Anda di halaman 1dari 19

1.

) HUKUM MUNAKAHAT
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara laki laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga
dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang
telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah
akad nikah. Pergaulan antara laki laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini
akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki laki maupun
perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki laki dan perempuan yang tidak dibina dengan
sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan
masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa
mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi
hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga
kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang
juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
Maka kawinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .
(An Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada
istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga
menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat syarat tertentu.
HUKUM DAN DALILNYA
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk
menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam macam, maka hukum
nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat
memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan
terjerumus dalam perzinaan.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah
menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang
oleh agama.) dan memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka
hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya. (HR Bukhari Muslim).

c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak
mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
Firman Allah SWT :
Hendaklah menahan diri orang orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga
Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya. (An Nur / 24:33)
d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia
nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja
kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e. Mubah, bagi orang orang yang tidak terdesak oleh hal hal yang mengharuskan segera
nikah atau yang mengharamkannya.
SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT
Rukun nikah ada lima macam, yaitu :
a. Calon suami
Calon suami harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar benar pria
3) Tidak dipaksa
4) Bukan mahram calon istri
5) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
6) Usia sekurang kurangnya 19 Tahun
b. Calon istri
Calon istri harus memiliki syarat syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar benar perempuan
3) Tidak dipaksa,
4) Halal bagi calon suami
5) Bukan mahram calon suami
6) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh

7) Usia sekurang kurangnya 16 Tahun


c. Wali
Wali harus memenuhi syarat syarat sebagi berikut :
1) Beragama Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mempunyai hak untuk menjadi wali
7) Laki laki
d. Dua orang saksi
Dua orang saksi harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut :
1) Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mengerti maksud akad nikah
7) Laki laki
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. :
Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (Riwayat Ahmad.)
e. Ijab dan Qabul
ZZ Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah. (HR. Muslim).

HIKMAH DAN TUJUAN


1. Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan
tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman Allah SWT :
Dan diantara tanda tanda kekuasaa-Nya ialah dia menciptkan istri istri dari jenismu
sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. (Ar Rum/30:21)
2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad.
Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam
rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran
sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan
berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa
penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk
menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan pebuatan
maksiad.
3. Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari yang satu,
kemudian dijadikan baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia
yang banyak, terdiri dari laki laki dan perempuan.
Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan
tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa
perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai nilai kemanusiaan.

2.) HUKUM FARAIDH


Faraid adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna sesuatu yang diwajibkan, atau
pembagian yang telah ditentukan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Ilmu faraidh
adalah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan dan tata cara pembagian harta warisan
untuk setiap ahli waris berdasarkan syariat Islam.
Keutamaan Belajar Ilmu Faraidh
Ilmu faraidh merupakan salah satu disiplin ilmu di dalam Islam yang sangat utama untuk
dipelajari. Dengan menguasai ilmu faraidh, maka Insya Allah kita dapat mencegah
perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta warisan, sehingga orang yang
mempelajarinya Insya Allah akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan
pahala yang besar disisi Allah swt.
Silahkan dibaca dan perhatikan ayat-ayat mengenai waris di dalam Al-Quran, terutama ayat
11, 12 dan 176 pada surat an-Nisaa. Allah swt sedemikian detail dalam menjelaskan bagian
warisan untuk setiap ahli waris, yaitu dari seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga,
sepertiga, seperenam, dan seterusnya berikut dengan kondisi-kondisinya yang mungkin
terjadi.
Di bawah ini adalah beberapa hadits Nabi saw. yang menjelaskan beberapa keutamaan dan
anjuran untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh:

Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Ilmu itu ada
tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat
muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan
ilmu faraidh." (HR Ibnu Majah)
Ibnu Mas'ud r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu faraidh serta
ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut
(wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang
yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan
seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak
waris) mereka." (HR Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu faraidh serta
ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraidh setengahnya ilmu;
ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku." (HR Ibnu
Majah dan ad-Darquthni)
Dalam riwayat lain disebutkan, "Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian
dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan
dicabut dari umatku." (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)

Karena pentingnya ilmu faraidh, para ulama sangat memperhatikan ilmu ini, sehingga
mereka seringkali menghabiskan sebagian waktu mereka untuk menelaah, mengajarkan,
menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraidh, serta mengarang beberapa buku tentang faraidh.
Mereka melakukan hal ini karena anjuran Rasulullah saw. diatas.

Umar bin Khattab telah berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia sesungguhnya
termasuk bagian dari agama kalian." Kemudian Amirul Mu'minin berkata lagi, "Jika kalian
berbicara, bicaralah dengan ilmu faraidh, dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah
dengan satu lemparan." Kemudian Amirul Mu'minin berkata kembali, "Pelajarilah ilmu
faraidh, ilmu nahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran."
Ibnu Abbas ra. berkomentar tentang ayat Al-Quran yang berbunyi, ...Jika kamu (hai
para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi
kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (Al-Anfaal - 73), menurut beliau
makna ayat diatas adalah jika kita tidak melaksanakan pembagian harta waris sesuai yang
diperintahkan Allah swt. kepada kita, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar.
Abu Musa al-Asyari ra. berkata, "Perumpamaan orang yang membaca Al-Quran dan
tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraidh, adalah seperti mantel yang tidak bertudung
kepala."
Demikianlah, ilmu faraidh merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orangorang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraidh termasuk ilmu yang
mulia dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari AlQuran dan sunnah Rasul-Nya.
Membagi Warisan Harus Berdasarkan Syariat Islam
Maha Sempurna Allah yang telah menjadikan harta sebagai pokok kehidupan bagi
manusia, sebagaimana yang telah difirmankan-Nya di dalam Al-Quran: Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
(Q.S. an-Nisaa 5)
Demikianlah, Dia telah menetapkan harta sebagai pokok kehidupan bagi manusia, maka
Dia telah menetapkan pula beberapa peraturan mutlak yang harus kita ikuti dalam mengatur
harta yang telah diberikan-Nya tersebut, agar digunakan secara benar sesuai dengan
ketentuan dan perintah-Nya. Salah satu ketetapan Allah mengenai pengaturan harta adalah
mengenai tata cara pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang ketika telah
wafat.
Dalam membagi warisan, kita harus membaginya secara adil berdasarkan syariat Islam
yang telah disampaikan melalui Al-Quran, sunnah Rasul-Nya, serta ijma para ulama. Dia
menjanjikan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai kepada para hamba-Nya, yang
tunduk ikhlas dalam menjalankan ketentuan pembagian waris ini. Dia juga mengancam
hamba-Nya yang menyalahi batasan-batasan yang telah ditentukan, baik dengan
menambahkan, mengurangi, maupun mengharamkan ahli waris yang benar-benar berhak
mewarisi dan memberikan bagian kepada ahli waris yang tidak berhak mewarisinya, dengan
ancaman neraka dan siksa yang menghinakan.
Perhatikanlah, setelah menjelaskan hukum-hukum waris di dalam surat yang sama, Allah swt.
berfirman di dalam ayat berikutnya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-

ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan." (Q.S. an-Nisaa' 13,14).
Seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tentunya akan tunduk patuh
dalam menjalankan ketetapan dari Allah, apapun resikonya. Mereka sangat yakin dan
memahami firman Allah yang telah disampaikan-Nya di dalam Al-Quran, Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. al-Ahzaab 36)
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam membagi harta warisan ini. Jangan sampai
orang yang berhak untuk mendapatkan hak waris menurut syariat Islam, menjadi tidak
mendapatkan hak warisnya, dan sebaliknya malah orang yang tidak berhak menjadi
mendapatkan harta waris. Tentunya kita tidak akan dapat membagi harta waris ini dengan adil
berdasarkan syariat Islam, kecuali jika kita telah mengetahui ilmunya. Oleh karena itu, saya
mengajak kepada pembaca semua, hendaknya masing-masing kita bersungguh-sungguh
untuk belajar tata cara pembagian harta warisan ini.

3.) HUKUM JINAYAH


Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh
seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang
yang lain dengan sengaja. Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan
bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan
seseorang yang lain atau mencederakan atau melakukannya yang wajib di kenakan hukuman
qisas atau diyat.
Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah
termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di bawahnya semua kesalahan yang wajib
dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau ta`zir.
Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :
1. Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama sendiri dan
sebagainya
2. Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduhmenuduh.
3. Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian, ragut
dan lain-lain.
4. Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri.
5. Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di
dalam negara Islam Pembunuhan
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat
dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan
bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau
salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi
kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir
Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai
jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di
kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'.
Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya
fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam
keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat
fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan
hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain
yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang
diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan
jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian
istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan
hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran
terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.
Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat.
Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada
batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini
berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh
diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman
diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori
jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja,
pembunuhan, penganiayaan sengaja dan penganiayaan Yaitu perbuatan yang diancam
dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang
telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak
perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak
Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti
hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan
akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain
pembunuhan, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan keliru , penganiayaan sengaja dan
penganiayaan salah.
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan sengaja karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya
seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar'i bahkan Allah mengatakan
tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang
mukmin. "Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya
adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta
menyediakan azab yang besar baginya." (an nisa': 93). Rosulullah SAW juga bersabda, "
Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah".
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak
bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk
membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum
Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman mati yang merupakan
hukuman asli dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
Jarimah Ta'zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi
terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling
utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaranpelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi
acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota
masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus
sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya
kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama.
Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran
lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa
adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemadhorotan(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip
syar'i (nas).

FUNGSI DAN TUJUAN DITERAPKANNYA HUKUM


Tujuan diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
(mengambil segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak dalam rangka
menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
Ditinjau dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia, tujuan
diterapkannya hukum terbagi menjadi lima, yaitu:
1. memelihara agama
2. memelihara jiwa
3. memelihara akal
4. memelihara keturunan dan kehormatan
5. memelihara harta
Sedangkan fungsi diterapkannya hukum adalah mencapai tujuan yang akan dituju.
MACAM-MACAM DAN BENTUK-BENTUK JINAYAT
1. Diyat (Denda)
Pengertian : denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya
hukum bunuh.
Diyat ada dua macam, yaitu

Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor
unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat masuk lima
tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.
Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima, yaitu 20
ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk tiga tahun, 20
ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta betina umur empat masuk
lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh dalam masa tiga
tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.

Hikmah dari Diyat ada tiga, yaitu:

mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga


obat pelipur lara korban
timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat

2. Kifarat
Pengertian : tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh
syariat Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan Allah.
Macam-macam kifarat ada dua, yaitu:

Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa


selama 2 bulan berturut-turut.
Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau
memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari

3. Hudud
Pengertian : sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul (jilid) atau
dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:

Zina
Qadzaf (menuduh orang berbiat zina)
Minuman keras
Mencuri

5. Tazir
Pengertian : apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat
untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat. (hukuman yang tidak
ditetapkan hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan).

Qishash
Pengertian : hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan
anggota badan sesorang, yang dilakukan dengan sengaja.
Dasar hukum : Al Baqarah : 178, An Nisa : 93 dan beberapa hadits
Syarat-syarat Qishash :
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat
b. Pembunuh bukan orang tua dari orang yang dibunuh
c. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja
d. Orang yang dibunuh terpelihara darahnya
e. Orang yang dibunuh sama derajatnya
f. Qishash dilakukan dalam hal yang sama

Hikmah hukum Qishash


a. Memberikan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kejahatan terhadap manusia
b. Manusia akan merasa takut berbuat jahat pada orang lain
c. Qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia
d. Timbulnya ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat

Pengertian Qiyas
1. Secara bahasa
Qiyas berasal dari bahasa arab yaitu yang artinya hal mengukur, membandingkan,
aturan. Ada juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain
dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas
sebagai mengukur dan menyamakan.
2. Secara istilah
Pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak
ada nashnya dalam al-Quran dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Definisi lain dari qiyas menurut ahli ushul fiqh
adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah
menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya
dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya. Ibnu Subki
mengemukakan dalam kitab Jamu al-Jawami, qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut
mujtahid yang menghubungkannya.
Selain pengertian di atas, banyak lagi pengertian qiyas lainnya diantaranya
menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal yang sama diantara keduanya dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan
pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada
dasar nashnya dalam al-Quran dan sunnah dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena
ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.

Rukun dan Syarat Qiyas


Berdasarkan defenisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena illat serupa, maka
rukun qiyas ada empat macam, yaitu:
1.
al-Ashl.
Ashl adalah masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Quran ataupun Sunnah. Ia
disebut pula dengan maqis alaih (tempat mengqiyaskan) dan maha al-hukm ijalmusyabbah bihm yaitu wadah yang padanya terdapat hukum untuk disamakan dengan
wadah yang lain.
Adapun syarat-syarat ashl adalah:
Hukum ashl adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan
dinasakhkan
Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara

2.

Ashl itu bukan merupakan furu dari ashl lainnya

Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum

Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas

Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.

Furu
Fara yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Fara disebut juga maqis (yang
diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).
Adapun syarat-syarat furu adalah:
Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada furu
Hukum al-ashl tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas
Tudak ada nash yang menjelaskan hukum furu yang ditentukan hukumnya
Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu
3.
Hukum ashl
Illat yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu. Dengan persamaan inilah
baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu) kepada masalah yang pertama (ashl) karena
adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu.
Adapun syarat-syarat hukum al-Ashl adalah:

Illatnya sama pada illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada
jenisnya

Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas

Hukum furu tidak mendahului hukum ashl

Tidak ada nash atau ijam yang menjelaskan hukum furu itu.
4.
Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut
illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut istilah,
sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, illat adalah suatu sifat pada ashl yang
mempunyai landasan adanya hukum .
Adapun cara untuk mengetahui illat adalah melalui dalil-dalil al-Quran atau Sunnah,
baik yang tegas maupun yang tidak tegas, mengetahui illat melalui ijma, dan melalui jalan
ijtihad.
Adapun syarat-syarat illat adalah:

Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak


Illat harus kuat
Harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi
illat
Sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan
luas, tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu
Tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil
Macam-Macam Qiyas
1. Dari segi kekuatan illat
Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan illat pada furu.

2.

Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadaannya dengan
berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illatnya sama
Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
Dari segi kejelasan illatnya
Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashl
Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.

3. Dari segi keserasian illat dengan hukum


Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang illat penghubung antara ashl dengan furu ditetapkan
dengan nash yang sharih atau ijma
Qiyas mulaim, qiyas yang illat hukum ashl dalam hubungannya dengan hukum haram
adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4. Dari segi dijelaskan atau tidaknya illat dalam qiyas itu
Qiyas mana, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun
antara ashl dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashl itu
sendiri
Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashl.
Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu
sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi illat yang memberi petunjuk akan
adanya illat

4.) HUKUM MUAMALAT


Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, seba-gaimana
dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa , yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus
diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Namun
belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai aturan-aturan Allah yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta
benda atau lebih tepatnya dapa dikaakan sebagai aturan Islam tentang kegiatan ekonomi yang
dilakukan manusia.
Fiqih Muamalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan
hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari
dalil-dalil islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih muamalah adalh seluruh kegiatan
muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang
berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum
fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan
hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia
lainnya.
Ruang Lingkup

Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti social,
ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut
dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana
manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai
pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak
terbatas
dapat
dipenuhi
oleh
alat
pemuas
kebutuhan
yang
terbatas.
Dalam kajian fiqih ruang lingkup muamalah yakni; Harta, Hak Milik, Fungsi Uang, Buyu
(tentang jual beli), Ar-Rahn (tentang pegadaian), Hiwalah (pengalihan hutang), Ash-Shulhu
(perdamaian bisnis), Adh-Dhaman (jaminan, asuransi), Syirkah (tentang perkongsian),
Wakalah (tentang per-wakilan), Wadiah (tentang penitipan), Ariyah (tentang peminjaman),
Mudharabah (syirkah modal dan tenaga), Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun),
Muzaraah (kerjasama per-tanian), Kafalah (pen-jaminan), Taflis (jatuh bangkrut), Al-Hajru
(batasan ber-tindak), Jialah (sayembara, pemberian fee), Qaradh (pejaman), transaksi valas,
Urbun (panjar/DP), Ijarah (sewa-menyewa), Riba, konsep uang dan kebi-jakan moneter,
Shukuk (surat utang atau obligasi), Faraidh (warisan), Luqthah (barang tercecer), Waqaf,
Hibah, Washiat, Iqrar, Qismul fai wal ghanimah (pem-bagian fai dan ghanimah), Qism ashShadaqat (tentang pembagian zakat), Ibrak (pembebasan hutang), Muqasah (Discount),
Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur, Baitul Mal dan Jihbiz, Kebijakan fiskal Islam, Keadilan
Distribusi, Perburuhan (hubungan buruh dan ma-jikan, upah buruh), monopoli, Pasar modal
Islami dan Reksadana, Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain.[4]
Sumber-sumber
Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang
berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber
fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.
Al-Quran
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan
bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia
dan akhirat. Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya
masalah hokum dan perundangundangan. sebagai sumber hukum yang utama,Al-Quran
dijadikan patokan pertama oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu
perkara dalam kehidupan.
Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah
Al-Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.
Ijma dan Qiyas
Ijma adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syari dalam suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syari agar bisa dikatakan sebagai ijma, maka
penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat
lain yang menyatakan bahwa ijma bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas
mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru
yang tidak terdapat dalam nash (Al-Quran maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan
pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash.

Prinsip Dasar Fiqih Muamalah


Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan
manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai
ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi
yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental
di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan
muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah
dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
Menetapkan harga yang kompetitif
Meninggalkan intervensi yang dilarang
Menghindari eksploitasi
Memberikan toleransi
Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah
Sedangkan menurut Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-Maliyah alMu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:
1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa
nash berikut:
a. Firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta di antara kalian
dengan cara yang batil; kecuali dengan cara perdagangan atas dasar kerelaan di
antara kalian." (QS. An-Nisa`: 29)
"Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan
janganlah kalian menyuap dengan harta itu, dengan maksud agar kamu dapat
memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)
b. Firman Allah,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)
c. Ibnu 'Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli gharar
(mengandung ketidakjelasan). (HR. Muslim, 10/157 dan al-Baihaqiy di dalam asSunanul Kubra, 5/338)
2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis
muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih
yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip
muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah, "Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku
tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram
dan sebagiannya halal.' Katakanlah, 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu
(tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah.'." (QS. Yunus: 59).
3. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut artinya tetap,
konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal
akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah

sampai kapan pun. Namun demikian, dalam tataran praktis, Islamkhususnya dalam
muamalahbersifat murunah. Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan
adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tsubut.
4. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan
disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah adalah menjaga
dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah kembali kepada
hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah
(dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akadseperti jual beli, sewa menyewa,
dlsb.disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan
dari mereka.
Bertolak dari sini, banyak hukum muamalah yang berjalan seiring dengan maslahat
yang dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika maslahatnya berubah, atau
maslahatnya hilang, maka hukum muamalah itu pun berubah. Al-'Izz bin 'Abdussalam
menyatakan, "Setiap aktivitas yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas itu
hukumnya batal."
Dengan bahasa yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz.. Asy-Syathibiy
berkata, "Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang
mu'tabar (diakui) menurut syariat."
Konsep Aqad Fiqih Ekonomi (Muamalah)
Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan
transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu.
Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut
suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul
karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai
dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka.
Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat
dikelompokkan ke dalam:
Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi
pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat
dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui akad
mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad musyaraka. Kerjasama dalam
perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas
tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas
akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapatjan bagi hasil
(keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.
Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari
penggunaan asset. Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang
ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu
yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan
mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa
dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.

2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama
dengan kesepakatan menerima (kabul).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya
menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang
melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau
tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa
dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi
dapat dibedakan kedalam:
1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas keberadaannya atau
segera dapat diperoleh manfaatnya.
2. obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu
transaksi yang tidak tunai.
Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :
1. Aqad mudharaba
Ikatan atau aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau
pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik
Harta.
2. Aqad musyarakah
Ikatan atau aqad Musyaraka pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau
pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha.
3. Aqad perdagangan
Aqad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu
transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan
pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut
tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi.
4. Aqad ijarah
Aqad Ijara, adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui
penguasaan sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan
membayar imbalan kepada pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak
sepenuhnya sama dengan leasing, karena Ijarah dilandasi adanya perpindahan
manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.

TUGAS AGAMA ISLAM

Disusun oleh:

Arie Arwandi
NIM: 20150611014013

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS CENDERAWASIH


JAYAPURA
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2015

Anda mungkin juga menyukai