Anda di halaman 1dari 31

RESUSITASI PARU, JANTUNG DAN OTAK

PENDAHULUAN
Kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi dimana saja,
kapan saja dan bisa menimopa siapa saja. Keadaan ini dapat diesebabkan oleh suatu
penyakit atau pun suatu kecelakaan lalu lintas, tenggelam, keracunan dan lain
sebagainya. Keadaan ini sangat membutuhkan pertolongan segera sejak ditempat
kejadian, selama transportasi, sampai pasien diserahkan kepada petugas kesehatan di
rumah sakit.
Sumbatan jalan napas hipoventilasi, henti nafas, syok, bahkan henti jantung,
cepat sekali menyebabkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan
tepat. Kematian pasien akibat hal-hal seperti tersebut di atas sesungguhnya dapat
dihindari bila tindakan pertolongan resusitasi cepat dikerjakan ditempat kejadian.
Kerusakan otak permanen dapat terjadi jika aliran darah terhenti lebih dari
beberapa menit (saat ini ditetapkan lebih dari 4-6 menit) atau sesudah terjadi suatu
trauma dengan hipoksia beratatau kehilangan banyak darah yang tidak dikoreksi.
Akan tetapi bila pertolongan resusitasi bisa diberikan dengan cepat dan
tepat,kematian otak bisa dicegah bahkan pasien bisa pulih seperti sediakala.
Tindakan resusitasi dapat dikerjakan dimana saja dan kapan saja tanpa
mempergunakan alat atau dengan alat oleh orang yang terlatih baik orang awam
maupun tenaga kesehatan perawat atau dokter spesialis. Kedaruratan medik dapat
menimpa siapa saja, tidak mengenal status sosial dan kejadiannya selalu mendadak.
Oleh karena itu sangat diperlukan individu atau petugas yang siap siaga menolong
korban yang membutuhkan pertolongan.
Yang dimaksud dengan resusitasi paru jantung (RPJ) adalah suatu usaha
kedokteran gawat darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan atau sirkulasi yang
mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup.
Mengapa hanya ada resusitasi paru jantung dan mengapa hanya yang
mengalami kegagalan mendadak dilakukan resusitasi dan bagaimana pula
menentukan keadaan pasien yang masih mempunyai harapan hidup??
Hal ini jelas bahwa manusia memerlukan oksigen untuk bisa hidup. Respirasi
sebagai salah satu sistem organ tubuh berfungsi memasok oksigen ke dalam sirkulasi

darah. Sistem kardiovaskuler berperan mengedarkan oksigen yang dipasok oleh


sistem respirasi ke seluruh jaringan tubuh. Terhentikan pasokan dan edaran oksigen
ke jaringan/sel untuk beberapa saat akan menimbulkan perubahan perangai
metabolisme yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan sel. Oleh karena itu,
harus selalu di upayakan agar fungsi kedua penyedia oksigen tersebut bekerja secara
optimal.
Pada kegagalan yang terjadi secara mendadak, paru dan jantung masih baik
bila dibandingkan dengan penyakit kronis, sehingga kemungkinan pemulihan dapat
diharapkan. Kemudian bagaimana menentukan keadaan pasien yang masih
mempunyai harapan hidup, hal ini memerlukan pengetahuan,pengalaman dan
pertimbangan yang matang.
Dalam proses belajar mengajar, tahapan-tahapan dan langkah-langkah
resusitasi akan disampaikan secara berurutan, akan terapi dalam praktek klinis
tahapan-tahapan dan langkah-langkah tersebut dilakukan secara simultan.
Tahapan dan

langkah-langkah resusitasi paru, jantung dan otak.untuk

memudahkan pengajaran, resusitasi paru-jantung-otak dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :


Tahap 1 : bantuan hidup dasar (BHD), dengan tujuan untuk oksigenasi darurat.
Langkah-langkahnya :
A. : Airway control.
B. : Breathing support.
C. : Circulation support.
Tahap 2 : Bantuan hidup lanjut, dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan
sirkulasi spontan. Langkah-langkanya :
D. : Drug and fluid treatment.
E. : Electrocardiography.
F. : Fibrillation treatment.
Tahap 3 : Bantuan hidup jangka panjang, dengan tujuan untuk pengelolaan intensif
mentasi manusia. Langkah-langkahnya :
G. : Gauging.
H. : Human mentation.
I. : Intensive care.
TAHAP I
BANTUAN HIDUP DASAR

A. Airway Control (Menguasai Jalan Nafas)


Obstruksi jalan nafas merupakan salah satu penyebab dari gagal nafas akut.
Berdasarkan derajat sumbatan, obstruksi jalan nafas dapat terjadi secara parsial atau
total.
Sumbatan Parsial jalan nafas
Gambaran klinis:
Usaha nafas masih ada, suara nafas masih terdengar dan desiran udara
ekspirasi dari mulut atau hidung pasien masih terasa, yang dapat diketahui dengan
merasakan desiran udara melalui pemeriksaan dengan punggung tangan atau telinga
dekat mulut atau hidung.
Gejala dan tanda-tanda lain yang dapat dilihat pada sumbatan jalan nafas
parsial adalah:
1. Aktivitas otot-otot bantu pernafasan meningkat.
2. Retraksi supra sternal dan interkostal.
3. Terdengar stridor.
4. Terdapat tanda-tanda hipoksia dan hiperkarbia.
Sumbatan total jalan nafas
Gambaran klinis:
Pada sumbatan jalan nafas total, sama sekali tidak terdengar suara nafas, tidak
terasa desiran udara dari mulut atau hidung pasien, usah nafas pasien lebih
meningkat dengan timbulnya gerakan dada paradoksal dan lebih meningkatnya
aktivitas otot bantu nafas. Tanda hipoksia dan hiperkarbia bertambah berat.
Bila keadaan ini tidak segera ditanggulangi akan segera diikuti dengan
berhentinya fungsi jantung karena hipoksia berat.
Berdasarkan lokasi sumbatan, obstruksi jalan nafas dapat dibagi menjadi 3
(tiga) lokasi.
1. Sumbatan di atas laring
Disebabkan oleh:

1.1 Lidah yang jatuh ke hipofaring


Hal ini bisa terjadi pada pasien tidak sadar, terutama pada pasien gemuk,
leher pendek dan lidah besar misalnya pada bayi. Pada pasien tidak sadar,
tonus otot penyangga lidah menurun sehingga lidah jatuh kearah posterior
(terutama pada pasien dalam posisi terlentang) dan menempel pada dinding
posterior faring, sehingga terjadi sumtoatan parsial yang ditandai dengan
suara nafas ngorok (snoring).
Usaha pertolongan yang dilakukan adalah: "triple airways manauver"
(gambar 1) dari Safar yaitu: (1) ekstensi kepala, (2) dorong mandibula
kedepan dan (3) buka mulut.

Gambar 1: triple manuver airway


Pada pasien yang menderita patah tulang leher, manauver ini harus
dilakukan dengan hati-hati, tergantung keperluan. Ekstensi kepala dapat
dilakukan dengan mudah yaitu dengan menaruh bantal atau benda lain di
bahu pasien. Bila dengan cara ini sudah dapat membebaskan jalan nafas,
posisi ini dipertahankan dan kepala pasien dimiringkanuntuk mencegah
sumbatan karena benda cair, atau pasien dimiringkan dengan posisi miring
stabil. Apabila dengan cara ini tidak berhasil dapat dipasang pipa orofaring
(gambar 2) atau nasofaring(gambar 3).

Gambar 2: pipa orofaring

Gambar 3: pipa nasofaring


1.2 Benda asing
Sangat banyak benda asing yang dapat menimbulkan sumbatan jalan
nafas, misalnya: lendir, bekuan darah, gigi palsu yang lepas, muntahan atau
makanan lainnya. Biasanya terjadi sumbatan parsial yang ditandai dengan
terdengarnya suara

nafas "gargling"

(seperti orang berkumur), bila

sumbatannya disebabkan oleh benda cair.


Usaha pertolongannya adalah: memb dengan "triple airway manauver",
kemudian memiringkankepala korban sambil mengorek dengan tangan
(sapuan) (gambar 4) atau mengisap dengan alat isap(gambar 5). Bila belum
berhasil melapangkan jalan nafas, dapat dilakukan Laringoskopi dan
kemudian mengambil benda yang ada dirongga mulut.

Gambar 4: mengorek rongga mulut dengan tangan


1.3 Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas
Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas yang dapat
menimbulkan sumbatan jalan nafas bagian atas adalah: pembesaran tonsil,
polip pada rongga hidung dan beberapa tumor lain di rongga mulut dan
dasar Iidah.
Usaha pertolongannya adalah dengan cara operatif, yaitu mengangkat
tumor, atau bila tumornya tidak mungkin diangkat dan sumbatannya bersifat
darurat dan mengancam dapat dilakukan tindakan krikotiritomi (gambar 6)
dilanjutkan dengan tindakan trakeostomi (gambar 7).

Gambar 6: krikotiritomi

Gambar 7: trakeostomi

1.4 Trauma di daerah muka


Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, dapat merusak
struktur anatomi regio ini, sehingga akan mengganggu pasase udara melalui
jalan nafas atas.
Usaha membebaskan jalan nafas pada korban seperti ini adalah
berusaha secepat mungkin melakukan rekonstrusi jalan nafas bagian atas.
Sementara hal ini belum bisa dikerjakan, usaha melapangkan jalan nafas
dilakukan dengan memasang pipa endotrakea (gambar 8) atau melakukan
trakeostomi (gambar 7) bila gagal melakukan pemasangan pipa endotrakea.

Gambar 8: pipa endotrakhea


2. Sumbatan pada laring
Disebabkan oleh:
2.1 Benda Asing
Benda asing dapat menyumbat rima glotis sehingga terjadi sumbatan total
jalan nafas atas. Gejala yang timbul adalah: korbanakan segera memegang

leher, tidak bisa bicara, tidak bisa nafas dan tidak bisa batuk. Beberapa saat
kemudian diikuti dengan sianosis dan penurunan kesadaran, bila tidak
segera diberikan pertolongan.
Usaha pertolongan yang dilakukan adalah: Bila pasien masih sadar,
penolong berdiri membelakangi korban, kedua tangan disilangkan di uluhati
kemudian lakukan hentakan 4 kali dengan kuat, atau bisa juga dengan
memukul punggung diantara tukang skapula (gambar 9).
Bila pasien tidak sadar, ditidurkan terlentang (gambar 10) dan dilakukan
hentakan pada uluhati atau pasien dimiringkan dan dilakukan hentakan pada
uluhati atau pasien dimiringkan dan dilakukan pukulan pada punggung
seperti tersebut di atas. Bila tindakan ini belum menolong segera dilakukan
laringoskopi (bila di RS.).

Gambar 9: hentakan pada penderita

Gambar 10: hentakan pada pasien tidak sadar

2.2 Penyakit Infeksi


Laringitis akut difteri atau non dipteri yang sering menyerang pada anakanak, dapat menimbulkan penyulit sumbatan jalan nafas. Pasien akan
mengalami sumbatan jalan nafas parsial sampai total gejala klinis berupa
stridor dengan aktivitas pernafasan meningkat.
Usaha pertolongannya adalah: untuk sementara dapat dilakukan
krikotirotomi, (gambar 6) kemudian segera dilakukan trakeostomi (gambar
7).
2.3 Reaksi alergi (anafilaktik)
Angioneuritik udema pada daerah laring merupakan salah satu
gambaran dari suatu reaksi alergi. Keadaan ini dapat menimbulkan sumbatan
jalan nafas parsial sampai total, dengan gejala seperti tersebut di atas.
Usaha pertolongannya adalah: apabila sumbatannya total segera
melakukan tindakan krikotirotomi (gambar 6) atau trakeostomi (gambar 7).
Tindakan pemberian medika-mentosa dapat diberikan akantetapiselalu
memperhatikan keadaan pasien, bila keadaan pasien bertambah buruk segera
dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi.
2.4 Tumor laring
Polip pada laring atau pita suara, dan tumor lain yang terdapat pada laring,
secara langsung akan menutup jalan nafas secara parsial atau total tergantung
besar dan lokasi tumor.
Usaha pertolongannya adalah: segera mengangkat tumor tersebut bila
keadaan memungkinkan. Akan tetapi bila keadaan tidak memungkinkan
sementara dapat dikerjakan trakeostomi (gambar 7).
2.5 Trauma laring
Beberapa jenis trauma di daerah leher dapat menimbulkan sumbatan jalan
nafas, antara lain: cekekan/jeratan pada leher dan trauma langsung pada
leher. Sumbatan jalan nafas yang terjadi bisa partial sampai total dengan
gejala seperti tersebut di atas.

Usaha pertolongannya adalah: tergantung penyebabnya, bila karena


cekekan/jeratan, segera melepaskan cekekan/jeratan tersebut. Bila karena
sebab yang lainnya, segera dilakukan trakeostomi (gambar 7).
2.6 Paralisis pita suara
Paralisis pita suara paling sering disebabkan oleh karena lesi pada nervus
rekurens akibat manipulasi pada operasi didaerah leher, misalnya operasi
tiroidektomi. Usaha pertolongannya adalah: segera dilakukan trakeostomi
(gambar 7).
2.7 Spasme laring
Disebabkan karena perangsangan nervus vagus (refleks vagal). Ambang
vagal akan menurun pada hipoksia, asidosis, penderita kesadaran menurun
dan lain-lainnya. Suara nafas seperti botol ditiup (krowing) adalah
merupakan tanda yang khas. Usaha pertolongannya adalah memberikan obat
pelumpuh otot.
3. Sumbatan di bawah laring
Sumbatan jalan nafas di bawah laring bisa terjadi pada trakea dan pada bronkus.
3.1 Trakea
Sumbatan yang terjadi pada trakea dapat disebabkan oleh tumor yang
mendesak trakea, Trauma akibat operasi yang dapat menimbulkan trakeomalasea dan trauma langsung akibat kecelakaan yang lain.
Gejala klinis dapat berupa sumbatan parsial maupun total seperti tersebut
di atas. Usaha pertolongannya adalah: segera dilakukan pemasangan pipa
endotrakea, (gambar 8) kemudian dilanjutkan dengan trakeostomi (gambar
7).
3.2 Bronkus
Sumbatan pada bronkus dapat disebabkan oleh: benda asing, spasme
bronkus dan tumor.
Bila sumbatannya disebabkan oleh aspirasi benda asingpadat dan pada
saat kejadian pasien berdiri, maka bendaasing ini akan cenderung masuk ke
bronkus kanan. Hal inidisebabkan karena anatomis bronkus kanan lebih

vertikal.Gejala yang dapat dijumpai pada pasien ini tergantungdari derajat


sumbatannya, bisa parsial atau total pada satuparu.
Usaha pertolongannya adalah: melihat langsung bronkus dengan osteaosteanya mempergunakan alat bronkoskop, selanjutnya menghisapnya atau
menjepit benda asing yang masuk dengan alat penjepit khusus.
Bila sumbatannya oleh karena spasme bronkus, akan terdengar suara
nafas wheezing dan adanya tanda-tanda hipoksia dan hiperkarbia.
Usaha pertolongannya adalah: segera memberikan bronkodilator.

B. Breathing Support (Bantuan Nafas)


Setelahjalannafasterbuka,penolonghendaknyasegera menilai apakah pasien
bernafas spontan atau tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan gerak
nafas pasien atau mendengarkan/ meraskan aliran udara nafas pada mulut dan
hidung. Bila tidak bernafas spontan atau bernafas tetapi tidak adekuat segera
diberikan nafas buatan.
Sebab-sebab henti nafas.
1. Depresi pusat nafas
Disebabkan oleh: trauma kapitis, infeksi intra kranial, obat-obatan yang
mempunyai efek depresi pusat nafas misalnya narkotika dan beberapa obat
anestesia serta keracunan.
2. Kelumpuhan otot pernafasan
Disebabkan oleh: penyakit infeksi seperti polio mielitis dan Guillam Barre,
penyakit syaraf-otot seperti Myastenia Gravis, trauma medula spinalis, obatobatan seperti streptomisin, kanamisin, polimiksin dan derivat aminoglikosid
yang lain, dan akibat penggunaan obat pelumpuh otot.
Usaha pemberian nafas buatan dapat dilakukan tanpa alat atau dengan
alat bantu nafas, mempergunakan udara ekspirasi penolong atau dengan
udara atmosfir disertai dengan campuran oksigen murni yang telah
disiapkan dalam tabung.

Udara ekspirasi penolong masih bisa diberikan karena udara ekspirasi ini masih
mengandung oksigen sebanyak 16 - 18 %. Walaupun di dalamnya terdapat CO 2,
akan tetapi CO2 ini tidak akan masuk ke dalam tubuh karena tekanan parsial
CO2 di dalam darah pasien yang henti nafas lebih tinggi dari udara ekspirasi
penolong.
Beberapa cara pemberian nafas buatan
1. Dari mulut penolong, ke mulut pasien (mulut ke mulut) atau ke hidung
pasien (mulut ke hidung) (gambar: 12)
Cara ini mempergunakan udara ekspirasi penolong. Udara ekspirasi
ditiupkan ke mulut atau ke hidung penderita sebanyak kira-kira 2 kali volume
tidal penderita dengan frekuensi nafas disesuaikan dengan kebutuhan
penderita. Diupayakan melakukan hiperventilasi. Proses ekspirasi penderita
dilakukan secara pasip dengan cara melepaskan mulut penolong dari
mulut/hidung penderita setelah selesai meniup.

Gambar 12: dari mulut ke


mulut/hidung
2. Dari mulut penolong melalui pipa S (gambar 13)
Prosesnya sama dengan di atas, hanya penolong meniupkan udara
ekspirasinya melalui pipa orofaring S yang telah dipasang terlebih dahulu.
Selesai meniup, mulut dilepas dari pipa S dan pasien berekspirasi melalui
pipa S ke udara atmosfir.
3. Dari mulut penolong lewat sungkup muka (gambar 14)
Prosesnya sama dengan yang di atas tetapi mempergunakan sungkup muka.
Sungkup muka dipasang sedemikian rupa sehingga menutupi mulut dan
hidung pasien serta diusahakan tidak ada kebocoran pada celah antara

sungkup dengan muka pasien. Penolong meniupkan udara ekspirasinya


melalui lubang (inlet) sungkup muka.

Gambar 14: dari mulut ke sungkup


4. Mempergunakan alat bantu nafas manual balon sungkup (gambar 15).
Cara ini berbeda dengan ke tiga cara-cara yang telah dilukiskan di atas.
Udara yang digunakan adalah udara atmosfir atau bisa dicampur dengan
oksigen murni yang berasal dari tabung oksigen yang telah disiapkan.
Caranya:

Tangan

kanan

memompa

balon,

sedangkan

tangan

kiri

mempertahankan ekstensi kepala dan menekan sungkup pada muka penderita


agar tidak bocor. Frekuensi nafas, dan volume tidak disesuaikan dengan
kebutuhan penderita. Diusakaan melakukan hiperventilasi.

Gambar 15: menggunakan balon sungkup


5. Mempergukan balon ke pipa endotrakea (gambar 16)
Cara ini sama dengan cara di atas, tetapi terlebih dahulu harus memasang
pipa endotrakea melalui mulut/hidung, selanjutnya bantuan nafas dilakukan
dengan balon yang dihubungkan ke pipa endotrakea.

6. Nafas buatan dengan alat bantu nafas mekanik (ventilator)


Alat bantu nafas mekanik (ventilator) adalah alat bantu nafas otomatik
dengan fasilitas lengkap sesuai dengan kebutuhan penderita. Penjelasan lebih
lanjut akan dibicarakan pada pokok bahasan khusus.
Pada nafas buatan dari mulut ke mulut, hidung pasien harus ditutup,
sebaliknya kalau dari mulut ke hidung, mulut pasien harus ditutup. Selanjutnya
diberikan 3-5 kali tiupan nafas dengan cepat dan dalam tanpa memberikan
kesempatan pasien untuk ekspirasi penuh, sehingga bagian paru yang
menguncup kembali mengembang.
Tanda-tanda bahwa nafas buatan adekuat adalah: dada pasien naik-turun
terdengar/terasa adanya aliran udara ekspirasi pasien.
C. Circulation Support (Bantuan Sirkulasi)
Kegagalan sirkulasi akut yang segera harus ditanggulangi adalah: syok dan
henti jantung.
Henti Jantung
Henti jantung adalah: berhentinya sirkulasi darah secara mendadak pada seorang
penderita yang masih mempunyai harapan hidup.
Diagnonsis henti jantung dapat ditegakkan bila dijumpai gejala-gejala seperti
berikut ini, yaitu: pasien tidak sadar, tidak bergerak, tampak pucat dan sianosis,
henti nafas, denyut nadi arteri besar tidakteraba dan pupil dilatasi. Diagnosis pasti
adalah tidakterabanya denyut arteri besar, misalnya pada arteri karotis yang diraba
pada leher atau femoralis yang diraba pada pelipatan paha.
Pada bayi dan anak-anak, perabaan pada arteri karotis dapat menimbulkan
tekanan/desakan pada jalan nafas, oleh karena itu perabaan denyut nadi dilakukan
pada arteri brkhialis, arteri femoralis atau aorta abdominalis atau adanya denyutan
ventrikel didaerah prekordial.
Walaupun dilatasi pupil merupakan salah satu gambaran henti jantung, tetapi
jangan di tunggu sampai tampak adanya gambarandilatasi pupil ini, karena untuk
terjadinya dilatasi pupil diperlukan waktu (walaupun sangat pendek).
Sebab-sebab henti jantung

1. Faktor primer
Disebabkan oleh: penyakit pada jantung sendiri yaitu: kelainan pada sistem
konduksi jantung atau kelainan pada otot jantung seperti misalnya infark, yang
dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel atau asistol. Keadaan yang lain yang
dapat digolongkan sebagai penyebab primer adalah trauma listrik atau petir
yang secara langsung dapat mempengaruhi fungsi konduksi jantung.
2. Faktor sekunder
Paling sering disebabkan oleh: (1) asfiksia akibat gagal nafas akut,
menyebabkan kegagalan pasokan oksigsn dan (2) perdarahan akut/masif akibat
trauma, menyebabkan kekosongan volume sirkulasi sehingga tidak ada curah
jantung.

Perubahan-perubahan yang terjadi akibat henti jantung


Henti jantung apapun sebabnya akan menimbulkan kegagalan perfusi atau
edaran/pasokan oksigen ke seluruh jaringan tubuh, sehingga menimbulkan hipoksia
atau anoksia jaringan, terutama organ-organ vital.
Hipoksia atau anoksia jaringan akan menyebabkan timbulnya perubahan
perangai metabolisme dari siklus aerob ke siklus anaerob. Hal ini akan
mengakibatkan

bertumpuknya

produk-produk

intermedier

sehingga

terjadi

akumulasiasam laktatdan piruvatyang selanjutnya menyebabkan asidosis metabolik.


Asidosis metabolik yang terjadi dapat menimbulkan disfungsi enzim yang berfungsi
sebagai katalisator dan disfungsi mitokondria sel-sel, serta pada akhirnya kematian
sel yang menetap tidak bisa dihindari.
Otak merupakan organ vital yang mendapatkan aliran darah sekitar 15% dari
curah jantung dan mengkonsumsi oksigen sekitar 20% dari konsumsi oksigen
seluruh tubuh. Otak sangat rentan terhadap iskemik, karena otak tidakmempunyai
cadangan energi dan laju metabolismenya sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan
kalorinya.
Bila aliran darah otak berhenti dalam waktu tertentu, akan menimbulkan
perubahan-perubahan sebagai berikut:
1. Berhenti selama 15 detik, penderita koma.

2. Berhenti selama 15-30 detik, EEG isoelektris.


3. Berhenti selama 30 - 60 detik, pasien henti nafas dan pupil mengalami dilatasi
maksimal.
4. Berhenti selama 5 menit, terjadi kerusakan otak permanen.
Kompresi Jantung
Kompresi jantung adalah bantuan sirkulasivans dapat dilakukan dari luar atau
kompresi jantung luar (KJL) dan dapat pula dilakukan kompresi jantung dari dalam
rongga dada atau kompresi jantung "dalam (KJD) melalui torakotomi, bila
kejadiannya di kamar operasi.

KJL Caranya adalah sebagai berikut:


Pasien ditidurkan terlentang di atas lantai atau tempat tidur yang beralas keras
dan padat dGGengan kedua tungkai ditinggikan. Penolong mengambil posisi berlutut
disamping korban dan meletakkan salah satu tumit telapak tangannya di atas
permukaan sternum pada titik 2/3 dari atas jarak antara manubrium sterni dan prsesus
sifoideus atau 2-3 jari sefalad dari pertemuan tulang sternum dengan prosesus
sifoideus (gambar 17).

Gambar 17: letak dan sikap tangan

Tangan
yang
diletakkan

penolong
lain

di

atas

tangan pertama dengan

jari-

jari

terkunci dan lengan lurus serta ke dua bahu berada tepat di atas sternum korban.
Kemudian penolong memberikan tekanan vertikal ke bawah dengan mempergunakan
berat badan sampai menghasilkan pergerakan dada setinggi 4-5 cm. Setelah kompresi

harus ada relaksasi, tetapi ke dua tangan tidak boleh diangkat dari dada korban.
Dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi.
Kompresi yang dilakukan pada titik tersebut di atas akan menekan jantung
diantara tulang dada dan tulang belakang (gambar 18) sehingga pada saat penekanan
darah akan mengalir dari jantung keseluruh tubuh. Sebaliknya pada saat pelepasan
tekanan/relaksasi darah akan mengalir ke dalam jantung akibat mekanisme pompa
isap toraks.

Gambar 18: topografi jantung


Apabila hanya satu penolong, diberikan kompresi sebanyak 15 kali dan
diikuti pemberian 2 kali nafas dalam dengan cepat dan dalam. Dalam satu menit
harus ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (yaitu: 60 kompresi dan 8 nafas) (gambar
19).

Gambar 19: seorang penolong

Apabila ada 2 penolong, kompresi diberikan oleh salah satu penolong dengan
laju 60/menit dan nafas buatan oleh penolong kedua yang dilakukan pada akhir
hitungan ke limb, sehingga fre-kuensi nafas menjadi 12 kali, sehingga
perbandingannya menjadi 5: 1 (gambar 20).

Gambar 20: dua orang penolong


Kompresi harus dilakukan secara halus dan berirama. Apabila dilakukan
dengan benar, kompresijantungluardapat menghasilkan tekanan sistolik lebih dari
100 mm Hg dan tekanan rata-rata pada arteri karotis 40 mm Hg.
Teknik pada bayi dan anak-anak.
Pada prinsipnya bantuan hidup dasar pada bayi dan anak sama dengan pada
orang dewasa. Akan tetapi karena perbedaan ukuran, diperlukan modifikasi teknik
seperti yang disebutkan di atas.
Modifikasinya adalah:
1. Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas pada
bayi dan anak kecil, oleh karena itu kepala hendaknya dijaga dalam posisi netral
selama diusahakan membuka jalan nafas.
2. Pada bayi dan anak kecil ventilasi mulut ke mulut dan hidung lebih sesuai dari
pada ventilasi mulut ke mulut atau mulut kehidung. Pemberian nafas harus lebih
kecil volumenya dan frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 nafas tiap 3
detik untuk bayi dan 1 nafas tiap 4 detik untuk anak-anak.
3. Pukulan punggung dapat diberikan pada bayi dengan korban telungkup dan
mengangkang pada lengan penolong dan hentakan dada diberikan dengan bayi
terlentang dengan kepala terletak di bawah melintang pada paha penolong.
4. Pukulan punggung pada anak yang lebih besar dapat dilakukan dengan korban
telungkup melintang di atas paha penolong dengan kepala lebih rendah dari
badan, dan hentakan dada dapat dilakukan dengan anak terlentang di atas lantai.
5. Pada bayi dan anak letak jantung dalam rongga toraks lebih tinggi dibandingkan
orang dewasa, oleh karena itu kompresi dada luar hendaknya dilakukan pada titik
2 atau 3 jari di bawah garis antara putting susu pada bayi dan pada pertengahan

sternum pada anak. Naik turunnya dada pada bayi saat menekan sternum
diusahakan agar mencapai 1,5 - 2,5 cm, sedangkan pada anak diperlukan
penekanan 2, 5 - 4 cm agar sirkulasinya efektif.
6. Kompresi pada bayi dapat dilakukan dengan mempergunakan kedua ibu jari atau
dengan dua jari yaitu telunjuk dan jari tengah, sedangkan pada anak yang lebih
besar dapat digunakan pangkal telapak tangan.
7. Selama henti jantung, pemberian kompresi diberikan dengan frekuensi
100x/menit (bayi) atau 80x/menit (anak-anak). Per-bandingan kompresi terhadap
ventilasi selalu 5: 1.
Tanda-tanda keberhasilan Bantuan Hidup Dasar.
Apabila bantuan hidup dasar dapat diberikan secara cepat dan tepat oleh
penolong yang terampil, tidak mustahil nyawa korban dapat diselamatkan. Oleh
karena itu bantuan hidup dasar harus dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan
oleh siapa saja, tak terkecuali orang awam.
Tanda-tanda keberhasilan pemberian bantuan hidup dasar adalah:
1. Warna kulit berubah dari sianosis menjadi kemerahan.
2. Pupil akan mengecil.
3. Kalau penyebab henti jantung oleh karena hipoksia dan segera diberikan bantuan
hidup dasar, denyut. nadi spontan dapat dipulihkan.
Selama tanda-tanda tersebut di atas terutama butir 1 dan 2 masih ada, bantuan
hidup dasar tidak boleh dihentikan sampai penolong capai dan tidak ada pengganti
untuk melanjutkannya.
Apabila bantuan hidup dasar dianggap berhasil, harus segera dilanjutkan
dengan upaya bantuan hidup lanjut untuk mempercepat pemulihan denyut nadi
spontan.
Kegagalan upaya Bantuan Hidup Dasar
Kegagalan upaya memberikan bantuan hidup dasar pada umum-nya
disebabkan oleh ketidak-adekuatan upaya pemberian bantuan, baik pada upaya
ventilasi maupun pada kompresi jantung, sehingga pasokan dan edaran oksigen tidak
adekuat.
Parameter kegagalan bantuan hidup dasar terutama berdasarkan pada respons
perubahan diameter pupil. Apabila anoksia serebri telah berlangsung lama, maka

tidak akan ada respons perubahan diameter pupil, sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa korban telah berada pada keadaan mati otak permanen.

TAHAP II
BANTUAN HIDUP LANJUT
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) ditujukan untuk segera dapat memulihkan dan
mempertahankan fungsi sirkulasi spontan, sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan
dapat segera dipulihkan dan diper-tahankan. Tindakan ini segera dapat dikerjakan
secara simultan bersamaan dengan tindakan-tindakan pada tahap pertama (Bantuan
Hidup Dasar).
Tindakan pada tahap ke II ini rnemerlukan peralatan khusus dan obat-obatan,
agar segera dapat memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan.
Alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan pada tahap II.
Dalam rumah sakit, perlengkapan dan obat-obatan untuk bantuan hidup lanjut
biasanya disimpan pada kereta yang dapat ber-gerak dan diletakkan pada daerah
yang strategis. Kereta ini beserta isinya harus ada di ruang gawat darurat, ruang
terapi intensif, di kamar operasi dan di ruang pulih.
Perlengkapan pada kereta ini hendaknya mencakup tabung oksigen, alat jalan
nafas (pipa orofarings, nasofaring dan pipa endotrakea, sungkup muka, alat isap,
laringoskop, forsep Magil, dan perlengkapan untuk memasang infus, EKG monitor
dengan defibrilatornya dengan arus searah dan papan atau plastik yang datar dan kuat
untuk landasan resusitasi.
Obat-obatan yang diperlukan adalah: obat-obat simpatomimetik (adrenalin,
nor adrenalin, dopamin, efedrin, efortil, metaraminol dan isoproternol), obat
pelumpuh otot (suksinil kholin dan pankuronium atau derivat kurare yang lain),
sedatif dan anti kejang, lidokain, prokainamid, bretillium diuretik, natrium

bikarbonat, kalsium giukonas, digitalis, kortikosteroid, atropin, morfin atau petidin,


nalokson, bronkodilator (aminofilin), cairan infus dan jangan lupa pada oksigen.
D. Drugs and Fluids" (Obat-obatan dan Cairan)
Obat-obatan.
Walaupun banyak jenis obat seperti yang telah disebutkan di atas digunakan
untuk tindakan pada langkah D ini, namun obat esensial yang harus segera diberikan
pada setiap henti jantung adalah:
1. Adrenalin.
Adrenalin adalah obat yang harus segera diberikan bila henti jantung yang terjadi
kurang dari 2 (dua) menit dan disaksikan. Dosisnya: 0,5 - 1,0 mg (dosis untuk
orang dewasa), diberikan langsung intravena atau dapat diencerkan dengan
akuades menjadi 10 ml. Pada anak-anak dosisnya adalah 10 mcg/kg. Apabila
jalurvena belum ada, dapat diberikan intratrakea lewat pipa endotrakea (1 ml
adrenalin 1: 1000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril). Apabila keadaan
sangat mendesak, bisa diberikan intrakardiak. Tetapi belakangan ini cara
intrakardiak tidak dianjurkan lagi. Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit
pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama.
2. Natrium Bikarbonat.
Natrium bikarbonatdiberikan pertama kali bila henti jantungnya diperkirakan
lebih dari 2 (dua) menit, karena pada keadaan ini asidosis yang terjadi sangat
berat. Pada henti jantung yang kurang dari 2 (dua) menit tidak perlu diberikan
obat ini karena asidosis yang terjadi masih ringan dan hal ini dapat segera
dikoreksi dengan pemberian nafas buatan yang adekuat.
Dosis permulaan: 1 mEq/kg, kemudian dapat diuiang setiap 10 menit dengan
dosis 0,5 mEq /kg sampai jantung berdenyut spontan. Obat ini dikemas dalam
ampul berisi 50 ml dan 1 ml mengandung 1 mEq/L. Pemberiannya hanya boleh
dilakukan secara intravena.
Untuk mengoreksi asidosis secara tepat hams dilakukan pemeriksaan analisis
gas darah sehingga diketahui defisit basa yang terjadi. Perhitungan natrium
bikarbonat yang diperlukan adalah:
Dosis bikarbonat = defisit basa x 0,25 berat badan.

3. Glukosa 40%.
Pemberian gukosa 49% ditujukan untuk mencegah hipoglikemia karena pada
keadaan metabolisme anaerob, tubuh tidak mam-pu menyediakan glukosa siap
pakai, sedangkan organ-organ seperti otak, jantung, ginjal dan sel darah merah
sangat memerlukan glukosa. Dosisnya: 1 g/kgBB, diberikan secara intra-vena.
4. Kalsium.
Kation ini sangat diperlukan pada henti jantung oleh karena disosiasi
elektromekanis, setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian
adrenalin. Juga di perlukan bila henti jantung disebabkan oleh karena obat-obatan
yang mendipresi otot jantung. Bentuk garam yang disukai adalah kalsium klorida
10 %, tetapi dapat juga diberikan kalsium glukosa 10 %. Dosisnya 5 ml untuk
orang dewasa dengan berat badan 70 kg, diberikan intravena.
Terapi cairan
Pada saat memulai langkah D, usaha kanulasi vena baik melalui vena perifer
maupun vena sentral segera harus dilakukan dengan tujuan untuk: menyediakan jalur
vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan dan menambah volume sirkulasi darah
terutama pada penderita syok akibat perdarahan akut atau dehidrasi.
Pilihan vena yang akan dikanulasi adalah vena yang mudah diraba pada
ekstremitas (gambar 21) atau melalui vena kubiti langsung ke vena sentral (gambar
22) atau langsung pada vena sentral (gambar 23) misalnya melalui vena jugularis
interna atau vena subclavia. Apabila semua vena-vena tersebut susah didapat, bisa
dilakukan seksi vena pada vena di tungkai.
Jarum yang digunakan untuk kanulasi adalah jenis kateter atau kanul
intravena yang terbuat dari polivinil dengan ukuran yang paling besar yang bisa
masuk ke dalam vena yang dipilih. Apabila dilakukan kanulasi vena sentral, panjang
kanul yang dipilih disesuaikan dengan lokasi kanulasi.
Jenis cairan yang dipilih bisa cairan kristaloid (Ringer Laktat dan NaCI 0,9%)
atau koloid, yang dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.

Gambar 21: vena perifer

Gambar 21: salah satu


kanulasi vena sentralis
E. Electrocardiography.
Alat pantau EKG adalah alat pantau standar yang harus tersedia di Unit-unit
Gawat Daurat. Diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui
pemeriksaan EKG, sehingga dengan demikian bantuan hidup lanjut dapat dila*kukan
secara tepat sesuai dengan gambaran EKG. Gambaran EKGsangatmenentukan
langkah-langkah terapi pemuiihan yang akan dilakukan.
Ada 3 (tiga) pola EKG pada henti jantung, yaitu (gambar 24):
1. Asistol Ventrikel
Adalah ketiadaan denyut jantung dengan gambaran EKG yang isoelektris, yang
paling sering disebabkan oleh hipoksia, asfiksia dan blok jantung.
Usaha pertolongannya adalah:
1) Bantuan hidup dasar (langkah A dengan memasang PET, B dan C) dilakukan

secara adekuat.
2) Lakukan pukulan prekordial.
3) Yakinkan bahwa gambaran tersebut bukan fibnlasi ventrikel.
4) Lakukan langkah D: berikanobat-obatan: adrenalin, natrium bikarbonat,
atropin yang dapat diulang sesuai kebutuhan. apabila belum berhasil segera
diberikan kalsium klorida atau glukonas.
5) Bila belum berhasil biasanya disebabkan oleh blokjantung, segera pasang
alat pacu jantung.
2. Disosiasi elektromekanik (komplek aneh).
Gambaran EKG ini sebenarnya adalah asistol mekanik yaitu ketiadaan
denyut dengan gambaran EKG agonal (aneh atau abnormal) atau kadang-kadang
relatif normal tetapi tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi
tidak efektif sehingga denyut nadi tidak teraba.
Sebab-sebabnya adalah: hypovolemia, emboli paru masif, efusi perikardium
dengan tamponade, ruptur otot jantung atau aneurisma, asidosis parsisten,
hipotermi dan ventilasi tidak adekuat serta gangguan keseimbangan elektrolit.
Usaha pertolongannya adalah:
1. Bantuan hidup dasar (langkah-langkah A dengan pema-sangan PET, B dan C)
dilakukan secara adekuat.
2. Pemberian obat-obatan: adrenalin dan natrium bikarbonat.
3. Usahakan mencari penyebab yang mungkin bisa dikoreksi.
4. Terapi cairan yang adekuat.
3. Fibrilasi ventrikel
Fibrilasi ventrikel (FV) paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak.
Keadaan ini merupakan gerak getar ventrikel jantung secara kontinyu dan tidak
teratur sehingga tidak bisa memompakan darah keseluruh tubuh. Pada EKG akan
tampak osilasi yang khas tanpa kompleks QRS.
Sebab-sebabnya: bisa primer atau sekunder dan mekanisme nya belum
diketahui dengan pasti. Penyebab primer yang paling sering adalah iskhemia otot
jantung, reaksi obat yang merugikan, tersengat listrik dan kateterisasi pada

jantung yang iritatif. Sedangkan penyebab sekunder adalah usaha resusitasi pada
asistol karena asfiksia, tenggelam dan akibat perdarahan.
Usaha pertolongannya adalah:
1. Tanpa menunggu EKG segera lakukan bantuan hidup dasar (langkah A
dengan pemasanga PET, B dan C)
2. Dilanjutkan dengan tindakan pukulan prekordial teru-tama pada fibrilasi
yang disaksikan.
3. Berikanobat-obatan: adrenalin dan natrium bikarbonat sesuai dosis dan kalau
perlu diulang
4. Evaluasi dengan EKG, bila gambaran EKG berupa fibrilasi halus, berikan
adrenalin lagi agar berubah men-jadi kasar, oleh karena fibrilasi kasar lebih
mudah di-kembalikan ke irama sinus dengan terapi fibrilasi, bila kasar segera
dilakukan langkah F.
H. Fibrilation Treatment. (Terapi Fibrilasi).
Terapi fibrilasi adalah usaha untuk segera mengakhiri disritmia
takhkikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal dengan
mempergunakan syok balik listriK. Syok balik listrik ini menghasilkan
depolarisasi seretak semua serai otot jantung dan setelah itu jantung akan
berkontraksi spontan, asalkan otot jantung mendapatkan oksigen yang cukup dan
tidak menclerita asidosis. Terapi syok balik listrik dapat dilakukan dengan arus
bolak-balik atau arus searah melalui dada.
Pada saat ini terapi syok bolak - balik sudah tidak populer, karena cara ini
sangat tergantung pada lairan listrik PLN (tidak pcrtabel), kontraksi otot sangat
kuat, bisa menimbulkan fibrilasi pada jantung yang berdenyut spontan dan bisa
terjari bahaya pada. operator bila tidak memakai isolasi. Sedangkan yang arus
searah, tidak tergantung dengan PLN dan bisa dipakai secara portabei, lebih
efektif untuk kardioversi, dapat digunakan untuk kardioversi jantung yang masih
berdenyut dan tidak membahayakan operator.
Besarnya energi yang umum digunakan untuk syok AS adalah: 400 Joule
untuk orang dewasa, 100 - 200 Joule untuk anak dan 50 - 100 Joule untuk bayi.
Pada takhikardi ventrikel, energi yang dibutuhkan lebih kecil. Dosis yang tepat

tergantung berat badan. Untuk orang dewasa energi awal dibutuhkan 3J / kgBB,
sedangkan pada anak 2, J/kgBB dan dapat diulang dengan dosis ulangan tertinggi
adalah 5 J/kgBB.
Cara melakukan syok balik listrik AS.
Sebelum mulai terapi fibrilasi, alat defibrilator harus diperiksa dan dicoba
terlebih dahulu kemampuannya memberikan energi mulai dari energi rendah
sampai tinggi.
Pedal defibrilator luar (dada) hendaknya yang besar dengan diameter 14
cm untuk orang dewasa, 8 cm untuk anak-anak dan 4,5 cm untuk bayi, sedangkan
pedal untuk defibrilator dalam (jantung) pada dada terbuka dewasa adalah 6 cm,
4 cm untuk anak dan 2 cm untuk bayi. Gambar
Teknik syok balik listrik luar adalah sebagai berikut:
1. Bila FV yang terjadi disaksikan, segera lakukan terapi de-fibrilasi dalam 30
detik tanpa bantuan hidup dasar (ABC-RPJ), tetapi bila tidak disaksikan
lakukan ABC-RPJ terlebih dahulu.
2. Putar alat pemindahan sinkronisasi defibrilator ke tanda "off" dan nyalakan
tenaga utama.
3. Tentukan tingkat energi yang dikehendaki (sesuai dengan berat badan) dan isi
muatan pedal.
4. Kedua pedal elektrode diisi pelicin (jeli) dan kemudian pedal negatif tempelkan pada dada kanan bagian atas tepat disebelah kanan sternum dan di bawah
klavikula sedangkan pedal positif di dada kiri tepat di bawah dan disebelah
kiri puting susu kiri (gambar 25). Tekan kedua pedal dengan kuat pada dada.
5. Pastikan diagnosis pada EKG.
6. Usahakan operatortidak berhubungan dengan pasien agar tidak tersengat
aliran listrik.
7. Lepaskan muatan listrik dengan menekan tobol yang ada pada masing-masing
pedal.
8. Biarkan pedal menempeldi dada selama 5 detik untuk me-nentukan irama.
9. Bila denyut nadi belum teraba dalam 5 detik, teruskan ABC - RPJ, bila FV
masih berlanjut setelah 1 menit melakukan ABC, ulangi syok balik dengan

dosis berikutnya yaitu 4-5 Joule/kgBB.


Bila belum berhasil berikan lidokain 1-2 mg/kg BB secara intravena dan
kalau perlu diteruskan dengan infus. Ulangi syok balik listrik seperti tersebut di atas.
Bila belum berhasil juga, dapat diberi-kan prokainamid 1-2 mg/kg BB intravena dan
kemudian lakukan syok lagi. Bila belum berhasil.juga, berikan bretilium 5 mg/kg BB
intravena dan selanjutnya syok lagi. Bila berlum berhasil dosis bretilium dapat
ditinggikan 10 mg/kg sampai dosis total 30 mg/kg. Bretilium ini merupakan obat
terakhir yang tersedia pada saat ini. Bila ini juga tidak berhasil maka dapat
ditegakkan diagnosis kema-tian jantung.
Sebaliknya, bila usaha syok balik listrik sudah berhasil mengem-balikan
irama jantung ke irama sinus, keadaan ini dipertahankan dengan memberikan obatobat seperti tersebut di atas (lidokain atau prokainamid atau bretilium) dengan dosis
1-2 img/kg berat badan.
Tindakan selanjutnya, setelah berhasil memulihkan dan mem-pertahankan
sirkulasi spontan adalah melakukan bantuan hidup jangka panjang yang berorientasi
pada pemulihan fungsi otak di Unit Terapi Intensif.
Pada kasus-kasus/kejadian khusus yang disaksikan oleh penolong dan segera
memperoleh pertolongan yang tepat dan cepat, penderita dapat pulih kembalisecara
penuh, artinya: jantung segera berdenyut spontan dengan irama sinus, pernafasan
segera pulih secara spontan dan adekuat serta kesadaran kembali pulih seperti
semula. Pada pasien seperti ini hanya memerlukan pemantauan ketat dan perawatan
pasca resusitasi.

TAHAP III
BANTUAN HIDUP JANGKA PANJANG

Langkah-langkah pada tahap ke III merupakan tahapan bantuan hidup jangka


panjang, yaitu pengelolaan intensif untuk mencegah kegagalan organ multiple, yang
merupakan satu kesatuan langkah yang terdiri dari :
1. Langkah G (gaughing) yaitu evaluasi dan triase pengelolaan kritis
2. Langkah H (human mentation) yaitu humanisasi hasil akhir dengan tindakan
resusitasi otak
3. Langkah I (intensive care) yaitu terapi intensif untuk bantuan hidup secara
umum
Jenis pengelolaan yang diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi
bergantung sepenuhnya kepada hasil resusitasi. Pasien yang tidak mempunyai defisit
neurologis dan terpelihara dalam tekanan darah yang normal tanpa aritmia hanya
memerlukan monitor intensif dan observasi terus menerus terhadap sirkulasi ,
pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau
lebih dari sistem memerlukan bantuan dari ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia,
dialisis atau resusitasi otak.
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemik dan iskemik
selaman henti jantung adalah otak. Satu dari lima organ yang selamat dari henti
jantung mempunyai defisit neurologis. Bila pasien tidak sadar hendaknya dilakukan
usaha untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak.
Tindakan-tindakan baku bantuan hidup berorientasi otak adalah :
A. Hemeostasis ekstrakranium
Usaha yang dilakukan dalam rangka hemeostasis ekstrakranium adalah :
1. Mengupayakan agar sistem kardiovaskuler dalam batas normal dengan
pemantauan ketat sehingga tekanan darah dapat dipertahankan dalam batasbatas normal baik dengan terapi cairan meupun penggunaan obat vasoaktif.
2. Ventilasi mekanik diperlukan untuk mempertahankan variabel gas darah
dalam batas nilai : pH=7,3 -7,6 PaO2 di atas 100 mmHg dan PaCO2 = 25-35
mmHg.
3. Imobilisasi dengan menggunakan obat-obat pelumpuh otot yang juga
dikaitkan dengan usaha ventilasi mekanik.

4. Mengupayakan agar variabel darah dalam batas normal, seperti misalnya


elektrolit gula darah, tekanan osmotik, homoglobin, hematokrit dan lain
sebagainya.
5. Pertahankan keadaan normotermia dan usahakan mencegah hipertermia.
6. Alimentasi yang adekuat, kalau perlu memberikan nutrisi parenteral.
7. Pemantauan yang adekuat terhadap semua sistem organ untuk mengetahui
komplikasi sedini mungkin, seperti misalnya fungsi hati, ginjal dan yang
lainnya.
B. Hemostasis intrakranium
Usaha yang dilakukan berupa :
1. Monitor tekanan intrakranium (hanya jika tersedia teknik yang aman) jika
dikehendaki setelah RJP ; dianjurkan sesudah cedera kepala dan pada
ensefalitis, dengan :
a. Baut tengkorak berongga (becker) lebih disukai pada koma bukan karena
trauma.
b. Kateter ventrikel (Lunberg) lebih disukai pada koma karena trauma.
2. Kendalikan : tekanan intrakranium pada atau di bawah 15 mmHgdengan :
a. Hiperventilasi lebih lanjut (PaCO2 sampai 20 mmHg).
b. Drenase CSS ventrikel.
c. Manitol 0,5 g/kg IV; ditambah 0,3 g/kg IV/jam. Jangka pendek (jika
dikehendaki: manitol 1 g/kg IV sekali, empiris, tanpa monitor TIK, segera
setelah pemulihan sirkulasi spontan sesudah hanti jantung), ulangi bila
terdapat pemburukan neurologik.
d. Diuretik, misalnya furosemid 0,5-0,1 mg/kg (IV).
e. Tiopenton atau pentobarbital 2-5 mg/kg IV, diulang seperlunya.
f. Kortikosteroid, (jika dikehendaki) dapat diberikan : metilprednisolon 5
mg/kg BB (IV), diikuti dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam (IV) atau
Deksametason 1 mg/kg BB (IV) diikuti dengan 0,2 mg/kg BB tiap 6 jam
selama 2-5 hari.
g. Hipotermia, 30-32 oC, jangka pendek (dengan ventilasi kendali, pelumpuh
otot, anestetika, vasodilator), hipotermia jangka lama tidak dianjurkan.
h. Sedatif,hipnotik atau analgetik narkotik (jika diperlukan).
3. Monitoring fungsi otak (jika dikehendaki) dengan :
a. EEG
b. EEG komputer (monitor fungsi otak = cerebral function monitor).
Keputusan untuk mengakhiri usaha resusitasi

Semua tenaga kesehatan dituntut agar mampu melakukan tindakan resusitasi


jantung paru segera setelah korban mengalami henti nafas atau henti jantung
didiagnosa, kemudian melanjutkan sampai usaha resusitasi berhasil atau dinyatakan
gagal.
Tidak sadar, tidak adanya pernafasan spontan dan refleks muntah dan dilatasi
pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian
otak kecuali pasien hipotermik, atau di bawah efek barbiturat atau dalam anastesi
umum.
Akan tetapi tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi
dibanding dengan tanda-tanda klinis kematian otak adalah titik akhir yang lebih baik
untuk membuat keputusan mengakhiri usaha resusitasi. Tidak adanya aktivitas listrik
jantung (asistole) walaupun dilakukan usaha resusitasi adekuat biasanya berarti
kematian jantung.
Seseorang dinyatakan meninggal bilamana : (1) fungsi spontan pernafasan
dan jantung telah berhenti secara pasti/ireversibel atau (2) telah terbukti terjadi
kematian batang otak.
Dalamkeadaan darurat tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis mati
batang otak. Dalam resusitasi darurat, seseorang dapat dinyatakan mati jika : (1)
terdapat tanda-tanda henti jantung dan atau (2) sesdudah dimulai resusitasi pasien
tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan dan refleks muntah (gag reflex),
serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien
hipotermik atau di bawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari berikut ini :
1. Bila timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung jawab
meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).
3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tak ada dokter
sebelumnya).
4. Penolong terlalu lelah sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
5. Pasien dinyatakan meninggal.
6. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada
dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan atau
hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih (yaitu

sesudah 30-60 menit terbukti tidak adanya denyut nadi pada keadaan
normotermi tanpa RJP).

Anda mungkin juga menyukai