ZULFA AULAWI
1509200060021
RESUME
menelan banyak korban jiwa, bangunan dan fasilitas lainnya. Menurut data yang direkam
selama 10 tahun terakhir, pengaruh gempa bumi (earthquake disaster) terhadap bangunan
di Indonesia cukup signifikan. Hal ini dikarenakan intensitas gempa yang terjadi cukup tinggi
terkait letak geografis wilayah kepulauan Indonesia yang berada diantara tiga lempeng benua,
yakni Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Disamping itu, keberadaan gunung berapi dengan
segala aktifitas vulkaniknya juga berpartisipasi dalam bencana gempa yang terjadi di
Indonesia. Sebagian bencana gempa di Indonesia terjadi di daerah lepas pantai, dan sebagian
lagi di daerah pemukiman. Pada daerah pemukiman yang cukup padat, perlu adanya suatu
perlindungan untuk mengurangi angka kematian penduduk dan kerusakan berat akibat
goncangan gempa. Dengan menggunakan prinsip teknik yang benar, detail konstruksi yang
baik dan praktis maka kerugian harta benda dan jiwa menusia dapat dikurangi.
KLASIFIKASI GEMPA
Gempa dapat digolongkan menjadi beberapa kategori. Menurut proses terjadinya, gempa
bumi diklasifikasikan menjadi seperti berikut:
- Gempa tektonik: terjadi akibat tumbukan lempeng-lempeng di litosfer kulit bumi oleh
tenaga tektonik. Tumbukan ini akan menghasilkan getaran. Getaran ini yang
merambat sampai ke permukaan bumi.
- Gempa vulkanik: terjadi akibat aktivitas gunung api. Oleh karena itu, gempa ini hanya
dapat dirasakan di sekitar gunung api menjelang letusan, pada saat letusan, dan
beberapa saat setelah letusan.
- Gempa runtuhan atau longsoran: terjadi akibat daerah kosong di bawah lahan
mengalami runtuh. Getaran yang dihasilkan akibat runtuhnya lahan hanya dirasakan
di sekitar daerah yang runtuh.
Menurut bentuk episentrumnya, ada dua jenis gempa., yaitu :
- Gempa sentral: episentrumnya berbentuk titik.
- Gempa linear: episentrumnya berbentuk garis.
Menurut kedalaman hiposentrumnya, ada tiga jenis gempa, yaitu :
- Gempa bumi dalam: kedalaman hiposenter lebih dari 300 km di bawah permukaan
bumi.
- Gempa bumi menengah: kedalaman hiposenter berada antara 60-300 km di bawah
permukaan bumi.
- Gempa bumi dangkal: kedalaman hiposenter kurang dari 60 km.
menggunakan sistem pondasi batu kali menerus, terdapat hubungan antara sloof
dengan pondasi dipergunakan angker setiap 0.5 meter. Hal ini dimaksudkan supaya ada
keterikatan antara pondasi dengan sloof, sehingga pada saat terjadinya gempa ikatan
antara pondasi dengan sloof tidak dapat lepas.
2. Kolom
Kolom harus menggunakan kolom
menerus
(ukuran
yang
mengerucut/ semakin mengecil
dari lantai ke lantai). Dan untuk
meningkatkan
kemampuan
bangunan terhadap gaya lateral
akibat gempa, pada bangunan
tinggi (high rise building) acapkali
unsur
vertikal
struktur
menggunakan gabungan antara
kolom dengan dinding geser (shear
wall).
3. Denah Bangunan
Dalam mendesain sebuah bangunan, langkah awal yang dilakukan adalah
menuangkan ide atau gagasan dalam sebuah sketsa. Selanjutnya merealisasaikan
sketsa tersebut menjadi maket yang memberikan kejelasan informasi mengenai skala
yang sesuai. Dalam rancangan bangunan diperlukan gambar denah bangunan secara
keseluruhan yang menunjukkan potongan bangunan setinggi 1 meter dari lantai.
Denah bangunan memberikan kejelasan mengenai fungsi ruang, susunan ruang,
dimensi ruang, letak pintu dan bukaan-bukaan lainnya, isi ruang, dan fungsi utilitas
ruang.
Khusus pada bangunan tahan gempa denah bangunan perlu didesain secara simetris.
Berdasarkan pengamatan pada kerusakan bangunan akibat gempa, diketahui bahwa
struktur bangunan yang demikian dapat menahan gaya gempa. Struktur seperti ini
juga mengurangi efek gaya torsi yang ditimbulkan saat terjadi gempa. Denah yang
simetris memungkinkan pembagian kekuatan yang merata pada setiap bagian
bangunan. Dengan adanya pemerataan tersebut, maka bangunan tidak akan mudah
roboh saat terjadi gempa.
Selain denah, elemen lain yang perlu dirancang secara simetris terhadap sumbu
bangunan adalah perencanaan ruang, penempatan dinding-dinding penyekat, serta
lubang-lubang pintu dan jendela.
5. Struktur Atap
Pada struktur atap yang menahan beban gempa dalam arah horizontal, jika tidak
terdapat batang pengaku di dalamnya maka bangunan tersebut akan runtuh jika
terjadi gempa bumi. Apabila bangunan tersebut cukup lebar maka diperlukan
setidaknya 2 hingga 3 batang pengaku pada tiap-tiap ujung bangunan. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa batang pengaku ini harus memiliki sistem menerus sehingga gaya
dapat dialirkan ke ring balok pada ketinggian langit-langit. Gaya-gaya dari batang
pengaku dan beban saling tegak lurus bidang pada dinding sehingga menghasilkan
momen lentur pada ring balok. Apabila panjang dinding pada arah lebar lebih besar
dari 4 meter, maka diperlukan batang pengaku horizontal pada sudut untuk
memindahkan beban dari batang pengaku pada bidang tegak dinding dalam yang
merupakan elemen-elemen struktur yang menahan beban gempa utama.
Material atap yang digunakan harus material yang ringan namun kuat. Kuda-kuda
menggunakan material dari kayu sedangkan atap menggunakan seng. Metode
sambungan yang digunakan sangat sederhana, hal ini untuk mempermudah
masyarakat dalam mencontoh metode tersebut. Untuk memperkuat hubungan
antara batang serta menjaga stabilitasnya, maka hubungan antara batang
membentuk segitiga. Hubungan antara kuda-kuda yang satu dengan kuda-kuda
lainnya menggunakan batang pengaku dan batang pengaku di badan bangunan yang
biasa disebut dengan batang lintel. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah
sambungan antar batang horizontal jangan terletak pada titik kritis, hal ini untuk
menghindari terjadinya lendutan antara sambungan tarik dan sambungan tekan.
Jika tidak terdapat batang pengaku (bracing) pada struktur atap yang menahan beban
gempa dalam arah horizontal, maka keruntuhan akan terjadi seperti, diperlihatkan
pada gambar berikut:
KESIMPULAN
Tujuan dari perancangan bangunan tahan gempa adalah merancang bangunan yang
mempunyai daya tahan terhadap gempa bumi, dalam arti bahwa bila bangunan terkena
gempa bumi maka bangunan tidak akan mengalami kehancuran secara structural.Prinsip
bangunan tahan gempa terdapat pada konfigurasi bentuk bangunan, pemilihan material
bangunan yang ringan, sistem konstruksi penahan beban, dan ketahanan bangunan terhadap
kebakaran.
Konfigurasi bentuk bangunan secara mendatar (horizontal) maupun keatas (vertikal)
bangunan harus diletakan sesimetris mungkin terhadap pusat massa dari bangunan tersebut.
Hal ini dikarenakan struktur bangunan simetris dapat menahan gaya gempa yang lebih baik
daripada bangunan yang bentuknya tidak beraturan.
Semakin ringan bobot bangunan, maka gaya gempa yang diterima bangunan akan jauh
berkurang. Hal ini terjadi karena besarnya gaya gempa yang diterima suatu bangunan
tergantung dari besarnya percepatan gempa dan berat total dari bangunan itu sendiri. Dapat
disimpulkan bahwa semakin berat suatu bangunan maka semakin besar pula gaya gempa
yang akan terjadi pada bangunan tersebut.
Demi menciptakan konstruksi bangunan tahan gempa, struktur pondasi, kolom, balok, dan
struktur atap harus dibuat menyatu dengan sambungan yang memadai. Dinding harus
dikaitkan pada semua lantai dan atap. Ini untuk menghasilkan dukungan atau stabilitas
horizontal dan vertikal. Untuk konstruksi kayu, selain tambahan struktur menyilang (bracing),
juga harus dilengkapi dengan plat baja pengikat di setiap sambungannya, sehingga geraknya
menjadi fleksibel. Bangunan dengan struktur beton bertulang harus memakai tulangan yang
tepat sesuai dengan perhitungan strukturnya, baik tulangan utama maupun cincinnya.
Sambungan antara kolom, pondasi dan sloof pun harus diperhatikan detailnya, agar
mempunyai kekuatan yang cukup untuk menahan beban gempa.
Gempa bumi seringkali diikuti oleh terjadinya bahaya kebakaran, karena besarnya
kemungkinan terjatuhnya kompor, lilin atau lampu penerangan, sambungan arus pendek
pada instalasi listrik dan lain sebagainya. Selain dengan alternatif bahan ringan seperti kayu,
beton ringan aerasi hebel sering digunakan dalam perencanaan bangunan di daerah yang
rawan gempa. Beton ringan aerasi hebel memiliki ketahanan terhadap kebakaran yang jauh
lebih baik.