Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
Status Pasien
I.

Identitas

Nama

: Ny. MS

Usia

: 24 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Cakung Barat Rt 004/005 Jakarta Timur

Status

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Mahasiswa

Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Masuk RS

: Selasa, 14 Juni 2016

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Demam sejak 5 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan
mual, muntah,sakit kepala, pegal-pegal, lemas , nafsu makan menurun, nyeri ulu hati, belum
BAB.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS.
Demam timbul secara perlahan-lahan, dirasakan tinggi pada sore dan malam hari. Menurut
pasien, demam sempat turun

bila minum obat penurunan panas, tetapi beberapa jam

kemudian demam timbul lagi. Os juga mengeluhkan mual yang disertai muntah 4x gelas
belimbing, muntah berisi makanan tidak disertai darah atau cairan kehijauan. Pasien juga
mengeluh sakit kepala. Sakit kepala dirasakan paling berat pada bagian belakang kepala
seperti tertindih benda berat. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada tulang, otot dan badan
terasa lemas. Pasien mengeluh nyeri pada bagian ulu hati. Nyeri terutama pada saat ditekan.

Os belum BAB sejak 3 hari yang lalu. Keluhan gusi berdarah ketika menggosok gigi
disangkal, mimisan disangkal, bintik-bintik merah pada tubuh disangkal.
Pasien juga mengatakan nafsu makan berkurang dan terasa lemas sejak pasien demam.
BAK nyeri tidak ada, batuk, pilek dan mata berair tidak ada , tidak ada riwayat berpergian
keluar kota dalam waktu dekat.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien sempat minum obat penurun panas yang dibelinya di apotik dan demam sempat turun
namun naik kembali
f. Riwayat Alergi
Alergi obat-obatan, makanan, cuaca dan debu tidak ada.
g. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh gejala yang sama seperti pasien. Riwayat Darah
tinggi dan kencing manis tidak ada.
h. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai mahasiswa, pola makan teratur , tidak merokok dan
minum alkohol. Os lebih banyak makan diluar dan tidak pernah mengetahui kebersihan
makanan yang dimakannya. Di lingkungan tempat tingkal pasien tidak ada yang menderita
penyakit seperti pasien
III. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran
- Kualitatif
- Kuantitatif

: Komposmentis
: GCS 4-5-6

3. Tanda vital
-

Tekanan Darah: 110/70 mmHg


2

Frekuensi nadi : 88 kali/menit


Frekuensi nafas: 19 kali/menit
Suhu axilla
: 39O C

b. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala
Bentuk

: bulat, simetris, normocephal.

Rambut

: pendek, warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflek cahaya +/+.

Hidung

: tidak ada sekret, tidak berbau, tidak ada perdarahan, tidak ada septum deviasi

Telinga

: tidak ada sekret, tidak bau, pendengaran dalam batas normal.

Mulut/bibir : tidak sianosis, tidak ada sariawan, perdarahan gusi (-).


Lidah

: coated tongue (+), tremor (+)

2. Leher
Inspeksi : simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
Palpasi

: tidak teraba pembesaran KGB leher serta tidak terjadi pembesaran kelenjar
tiroid.

3. Thorax
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas

: redup pada ICS II PSL dextra

Batas kanan

: redup pada ICS IV PSL dextra

Batas kiri

: redup pada ICS V MCL sinistra

Auskultasi: Suara jantung I dan II normal, Gallop (-), murmur (-)


Paru:
Inspeksi : normochest, simetris, tidak ada retraksi
Palpasi : vocal fremitus teraba sama pada kedua lapang paru
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), whezing (-/-), ronchi (-/-)
4.

Abdomen
Inspeksi

: datar, tidak terlihat massa.

Auskultasi : bising usus (+) 7x/menit


3

Palpasi

: hepar dan lien tidak teraba, terdapat nyeri tekan epigastrium (+), supel, turgor

kulit normal, undulasi (-).


Perkusi
5.

:timpani di keempat kuadran abdomen

Ekstremitas
Superior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (-), RCT < 2 detik
Inferior

: akral hangat +/+, edema -/-,petekie (-), RCT < 2 detik

IV. PemeriksaanPenunjang
Selasa, 14 Juni 2016
Jenis pemeriksaan

Hasil

Nilai rujukan

Hemoglobin

14,0

13,2 17,3

Lekosit

3.7

3,80 10,6

Hematokrit

42

40 52 %

Trombosit

197

150 440

Eritrosit

4.54

4,40 5,90

MCV

84

80 100

MCH

31

26 34

MCHC

35

32 36

UjiWidal
S. typhi TO

1/360

Positif

S. typhi TH

1/320

Positif

S. paratyphi AO

Negatif

Negatif

S. paratyphi AH

Negatif

Negatif

S. paratyphi BO

Negatif

Negatif

S. paratyphi BH

Negatif

Negatif

Hematologi

S. paratyphi CO

Negatif

Negatif

S. paratyphi CH

Negatif

Negatif

V. Resume
Nn MS, perempuan 24 tahun mengeluh febris sejak 5 hari SMRS, febris intermitten dan
lebih berat dirasakan pada malam hari, disertai menggigil. nausea (+) vomitus (+) 4 kali,
cephalgia (+), myalgia, (+) malaise (+), anoreksia (+) nyeri epigastrium (+) belum BAB
sejak 3 hari yang lalu. Riwayat pemakaian obat penurun panas demam sempat turun tetapi
naik kembali. Pasien mengaku sering makan makanan di luar tanpa tahu bagaimana
kebersihan makanan tersebut.
PF : TTV :
TD, N, RR dalam batas normal,Suhu : 39oC.
Nyeri tekan epigastrium (+)
Lab 14 Juni 2016 : Leukosit: 3.7 ribu/L,
Widal test : positif
VI.

Daftar masalah
a. Febris hari ke 5 ec Tifoid Fever

VII.

Pembahasan
1. Febris hari ke 5
Os mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu, demam naik perlahan dan lebih berat
pada malam hari, nyeri pada tulang dan otot, sakit kepala, lemas, nafsu makan
menurun dan sulit buang air besar sejak 3 hari SMRS. Keluhan ini di sertai mual,
muntah dan nyeri ulu hati serta belum BAB sejak 3 hari SMRS. Pasien sering makan
sembarangan dan tidak memperhatikan kebersihannya
TD : 110/70 mmHg
RR
: 19 x/m
N : 88x/m
S
: 390C
Nyeri Epigastrium (+)
Lab
: leukosit 3.7 L
Uji Widal S. Typhosa O 1/320 (+) dan S. Typhosa H 1/320 (+).
Working Diagnosa : Febris H-5 ec tifoid fever
Differential diagnosis : Rencana Pemeriksaan Penunjang : 5

Tata Laksana :
Non-Medikamentosa :
Tirah baring dan perawatan professional
Diet lunak
Medikamentosa :
Infus RL 500 cc/8 jam = 20 tpm
Paracetamol 500 mg 3 x 1
Ceftriaxone 2 x 1 gr, IV
Ondancentron inj 2x1 amp
Ranitidin inj 2 x 1
VIII. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanactionam : ad bonam

IX. Monitoring dan Evaluasi


Tanggal 15 Juni 2016
Pemeriksaan
Planning
S : Demam (+), mual (+), muntah (+) 1x, IVFD RL 500 cc/8 jam 20 tpm.
perih ulu hati (+), Sakit kepala (+), BAB (-),

Ceftriaxone 2 x 1 gr, IV.

nafsu makan menurun, BAK tidak ada

Paracetamol 3 x 500 mg

keluhan.

Ondansetron 2 x 8 mg, IV.

O : TD 100/70 mmHg

Ranitidin 2 x 1 amp.

Nadi 80 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 38,3oC
Mulut: coated tongue (+), tremor (-)
Abdomen: nyeri tekan epigastrium (+)
A : Tifoid Fever

Tanggal 16 Juni 2016


Pemeriksaan

Terapi

S : Demam (-), mual berkurang (+), muntah Terapi lanjutkan


(-), kadang masih perih ulu hati (+), BAB 1x,

Cek DPL

nafsu makan sedikit membaik, BAK tidak ada

Rencana besok pulang

keluhan.
O : TD 120/80 mmHg
Nadi 84 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 37oC
Abdomen: nyeri tekan epigastrium (-)
A : Tifoid Fever dengan perbaikan.

Tanggal 17 Juni 2016


Pemeriksaan

Terapi

S : Demam (-), mual (-), muntah (-), perih ulu Pasien di perbolehkan pulang
hati (-), nafsu makan membaik, BAB 1x,
BAK normal.
O : TD 110/70 mmHg
Nadi 84 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 36,5oC
A : Tifoid Fever dengan perbaikan
X. Kesimpulan
Diagnosa Akhir : tifoid fever
Terapi Pulang

: Paracetamol 3 x 500 mg, Ranitidin tab 2 x 150 mg

Rawat Jalan

: Kontrol ke Poli penyakit dalam tanggal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid dan paratifoid adalah infeksi akut usus halus. Dimana demam
paratifoid biasanya menunjukkan gelaja yang lebih ringan dan menunjukkan manisfestasi
klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Demam tifoid merupakan penyakit
demam sistemik akut dan menyeluruh yang disebabkan oleh Salmonella enterica
subspesies enterica serotipe Typhi. Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis
atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
B. Etiologi
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan
bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 0,4 - 0,6
m, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini dapat
tumbuh dalam kondisi ada dan tidak adanya oksigen. Salmonella tidak membentuk spora,
tidak memiliki kapsul dan tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini
memproduksi H2S (yang dapat digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di
laboratorium). Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi asam pada
fermentasi glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom oksidase.
Anggota dari subspesies Salmonella diklasifikasikan ke dalam >2400 serotipe
berdasarkan antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida (LPS)), antigen
permukaan Vi (yang hanya dimiliki S. Typhidan S. Paratyphi C) dan antigen flagela H.
Ketiga antigen ini penting untuk tujuan taksonomi dan epidemiologi dari Salmonellayang
masing-masing akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:
a) Antigen Somatik ( O )
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dari dinding sel luar
bakteri yang tahan terhadap pendidihan, alkohol dan asam. Salmonella dibagi menjadi
kelompok A-I berdasarkan antigen somatik ini. Aglutinasi untuk antigen O di dalam
tubuh berlangsung lebih lambat dan bersifat kurang imunogenik namun mempunyai
9

nilai diagnosis yang tinggi. Titer antibodi yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih
rendah dan titer antibodi H.
b) Antigen Flagel ( H )
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alkohol tetapi tidak rusak oleh formaldehid. Terdapat
dua bentuk antigen H, fase 1 dan fase 2. Hanya salah satu dari kedua protein H ini
yang disintesis pada satu waktu. Hal ini tergantung dari rangkaian gen mana yang
ditranskripsikan menjadi mRNA.
c) Antigen Vi
Antigen Vi (polisakarida kapsul) adalah antifagosit dan faktor virulensi yang
penting untuk S. typhi. Antigen ini merupakan antigen permukaan dan bersifat
termolabil. Antigen ini digunakan untuk serotipe S. typhi di laboratorium klinis.
Antibodi yang terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk
bahwa individu tersebut merupakan karier atau pembawa kuman. Selain S. typhi,
antigen ini juga terdapat pada S. paratyphi C dan S. dublin.
Demam tifoid disebabkan oleh penyebaran bakteri Salmonella enterica serotipe
Typhi, atau secara singkat dapat disebut Salmonella typhi. Nama S. typhi sendiri
diperoleh dari bahasa Yunani kuno, typhos, yang berarti asap atau kabut halus yang
dipercaya dapat menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada stadium lanjut dari demam
tifoid, tingkat kesadaran pasien memang benar akan menjadi berkabut (samar-samar)
(Brusch, 2012).
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin yang berarti
toksin baru dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding selnya luruh. Suhu optimum
yang dibutuhkan S. typhi untuk tumbuh yakni 37C dengan pH antara 6-8. Bakteri ini
dapat dibunuh dengan pemanasan (suhu 60C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. S. typhi dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas,
seperti di dalam air, es, sampah, debu dan (seperti telah disebutkan sebelumnya) bakteri
ini tidak memiliki reservoir lain selain manusia.

10

C. Transmisi dan Faktor Risiko Demam Tifoid


Salmonella typhi sangat beradaptasi dan hidup hanya pada manusia. Seseorang
yang menderita demam tifoid akan membawa bakteri tersebut di aliran darah dan traktus
intestinalnya. Sebagian kecil orang yang telah sembuh dari demam tifoid, yang
dinamakan karier, masih tetap membawa bakteri tersebut. Baik orang yang sakit dan
karier memiliki S. typhi di feses (tinja) mereka. Sekali S. typhi dimakan atau diminum,
bakteri ini akan berkembang biak dan menyebar hingga ke darah.
Penularan S. typhi terjadi paling sering yakni melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh tinja pasien atau karier demam tifoid yang asimptomatik. Makanan
dan minuman ini juga dapat terkontaminasi urin pasien meskipun lebih jarang terjadi.
Transmisi dari tangan ke mulut akan terjadi jika seseorang menggunakan toilet yang
terkontaminasi dan mengabaikan higiene tangan setelahnya. Transmisi secara seksual
dengan sesama pasangan lelaki juga pernah dilaporkan. Pekerja kesehatan terkadang
tertular setelah terpapar dengan pasien yang terinfeksi atau selama mengolah spesimen
klinis dan kultur dari bakteri tersebut. Hasil penelitian oleh Levine dkk. (2001) dalam
Brusch memberikan hasil bahwa lebih dari 50% sukarelawan yang sehat terinfeksi oleh
S. typhi ketika menelan sedikitnya 100.000 organisme.
D. Patogenesis
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri tersebut melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis yang dapat menginfeksi yakni 10 3106colony-forming units. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung dan sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria, mikroorganisme
ini akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Salmonella dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plak Peyeri ileum distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi yang
menempel ke epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama dimana
makrofag lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian dibawa ke kelenjar
getah bening mesenterika.
11

Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid

Selanjutnya melalui duktus torasikus,bakteri yang terdapat didalam makrofag ini


masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Pasien
biasanya relatif tidak memiliki atau hanya sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Di
organ-organ retikuloendotelial, Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian
berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
Didalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental dan koagulasi.

12

Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia


jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah disekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neruopsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan
gangguan organ lainnya.
E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi dari S. typhi rata-rata antara 10-14 hari tetapi bisa juga berjarak 321 hari. Durasi waktu ini tergantung banyaknya terpajan S. typhi tersebut dan imunitas
serta kesehatan dari pejamu. Onset gejala lambat dengan demam dan konstipasi lebih
sering mendominasi dibandingkan diare dan muntah. Gejala yang paling terlihat yakni
demam terus-menerus (38,8C - 40,5C) yang bisa berlanjut hingga empat minggu jika
tidak diobati. Diare mungkin muncul pada awal onset tetapi biasanya hilang ketika
demam dan bakteremia muncul.
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut juga dengan sindrom demam tifoid.
Di bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada demam tifoid, diantaranya adalah:
a) Demam
Pada awal onset, demam kebanyakan samar-samar, selanjutnya suhu tubuh
sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi.
Intensitas demam makin tinggi dari hari ke hari yang disertai gejala lain seperti sakit
kepala yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu berikutnya, intensitas demam semakin
tinggi bahkan terkadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu
ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu.
Akan tetapi, demam khas tifoid seperti ini tidak selalu ada.

13

b) Gangguan Saluran Pencernaan


Pada penderita sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam
yang lama. Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi oleh selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor tetapi pada
penderita anak jarang ditemukan. Penderita umumnya sering mengeluh nyeri perut,
terutama di regio epigastrik, disertai mual dan muntah. Pada awal sakit sering terjadi
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang juga timbul
diare. Beberapa pasien mengalami diare encer yang buruk berwarna hijau kekuningan
(pea soup diarrhea). Pasien seperti ini bisa masuk kedalam keadaan tifoid yang
dikarakteristikkan dengan gangguan kesadaran.
c) Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai pada kondisi somnolen dan
koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita
dengan tifoid toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d) Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
e) Bradikardia Relatif dan Gejala Lain
Bradikardia relatif tidak sering ditemukan. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (makula yang berwarna rose) yang
biasanya ditemukan di regio abdomen atas, batuk kering, serta gejala-gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot ini biasanya muncul
pada 30% pasien diakhir minggu pertama dan menghilang tanpajejak setelah 2-5 hari.
Relaps terjadi pada 5-10% pasien, biasanya dua sampai tiga minggu setelah
demam sembuh. Biasanya relaps ini lebih ringan dibandingkan gejala awalnya dan S.
typhi yang diisolasi dari pasien merupakan S. typhi dengan strain dan kerentanan
antibiotik yang sama. Sepuluh persen pasien demam tifoid yang tidak diobati akan
mengeksresikan S. typhi ditinja hingga 3 bulan mendatang dan 1-4% akan menjadi
pembawa kronis yang asimptomatik, yakni orang yang mengeksresikan S. typhi baik
di urin dan di tinja selama lebih dari 1 tahun.
14

F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis klinis perlu ditunjang dengan hasil
pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan tambahan ini dapat dilakukan dengan dan tanpa
biakan kuman.
1. Darah tepi
Pada penderita demam tifoid didapatkan anemia normokromi normositik yang
terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang.Terdapat gambaran
leukopeni, tetapi bisa juga normal atau meningkat.Kadang-kadang didapatkan
trombositopeni dan pada hitung jenis didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif.Leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari
kesepuluh dari demam, menunjukkan arah diagnosis demam tifoid menjadi jelas.
2. Uji serologis
widal Uji ini merupakan suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O).Pemeriksaan yang positif adalah bila terjadi
reaksi aglutinasi.Untuk membuat diagnosis yang dibutuhkan adalah titer zat anti
terhadap antigen O.Titer yang bernilai > 1/200 dan atau menunjukkan kenaikan 4
kali, maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.Titer tersebut mencapai
puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.Uji serologis ini mempunyai
berbagai kelemahan baik sensitivitas maupun spesifisitasnya yang rendah dan
intepretasi yang sulit dilakukan.Namun, hasil uji widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada penderita demam tifoid.
3. Isolasi kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi Salmonella Typhi.Isolasi
kuman ini dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat dalam
tubuh.Diagnosis dapat ditegakkan melalui isolasi kuman dari darah.Pada dua minggu
pertama sakit , kemungkinan mengisolasi kuman dari darah pasien lebih besar dari
pada minggu berikutnya.Biakan yang dilakukan pada urin dan feses kemungkinan
keberhasilan lebih kecil, karena positif setelah terjadi septikemia sekunder.Sedangkan
biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas
tertinggi, tetapi prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
seharihari.Selain itu dapat pula dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya yaitu :
15

NONMEDIKSMENTOSA
a) Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
b) Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan parenteral adalah sesuai
dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan
disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.
c) Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet harus mengandung kalori dan
protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah
komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila
keadaan penderita baik. Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai
dengan bubur atau diet cair selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai
dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi
diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada
tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi.
Terapi Medikamentosa
Kloramfenikol

Dosis adalah 4 x 500 mg / hari, diberikan secara per oral atau


i.v; sampai dengan 7 hari bebas panas

Tiamfenikol

Dosis 4 x 500 mg,

Kotrimoksazol

Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung


sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
16

selama 2 minggu.
Ampisilin

Dosis 50-150 mg/kgBB dan selama 2 minggu.

&amoksisilin
Sefalosporin
generasi 3
Golongan

Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.

florokuinolon

Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.


Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari.
Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.

Kombinasi

obat Kombinasi 2 antibiotik atau telah diindikasikan hanya pada

antimikroba

keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau


perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan
2 macam organism dalam kultur darah selain kuman
Salmonella.

H. KOMPLIKASI
Intestinal

Perdarahan usus, perforasi, ileus paralitik, pankreatitis

Ekstra-intestinal

Kardiovaskular:
tromboflebitis.

Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.

Paru: pneumonia, empiema, pleuritis.

Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.

Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.

Tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.

Neuropsikiatrik/tifoid toksik.

gagal

sirkulasi

perifer,

miokarditis,

17

I. PROGNOSIS
Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan. Hasilnya
mungkin akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk
apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak
sepenuhnya sembuh dari infeksi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan pelayanan medik, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,
cetakan ke-3, 2009
2. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
3. Price A, Wilson L. 2009. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta: EGC
18

4. WHO. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. Zimbabwe: The Ministry of
Health and Child Welfare

19

Anda mungkin juga menyukai