajak, maka UKM akan
memberikan dukungan bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
"Membayar pajak kan kewajiban seluruh bangsa. Selama memenuhi syarat
pendapatannya sekian, ya untuk bayar pajak wajar selama pajak digunakan
untuk hal yang benar," kata Jusuf Kalla di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa
(2/7/2013).
Dia menilai pengusaha yang wajib dikenakan pajak sebesar 1 persen pada masa
pemerintahannya, sudah masuk dalam golongan pengusaha kelas menengah.
"Kalau omzet Rp4,8 miliar, itu kan berarti Rp400 juta per bulan, berarti omzetnya
Rp15 juta per hari. Saya nilai bukan lagi usaha kecil itu, kalau Rp15 juta
penjualan masak usaha kecil? Zaman dulu sudah usaha menengah sebenarnya,"
kata dia.
Dia mengatakan, penerapan pajak pada UKM tersebut bukan merupakan
rangkaian kebijakan untuk memperketat kebijakan dalam mendukung dampak
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi. "UKM enggak ada
kaitannya dengan kenaikan BBM, jadi jangan dikait-kaitkan," tukas dia.

Anda mungkin juga menyukai