Anda di halaman 1dari 7

BAB I

IDENTIFIKASI MASALAH
1. Masyarakat lebih tertarik untuk mendatangai tukang gigi atau ahli gigi karena
biasanya

biayanya yang terjangkau dan sesuai dengan kantong masyarakat

bawahan.
2. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan perbedaan ahli gigi dan dokter gigi
yang sebenarnya, mereka beranggapan bahwa semuanya sama saja, bisa
mengatasi gigi mereka dengan baik.
3. Terakhir adalah faktor gaya hidup, boleh dikatakan faktor ini adalah faktor yang
membuat tukang gigi menjadi semakin menjamur. Era tahun 200oan di Indonesia
trend menggunakan bracket atau dalam istilah kedokteran gigi dikenal dengan
fixed orthodontic semakin naik ke permukaan, banyak kalangan yang demi
sebuah gengsi berlomba-lomba memasang bracket, tak memandang status
sosial, bahkan sampai masyarakat menengah kebawahpun rame-rame pasang
bracket. Ketika tuntutan gengsi diutamakan sedangkan harga bracket di dokter
gigi cukup mahal, maka kembali lagi tukang gigi menjadi solusi.
4. Angka kerusakan gigi yang boleh dikatakan cukup tinggi, dan tidak menutup
kemungkinan akan meningkat setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan masyarakat
Indonesia kehilangan gigi, entah itu tanggal dengan sendirinya, keropos (karies),
atau dicabut. Seseorang yang kehilangan gigi biasanya dari segi fungsi dan
estetika akan terganggu, misal daris egi fungsi ketika makan, dan dari segi
estetika gigi yang hilang akan membuat seseorang menjadi ompong, dan itu
tidak enak dipandang. Maka dari itu supaya gigi tidak ompong, masyarakat
biasanya ingin mengganti gigi yang tanggal atau hilang dengan gigi tiruan
(dental protesa). Akan tetapi karena gigi tiruan yang dibuat oleh dokter gigi
biasanya lebih mahal maka tak heran jika masyarakat lebih memilih yang lebih
murah yakni tukang gigi. Intinya semakin banyak masyarakat yang ingin
memasang gigi tiruan dengan harga yang murah maka semua ini akan membuat
semakin menjamurnya praktik tukang gigi.
5. Tidak jelasnya pembagian kerja antara tukang gigi dan dokter gigi, sehingga
tukang gigi tetap nekat membuka praktik. Karena tidak adanya pengawasan dari
pemerintah.

BAB II
ANALISIS DAN HIPOTESIS KASUS

Tidak mudah untuk menghapus keberadaan para tukang gigi karena mereka
melakukannya untuk mencukupi nafkah keluarga. Selain itu tidak dipungkiri
penempatan dokter gigi masih belum merata dan belum dapat terjangkau
seluruh lapisan masyarakat. Masalah kurangnya edukasi pasien juga sangat
penting,

karena ketidaktahuan pasienlah yang membuat mereka merasa

perawatan yang diberikan tukang gigi tidak berbeda dengan dokter gigi. Dan
yang tidak kalah penting adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari
pihak-pihak yang berwenang terhadap masalah ini. Bila tukang gigi melakukan
prosedur tindakan diluar wewenang dan kapabilitasnya, dan kemudian merugikan
pasiennya, tentu dapat dijerat hukum sesuai undang-undang yang berlaku.
Dibutuhkan keseriusan dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini terutama
untuk melindungi pasien dari praktek yang tidak bertanggung jawab. Dokter gigi
pun dirasa perlu untuk lebih introspeksi diri, dan juga bertanggung jawab untuk
memberi edukasi pasien agar tidak terjebak pada dilema perawatan yang murah
namun tidak sesuai

standar.

Bagaimanapun

juga

tidak

dapat

dipungkiri

perawatan gigi dicap sebagai perawatan yang mahal, dan bagi masyarakat
berdaya beli rendah tentu lebih memilih cara lain yang lebih murah meskipun itu
membahayakan diri sendiri.

BAB III
LANDASAN TEORI

Tukang gigi atau ahli gigi seharusnya melakukan tindakan yang sesuai dengan
prosedur pada awalnya. Yakni hanya membuat gigi bukan melakukan tindakan
selayaknya profesi seorang dokter gigi, seperti perawatan ortodenti (kawat gigi),
pencabutan, penambalan gigi dan pembuatan gigi porselen.
Direktur BUKDK (Bina Upaya Kesehatan Dasar Kemenkes) Dedi Kuswenda
menjelaskan, kegiatan yang dilakukan para tukang gigi tersebut dinilai sangat
bertentangan dengan kewenangan pekerjaan profesi yang diatur dalam peraturan
Menteri Kesehatan No339/1989 dan UU No29/2004 tentang praktik kedokteran.
(http://www.jurnas.com/halaman/9/2012-03-19)
Selain itu, pihak kementerian juga menemukan di lapangan kini bermunculan
tukang gigi yang melakukan praktik tanpa izin dan haram hukumnya,

Dedi

menambahkan, bagi tukang gigi yang memberikan layanan bak seorang dokter
gigi, namun tidak memiliki kompentensi dan pengetahuan yang memadai bisa
berdampak

berbahaya

bagi

kesehatan

pasien.

( http://www.jurnas.com/halaman/9/2012-03-19)
Seperti tukang gigi yang melakukan pemasangan gigi tiruan lepasan tanpa
dilakukan pencabutan sisa akar terlebih dahulu dapat mengakibatkan abses
(nanah). Selain itu, tukang gigi melakukan pelayanan pemasangan kawat gigi
yang menyebabkan gigi menjadi infeksi. Kemenkes akhirnya mengeluarkan
Permenkes No187/ 2011 yang meminta kepala dinas kesehatan di seluruh daerah
melakukan penertiban dan pembinaan pada tukang gigi dalam rangka melindungi
kesehatan masyarakat. (http://www.jurnas.com/halaman/9/2012-03-19)
Namun pada kenyataanya masyarakat masih lebih memilih datang ke ahli gigi
daripada ke dokter gigi untuk mengatasi masalah gigi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yang membuat masyarakat lebih menoleh ahli gigi, diantaranya
faktor harga, kualitas gigi tiruan

yang sama (kendati nilai resikonya tidak diketahui), keprofesionalan kerja,


pendekatan masyarakat dan ketakutan lain yang dirasakan oleh masyarakat.
Selama ini rata-rata yang datang ke dokter gigi adalah masyarakat menengah ke
atas, karena seperti kita ketahui ekonomi masyarakat Indonesia masih banyak
yang di bawah rata-rata (menengah kebawah). Maka untuk masyarakat yang
bertaraf ekonomi menengah ke bawah, solusi yang dapat diandalkan adalah Ahli
gigi, karena untuk pergi ke dokter gigi mereka tidak punya uang. Menurut versi
dokter gigi, masyarakat telah di tipu oleh Ahli gigi karena ahli gigi tidak memiliki
keilmuan yang dapat dibuktikan dengan ijazah maupun seritfikat. Akan tetapi
lebih banyak masyarakat yang mengaku puas dan tidak mengeluh apapun
setelah datang dan mendapat pelayanan dari ahli gigi. Pertanyaan untuk Dokter
Gigi, Apakah jika ahli gigi dihapus, maka masyarakat akan berbondong-bondong
datang ke dokter gigi? atau malah sebaliknya. Masyarakat enggan memeriksakan
giginya karena harganya yang mahal, terutama untuk Orthodonty. karna
penggunaan Orthodonty lebih bersifat fashionable dan estetika saja. Apa solusi
untuk itu? dan menurut saya Indonesia sudah terkenal akan mahalnya biaya
dalam urusan kesehatan, walaupun ada puskesmas dan rumahsakit umum yang
meberikan pelayanan untuk masyarakat miskin namun pada kenyataannya
pelayanan yang diterima oleh masyarakat jauh dari memuaskan.

BAB IV
ANALISIS BARU
Tukang Gigi, dalam sejarahnya telah ada sejak sebelum Negara ini meraih
kemerdekaannya, pada masa penjajahan Belanda, Tukang gigi (tandmeester) kala
itu lebih populer dengan sebutan dukun gigi, sudah ada bahkan telah merajai
pasar di Hindia-Belanda kala itu. Prakter dokter gigi juga sudah ada sebenarnya,
tetapi volumenya sangat kecil, bahkan hanya melayani orang-orang Eropa yang
tinggal di Surabaya kala itu. Berangkat dari keadaan demikian, Penguasa HindiaBelanda kemudian mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi bernama
STOVIT (School Tot Opleiding Van Indische Tandartsen) di Surabaya sekitar Tahun
1928. Tahun 1933, STOVIT berhasil meluluskan dokter gigi pertama, terakhir kali
sebelum pendudukan Jepang, STOVIT telah menghasilkan kurang lebih 80 dokter
gigi.
Di era pendudukan Jepang, tepatnya pada tanggal 5 Mei 1943, didirikan
sekolah dokter gigi Ika Daigaku Sika Senmenbu, juga di Surabaya. Sekolah ini
dibawah kepemimpinan Dr. Takeda, kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Imagawa.
Diantara staff pengajar di sekolah ini, terdapat beberapa staff pengajar
berkebangsaan Indonesia, yakni Dr. R. Mosetopo salah satunya.
Dr. R. Moestopo inilah ditahun 1952, yang memelopori berdirinya lembaga
kursus kesehatan gigi di Jakarta. Tujuan didirikannya lembaga kursus ini adalah
untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan tukang gigi diseluruh
Indonesia yang jumlahnya saat itu sudah mencapai kurang lebih 2000 orang.
Orang-orang inilah yang menjadi senior-senior tukang gigi hari ini hasil dari
didikan beliau, yang kemudian beranak-pinak secara turun temurun sampai saat
ini menjadi tukang gigi di Negeri ini.

Pelayanan

kesehatan

membutuhkannya,

didirikan

namun

berdasarkan

kenyataannya

asumsi

bahwa

masyrakat

baru

masyarakat

mau

mencari

pelayanan kesehatan setelah benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini
bukan berarti mereka harus mencari pengobatan tradisional yang kadang-kadang
menjadi pilihan masyarakat pertama (Notoatmodjo, 2003).
Salah satu pengobatan tradisional yang masih dijadikan sebagai sarana
pelayanan kesehatan gigi oleh masyarakat adalah tukang gigi. Tukang gigi
banyak dikunjungi masyarakat yang ingin memasang atau mengganti gigi
mereka yang ompong dengan gigi palsu, sekalipun banyak dokter gigi yang
menawarkan pelayanan yang sama (Iis, 2004).
Di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan mudah tempat praktek tukang
gigi dengan ciri gambar gigi putih bergusi merah menyala dapat dijumpai. Bila
dahulu hanya menerima pembuatan gigi palsu saja, kini kompetensinya telah
bertambah menerima pemasangan jacket(berupa sarung gigi palsu) sampai
penambalan gigi. Tentu saja tanpa memperhatikan kaidah medis karena mereka
memang tidak pernah mempelajarinya (Dentamedia, 2007).
Tukang gigi berbeda dengan dokter gigi. Tukang gigi umumnya hanya
mempelajari gigi seperti membuat gigi tiruan tanpa mempertimbangkan hal-hal
lain. Dokter gigi mempelajari semua tentang gigi dan mulut termasuk jaringanjaringan

penyangga

gigi.

Dalam

pembuatan

gigi

tiruan,

dokter

gigi

memperhatikan kesehatan jaringan sekitar gigi tiruan tersebut (Multi, 2007).


Usia pengguna gigi palsu berasal dari berbagai kalangan. Umumnya gigi
palsu dibutuhkan oleh para usia lanjut yang telah mengalami kemunduran fisik.
Pada manula gigi lebih rapuh dan banyak terjadi komplikasi penyakit usia lanjut.
Sebagai

contoh

penyakit

diabetes

mellitus(kencing

manis)

yang

dapat

menyebabkan gigi-gigi goyang dan gusi mudah berdarah. Selain itu penggunaan
gigi palsu juga dijadikan sebagai alasan kosmetik untuk memperbaiki kondisi gigi
yang rusak dikarenakan faktor kecelakaan atau efek samping dari suatu penyakit
yang menyebabkan tanggalnya gigi (Irene, 2002).
Sering sekali ditemukan banyak kasus akibat pemasangan gigi palsu di
tukang gigi. Biasanya pengguna gigi palsu tersebut mengalami infeksi berat,
pembengkakan bagian wajah, hampir seluruh gusi merah dan bengkak, disertai
keadaan trismus/tidak bisa membuka mulut. Selain itu juga terjadi halitosis(bau
mulut) yang hebat. Pada bagian dalam rongga mulut, gigi tiruan yang melekat

erat tidak dapat dilepas. Setelah gigi palsu tersebut berhasil dilepas, di bawahnya
penuh dengan jamur (oral candidiasis). Hal ini terjadi terus di masyarakat dengan
membuat gigi tiruan asal jadi tanpa memperhatikan anatomi, fisiologis rongga
mulut, kebersihan dan kesehatan jaringan gusi serta penunjang gigi (Wenas,
1999).
Banyak tukang gigi memberitahukan bahwa ilmu dan pendidikan mengenai
alat, bahan, dan teknik yang digunakan terhadap pasien-pasiennya didapat
dengan otodidak. Masyarakat masih lebih percaya dengan tukang gigi untuk
memeriksakan kondisi kesehatan gigi dan mulutnya dibandingkan dengan dokter
gigi dengan prinsip datang sekali perawatan beres, biaya murah meriah dan
terjangkau. Tetapi tidak memperhatikan dampak lebih lanjutnya (Dhiyauddin,
2008).

Anda mungkin juga menyukai