PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
Status Pasien
I.
Identitas
Nama
: Ny. MS
Usia
: 24 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Status
: Belum Menikah
Pekerjaan
: Mahasiswa
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Masuk RS
II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Demam sejak 5 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan
mual, muntah,sakit kepala, pegal-pegal, lemas , nafsu makan menurun, nyeri ulu hati, belum
BAB.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS.
Demam timbul secara perlahan-lahan, dirasakan tinggi pada sore dan malam hari. Menurut
pasien, demam sempat turun
kemudian demam timbul lagi. Os juga mengeluhkan mual yang disertai muntah 4x gelas
belimbing, muntah berisi makanan tidak disertai darah atau cairan kehijauan. Pasien juga
mengeluh sakit kepala. Sakit kepala dirasakan paling berat pada bagian belakang kepala
seperti tertindih benda berat. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada tulang, otot dan badan
terasa lemas. Pasien mengeluh nyeri pada bagian ulu hati. Nyeri terutama pada saat ditekan.
Os belum BAB sejak 3 hari yang lalu. Keluhan gusi berdarah ketika menggosok gigi
disangkal, mimisan disangkal, bintik-bintik merah pada tubuh disangkal.
Pasien juga mengatakan nafsu makan berkurang dan terasa lemas sejak pasien demam.
BAK nyeri tidak ada, batuk, pilek dan mata berair tidak ada , tidak ada riwayat berpergian
keluar kota dalam waktu dekat.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien sempat minum obat penurun panas yang dibelinya di apotik dan demam sempat turun
namun naik kembali
f. Riwayat Alergi
Alergi obat-obatan, makanan, cuaca dan debu tidak ada.
g. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh gejala yang sama seperti pasien. Riwayat Darah
tinggi dan kencing manis tidak ada.
h. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai mahasiswa, pola makan teratur , tidak merokok dan
minum alkohol. Os lebih banyak makan diluar dan tidak pernah mengetahui kebersihan
makanan yang dimakannya. Di lingkungan tempat tingkal pasien tidak ada yang menderita
penyakit seperti pasien
III. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran
- Kualitatif
- Kuantitatif
: Komposmentis
: GCS 4-5-6
3. Tanda vital
-
b. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflek cahaya +/+.
Hidung
: tidak ada sekret, tidak berbau, tidak ada perdarahan, tidak ada septum deviasi
Telinga
2. Leher
Inspeksi : simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
Palpasi
: tidak teraba pembesaran KGB leher serta tidak terjadi pembesaran kelenjar
tiroid.
3. Thorax
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas
Batas kanan
Batas kiri
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: hepar dan lien tidak teraba, terdapat nyeri tekan epigastrium (+), supel, turgor
Ekstremitas
Superior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (-), RCT < 2 detik
Inferior
IV. PemeriksaanPenunjang
Selasa, 14 Juni 2016
Jenis pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Hemoglobin
14,0
13,2 17,3
Lekosit
3.7
3,80 10,6
Hematokrit
42
40 52 %
Trombosit
197
150 440
Eritrosit
4.54
4,40 5,90
MCV
84
80 100
MCH
31
26 34
MCHC
35
32 36
UjiWidal
S. typhi TO
1/360
Positif
S. typhi TH
1/320
Positif
S. paratyphi AO
Negatif
Negatif
S. paratyphi AH
Negatif
Negatif
S. paratyphi BO
Negatif
Negatif
S. paratyphi BH
Negatif
Negatif
Hematologi
S. paratyphi CO
Negatif
Negatif
S. paratyphi CH
Negatif
Negatif
V. Resume
Nn MS, perempuan 24 tahun mengeluh febris sejak 5 hari SMRS, febris intermitten dan
lebih berat dirasakan pada malam hari, disertai menggigil. nausea (+) vomitus (+) 4 kali,
cephalgia (+), myalgia, (+) malaise (+), anoreksia (+) nyeri epigastrium (+) belum BAB
sejak 3 hari yang lalu. Riwayat pemakaian obat penurun panas demam sempat turun tetapi
naik kembali. Pasien mengaku sering makan makanan di luar tanpa tahu bagaimana
kebersihan makanan tersebut.
PF : TTV :
TD, N, RR dalam batas normal,Suhu : 39oC.
Nyeri tekan epigastrium (+)
Lab 14 Juni 2016 : Leukosit: 3.7 ribu/L,
Widal test : positif
VI.
Daftar masalah
a. Febris hari ke 5 ec Tifoid Fever
VII.
Pembahasan
1. Febris hari ke 5
Os mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu, demam naik perlahan dan lebih berat
pada malam hari, nyeri pada tulang dan otot, sakit kepala, lemas, nafsu makan
menurun dan sulit buang air besar sejak 3 hari SMRS. Keluhan ini di sertai mual,
muntah dan nyeri ulu hati serta belum BAB sejak 3 hari SMRS. Pasien sering makan
sembarangan dan tidak memperhatikan kebersihannya
TD : 110/70 mmHg
RR
: 19 x/m
N : 88x/m
S
: 390C
Nyeri Epigastrium (+)
Lab
: leukosit 3.7 L
Uji Widal S. Typhosa O 1/320 (+) dan S. Typhosa H 1/320 (+).
Working Diagnosa : Febris H-5 ec tifoid fever
Differential diagnosis : Rencana Pemeriksaan Penunjang : 5
Tata Laksana :
Non-Medikamentosa :
Tirah baring dan perawatan professional
Diet lunak
Medikamentosa :
Infus RL 500 cc/8 jam = 20 tpm
Paracetamol 500 mg 3 x 1
Ceftriaxone 2 x 1 gr, IV
Ondancentron inj 2x1 amp
Ranitidin inj 2 x 1
VIII. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanactionam : ad bonam
Paracetamol 3 x 500 mg
keluhan.
O : TD 100/70 mmHg
Ranitidin 2 x 1 amp.
Nadi 80 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 38,3oC
Mulut: coated tongue (+), tremor (-)
Abdomen: nyeri tekan epigastrium (+)
A : Tifoid Fever
Terapi
Cek DPL
keluhan.
O : TD 120/80 mmHg
Nadi 84 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 37oC
Abdomen: nyeri tekan epigastrium (-)
A : Tifoid Fever dengan perbaikan.
Terapi
S : Demam (-), mual (-), muntah (-), perih ulu Pasien di perbolehkan pulang
hati (-), nafsu makan membaik, BAB 1x,
BAK normal.
O : TD 110/70 mmHg
Nadi 84 x/menit
RR 18 x/menit
Suhu 36,5oC
A : Tifoid Fever dengan perbaikan
X. Kesimpulan
Diagnosa Akhir : tifoid fever
Terapi Pulang
Rawat Jalan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid dan paratifoid adalah infeksi akut usus halus. Dimana demam
paratifoid biasanya menunjukkan gelaja yang lebih ringan dan menunjukkan manisfestasi
klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Demam tifoid merupakan penyakit
demam sistemik akut dan menyeluruh yang disebabkan oleh Salmonella enterica
subspesies enterica serotipe Typhi. Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis
atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
B. Etiologi
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan
bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 0,4 - 0,6
m, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini dapat
tumbuh dalam kondisi ada dan tidak adanya oksigen. Salmonella tidak membentuk spora,
tidak memiliki kapsul dan tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini
memproduksi H2S (yang dapat digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di
laboratorium). Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi asam pada
fermentasi glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom oksidase.
Anggota dari subspesies Salmonella diklasifikasikan ke dalam >2400 serotipe
berdasarkan antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida (LPS)), antigen
permukaan Vi (yang hanya dimiliki S. Typhidan S. Paratyphi C) dan antigen flagela H.
Ketiga antigen ini penting untuk tujuan taksonomi dan epidemiologi dari Salmonellayang
masing-masing akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:
a) Antigen Somatik ( O )
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dari dinding sel luar
bakteri yang tahan terhadap pendidihan, alkohol dan asam. Salmonella dibagi menjadi
kelompok A-I berdasarkan antigen somatik ini. Aglutinasi untuk antigen O di dalam
tubuh berlangsung lebih lambat dan bersifat kurang imunogenik namun mempunyai
9
nilai diagnosis yang tinggi. Titer antibodi yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih
rendah dan titer antibodi H.
b) Antigen Flagel ( H )
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alkohol tetapi tidak rusak oleh formaldehid. Terdapat
dua bentuk antigen H, fase 1 dan fase 2. Hanya salah satu dari kedua protein H ini
yang disintesis pada satu waktu. Hal ini tergantung dari rangkaian gen mana yang
ditranskripsikan menjadi mRNA.
c) Antigen Vi
Antigen Vi (polisakarida kapsul) adalah antifagosit dan faktor virulensi yang
penting untuk S. typhi. Antigen ini merupakan antigen permukaan dan bersifat
termolabil. Antigen ini digunakan untuk serotipe S. typhi di laboratorium klinis.
Antibodi yang terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk
bahwa individu tersebut merupakan karier atau pembawa kuman. Selain S. typhi,
antigen ini juga terdapat pada S. paratyphi C dan S. dublin.
Demam tifoid disebabkan oleh penyebaran bakteri Salmonella enterica serotipe
Typhi, atau secara singkat dapat disebut Salmonella typhi. Nama S. typhi sendiri
diperoleh dari bahasa Yunani kuno, typhos, yang berarti asap atau kabut halus yang
dipercaya dapat menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada stadium lanjut dari demam
tifoid, tingkat kesadaran pasien memang benar akan menjadi berkabut (samar-samar)
(Brusch, 2012).
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin yang berarti
toksin baru dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding selnya luruh. Suhu optimum
yang dibutuhkan S. typhi untuk tumbuh yakni 37C dengan pH antara 6-8. Bakteri ini
dapat dibunuh dengan pemanasan (suhu 60C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. S. typhi dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas,
seperti di dalam air, es, sampah, debu dan (seperti telah disebutkan sebelumnya) bakteri
ini tidak memiliki reservoir lain selain manusia.
10
12
13
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis klinis perlu ditunjang dengan hasil
pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan tambahan ini dapat dilakukan dengan dan tanpa
biakan kuman.
1. Darah tepi
Pada penderita demam tifoid didapatkan anemia normokromi normositik yang
terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang.Terdapat gambaran
leukopeni, tetapi bisa juga normal atau meningkat.Kadang-kadang didapatkan
trombositopeni dan pada hitung jenis didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif.Leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari
kesepuluh dari demam, menunjukkan arah diagnosis demam tifoid menjadi jelas.
2. Uji serologis
widal Uji ini merupakan suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O).Pemeriksaan yang positif adalah bila terjadi
reaksi aglutinasi.Untuk membuat diagnosis yang dibutuhkan adalah titer zat anti
terhadap antigen O.Titer yang bernilai > 1/200 dan atau menunjukkan kenaikan 4
kali, maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.Titer tersebut mencapai
puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.Uji serologis ini mempunyai
berbagai kelemahan baik sensitivitas maupun spesifisitasnya yang rendah dan
intepretasi yang sulit dilakukan.Namun, hasil uji widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada penderita demam tifoid.
3. Isolasi kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi Salmonella Typhi.Isolasi
kuman ini dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat dalam
tubuh.Diagnosis dapat ditegakkan melalui isolasi kuman dari darah.Pada dua minggu
pertama sakit , kemungkinan mengisolasi kuman dari darah pasien lebih besar dari
pada minggu berikutnya.Biakan yang dilakukan pada urin dan feses kemungkinan
keberhasilan lebih kecil, karena positif setelah terjadi septikemia sekunder.Sedangkan
biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas
tertinggi, tetapi prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
seharihari.Selain itu dapat pula dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya yaitu :
15
NONMEDIKSMENTOSA
a) Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
b) Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan parenteral adalah sesuai
dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan
disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.
c) Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet harus mengandung kalori dan
protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah
komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila
keadaan penderita baik. Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai
dengan bubur atau diet cair selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai
dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi
diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada
tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi.
Terapi Medikamentosa
Kloramfenikol
Tiamfenikol
Kotrimoksazol
selama 2 minggu.
Ampisilin
&amoksisilin
Sefalosporin
generasi 3
Golongan
florokuinolon
Kombinasi
antimikroba
H. KOMPLIKASI
Intestinal
Ekstra-intestinal
Kardiovaskular:
tromboflebitis.
Neuropsikiatrik/tifoid toksik.
gagal
sirkulasi
perifer,
miokarditis,
17
I. PROGNOSIS
Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan. Hasilnya
mungkin akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk
apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak
sepenuhnya sembuh dari infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan pelayanan medik, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,
cetakan ke-3, 2009
2. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
3. Price A, Wilson L. 2009. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta: EGC
18
4. WHO. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. Zimbabwe: The Ministry of
Health and Child Welfare
19